Salahkah Saya Sekolah di Athalia?

“Eh, anakmu SMA mau di mana?” tanya seorang tante. “Wah, belom tau. Tapi kayaknya mau kupindahin ke sekolah yang lebih gede aja, biar gampang cari kuliah,” jawab tante yang lain. Rasanya tidak asing mendengar percakapan seperti ini di kalangan orang tua Athalia. Entah orang tua yang ingin anaknya masuk ke universitas negeri maupun yang mau mengirim anaknya ke luar negeri, kelihatannya SMA Athalia kurang menarik. Tidak mengherankan karena Athalia bukan sekolah tua, baru meluluskan 2 angkatan sampai saat ini. Tapi benarkah usia sekolah menjadi standar kualitas?

Saya lulus dari SMA Athalia di angkatan kedua tahun 2014. Cukup beruntung, saya dapat kesempatan untuk kuliah di Amerika, di Dordt College, mengambil jurusan Fisika. Ketika saya mencapai tahun terakhir di SMA, saya memutuskan untuk ikut tes SAT, yaitu ujian masuk perguruan tinggi di seluruh Amerika. Yah bisa dibilang semacam SBMPTN kalau di Indonesia. Ternyata semua perguruan tinggi di Amerika punya akses ke nilai-nilai ini, dan mereka akan menawarkan diri kepada murid-murid yang dianggap punya potensi. Cukup mengagetkan, saya dapat lumayan banyak tawaran dari universitas yang cukup besar, seperti Arizona State University, University of South Florida, University of Cincinnati, dan lainnya, meskipun akhirnya saya memilih sekolah yang lebih kecil untuk lingkungan Kristen yang lebih baik.

Namun yang saya ingin sampaikan bukan senangnya saya tentang kehidupan baru saya, atau menyombongkan keberhasilan saya, tetapi justru saya mau bercerita tentang pengalaman saya di SD, SMP, SMA Athalia (ya, saya tahu saya tidak pernah ganti sekolah semenjak SD). Saya masih sangat terkesan dengan guru-guru di Athalia yang selalu peduli dengan murid-muridnya. Meskipun Athalia bukan sekolah yang menuntut akademik setinggi sekolah-sekolah “top” di Tangerang atau Jakarta, tetapi guru-guru Athalia selalu mengharapkan murid-muridnya untuk melakukan lebih dari “cukup”. “Melakukan yang terbaik” adalah prinsip yang selalu ditekankan, dan memang sebagai murid itulah motivasi yang dibutuhkan. Sekolah lain boleh menuntut pelajaran yang lebih susah, tetapi sebagian anaknya menyontek. Murid Athalia, di sisi lain mendapatkan nilai sesuai dengan kemampuan mereka, yaitu yang terbaik yang mereka bisa.

Guru-guru Athalia selalu memberi motivasi setiap harinya. Motivasi-motivasi itulah yang kemudian membentuk karakter kami sebagai murid, hingga kami mampu bekerja keras dan semangat belajar (bahkan setahu saya, guru-guru yang ketahuan mengucapkan kalimat yang tidak membangun ditegur kepala sekolah). Itu menunjukkan betapa seriusnya sekolah Athalia membangun karakter murid.

Saya berani bilang Athalia punya komunitas paling baik dibandingkan sekolah-sekolah di Tangerang (atau malah di seluruh Indonesia jangan-jangan). Banyak orang bilang Athalia terlalu terisolasi, sehingga ketika muridnya pergi keluar malah lebih mudah terjerumus. Pengalaman saya bilang sebaliknya. Komunitas yang baik ini sudah memberi “image” ke saya kalau definisi teman adalah orang-orang berkelakuan baik, bukan anak nakal. Sehingga ketika saya kuliah pun, saya mencari teman-teman yang baik (semoga teman-teman alumni yang lain juga begitu).

Pada akhirnya, saya hanya ingin bilang kalau saya bangga menjadi lulusan Athalia. Keluarga saya bukan keluarga yang berbahasa Inggris, dan saya juga tadinya hanya seperti anak SMA pada umumnya, pergi les Inggris dua kali seminggu. Sekolah Athalia terbukti bisa memberi saya kesempatan kuliah ke mana saja, dan bukan saya saja, tetapi banyak teman-teman alumni lain yang punya cerita-cerita hebat. Saya harap sekolah Athalia akan terus mempertahankan kualitasnya, tetap seperti sekolah yang saya tahu, dan saya pun mengundang adik-adik kelas untuk mempertimbangkan sekolah Athalia lebih serius lagi. Salam dari saya untuk guru-guru dan teman-teman.

