20 Strategi Menolong Anak untuk Mengembangkan Karakter Baik

20 saran di bawah ini dikutip dari buku Dr. Helen LeGette, Parents, Kids & Character: Twenty-One Strategies to Help Your Children Develop Good Character. Dia membagikan kepada kita ilmu dan pengalaman yang berasal dari kesuksesan 33 tahun karirnya sebagai pemimpin di bidang pendidikan-sebagai guru, konselor, dan pengelola. Dia tahu bahwa anak-anak yang memiliki batasan-batasan di rumah dan memiliki orang tua dengan harapan akan karakter yang baik, memiliki kesempatan yang lebih besar untuk sukses di sekolah dan dalam karir pekerjaan mereka. Bukunya menawarkan ide-ide yang dapat diterapkan di berbagai bentuk keluarga.

1. Jadilah contoh atau teladan karakter di rumah.

Seperti pengamatan William Bennet dalam The Book of Virtues, “tidak ada satupun yang lebih berpengaruh, dan lebih menentukan dalam hidup anak selain kekuatan moral dari contoh yang bisu”. Jika kita ingin mencoba mempengaruhi karakter anak secara positif, maka hal yang sangat penting untuk  dilakukan adalah “Melakukan apa yang kita katakan”.

2. Perjelas nilai-nilai kita

Beritahukan kepada anak-anak mengenai sikap kita terhadap isu-isu penting di sekitar kita. Karakter sebenarnya berkembang di seputaran mengajar dan menangkap apa yang diajarkan. Jika kita ingin anak-anak menginternalisasi kebajikan yang kita hargai, kita harus mengajarkan kepada mereka apa yang kita yakini dan mengapa kita menyakini hal tersebut. Dalam kehidupan sehari-hari, ada banyak sekali kesempatan untuk mengikutsertakan anak-anak dalam pembicaraan moral.

3.  Tunjukkan rasa hormat pada pasangan, anak-anak, dan anggota keluarga lainnya.

Orang tua yang menghormati satu sama lain, yang berbagi tanggung jawab, dan yang memecahkan perbedaan dengan cara damai, menyampaikan pesan yang sangat kuat mengenai rasa hormat. Jika anak-anak mendapatkan pengalaman rasa hormat langsung dari dalam keluarga, lebih mudah bagi mereka untuk dapat menghormati orang lain. Sederhananya adalah, rasa hormat melahirkan rasa hormat.

4. Contohkan dan ajarkan sopan santun pada anak-anak

Minta seluruh anggota keluarga menggunakan sopan santun di rumah. Persoalan-persoalan yang berkaitan dengan sopan santun dan norma-norma sosial berasal dari rumah, dimana sikap sungguh-sungguh memperhatikan orang lain itu berakar dan berawal.

5.  Sesering mungkin makanlah bersama keluarga tanpa televisi.

Waktu makan adalah waktu yang sangat baik bagi orang tua untuk berbicara dengan anak, mendengar anak, dan memperkuat ikatan keluarga. Tidak jadi masalah apakah makanan tersebut masakan rumah atau makanan yang dibeli di luar, namun unsur yang terpenting adalah waktu berbagi bersama-waktu yang disisihkan untuk memperkuat rasa memiliki satu sama lain dan rasa peduli pada keluarga.

6.  Rencanakan sebanyak mungkin kegiatan-kegiatan  bersama keluarga.

Libatkan anak-anak dalam perencanaan. Kegiatan keluarga yang awalnya terlihat sangat biasa, seringkali ketika dilihat dan ditinjau kembali kegiatan itu sebenarnya adalah potongan memori keluarga yang sangat spesial dan mengesankan. “Kencan” antara ayah dan anak perempuan remaja, piknik keluarga di taman, darma wisata untuk membeli es krim di hari Minggu dapat memberikan waktu yang bermakna bagi kebersamaan dan saling berbagi sebagai sebuah keluarga.

7.  Jangan berikan akses pada anak untuk alkohol maupun obat-obat terlarang.

Teladankan perilaku yang benar mengenai alkohol dan obat-obat terlarang. Meskipun tekanan teman sebaya, kecemasan remaja, keinginan remaja akan hal-hal duniawi, dan pesan-pesan media mengagung-agungkan penggunaan obat-obat terlarang dan alkohol, namun keluarga memiliki pengaruh yang paling kuat apakah anak muda akan menyalahgunakan bahan-bahan tersebut atau tidak. Contoh dan teladan orang tua sangat penting dalam persoalan-persoalan yang berkaitan dengan obat-obat terlarang dan alkohol.

8.  Rencanakan proyek pelayanan keluarga atau kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan kebangsaan.

Inti dari karakter baik adalah perasaan peduli dan memperhatikan orang lain. Berbagai kesempatan proyek pelayanan keluarga tersedia di setiap komunitas, bahkan anak-anak kecil pun dapat berpartisipasi. Tindakan sederhana seperti membawakan makanan untuk tetangga yang sakit, memotong rumput di pekarangan rumah orang yang sudah tua, atau mengumpulkan baju-baju dan mainan untuk disumbangkan, akan menolong anak remaja belajar tentang sukacita menolong orang lain dan mengembangkan kebiasaan melayani.

9.  Membacakan buku untuk anak-anak kita dan menyimpan atau menyediakan bacaan yang baik di rumah.

Guru yang hebat selalu menggunakan cerita untuk mengajar, memotivasi, dan menginspirasi. Membaca bersama adalah bagian yang penting untuk menyampaikan warisan moral budaya dari generasi ke generasi. Pertanyaan dan pendapat anak-anak mengenai cerita memberikan pemahaman yang penting bagi orang tua mengenai pikiran, keyakinan, dan fokus perhatian anak-anak mereka.

10.  Batasi  pengeluaran atau belanja anak-anak.

Bantu anak-anak mengembangkan rasa menghargai pada hadiah, penghargaan atau reward yang bersifat non-material. Dalam budaya konsumerisme saat ini, anak remaja mudah untuk memercayai bahwa image-menggunakan baju yang “pantas”, mengendarai mobil yang “pantas”, dll-menggambarkan kesuksesan dan kebahagiaan. Orang tua dapat membuat sebuah pernyataan kuat tentang apa yang mereka hargai dengan menunjukkan bagaimana mereka mengalokasikan sumber daya yang mereka miliki dan bagaimana anak-anak mereka menghabiskan dana yang dipercayakan kepadanya.

