Titik Temu Antargenerasi – Terhubung dan Terlibat

Elia Okki (staf Bagian SDM)

Melakukan panggilan Tuhan untuk membawa anak-anak menjadi murid-Nya tidak hanya tugas orang tua, tetapi juga tugas orang dewasa di sekitarnya. Begitu pula di lingkungan Sekolah Athalia. Para guru dan staf mengemban peran yang sama, yaitu mendampingi setiap murid berproses dalam pertumbuhan karakter mereka. Namun, stigma yang dimiliki setiap generasi dapat menjadi penghalang untuk melayani lintas generasi. Antargenerasi akan menghadapi kesenjangan karena setiap zaman memiliki ciri khas ketika mereka tumbuh besar. Oleh karena itu, kita perlu mencoba meminimalisasi kesenjangan antargenerasi dengan cara melihat peristiwa dan kondisi yang membentuk suatu generasi tiap zaman.

Setiap generasi lahir dengan sejarah yang berbeda. Kita ambil contoh generasi Milenial dan Gen-Z. Stillman (2018)1 menyebutkan bahwa generasi Milenial menghabiskan masa kecilnya dengan bermain dan kebanyakan lahir dari orang tua generasi Boomers yang memfokuskan diri untuk menumbuhkan harga diri anak dengan cara “lihat dan dengar anak”. Perspektif kerja Boomers ialah untuk kepuasan batin yang melahirkan pencarian makna bagi generasi Milenial dalam bekerja. Generasi Milenial akrab dengan istilah “komunikatif, kolaboratif, optimis, idealis, yang terbaik, work-life balance, menjadi teman”. Juga slogan “Susah-senang, mari rayakan hidup!” membuat Milenial fokus menikmati hidup di masa kini. Itulah ciri khas generasi Milenial.

Bagaimana dengan Gen-Z? Gen-Z menghadapi isu persoalan ekonomi dunia yang membentuk cara mereka menyikapi hidup. Orang tua yang kebanyakan berasal dari Generasi X, dengan sepenuh hati menyiapkan anak-anak Gen-Z dalam menghadapi dunia nyata secara mandiri. Peristiwa politik, COVID-19, resesi berat, masa depan, terorisme modern, isu lingkungan, disrupsi teknologi, dan sebagainya berdampak dalam hidup mereka. Mereka berjuang menata hidup masa depan agar memiliki kehidupan yang jauh lebih baik dari orang tua mereka. Sebab itulah, pemikiran mereka terfokus pada “Apakah kehadiranku menghasilkan perbedaan atau tidak?”

Jadi, bagaimana kita dapat membersamai generasi muda yang Tuhan titipkan di tengah kekacauan zaman? Perbedaan menjalani hidup antargenerasi tak seharusnya menjadi penghalang untuk jalan bersama dan menjadi murid-Nya, terutama di dalam kelompok kecil KTB (Kelompok Tumbuh Bersama) yang dilayani oleh penulis.

Benner (2012)2 menekankan agar perjalanan bersama anggota kelompok kecil haruslah berfokus kepada Allah. Ia menyebutkan bahwa keramahan, kehadiran, dan dialog rohani perlu dibangun jika kita ingin menjalin persahabatan yang dasarnya adalah Kristus. Oleh karena itu, relasi harus dibangun dengan memprioritaskan perenungan mendalam daripada sekadar pertanyaan benar dan salah, menjadi komunitas doa, membagikan pengalaman rohani, penerimaan, dan saling mendukung. Zaman dan generasi bisa saja berbeda, tetapi Allah yang berdaulat dalam dunia dan kehidupan akan selalu menjumpai umat-Nya melampaui cara dan pikiran manusia. Anak-anak yang sedang berjalan bersama kita menghadapi pergumulannya, begitu pun kita. Kondisi ini membuat kita, generasi yang berbeda dengan mereka, perlu kepekaan dari Roh Kudus agar bisa berjalan bersama mereka. Hanya di dalam keterhubungan dan keterlibatan Allah saja ada pengharapan hidup. Kiranya Tuhan menolong kita.