Daniel Amadeo Amin

Lubang Jarum

“Lebih mudah seekor unta melewati lubang jarum daripada seorang kaya masuk ke dalam Kerajaan Allah.”
-Markus 10:25-

Apa yang bisa dilakukan manusia untuk mendapatkan kebahagiaan? Tidak ada yang bisa Anda atau orang lain lakukan. Mengapa? Karena alasan sederhana bahwa saat ini Anda sudah bahagia. Bagaimana mungkin Anda memperoleh apa yang sudah Anda miliki? Nah, kalau begitu, mengapa Anda tidak merasakan kebahagiaan yang sudah menjadi milik Anda itu? Karena pikiran Anda terus-menerus menciptakan ketidakbahagiaan yang sudah menjadi milik Anda itu? Karena pikiran Anda terus-menerus menciptakan ketidakbahagiaan. Buang ketidakbahagiaan pikiran Anda itu maka kebahagiaan yang selalu Anda miliki akan langsung muncul ke permukaan. Bagaimana cara membuang ketidakbahagiaan? Carilah penyebabnya dan tatap dalam-dalam. Hal itu akan dengan sendirinya rontok.

Nah, apabila mengamatinya dengan teliti, Anda akan melihat bahwa hanya ada satu hal yang menyebabkan ketidakbahagiaan. Nama hal itu adalah Kelekatan. Apa itu kelekatan? Suatu kondisi lengket emosional yang disebabkan keyakinan bahwa tanpa benda atau orang tertentu, Anda tidak bisa bahagia. Kondisi lengket emosional ini terdiri dari dua unsur, negatif dan positif. Yang negatif adalah rasa terancam dan tegang yang selalu mengiringi kelekatan itu.

Bayangkan orang yang sedang melahap makanan di kamp konsentrasi; dengan satu tangan dia membawa makanan itu ke mulut, dengan satu tangan yang lain dia melindunginya dari orang-orang yang akan merampasnya begitu dia lengah. Nah, itulah gambaran sempurna orang yang melekat. Jadi, kelekatan pada dasarnya memang membuat Anda rentan terhadap guncangan emosional dan selalu mengancam akan menghancurkan kedamaian Anda. Jadi, bagaimana mungkin Anda berharap orang yang melekat bisa memasuki samudra kebahagiaan yang disebut kerajaan Tuhan? Sama seperti mengharapkan seekor unta bisa melewati lubang jarum!

Nah, tragedi kelekatan adalah apabila objeknya tidak tercapai, akan timbul ketidakbahagiaan. Namun, apabila tercapai, tidak muncul kebahagiaan-hanya ada sekelebat rasa nikmat yang diikuti oleh rasa lelah. Dan, tentu saja, hal itu diiringi kecemasan bahwa Anda akan kehilangan objek kelekatan Anda. Anak akan berkata, “Tak bisakah saya menyimpan satu saja kelekatan?” Tentu saja, Anda bisa menyimpan sebanyak yang Anda mau. Namun, untuk setiap kelekatan, Anda membayarnya dengan kehilangan kebahagiaan Anda.

Coba pikir: sifat dasar kelekatan sedemikian rupa sehingga meskipun Anda memenuhi banyak kelekatan dalam satu hari, satu kelekatan yang tidak terpuaskan akan menggerogoti pikiran Anda dan membuat Anda tidak bahagia. Anda tidak mungkin menang dalam pertempuran melawan kelekatan. Mencari kelekatan tanpa ketidakbahagiaan sama seperti mencari air yang tidak basah. Tak pernah ada manusia yang bisa menciptakan resep mempertahankan kelekatan tanpa perjuangan, rasa cemas, rasa takut dan, cepat atau lambat, kekalahan.

Hanya ada satu cara untuk memenangkan pertempuran melawan kelekatan: Buang semua kelekatan Anda. Berlawanan dengan pendapat umum, membuang kelekatan itu mudah. Yang perlu Anda lakukan hanyalah melihat, benar-benar melihat, kebenaran-kebenaran berikut.