11.  Diskusikan mengenai liburan dan maknanya.

Milikilah perayaan keluarga dan bangunlah tradisi keluarga. Abraham Lincoln mengamati bahwa dengan berpartisipasi dalam perayaan nasional menyebabkan orang-orang Amerika “merasa lebih terikat satu sama lain, dan terikat lebih kuat pada Negara dimana ia tinggal.” Memperhatikan liburan dan merayakan tradisi keluarga tidak hanya mengembangkan rasa keterikatan dan kekeluargaan dengan orang lain, tetapi hal ini juga menjadi perekat khusus yang mengikat kita bersama-sama sebagai manusia, anggota keluarga, dan warga negara.

12.  Memanfaatkan “saat mendidik”

Gunakan berbagai situasi untuk memicu diskusi keluarga tentang isu-isu penting. Beberapa pendidikan karakter yang paling efektif dapat terjadi dalam kehidupan sehari-hari yang sedang berlangsung di dalam keluarga. Orang tua dan anak berinteraksi satu sama lain, mereka juga berinteraksi dengan orang lain di luar rumah, tak terhitung situasi yang dapat digunakan untuk mengajarkan pelajaran berharga tentang tanggung jawab, empati, kebaikan, dan belas kasih.

13.  Berikan tanggung jawab pekerjaan rumah untuk seluruh anggota keluarga.

Meskipun seringkali lebih mudah melakukan sendiri tugas-tugas rumah-membersihkan meja, membuang sampah, menaruh piring kotor di mesin cuci piring-daripada menunggu anak-anak kita mengerjakannya, namun kita memiliki kewajiban untuk menolong anak-anak belajar menyeimbangkan kebutuhan dan harapan mereka  terhadap anggota keluarga lain-dan pada akhirnya pada anggota masyarakat lainnya.

14.  Tetapkan ekspektasi untuk anak-anak dan pertahankan agar mereka bertanggung jawab atas tindakannya.

Menentukan batasan yang rasional dan menerapkannya dengan benar akan menjadikan orang tua sebagai pemimpin moral di dalam rumah. Hal ini akan memberikan rasa aman bagi anak dan remaja. Hal ini juga memungkinkan anak-anak tahu bahwa kita peduli pada mereka dan ingin mereka menjadi orang yang memiliki karakter baik.

15.  Jaga anak-anak tetap sibuk dalam kegiatan-kegiatan positif.

Anak-anak dan remaja memililki tingkat energi yang luar biasa, dan tantangannya adalah bagaimana menyalurkan energi tersebut ke dalam kegiatan-kegiatan positif, seperti olah raga, hobi, musik, seni, atau ke dalam kelompok komunitas gereja atau anak muda, atau kepramukaan. Kegiatan-kegiatan tersebut mempromosikan sikap memperhatikan orang lain, peduli, kerja sama dan juga memberikan anak perasaan berhasil.

16.  Belajar untuk mengatakan TIDAK dan jelaskan mengapa.

Sangat alami bagi anak-anak-khususnya remaja-untuk menguji batasan orang tua dan menantang otoritas orang tua. Terlepas dari protes yang diajukan anak, tindakan kasih sayang terbesar  yang dapat diberikan oleh orang tua adalah dengan selalu bersikap tegas dan melarang keterlibatan anak dalam kegiatan yang berpotensi melukai mereka.

17.  Ketahuilah anak-anak sedang berada dimana, melakukan apa, dan dengan siapa.

Orang dewasa perlu mengkomunikasikan dengan berbagai cara bahwa kita peduli pada anak-anak dan mengharapkan yang terbaik dari mereka, tetapi kita juga menganggap serius tanggung jawab kita untuk membangun standar, memonitor, mendampingi, dan mengawasi mereka. Dengan resiko dianggap “kuno”, bersikeraslah untuk bertemu teman-teman dan orang tua dari teman-teman anak kita.

18.  Jangan menutup-nutupi atau membuat alasan untuk membenarkan perilaku anak yang tidak pantas.

Melindungi anak-anak dan remaja dari konsekuensi logis atas tindakan mereka akan membuat kita gagal mengajarkan mereka tentang tanggung jawab individu. Hal ini juga akan merusak kebiasaan/ budaya sosial dan hukum, karena kita memberi kesan pada mereka bahwa mereka entah bagaimana caranya dapat dibebaskan dari peraturan yang mengatur perilaku orang lain.

19.  Ketahuilah acara televisi, video, dan film apa yang ditonton oleh anak-anak.

Meskipun ada beberapa bahan tontonan yang baik, namun informasi pornografi dan informasi yang penuh dengan kebencian semakin marak dan menjamur, sehingga sangat mudah diperoleh oleh anak remaja kita. Dengan perkataan dan contoh, ajarkan anak-anak kebiasaan bertanggung jawab dalam menonton. Jika kita mengetahui bahwa anak telah menonton sesuatu yang  tidak pantas, berterus teranglah dan bagi perasaan kita mengenai hal itu, kemudian diskusikan mengapa bahan tontonan yang tidak pantas itu menyakiti dan mengganggu nilai-nilai keluarga.

20.  Ingat bahwa kita adalah orang dewasa.

Anak-anak tidak membutuhkan kita sebagai teman lain, tetapi mereka sangat membutuhkan kita sebagai orang tua yang peduli untuk mengatur dan menetapkan batas-batas yang tepat untuk perilaku mereka. Terkadang mengatakan “ayah saya tidak mengijinkan saya” dapat memberikan anak-anak remaja pelarian yang nyaman ketika mereka tidak ingin ikut serta dalam kegiatan yang meragukan.

Adapted from Parents, Kids, & Character by Helen LeGette. – Available from the National Center for Youth Issues or from the Character Development Group. Used by permission.