1 Stillman, David dan Jonah Stillman.2018.Generasi Z: Memahami Karakter Generasi Baru yang Akan Mengubah Dunia Kerja.Jakarta:Gramedia Pustaka Utama.
2 Benner, David. G.2012.Sacred Companions (Sahabat Kudus).Surabaya: Literatur Perkantas Jawa Timur

Bukan Aku, Bukan Kamu, tetapi Kita

Joanne Emmanuel Layar (Siswa Kelas IX Wa)

Halo! Nama saya Joanne Emmanuel Layar, anggota Paskibra Athalia. Ini adalah tahun kedua saya menjadi anggota Paskibra. Sekitar dua tahun lalu saya memutuskan untuk mendaftar. Awalnya saya mendaftar tanpa ekspektasi akan diterima, hanya sekadar ingin mendisiplinkan dan menantang diri dengan hal yang baru. Pada hari seleksi, saya sedikit ragu karena tes-tes yang diberikan sangat berat dan menuntut kekuatan fisik. Namun, puji Tuhan saya diberi kesempatan untuk belajar lebih banyak lewat Paskibra.

Melalui Paskibra, saya dan teman-teman merangkai kisah kami masing-masing. Tentunya cerita yang kami rangkai setiap tahunnya berbeda. Bukan proses yang mudah karena kami harus membagi waktu dan melakukan tanggung jawab sebagai siswa sekaligus anggota Paskibra. Kegiatan ini bukan hanya sekadar berlelah-lelah latihan fisik dan baris-berbaris, tetapi juga tentang respons kami saat menghadapi rasa lelah tersebut. Ada saat kami merasa kemampuan kami sudah mencapai batas maksimal. Ada saat tidak yakin bahwa memilih untuk menjadi pengibar adalah pilihan yang tepat, bahkan sulit sekali untuk merasakan yang namanya semangat.

Selama latihan banyak sekali pelajaran yang saya dapatkan, salah satunya yaitu saling mendukung antarteman. Paskibra Athalia memiliki kalimat khas yang berbunyi “Satu untuk semua, semua untuk satu”. Bila ada satu anggota yang melakukan kesalahan, semua anggota juga akan mendapatkan hukumannya yaitu “satu paket” untuk setiap kesalahan. Satu paket yang dimaksud setara dengan sepuluh kali push up. Hal itu mengajarkan saya bahwa ini bukan tentang siapa yang benar dan yang salah, tetapi tentang seluruh anggota adalah satu tim.

Menghitung sisa-sisa hari latihan yang makin menipis dan hari pengibaran yang makin dekat, banyak perasaan yang bercampur aduk antara khawatir, lelah, bangga, dan bersemangat. Akhirnya tibalah hari yang dinanti-nantikan. Sabtu, 17 Agustus 2024 merupakan hari yang sangat membanggakan dan mengharukan, tetapi juga menyedihkan. Saya sangat bersyukur dan bangga karena kami berhasil memberikan yang terbaik dalam melaksanakan tugas sebagai satu tim. Satu hal yang paling terasa setelah melaksanakan tugas adalah rasa bersyukur karena saya merupakan bagian dari bangsa Indonesia. Banyak momen tak terulang yang akan saya rindukan, mulai dari berlari menuju lapangan supaya tidak telat latihan, hingga merasakan tulang yang encok sehabis latihan. Paskibra memproses diri saya untuk menjadi pribadi yang tangguh, disiplin, rendah hati, bertanggung jawab, dan masih banyak lagi. Walaupun sulit untuk dijalani, saya tidak pernah menyesal telah menjadi bagian dari tim Paskibra yang dapat membanggakan Indonesia. Satu kalimat dari saya untuk tim Paskibra, “Bukan aku, bukan kamu, tapi kita”. Pesan dari saya, jika bukan saat ini, biarkan Tuhan yang menentukan saatnya.

“PaskibraAA! Terima kasih.”