Kebenaran pertama: Anda berpegang pada keyakinan yang salah, yaitu keyakinan bahwa tanpa orang atau benda tertentu, Anda tidak akan bahagia. Amati semua kelekatan Anda satu per satu dan lihatlah kekeliruan keyakinan Anda itu. Anda mungkin akan mendapat perlawanan dari hati Anda, tapi begitu Anda bisa melihat, hasilnya akan langsung terasa. Pada saat itu juga, kelekatan Anda kehilangan kekuatan.

Kebenaran kedua: Apabila hanya menikmati berbagai hal, tidak membiarkan diri Anda melekat pada semua itu, Anda takkan mengalami semua perjuangan dan ketegangan emosional akibat upaya-upaya melindungi serta menjaga kelekatan Anda. Pernahkah terpikir bahwa Anda bisa menyimpan semua objek kelekatan Anda serta tidak perlu membuangnya, tidak perlu menyangkalnya, dan Anda bisa semakin menikmatinya tanpa didasari kelekatan, kelengketan, karena sekarang Anda merasa damai serta relaks dan tidak terancam saat menikmatinya?

Kebenaran ketiga dan terakhir: Apabila belajar menikmati aroma seribu bunga, Anda takkan lengket pada satu bunga atau menderita ketika tidak bisa memperolehnya. Apabila Anda punya seribu makanan favorit, hilang satu takkan terasa dan kebahagiaan Anda takkan terganggu. Namun, justru kelekatan Anda-lah yang menghalangi Anda untuk mengembangkan selera lebih luas dan beragam dalam berbagai hal serta orang.

Dalam terang ketiga kebenaran itu, tidak ada kelekatan yang bisa bertahan. Namun, terang itu harus bersinar terus-menerus agar bisa efektif. Kelekatan hanya bisa tumbuh subur dalam kegelapan ilusi. Orang kaya tidak bisa memasuki kerajaan sukacita bukan karena dia ingin jadi jahat, melainkan karena dia memilih untuk jadi buta.

Sumber:

De Mello, Anthony. 1991. The Way to Love. PT Gramedia: Jakarta.

 

“Kaki Boleh Panas, tapi Kepala Harus Tetap Dingin..”

“Kaki boleh panas, tapi kepala harus tetap dingin..”

Begitulah ucapan yang terus digaungkan oleh komentator Athalia Cup ke-5 selama pertandingan yang baru berlangsung 11-18 Oktober 2014 kemarin. Sebanyak 42 tim dari berbagai sekolah di Tangerang Selatan turut berpartisipasi dalam pertandingan ini. Berbagai perbedaan latar belakang tentunya dapat menjadi pemicu munculnya perselisihan dalam pertandingan. Terutama pertandingan futsal yang memang memungkinkan para pemainnya beradu fisik dengan pemain lawan. Oleh karena itu panitia selalu berusaha mengingatkan agar sportifitas harus tetap terjaga.
athalia cup 5
Athalia Cup ke-5 tahun ini secara khusus mengangkat tema Sport Reveals Character. “Karakter bukan hanya dapat dibangun di pembelajaran dalam kelas. Olahraga juga dapat menunjukkan karakter seseorang. Saat olahraga, karakter seseorang itu bisa terlihat, bagaimana karakter anak yang sebenarnya, karena karakter itu sebenarnya ada dimana-mana”. Begitulah penjelasan Pak Werdi Rolando Damanik selaku ketua panitia mengenai maksud diangkatnya tema tersebut.

Seperti yang Pak Werdi katakan bahwa olahraga khususnya futsal dapat memperlihatkan karakter anak yang sebenarnya. Apakah anak itu egois dan mau menang sendiri, atau mau saling berbagi dalam membangun serangan. Kekecewaan, kemarahan, emosi-emosi yang muncul selama di lapangan dapat menunjukkan bagaimana anak itu menyikapi situasi dan kondisi di sekitar mereka. Anak-anak diharapkan melalui pengalaman ini dapat belajar untuk mengontrol emosi mereka, tidak terprovokasi oleh lawan maupun suporter lawan dan tetap tenang di segala situasi.

Bila pemain egois dengan menyerang sendiri maka ia akan kesulitan untuk menembus pertahanan lawan. Dibutuhkan kerjasama dan kerendahan hati bahkan hanya untuk memberi umpan bola pada rekan satu tim. Sehingga kemenangan itu dapat menjadi kemenangan bersama, bukan hanya kemenangan satu orang saja. Bahkan bila kalah pun itu adalah kekalahan bersama sebagai satu tim. Sehingga diharapkan satu tim tersebut bisa sama-sama berproses dan memahami bahwa kalah dan menang itu adalah hal yang biasa terjadi.