Sumber: http://charactered.net -IB/ Tim karakter

 

Sepuluh Kesalahan yang Dilakukan Orang Tua Saat Ini

Seorang Psikiatri Paul Bohn berkata:

“Banyak orang tua yang akan melakukan apa saja untuk melindungi anak mereka. Mereka bahkan berusaha untuk melindungi anak-anak dari ketidaknyamanan, kecemasan atau kekecewaan yang ringan atau segala sesuatu yang kurang menyenangkan. Hasilnya adalah ketika anak-anak tumbuh dewasa dan mengalami kegagalan hidup yang berada pada batas normal, mereka langsung berpikir bahwa ada sesuatu yang sangat salah sedang terjadi.

Saya menemukan bahwa saat ini, banyak orang tua yang lebih berinvestasi dalam kehidupan anak-anak mereka daripada generasi-generasi sebelumnya. Apa yang mungkin kita benarkan sebagai “pola asuh yang benar” dapat melukai anak-anak kita di kemudian hari. Salah satunya adalah ketika kita membuat hidup mereka terlalu mudah. Seperti filosofi pola asuh favorit saya: “Prepare your child for the road, not the road for your child.”

Disini saya akan menguraikan 10 kesalahan yang orang tua sering lakukan saat ini. Tujuan saya adalah untuk membangun kesadaran.

Kesalahan No. 10:

Memuja anak-anak kita. Banyak di antara kita yang hidup dalam komunitas child-centric (anak sebagai pusat). Kita memelihara anak kita di dalam rumah yang child-centric. Anak-anak kita menyukai hal ini, tentu saja, karena kehidupan kita berputar mengelilingi mereka. Sebagian besar dari kita tidak keberatan akan hal itu, karena kebahagiaan mereka adalah kebahagiaan kita juga. Hal ini mendorong kita untuk melakukan sesuatu untuk mereka, membelikan sesuatu untuk mereka, menghujani mereka dengan cinta dan perhatian.

Tetapi, saya berpikir bahwa sangat penting untuk mengingat bahwa anak-anak kita diciptakan untuk dicintai, bukan dipuja. Sehingga ketika kita memperlakukan mereka sebagai pusat dari dunia, kita menciptakan idola palsu. Daripada rumah yang child-centric, kita seharusnya mengusahakan sebuah rumah yang Christ-centric (berpusat pada Kristus). Anak-anak kita tetap dicintai, hanya saja dalam cara yang lebih baik, yang mengutamakan ketidakegosian diatas keegoisan.

Kesalahan No. 9

Percaya bahwa anak-anak kita sempurna. Satu hal yang sering saya dengar dari professional yang bekerja dengan anak-anak (konselor, guru, dll) adalah bahwa orang tua tidak ingin mendengar sesuatu yang negatif mengenai anak-anak mereka. Meskipun hal-hal itu disampaikan atas dasar kasih kepada anak, namun reaksi spontan dari orang tua biasanya adalah menyerang si pemberi pesan.

Kenyataan dapat menyakitkan, tetapi ketika kita mendengar dengan hati dan pikiran yang terbuka, hal itu akan menguntungkan kita. Kita dapat mencegah lebih dini sebelum situasi berkembang di luar kendali. Sangat mudah untuk menghadapi anak bermasalah daripada memperbaiki orang dewasa yang sudah rusak.

Pada saat saya menginterview seorang Psikiater Chrildren’s of Alabama, mengenai depresi pada anak remaja, ia mengatakan bahwa intervensi awal adalah kunci, karena hal itu dapat mengubah lintasan kehidupan anak. Dia mengatakan bahwa hal inilah yang membuatnya menikmati psikiatri anak dan remaja-karena anak-anak lebih elastis, dan lebih mudah untuk mengintervensi secara efektif ketika mereka masih muda, daripada tahun-tahun setelahnya. Ketika masalah berlangsung cukup lama, maka hal itu akan menjadi bagian dari identitas mereka.

Kesalahan No. 8

Hidup mewakili anak-anak kita. Kita orang tua memiliki kebanggaan yang besar terhadap anak-anak kita. Ketika mereka sukses, hal itu membuat kita lebih senang daripada jika kita melakukannya sendiri.

Tetapi ketika anak-anak menjadi eksistensi kita, maka kita mungkin akan melihat mereka sebagai kesempatan kedua. Akhirnya, itu bukan lagi mengenai mereka, tetapi mengenai kita. Inilah dimana kebahagiaan mereka menjadi tercampur aduk dengan kebahagiaan kita.

Kesalahan no. 7

Ingin menjadi BFF (Best Friend Forever) anak kita. Ketika saya bertanya kepada seorang imam untuk menyebutkan kesalahan terbesar yang dia lihat dalam pengasuhan anak, dia berpikir sesaat kemudian berkata, “Orang tua tidak menjadi orang tua. Mereka tidak melangkah untuk melakukan hal-hal yang sulit.”

Sama seperti semua orang, saya ingin anak-anak saya mencintai saya. Saya igin mereka memuji dan menghargai saya. Tetapi, jika saya melakukan tugas sebagai orang tua dengan benar, mereka akan marah dan kadang-kadang tidak menyukai saya. Mereka akan memutar mata mereka, menguap, dan mengerang, dan berharap mereka dilahirkan di keluarga lain.

Berusaha menjadi BFF anak kita hanya akan mengarahkan pada tindakan permisif dan mengakibatkan rasa putus asa karena kita takut kehilangan persetujuan dari anak-anak kita.

Kesalahan no. 6

Terlibat dalam pengasuhan yang kompetitif. Saya mendengar cerita ini kebanyakan dari level SMP dan SMA, cerita mengenai persahabatan yang rusak dan  adanya penghianatan karena satu keluarga melemahkan keluarga lain.

Menurut pendapat saya, akar permasalahannya adalah rasa takut. Kita takut anak-anak kita akan tertinggal di belakang. Kita berusaha mendidik anak mengikuti tren yang ada (mendaftarkan anak untuk mengikuti berbagai kursus/ les sejak usia dini dan memberi anak gadget). Kita takut bila kita tidak melakukan itu nantinya mereka akan memiliki hidup yang biasa-biasa saja.

Saya percaya bahwa anak-anak perlu bekerja keras dan mengerti bahwa mimpi tidak akan datang diatas piring perak, mereka harus berkeringat dan berjuang untuk mendapatkannya.