Pengalamanku Sebagai Paskibra

Andreas Stefrans Wijaya – Siswa kelas XII MIPA 1

Halo, namaku Andreas. Aku mau berbagi cerita mengenai pengalamanku saat menjadi anggota Paskibra 2024. Sebenarnya aku sudah berencana untuk mengikuti kegiatan ini semenjak satu tahun yang lalu. Namun, saat itu aku ditunjuk sebagai petugas chapel dan latihan chapel bertabrakan dengan hari seleksi, akhirnya aku memilih chapel. Setelah satu tahun berlalu, aku kembali mendaftarkan diri untuk ikut proses seleksi Paskibra. Mengapa aku mendaftar kembali?

Sejak dulu aku memiliki fisik yang lemah. Agar mencapai fisik yang lebih baik, tentu aku harus mulai berolahraga. Namun, aku malas untuk memulainya. Oleh karena itu motivasi utamaku bergabung di Paskibra adalah untuk memaksakan diri berolahraga. Aku melihat kegiatan Paskibra sangat identik dengan latihan fisik. “Salah sedikit push up, kurang disiplin push up, intinya sedikit-sedikit push up”. Aku berpikir, jika aku bergabung di sini, mau tidak mau aku harus ikut latihan fisik. Hasilnya tentu akan berbeda jika aku berolahraga sendirian, kalau sedang malas bisa skip latihan. Setelah melewati seleksi, namaku tidak tertulis di lembaran daftar anggota yang diterima. Namun, seminggu kemudian pelatih Paskibra mengajakku untuk bergabung. Ternyata awalnya aku dipilih sebagai cadangan, tetapi karena ada beberapa siswa yang mengundurkan diri akhirnya aku diterima sebagai anggota inti.

Aku ingat sekali latihan pertama dilakukan di bulan Juli setelah liburan sekolah yang panjang. Awalnya badanku kaget merespons hasil latihan. Otot-otot terasa kaku sampai-sampai penglihatanku menjadi gelap. Tidak hanya aku yang mengalami, beberapa teman pun merasakan hal yang sama. Latihan demi latihan kujalani setiap hari. Terkadang aku merasa lelah, tetapi dengan anugerah Tuhan serta niat untuk mendapatkan fisik yang kuat, aku tetap bertahan. Jujur kukatakan, kekuatan fisikku sekarang jauh lebih baik dibandingkan sebelumnya.

Ada hal berkesan yang paling aku ingat selama menjalani proses latihan. Saat kami sedang belajar baris-berbaris, Pak Iwan berkata, “Jawablah seakan-akan besok kamu mati, maka kamu akan menjawab secara tulus”. Kalimat ini diucapkan ketika kami dalam posisi istirahat. Ia mengkritik jawaban “Siap!” dari kami yang terdengar kurang tegas. Mungkin teman-teman yang lain hanya menangkap poin “menjawab dengan tulus dan tegas”. Namun, perkataan itu mengingatkanku akan frasa latin “memento mori” yang telah lama kujadikan sebagai deskripsi (about) WhatsApp. Kalimat “seakan besok kamu mati” adalah sesuatu yang spesial karena sebagai manusia kita tidak tahu kapan kita akan mati. Mungkin saja besok atau mungkin satu detik kemudian, tidak ada yang benar-benar tahu. Renungan ini membuat aku menjadi lebih bersyukur akan anugerah dan kesempatan yang Allah berikan untuk bertobat.

Kita diberikan anugerah dan dibebaskan dari dosa, jadi kita harus hidup sesuai dengan kehendak Allah seperti yang tertulis dalam Alkitab. Gunakanlah kesempatan yang diberikan Allah untuk membantu sesama, menolong yang membutuhkan, dan berkontribusi bagi bangsa demi memuliakan nama Tuhan.

In nomine Patris, et Filii, et Spiritus Sancti, Amen.