Pak Werdi berharap bahwa melalui Athalia Cup ini para siswa dapat memahami dan menyadari bahwa karakter dapat ditemukan dan dipelajari dimana saja. Dalam bersosialisasi dan berolahraga, siswa Athalia harus belajar untuk menerima kekalahan dan tidak putus asa, mau bekerjasama dan tidak individualis.

Selain ingin membangun karakter siswa, Athalia Cup juga diadakan dengan tujuan membangun hubungan baik dengan sekolah-sekolah lain di sekitar. Oleh karena itu pada Athalia Cup ke-5 ini panitia juga mengundang siswa-siswa di tingkat SD dalam pertandingan dan tentunya memberi penghargaan bagi tim-tim pemenang di setiap tingkat.
athalia cup 5
Satu hal lain yang baru juga adalah adanya penghargaan berupa medali dan piagam bagi para top scorer di tiap tingkat. Setiap perubahan ini diadakan tentunya dengan harapan semakin banyak sekolah yang dapat berpartisipasi dan semakin banyak juga sekolah yang terberkati dengan kegiatan Athalia Cup ini. (LDS)

BELAS KASIH

Hai manusia, telah diberitahukan kepadamu apa yang baik.

Dan apakah yang dituntut TUHAN dari padamu: selain berlaku adil, mencintai kesetiaan, dan hidup dengan rendah hati di hadapan Allahmu?

(Mikha 6:8)

 Bersikap adil, mencintai kesetiaan, dan hidup rendah hati di hadapan Allah, merupakan tuntutan Tuhan kepada kita.  Berdasarkan hal ini, mari kita coba bertanya: mengapa kita dituntut hidup berlaku adil, mencintai kesetiaan dan hidup rendah hati? Apa yang sedang terjadi sehingga Tuhan menuntut hal tersebut? Dan, mengapa dalam Mikha 6:8 menggunakan kata “tuntut”?

Dalam terjemahan Bahasa Indonesia Sehari-hari (BIS), Mikha 6:8 dituliskan sebagai berikut “…Yang dituntut-Nya dari kita ialah supaya kita berlaku adil, selalu mengamalkan cinta kasih, dan dengan rendah hati hidup bersatu dengan Allah kita.” Jelas sekali, Mikha 6:8 berkata dengan tegas bahwa Tuhan menuntut manusia untuk hidup seperti yang diminta-Nya, yaitu: berlaku adil, mencintai kesetiaan – mengamalkan cinta kasih, dan hidup rendah hati – hidup bersatu dengan Allah.

Kata “menuntut” menggambarkan adanya syarat yang tak tergantikan. Bila tuntutan tidak dipenuhi, maka ada konsekuensi berat yang harus ditanggung. Konsekuensi dari tuntutan yang tidak dipenuhi dalam drama penculikan biasanya diperlihatkan dengan kematian. Alkitab mencatat dalam Kejadian 9:5 bahwa Tuhan begitu serius dengan janji-Nya kepada Nuh. Siapapun yang membunuh Nuh dan keturunannya, akan dituntut balas oleh Tuhan, “Tetapi mengenai darah kamu, yakni nyawa kamu, Aku akan menuntut balasnya; dari segala binatang Aku akan menuntutnya, dan dari setiap manusia Aku akan menuntut nyawa sesama manusia.” Kata “tuntutan” menjelaskan adanya situasi yang gawat darurat, yang harus diperhatikan dan diselesaikan sesegera mungkin.

Kembali pada pertanyaan awal, mengapa kita dituntut untuk hidup adil, mencintai kesetiaan dan hidup dengan rendah hati? Kondisi gawat darurat apakah yang membuat kita harus hidup adil, setia, dan rendah hati? Apakah kita sudah hidup dalam kekurangan: keadilan, kesetiaan dan kerendahan hati? Seberapa gawatnya hidup ini bila tidak ada lagi hati yang mau hidup dalam keadilan, kesetiaan, dan kerendahan hati?

Ketika Nabi Mikha berkata keras “…Yang dituntut-Nya dari kita ialah supaya kita berlaku adil, selalu mengamalkan cinta kasih, dan dengan rendah hati hidup bersatu dengan Allah kita,” sudah bisa dipastikan bahwa sesungguhnya dunia ini sudah miskin hati yang mau hidup dalam keadilan, kesetiaan, dan kerendahan hati. Semuanya akan bermuara pada konsep BELAS KASIH.