Karakter mungkin tidak terlihat penting pada masa remaja, namun pada masa dewasa, itu adalah segalanya.

Kesalahan no. 5

Kehilangan kemegahan masa kecil. Membesarkan anak kecil sulit, sebuah pekerjaan yang monoton. Pada saat itu juga sangat melelahkan secara fisik dan emosional. Terkadang kita berharap agar mereka lebih tua untuk membuat hidup kita lebih mudah. Kita juga ingin tahu mereka akan tumbuh seperti siapa. Apa yang menjadi passion mereka? Apakah Tuhan memberikan karunia yang jelas? Sebagai orang tua kita berharap demikian untuk mengetahui kekuatan memelihara mana yang akan memampukan kita untuk mengarahkan mereka pada arah yang jelas.

Untuk masa depan kita bertanya apakah anak-anak kita yang memiliki kepandaian khusus dalam seni akan menjadikan mereka seorang Picasso, atau apakah suara merdu mereka akan membuat mereka seperti Taylor Swift, kita mungkin lupa untuk menyerap kemegahan yang ada di hadapan kita: Anak di piyama berkaki, cerita pengantar tidur, menggelitik perut, dan jeritan gembira. Kita mungkin lupa untuk membiarkan anak kita menjadi anak kecil dan menikmati satu-satunya masa kecil yang diberikan pada mereka.

Bagi mereka, hal ini bukan tentang menjadi produktif, ini tentang keberadaan/ menjadi ada. Ini tentang bermimpi besar dan menikmati kehidupan. Tekanan pada anak-anak dimulai terlalu cepat. Kita perlu melindungi mereka dari tekanan-tekanan itu. Kita perlu untuk membiarkan mereka bersenang-senang dan tumbuh sesuai dengan kecepatan mereka, sehingga: 1. Mereka dapat mengeksplore ketertarikan mereka tanpa takut gagal dan 2. Mereka tidak “burned out”

Masa anak-anak adalah waktu untuk bebas bermain dan menjelajah. Ketika kita memburu-buru mereka melewati masa-masa ini, maka kita akan merampas masa-masa kecil mereka dan mereka tidak tidak akan pernah dapat kembali ke masa itu.

Kesalahan no. 4

Membesarkan anak yang kita inginkan, bukan anak yang kita miliki. Sebagai orang tua, kita memiliki mimpi untuk anak-anak kita. Hal itu bermula ketika kita hamil, sebelum jenis kelaminnya diketahui. Diam-diam kita berharap agar anak kita menjadi seperti kita, namun lebih pintar dan lebih bertalenta.

Tetapi ironinya adalah, anak-anak kita mengikuti cetakan kita dengan cara yang terbalik. Mereka keluar dari jalur dengan cara yang tidak dapat kita antisipasi. Tugas kita adalah mencari tahu sifat mereka, tunduk pada ketetapan Allah, dan melatih mereka pada ketetapan Allah. Memaksakan mimpi kita pada mereka tidak akan berhasil. Hanya ketika kita melihat mereka sebagaimana adanya merekalah yang dapat membuat kita dapat berdampak kuat dalam kehidupan mereka.

Kesalahan no. 3

Lupa bahwa tindakan kita berbicara lebih keras daripada kata-kata kita. Saya ingin memenuhi anak-anak saya dengan kebijaksanaan, tetapi apa yang saya lupakan adalah bagaimana contoh-contoh yang saya perlihatkan membayangi kata-kata saya.

Bagaimana saya menghadapi penolakan dan penderitaan… bagaimana saya memperlakukan teman dan orang asing… apakah saya mengomeli atau membangun ayah mereka… mereka memperhatikan seluruh hal-hal ini. Cara saya merespon memberikan mereka ijin untuk bertindak dan melakukan hal yang sama.

Jika saya ingin anak-anak saya menjadi luar biasa, saya harus memiliki tujuan yang luar biasa juga. Ketika saya ingin anak saya memiliki kualitas tertentu, maka saya harus terlebih dahulu memiliki kualitas tersebut. Dengan begitu saya dapat menjadi contoh bagi mereka, tidak sekedar menyuruh mereka menaati perkataan saya.

Kesalahan no. 2

Menghakimi orang tua lain-dan anak-anak mereka. Tidak menjadi masalah seberapa tidak setujunya kita dengan pola asuh seseorang, bukan menjadi bagian kita untuk menghakimi mereka. Tidak satu orang pun di dunia ini yang “seluruhnya benar” atau “seluruhnya salah”, kita semua memiliki keduanya.

Kesalahan no. 1

Meremehkan karakter. Banyak orangtua tidak fokus dalam mengembangkan karakter anak dan bahkan menganggap karakter sebagai hal yang tidak penting. Tapi bagi saya satu hal yang saya harapkan benar dalam diri anak saya adalah karakter sebagai inti hidup mereka. Karakter inilah yang akan meletakkan dasar untuk bahagia, dan masa depan yang sehat. Hal-hal ini lebih penting dari pada semua nilai, rapor, dan penghargaan yang pernah mereka terima.

Tidak seorangpun dari kita dapat memaksa anak kita untuk memiliki karakter tertentu. Hal ini karena bagi anak-anak usia 10 atau 15 tahun, karakter tidak akan berarti banyak. Mereka cenderung lebih peduli pada penghargaan secara langsung yang diberikan pada saat itu juga (short-term gratification). Namun, kita tahu bahwa apa yang akan terjadi pada usia 25, 30, dan 40 bukanlah seberapa jauh mereka dapat melempar bola, atau apakah mereka menjadi cheerleader, tetapi bagaimana mereka memperlakukan orang lain dan apa yang mereka pikirkan tentang diri mereka sendiri. Jika kita ingin agar mereka membangun karakter, kepercayaan diri, kekuatan, dan kegembiraan, kita butuh untuk membiarkan mereka menghadapi kesengsaraan dan mengalami kebanggaan yang mengikuti ketika mereka menjadi lebih kuat di sisi lain.