Kamp Karakter SD Athalia Kelas 2 – Kerajinan & Kejujuran

Kamp Karakter SD Athalia Kelas 2 – Kerajinan & Kejujuran, 13 September 2024

Klik link di bawah ini untuk melihat foto-foto lainnya dan untuk men-download:

Kamp Karakter SD Athalia Kelas 2 – Kerajinan & Kejujuran (versi standar/versi digital preview/low res 20,7 Mb)

Kamp Karakter SD Athalia Kelas 2 – Kerajinan & Kejujuran (versi besar/versi bisa untuk dicetak/high res (76,5 Mb)

PERJALANAN MENCARI KOMUNITAS YANG BERTUMBUH

Elizabeth Liswandi (orang tua Siswa Kelas IV dan TK A)

Hai Athalians, perkenalkan nama saya Elizabeth. Saya memiliki dua anak yang bersekolah di Athalia, yaitu Ruth dan Joy. Saya berasal dari keluarga Kristen yang taat. Setiap minggu kami sekeluarga selalu pergi ke gereja. Orang tua dan ketiga kakak saya adalah aktivis gereja, sehingga ketika ada pembentukan kepanitiaan atau pengurus untuk acara gereja, saya selalu diajak. Semua berjalan dengan sendirinya tanpa perlu usaha. Semua kemudahan yang didapat membuat saya seolah-olah take it for granted terhadap setiap kesempatan yang hadir. Sampai suatu keadaan membuat saya harus berpindah gereja. Pada masa itu Tuhan seperti menutup kesempatan yang dahulu Dia berikan dengan mudahnya. Saya mulai menyadari bahwa melayani dan punya komunitas yang bertumbuh itu anugerah dari Tuhan. Saya pun sadar bahwa saya perlu teman-teman yang bisa saling menyemangati, menegur, dan mengingatkan.

Bertahun-tahun berlalu, sampai saya menikah dan punya anak, saya belum juga menemukan komunitas yang cocok di hati. Namun, saya tetap mencari sambil berdoa, “Tuhan, kalau boleh, saya rindu bertemu dengan komunitas yang bisa membantu saya untuk bertumbuh dan melayani”. Perlahan-lahan, Tuhan mulai menjawab doa saya. Ia mempertemukan saya dengan komunitas Kristen di luar gereja, pasutri di gereja, dan juga di Sekolah Athalia. Saya bersyukur karena akhirnya bisa menemukan teman orang tua yang saling peduli, sharing, dan support.

Sekolah Athalia memiliki komunitas doa Parents in Touch (PIT). Saat pertama kali ikut PIT, perasaan saya mengatakan, “Saya sudah berada di tempat yang tepat”. Saya merasa diberkati dengan firman Tuhan dan kesaksian yang disampaikan. Kami juga bisa saling mendoakan, hal ini tidak saya dapatkan di sekolah Ruth sebelumnya. Di Athalia bukan anak saja yang belajar, saya juga belajar dan bertumbuh dengan adanya seminar parenting. Saya juga melihat perubahan demi perubahan terjadi di diri Ruth dan Joy.

Perjalanan mencari komunitas untuk bertumbuh bersama mengajarkan saya tentang banyak hal:


Sikap hati yang benar
Tanpa sikap hati yang benar, ketika kita berada di komunitas yang baik pun kita tidak akan bisa bertumbuh sesuai yang Tuhan mau. Kita perlu ingat bahwa semuanya dari Tuhan dan dikembalikan untuk kemuliaan Tuhan. Jangan sombong apabila Tuhan memberi kita kesempatan. Itu semua bukan karena hebatnya kita. Mungkin kita berpikir, “Sendiri juga bisa kok, bertumbuh. Baca Alkitab sendiri juga bisa bertumbuh, gak perlu komunitas.”
Tentu saja bisa. Namun, berapa lama bisa bertahan? Kita tetap butuh orang lain untuk saling mengingatkan. Seperti firman Tuhan di Amsal 27:17:
“Besi menajamkan besi, orang menajamkan sesamanya.”


Membuka diri
Terkadang ketakutan tidak diterima membuat kita enggan untuk membuka diri, bahkan menjauh dari komunitas. Namun, keterbukaan justru dapat memudahkan kita mendapatkan kekuatan dan dukungan untuk mengatasi tantangan dalam hidup.


Berdampak
Kita diciptakan Tuhan dengan satu tujuan. Di mana pun kita ditempatkan, Tuhan mau kita memancarkan karakter Kristus yang berdampak bagi orang lain.

Semoga kisah ini bisa bermanfaat. Tetap semangat dan jangan lupa bahagia. Tuhan Yesus memberkati.