Belas kasih adalah gelora (passion) untuk menyatakan kasih kepada sesama. Belas kasih akan membawa kita memandang hormat soal keadilan. Tidak akan ada lagi intimidasi antara yang kuat dengan yang lemah. Dengan belas kasih tidak akan ada lagi ketidaksetiaan. Perceraian adalah suatu hal yang dibenci Allah. Iblis senantiasa berusaha memecahbelah persekutuan orang percaya. Oleh karena itu, ketika kesetiaan sudah tidak ada lagi, itu salah satu pertanda kuasa Iblis menerpa kehidupan Anda. Dengan belas kasih tidak akan ada lagi kesombongan. Kejahatan yang paling jahat dimulai dari sikap sombong. Siapapun yang hidup dalam kerendahan hati, kehidupannya akan selalu dipenuhi oleh penghiburan dari Tuhan (2 Kor.7:6a).

Hidup dengan belas kasih, memampukan kita untuk hidup sesuai dengan tuntutan Allah. Itulah hidup yang baik dan indah! Amin. (BD/ Karakter Kerohanian)

Untung dan Rugi

“Apa gunanya seorang memperoleh seluruh dunia tetapi kehilangan nyawanya?”
-Matius 16:26a-

Ingatlah perasaan Anda ketika ada orang memuji Anda, ketika Anda disetujui, diterima, disanjung. Dan bandingkan dengan perasaan yang timbul dalam hati Anda ketika Anda menatap matahari terbenam atau matahari terbit, atau Alam pada umunya, atau ketika Anda membaca sebuah buku atau menonton film yang sepenuhnya Anda nikmati. Kecaplah perasaan itu dan bandingkan dengan yang pertama. Pahami bahwa perasaan yang pertama berasal dari pemujaan diri, promosi diri. Hal itu merupakan perasaan duniawi. Perasaan kedua berasal dari pemenuhan diri, perasaan jiwa.

Berikut satu lagi perbandingan: Ingatlah perasaan Anda ketika Anda sukses, ketika Anda telah berhasil, ketika Anda menjadi nomor satu, ketika Anda memenangkan sebuah permainan atau perdebatan. Dan bandingkan dengan perasaan ketika Anda benar-benar menikmati pekerjaan yang sedang Anda lakukan, yang menyerap semua perhatian Anda, sesuatu yang saat ini sedang Anda lakukan. Dan sekali lagi perhatikan perbedaan kualitas antara perasaan duniawi dan perasaan jiwa.

Ada satu lagi perbandingan: Ingatlah perasaan Anda ketika Anda punya kekuasaan, ketika Anda jadi bos, orang-orang menghormati Anda, menjalankan perintah Anda; atau ketika Anda popular. Dan bandingkan perasaan duniawi itu dengan perasaan akrab, persahabatan, waktu-waktu ketika Anda sepenuhnya menikmati diri Anda ditemani seorang kawan atau sekelompok orang di mana ada hal yang menyenangkan dan tawa.

Setelah Anda melakukannya, cobalah memahami sifat sebenarnya dari perasaan duniawi, yaitu promosi diri dan pemujaan diri. Perasaan itu tidak alami, melainkan diciptakan oleh masyarakat Anda dan budaya Anda untuk membuat Anda produktif serta bisa dikendalikan. Perasaan itu tidak menghasilkan nutrisi dan kebahagiaan yang diperoleh ketika seseorang merenungkan alam atau menikmati hubungan dengan teman atau pekerjaannya. Perasaan itu dimaksudkan untuk menghasilkan getaran, gairah-dan kekosongan.

Lalu, amati diri Anda selama satu hari atau satu minggu dan pikirkan berapa banyak tindakan yang Anda lakukan, berapa banyak kegiatan Anda yang tidak terkontaminasi oleh hasrat akan getaran itu, gairah itu yang hanya menghasilkan kekosongan, hasrat akan perhatian, persetujuan, ketenaran, popularitas, kesuksesan, atau kekuasaan.

Dan lihatlah orang-orang di sekitar Anda. Adakah satu orang saja yang tidak kecanduan perasaan duniawi itu? Satu orang saja yang tidak dikendalikan olehnya, merindukannya, menghabiskan setiap menit baik secara sadar maupun tidak sadar mengejarnya? Ketika melihat hal itu, Anda akan mengerti betapa orang mencoba memperoleh dunia dan, dalam prosesnya, kehilangan jiwa mereka. Karena mereka menjalani kehidupan yang kosong dan tak berjiwa.