Sulit untuk melihat anak-anak kita jatuh, tetapi kadang-kadang kita harus. Kadang kita harus bertanya pada diri kita sendiri apakah intervensi adalah cara terbaik untuk mereka. Ada ribuan cara untuk mengasihi anak, tetapi dalam pencarian kita untuk membuat mereka senang, mari kita menyadari bahwa terkadang dibutuhkan rasa sakit jangka pendek untuk mendapatkan keuntungan jangka panjang.

Kari Kubiszyn Kampakis.

Sumber: http://www.viacharacterblog.org/

 

13 Tips untuk Mengatasi Kemalasan

13 Tips untuk Mengatasi Kemalasan

Kemalasan sepertinya sudah mendarah daging dalam diri manusia. Namun tetap saja hidup yang penuh dengan kemalasan tidak akan dapat membawa kebaikan. Khususnya saat kita bekerja. Apakah kita dapat mengalahkan kemalasan dan memberi diri yang terbaik untuk menyelesaikan apa yang menjadi tugas dan tanggung jawab kita? Berikut ini adalah 12 tips yang dapat membantu kita melawan kemalasan dalam diri.

1. Break down a task into smaller tasks

Kita seringkali menghindari tugas karena kita melihatnya terlalu besar, terlalu membutuhkan banyak tenaga dan waktu. Memecah tugas menjadi tugas-tugas sederhana dapat mengatasi hal ini. Maka setiap tugas tidak akan terlihat terlalu sulit atau mengintimidasi. Daripada langsung mengerjakan satu tugas besar, kita dapat menyelesaikan tugas-tugas kecil yang tidak terlalu membutuhkan banyak tenaga. Pendekatan ini dapat diaplikasikan tak hanya dalam mengerjakan tugas, tetapi juga tujuan atau capaian lain yang perlu kita lakukan. Hal ini cenderung dapat mengurangi kemalasan yang sering kita rasakan.

2. Rest, sleep and exercise

Dalam kasus tertentu, kemalasan dapat diakibatkan kelelahan dan kekurangan energi. Jika hal ini yang terjadi, kita perlu beristirahat dan juga memberikan tubuh latihan yang cukup serta udara yang segar.

3. Motivation

Dalam kasus tertentu, alasan dari kemalasan adalah karena kurangnya motivasi. Kita dapat memperkuat motivasi melalui afirmasi/penegasan, visualisasi dan pikiran mengenai pentingnya melakukan dan mengerjakan tugas untuk mencapai tujuan.

4. Have a vision of what and who you want to be

Seringkali dengan merefleksikan diri pada sosok ideal kita, tujuan yang kita ingin capai, kehidupan yang kita inginkan, dapat memotivasi kita untuk memulai aksi kita.

5. Think about benefits

Pikirkan keuntungan-keuntungan yang akan kita raih bila kita mengatasi kemalasan dan mulai bekerja, dari pada berpikir mengenai kesulitan dari tugas-tugas yang ada. Fokus pada kesulitan dari tugas dapat membuat kita menjadi lemah dan putus asa, ingin menghindar dan malas. Penting untuk kita memfokuskan pikiran dan perhatian pada hal yang positif dan tidak fokus pada hal-hal yang menyulitkan/menghambat.

6. Thinking about the consequences

Pikirkan mengenai apa yang akan terjadi bila kita mengalah pada kemalasan dan tidak melaksanakan tugas kita. Pikiran mengenai konsekuensi ini dapat mendorong kita juga untuk mulai mengerjakannya.

7. Doing one thing at a time

Fokuslah untuk mengerjakan satu hal di satu waktu. Jika kita merasa ada banyak hal yang harus dilakukan kita mungkin akan langsung merasa terbanjiri tugas dan membiarkan kemalasan menguasai kita dimana seharusnya kitalah yang menguasai kemalasan kita.

8. Visualization

Imajinasi kita memiliki pengaruh yang besar pada pikiran, kebiasaan dan sikap kita. Visualisasikan diri kita mengerjakan tugas dengan mudah dan penuh semangat. Lakukan hal ini sebelum memulai satu tugas dan juga ketika merasa malas atau ketika pikiran berbisik pada kita untuk meninggalkan tugas-tugas.

9. Repeat affirmations

Katakan pada diri sendiri:

“Saya dapat mencapai tujuan dan target saya.”

“Saya memiliki energi dan motivasi untuk bekerja dan melakukan apa yang saya inginkan.”

“Mengerjakan sesuatu membuat saya lebih kuat.”

“Melakukan sesuatu membuat semua mungkin tercapai.”

10. Regards a task as an exercise

Anggaplah setiap tugas sebagai latihan untuk membuat kita lebih kuat, lebih meyakinkan dan lebih tegas.

11. Procrastination

Hindari penundaan yang merupakan salah satu bentuk kemalasan. Jika ada hal yang harus dilakukan, mengapa tidak melakukannya sekarang dan menyelesaikannya? Kenapa membiarkannya mengganggu pikiran kita?

12. Learn from successful people

Lihatlah orang-orang yang sukses, dan bagaimana mereka tidak membiarkan kemalasan menang. Belajarlah dari mereka, bicara pada mereka dan asosiasikan diri dengan mereka.

13. Pray

Satu hal yang tak boleh kita lupakan saat bekerja adalah memulainya dengan doa. Jika kita percaya bahwa setiap pekerjaan berasal dari Tuhan dan untuk Tuhan saja maka tentunya kita dapat lebih termotivasi untuk menyelesaikannya. Bersandarlah dan minta pertolongan pada Tuhan saat pikiran dan kemalasan menghinggapi diri kita.

Diterjemahkan dari     : www.successconsciousness.com/overcoming-laziness.html-LDS

 

“Orang malas tidak akan menangkap buruannya, tetapi orang rajin akan memperoleh harta yang berharga,”

Amsal 12:27

Hati yang Sejuk Bagi Zaman: Sebuah “Self-Talk” tentang Amsal 24:10–12

Oleh: Benny Dewanto, Kabag PK3.

Dalam pelayanan kaum muda, dijajaki sebuah metode untuk menangkap kejujuran mereka saat berbicara tentang diri dan masa depannya melalui rekaman video pribadi (self-talk). Dalam durasi singkat, kurang lebih lima menit, self-talk tersebut ternyata dapat menggambarkan kejujuran kaum muda tentang jati diri, kesulitan hidup, dan harapan mereka ke depannya. Tidak disangka, dengan batasan durasi lima menit, kaum muda dapat memberikan gambaran nyata tentang realitas yang mereka gumuli.

Padahal, banyak pihak mengatakan bahwa kaum muda merupakan golongan yang cukup sulit untuk dipahami. Dampaknya, kaum muda diperlakukan sebagai segmen yang khusus. Tidak jarang, karena cara pandang tersebut, terbangun gap antara kaum muda dengan generasi di atasnya.

Dari self-talk di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa kaum muda merupakan pribadi yang rentan menderita karena perubahan zaman. Self-talk itu juga memperlihatkan bahwa kaum muda juga “menggeliat” dan membuat banyak perubahan zaman sebagai reaksi protes terhadap tekanan yang mereka tanggung. Ketika kaum muda gelisah karena “beban” tersebut, mereka mengambil aksi dengan melakukan perubahan zaman. Semakin besar tekanan tersebut, semakin cepat pula mereka melakukan perubahan. Alhasil, semakin lebar pula gap yang terjadi karena banyak pihak yang sulit mengerti atau memahami perubahan-perubahan tersebut. Jadi, ini seperti sebuah putaran yang tak berujung, yang menjadi lingkaran hidup kaum muda, yaitu tekanan (penderitaan) – ekspresi perubahan – gap ketidakmengertian.

Amsal 24:10–12 berkata: “10Jika engkau tawar hati pada masa kesesakan, kecillah kekuatanmu. 11Bebaskan mereka yang diangkut untuk dibunuh, selamatkan orang yang terhuyung-huyung menuju tempat pemancungan. 12Kalau engkau berkata: “Sungguh, kami tidak tahu hal itu!” Apakah Dia yang menguji hati tidak tahu yang sebenarnya? Apakah Dia yang menjaga jiwamu tidak mengetahuinya, dan membalas manusia menurut perbuatannya?” Perenung Amsal mengatakan bahwa Amsal 24:10–12 berbicara tentang perintah terhadap orang yang paham untuk menolong mereka yang rentan menyerah (the quitter). Bila renungan ini direfleksikan ke dalam fenomena kaum muda, ada sebuah pertemuan antara pihak yang tawar hati/sesak, yaitu kaum muda, dengan pihak yang— di mata Tuhan—sesungguhnya mengerti tentang persoalan yang menyebabkan tawar hati/sesak tersebut. Perenungan ini mengajak kita untuk berdiri sebagai pihak yang kedua.

Dalam perenungan tentang kaum muda yang dikaitkan dengan ayat di atas, sekalipun mereka melejit mengemukakan dunia, dalam kesesakan, mereka seperti pribadi yang tidak punya kekuatan karena tawar hati (ayat 10). Banyak penelitian yang menyatakan bahwa kekecewaan kaum muda berasal dari orang-orang terdekat yang seharusnya menjadi panutan hidup. Kata “tawar hati” di dalam Amsal menjelaskan makna lemas (hang limp), sebuah gambaran kekecewaan yang begitu mendalam hingga membuat dirinya enggan lagi berharap (grow slack).  Kondisi lesu, kecewa, dan tawar hati membuat mereka seperti korban empuk yang diintai untuk “dibunuh oleh dunia”.

Amsal 24: 10–12 dapat dijadikan topik self-talk baik bagi kaum muda maupun kita, kaum dewasa. Ini dapat menjadi dialog pribadi, menelusuri kejujuran hati tentang yang dirasa dan yang diketahui. Ayat ini dapat direnungi oleh seluruh anggota komunitas Athalia, untuk menyejukkan hati agar komunitas ini siap menyejukkan hati generasi muda dalam menghadapi zaman-zaman selanjutnya: zaman yang bergerak cepat yang memunculkan kekhawatiran dan kecemasan; zaman alternatif yang akan semakin masif.

Perjalanan iman anak-anak kita akan semakin ditantang oleh dunia yang akan menawarkan lebih banyak pilihan. Jurang jarak antara kebenaran dan kepalsuan menjadi semakin besar, membuat “mata menjadi rabun” dalam membedakannya. Dalam kondisi ini, semakin banyak kaum muda yang berpotensi berjalan terhuyung-huyung. Akankah kita abai dan tetap berada di dalam gap ini? Apakah kita akan membiarkan mereka terhuyung-huyung menuju kebinasaan seperti orang yang akan dipancung?

Untuk menolong yang terhuyung-huyung tentu janganlah kita menjadi linglung dan limbung.  Membangun konsep pertolongan kehidupan yang terbaik adalah melalui pertemuan berbagi hidup, yaitu saling menggenggam dalam meniti jalan lurus dengan hati yang tulus. Amsal 24: 12 menuntut kita untuk memahami bahwa jiwa kita boleh terus bertumbuh oleh karena pertolongan-Nya. Karena itulah Dia menjaga dan meminta kita menjaga anak-anak ini. Amsal 24: 12 nyata berkata bahwa kita seharusnya menjadi pribadi yang matang, pemerhati kebenaran dan pelaku pemberi pertolongan. Janganlah cepat berkata, “Kami tidak tahu tentang hal itu!” Janganlah menjadi bagian yang membuat kaum muda seperti terhuyung-huyung menuju tempat pemancungan. Mata-Nya yang tajam akan senantiasa menatap isi hati dan pikiran kita. Berdirilah tegak dalam kebenaran, tidak terseok-seok. Genggamlah kaum muda mendekat agar turut pula berdiri tegak dalam kebenaran. Hati-Nya yang sejuk pun akan menjadikan kaum muda Athalia menjadi penyejuk zaman.

Paduan Suara SD Athalia – Penabur International Choir Festival 2024


Paduan Suara SD Athalia di Penabur International Choir Festival 2024

Tim Paduan Suara SD Athalia tampil bersemangat di ajang Penabur International Choir Festival (PICF) 2024, yang berlangsung pada 9-14 September 2024. Di bawah arahan dan bimbingan conductor Ibu Asafel, tim paduan suara SD Athalia berhasil membawakan dua lagu: “Naik Delman” dan “Alleluia, Alleluia!”, dengan iringan piano dari Ibu Bulan dan perkusi dari Pak Adit.