Dan inilah sebuah perumpamaan hidup untuk Anda renungkan: Sekelompok wisatawan duduk dalam bus yang melaju di daerah yang berpemandangan indah: danau dan gunung dan padang hijau dan sungai. Namun, mereka menutup tirai jendela bus. Mereka tidak tahu apa yang ada di balik tirai. Dan sepanjang perjalanan, mereka bertengkar tentang siapa yang akan duduk di kursi kehormatan dalam bus, siapa yang akan mendapat pujian, siapa yang akan dihormati, Dan demikianlah kelakuan mereka sampai perjalanan itu berakhir.

Apakah Anda mau menjadi seperti wisatawan-wisatawan itu yang hanya mengejar apa yang tidak kekal? Atau maukah Anda mau berubah menjadi seperti apa yang Allah inginkan bagi kita. Menjadi anak-anak-Nya yang mau mencari dahulu Kerajaan Allah dan kebenaranNya.

Sumber:
De Mello, Anthony. 1991. The Way to Love. PT Gramedia: Jakarta. (dengan perubahan seperlunya)

Siapa yang Membunuh Laut Mati?

Ada yang menyebar harta, tetapi bertambah kaya, ada yang menghemat secara luar biasa, namun selalu berkekurangan (Amsal 11:24)

Laut Mati itu mati karena “kekikirannya”. Tahun berganti tahun, laut itu senantiasa menerima aliran air dari Sungai Yordan dan beberapa pegunungan di sekitarnya tetapi tak pernah mengalirkan air keluar. Volume air di laut Mati berkurang karena proses penguapan bukan dengan mengalirkannya ke luar-ke sungai-sungai  atau laut lainnya. Akibatnya, laut Mati menjadi sangat asin karena air yang mengalami proses penguapan meninggalkan zat-zat mineralnya. Laut Mati memiliki kandungan 33,7% garam (8,6 kali lebih banyak dari kandungan garam di laut biasa). Derajat keasinan yang sangat tinggi ini menyebabkan laut Mati tidak dapat berfungsi sebagai laut yang merupakan tempat hidup ikan-ikan dan hewan laut lainnya. Ikan-ikan dan hewan laut lainnya tidak dapat hidup di dalam laut Mati karena terlalu asin.

Ada yang masuk, tetapi tidak pernah dialirkan keluar. Ini sama dengan orang yang selalu menerima makanan rohani dan berkat dari Tuhan tetapi tak pernah mau membagikannya kepada orang lain. Pada akhirnya, kehidupan rohaninya akan mati.

Seorang siswa menemui seorang dosennya dan mengeluh bahwa ia tidak mencapai kemajuan dalam pelajarannya. Lalu, ia bertanya apakah ia memang memerlukan seorang guru privat.

“Seorang guru privat?” kata profesor yang bijak itu. “Yang kamu butuhkan adalah seorang murid!”

Seorang pria berkata kepada saya, “Saya tidak belajar banyak dari Alkitab sampai saya mulai mengajar Sekolah Minggu. Sejak itu saya mulai membagikan Firman, dan bukan hanya menerima.” Cara yang paling baik untuk belajar adalah dengan mengajar orang lain. Berapa banyak yang Anda berikan setelah Anda menerima?

Murah Hati

Konsep murah hati bukan berbicara soal kebaikan memberi pada saat kelimpahan. Konsep murah hati di Perjanjian Lama mengajarkan bahwa murah hati berarti tidak menggenggam kuat-kuat harta kita. Kita harus terbuka pada orang yang membutuhkan, bahkan memberikan bantuan sesuai dengan yang diperlukan (Ulangan 15:8). Kitab Ulangan 15 juga mengingatkan bahwa ketika memberi hati kita tidak boleh berdukacita (Ulangan 15:10). Murah hati berarti memberi dengan hati yang tulus. Pada akhirnya di Ulangan 15 mengingatkan bahwa ketika kita sudah mampu memberi, itu berati kita harus mengingat bahwa dahulu kita juga bagian dari kaum yang pernah diberi / ditolong (Ulangan 15:15).