Latihan yang rutin dan intensif para siswa mendapatkan apresiasi dari juri dan penonton. Penampilan mereka dinilai penuh energi dan emosi yang menyentuh hati. 


Ibu Asafel mengungkapkan kebanggaannya, “Anak-anak ini luar biasa. Mereka belajar bekerja sama dan tampil dengan percaya diri. Semoga pengalaman ini dapat menjadi motivasi besar bagi mereka untuk terus berkarya di masa depan, dan semangat tim paduan suara SD Athalia dapat menginspirasi anak-anak Indonesia lainnya untuk berani bermimpi dan berprestasi di kancah internasional”.

Titik Temu Antargenerasi – Terhubung dan Terlibat

Elia Okki (staf Bagian SDM)

Melakukan panggilan Tuhan untuk membawa anak-anak menjadi murid-Nya tidak hanya tugas orang tua, tetapi juga tugas orang dewasa di sekitarnya. Begitu pula di lingkungan Sekolah Athalia. Para guru dan staf mengemban peran yang sama, yaitu mendampingi setiap murid berproses dalam pertumbuhan karakter mereka. Namun, stigma yang dimiliki setiap generasi dapat menjadi penghalang untuk melayani lintas generasi. Antargenerasi akan menghadapi kesenjangan karena setiap zaman memiliki ciri khas ketika mereka tumbuh besar. Oleh karena itu, kita perlu mencoba meminimalisasi kesenjangan antargenerasi dengan cara melihat peristiwa dan kondisi yang membentuk suatu generasi tiap zaman.

Setiap generasi lahir dengan sejarah yang berbeda. Kita ambil contoh generasi Milenial dan Gen-Z. Stillman (2018)1 menyebutkan bahwa generasi Milenial menghabiskan masa kecilnya dengan bermain dan kebanyakan lahir dari orang tua generasi Boomers yang memfokuskan diri untuk menumbuhkan harga diri anak dengan cara “lihat dan dengar anak”. Perspektif kerja Boomers ialah untuk kepuasan batin yang melahirkan pencarian makna bagi generasi Milenial dalam bekerja. Generasi Milenial akrab dengan istilah “komunikatif, kolaboratif, optimis, idealis, yang terbaik, work-life balance, menjadi teman”. Juga slogan “Susah-senang, mari rayakan hidup!” membuat Milenial fokus menikmati hidup di masa kini. Itulah ciri khas generasi Milenial.

Bagaimana dengan Gen-Z? Gen-Z menghadapi isu persoalan ekonomi dunia yang membentuk cara mereka menyikapi hidup. Orang tua yang kebanyakan berasal dari Generasi X, dengan sepenuh hati menyiapkan anak-anak Gen-Z dalam menghadapi dunia nyata secara mandiri. Peristiwa politik, COVID-19, resesi berat, masa depan, terorisme modern, isu lingkungan, disrupsi teknologi, dan sebagainya berdampak dalam hidup mereka. Mereka berjuang menata hidup masa depan agar memiliki kehidupan yang jauh lebih baik dari orang tua mereka. Sebab itulah, pemikiran mereka terfokus pada “Apakah kehadiranku menghasilkan perbedaan atau tidak?”

Jadi, bagaimana kita dapat membersamai generasi muda yang Tuhan titipkan di tengah kekacauan zaman? Perbedaan menjalani hidup antargenerasi tak seharusnya menjadi penghalang untuk jalan bersama dan menjadi murid-Nya, terutama di dalam kelompok kecil KTB (Kelompok Tumbuh Bersama) yang dilayani oleh penulis.

Benner (2012)2 menekankan agar perjalanan bersama anggota kelompok kecil haruslah berfokus kepada Allah. Ia menyebutkan bahwa keramahan, kehadiran, dan dialog rohani perlu dibangun jika kita ingin menjalin persahabatan yang dasarnya adalah Kristus. Oleh karena itu, relasi harus dibangun dengan memprioritaskan perenungan mendalam daripada sekadar pertanyaan benar dan salah, menjadi komunitas doa, membagikan pengalaman rohani, penerimaan, dan saling mendukung. Zaman dan generasi bisa saja berbeda, tetapi Allah yang berdaulat dalam dunia dan kehidupan akan selalu menjumpai umat-Nya melampaui cara dan pikiran manusia. Anak-anak yang sedang berjalan bersama kita menghadapi pergumulannya, begitu pun kita. Kondisi ini membuat kita, generasi yang berbeda dengan mereka, perlu kepekaan dari Roh Kudus agar bisa berjalan bersama mereka. Hanya di dalam keterhubungan dan keterlibatan Allah saja ada pengharapan hidup. Kiranya Tuhan menolong kita.

1 Stillman, David dan Jonah Stillman.2018.Generasi Z: Memahami Karakter Generasi Baru yang Akan Mengubah Dunia Kerja.Jakarta:Gramedia Pustaka Utama.
2 Benner, David. G.2012.Sacred Companions (Sahabat Kudus).Surabaya: Literatur Perkantas Jawa Timur

Bukan Aku, Bukan Kamu, tetapi Kita

Joanne Emmanuel Layar (Siswa Kelas IX Wa)

Halo! Nama saya Joanne Emmanuel Layar, anggota Paskibra Athalia. Ini adalah tahun kedua saya menjadi anggota Paskibra. Sekitar dua tahun lalu saya memutuskan untuk mendaftar. Awalnya saya mendaftar tanpa ekspektasi akan diterima, hanya sekadar ingin mendisiplinkan dan menantang diri dengan hal yang baru. Pada hari seleksi, saya sedikit ragu karena tes-tes yang diberikan sangat berat dan menuntut kekuatan fisik. Namun, puji Tuhan saya diberi kesempatan untuk belajar lebih banyak lewat Paskibra.

Melalui Paskibra, saya dan teman-teman merangkai kisah kami masing-masing. Tentunya cerita yang kami rangkai setiap tahunnya berbeda. Bukan proses yang mudah karena kami harus membagi waktu dan melakukan tanggung jawab sebagai siswa sekaligus anggota Paskibra. Kegiatan ini bukan hanya sekadar berlelah-lelah latihan fisik dan baris-berbaris, tetapi juga tentang respons kami saat menghadapi rasa lelah tersebut. Ada saat kami merasa kemampuan kami sudah mencapai batas maksimal. Ada saat tidak yakin bahwa memilih untuk menjadi pengibar adalah pilihan yang tepat, bahkan sulit sekali untuk merasakan yang namanya semangat.

Selama latihan banyak sekali pelajaran yang saya dapatkan, salah satunya yaitu saling mendukung antarteman. Paskibra Athalia memiliki kalimat khas yang berbunyi “Satu untuk semua, semua untuk satu”. Bila ada satu anggota yang melakukan kesalahan, semua anggota juga akan mendapatkan hukumannya yaitu “satu paket” untuk setiap kesalahan. Satu paket yang dimaksud setara dengan sepuluh kali push up. Hal itu mengajarkan saya bahwa ini bukan tentang siapa yang benar dan yang salah, tetapi tentang seluruh anggota adalah satu tim.

Menghitung sisa-sisa hari latihan yang makin menipis dan hari pengibaran yang makin dekat, banyak perasaan yang bercampur aduk antara khawatir, lelah, bangga, dan bersemangat. Akhirnya tibalah hari yang dinanti-nantikan. Sabtu, 17 Agustus 2024 merupakan hari yang sangat membanggakan dan mengharukan, tetapi juga menyedihkan. Saya sangat bersyukur dan bangga karena kami berhasil memberikan yang terbaik dalam melaksanakan tugas sebagai satu tim. Satu hal yang paling terasa setelah melaksanakan tugas adalah rasa bersyukur karena saya merupakan bagian dari bangsa Indonesia. Banyak momen tak terulang yang akan saya rindukan, mulai dari berlari menuju lapangan supaya tidak telat latihan, hingga merasakan tulang yang encok sehabis latihan. Paskibra memproses diri saya untuk menjadi pribadi yang tangguh, disiplin, rendah hati, bertanggung jawab, dan masih banyak lagi. Walaupun sulit untuk dijalani, saya tidak pernah menyesal telah menjadi bagian dari tim Paskibra yang dapat membanggakan Indonesia. Satu kalimat dari saya untuk tim Paskibra, “Bukan aku, bukan kamu, tapi kita”. Pesan dari saya, jika bukan saat ini, biarkan Tuhan yang menentukan saatnya.

“PaskibraAA! Terima kasih.”

Pengalamanku Sebagai Paskibra

Andreas Stefrans Wijaya – Siswa kelas XII MIPA 1

Halo, namaku Andreas. Aku mau berbagi cerita mengenai pengalamanku saat menjadi anggota Paskibra 2024. Sebenarnya aku sudah berencana untuk mengikuti kegiatan ini semenjak satu tahun yang lalu. Namun, saat itu aku ditunjuk sebagai petugas chapel dan latihan chapel bertabrakan dengan hari seleksi, akhirnya aku memilih chapel. Setelah satu tahun berlalu, aku kembali mendaftarkan diri untuk ikut proses seleksi Paskibra. Mengapa aku mendaftar kembali?

Sejak dulu aku memiliki fisik yang lemah. Agar mencapai fisik yang lebih baik, tentu aku harus mulai berolahraga. Namun, aku malas untuk memulainya. Oleh karena itu motivasi utamaku bergabung di Paskibra adalah untuk memaksakan diri berolahraga. Aku melihat kegiatan Paskibra sangat identik dengan latihan fisik. “Salah sedikit push up, kurang disiplin push up, intinya sedikit-sedikit push up”. Aku berpikir, jika aku bergabung di sini, mau tidak mau aku harus ikut latihan fisik. Hasilnya tentu akan berbeda jika aku berolahraga sendirian, kalau sedang malas bisa skip latihan. Setelah melewati seleksi, namaku tidak tertulis di lembaran daftar anggota yang diterima. Namun, seminggu kemudian pelatih Paskibra mengajakku untuk bergabung. Ternyata awalnya aku dipilih sebagai cadangan, tetapi karena ada beberapa siswa yang mengundurkan diri akhirnya aku diterima sebagai anggota inti.

Aku ingat sekali latihan pertama dilakukan di bulan Juli setelah liburan sekolah yang panjang. Awalnya badanku kaget merespons hasil latihan. Otot-otot terasa kaku sampai-sampai penglihatanku menjadi gelap. Tidak hanya aku yang mengalami, beberapa teman pun merasakan hal yang sama. Latihan demi latihan kujalani setiap hari. Terkadang aku merasa lelah, tetapi dengan anugerah Tuhan serta niat untuk mendapatkan fisik yang kuat, aku tetap bertahan. Jujur kukatakan, kekuatan fisikku sekarang jauh lebih baik dibandingkan sebelumnya.

Ada hal berkesan yang paling aku ingat selama menjalani proses latihan. Saat kami sedang belajar baris-berbaris, Pak Iwan berkata, “Jawablah seakan-akan besok kamu mati, maka kamu akan menjawab secara tulus”. Kalimat ini diucapkan ketika kami dalam posisi istirahat. Ia mengkritik jawaban “Siap!” dari kami yang terdengar kurang tegas. Mungkin teman-teman yang lain hanya menangkap poin “menjawab dengan tulus dan tegas”. Namun, perkataan itu mengingatkanku akan frasa latin “memento mori” yang telah lama kujadikan sebagai deskripsi (about) WhatsApp. Kalimat “seakan besok kamu mati” adalah sesuatu yang spesial karena sebagai manusia kita tidak tahu kapan kita akan mati. Mungkin saja besok atau mungkin satu detik kemudian, tidak ada yang benar-benar tahu. Renungan ini membuat aku menjadi lebih bersyukur akan anugerah dan kesempatan yang Allah berikan untuk bertobat.

Kita diberikan anugerah dan dibebaskan dari dosa, jadi kita harus hidup sesuai dengan kehendak Allah seperti yang tertulis dalam Alkitab. Gunakanlah kesempatan yang diberikan Allah untuk membantu sesama, menolong yang membutuhkan, dan berkontribusi bagi bangsa demi memuliakan nama Tuhan.

In nomine Patris, et Filii, et Spiritus Sancti, Amen.