Alkitab juga mengajarkan bahwa konsep memberi jangan dibatasi oleh waktu (occasional). Amsal 21:26 memberitahu bahwa: kalau saja nafsu selalu mengikat manusia sepanjang waktu, dengan demikian hakekatnya keinginan untuk memberi tidak boleh terbatas oleh waktu.

Murah hati adalah adalah ekspresi kasih untuk memberi, yang dilakukan dengan sikap sukacita dan dengan kerelaan (2Korintus 9:7, 11). Memberi dengan sikap murah hati akan memberikan kepuasan yang sesungguhnya karena itulah yang diminta oleh Tuhan.

Sumber: http://alkitab.sabda.orghttp://www.asal-usul.com

-BD/Tim Karakter-

TAAT

Setiap Bulan April, maka umat Kristen di seluruh dunia akan mempersiapkan dirinya untuk memperingati hari Paskah. Beberapa rangkaian ibadah dan kegiatan dilakukan beberapa minggu menjelang hari Paskah dan pada hari Paskah itu sendiri. Misalnya, Rabu Abu, Kamis Putih, Jumat Agung, Perjamuan Kudus, pengakuan dosa, baksos, jalan sehat, games, perlombaan, dll. Namun seiring dengan berjalannya waktu dan berlalunya hari Paskah, seringkali yang tertinggal di dalam diri kita hanyalah serangkaian memori mengenai kegiatan-kegiatan tersebut dan ucapan syukur karena dosa-dosa kita telah ditebus. Pada kenyataannya, Paskah juga berbicara mengenai ketaatan. Ketaatan Yesus dalam rencana keselamatan dan ketaatan manusia sebagai umat yang telah diselamatkan.

Apakah taat itu? Pertanyaan ini sebenarnya adalah pertanyaan yang umum, dan rata-rata akan dijawab seperti ini: Taat adalah kemampuan untuk patuh menjalankan perintah. Jawaban tersebut tidaklah salah, namun juga tidak 100% benar. Taat bukanlah suatu kemampuan. Keberhasilan untuk taat tidak didasari oleh kekuatan atau kemampuan seseorang.

Yosua, sebagai penerus Musa untuk memimpin Bangsa Israel masuk ke Tanah Kanaan, sempat mengalami kebimbangan. Rupanya Yosua kaget bahwa dirinya dipilih untuk memimpin Bangsa Israel. Melihat Bangsa Israel yang bebal dan pelbagai perang sengit melawan musuh yang kuat, membuat Yosua gentar. Kemudian Musa berkata kepadanya “…kuatkan dan teguhkanlah hatimu…” (Yosua 1:6,7). Dari nasihat Musa ini, Yosua menjadi tahu, bahwa itu artinya dia tidak boleh berpaling dari perintah untuk memimpin Bangsa Israel. Dia harus tunduk pada perintah itu. Apapun rintangannya, Yosua harus menyelesaikan perintah Allah. Yosua mulai belajar mengenai ketaatan.

Taat atau tidak taat akan terlihat ketika seseorang berada di dalam situasi yang sulit. Tidak mudah mengatakan bahwa orang itu taat, bila dia berada di dalam situasi yang baik-baik saja. Ketaatan akan terlihat ketika seseorang diuji masuk dalam kebimbangan, kebingungan, ketakutan, atau perasaan-perasaan lainnya yang cenderung mendorong untuk lari dari perintah yang seharusnya dikerjakan.

Taat adalah sikap dan tindakan memusatkan perhatian serta mengusahakan untuk tetap sesuai dengan perintah yang diberikan untuk mencapai tujuan. Allah tidak hanya memberikan perintah-Nya, tetapi juga memberikan kunci atau cara yang tepat agar perintah tersebut berhasil dikerjakan. Untuk dapat taat, Alkitab mengajarkan agar kita merenungkan kebenaran Allah siang dan malam  (Yosua 1:8).

Manusia tidak bisa taat hanya dengan mengandalkan kekuatan diri sendiri, karena akan berhadapan dengan berbagai cobaan/rayuan. Bersama Allah, ketaatan akan membuahkan hasil. Karena Allah, yang tidak pernah berubah itu, Dia-lah yang akan mendampingi kita untuk memerangi cobaan atau rayuan si jahat.

Kisah ketaatan juga bisa kita lihat saat Yesus bergumul di Taman Getsemani (Matius 26:36-46). Yesus pada saat itu sebagai manusia mengalami ketakutan yang luar biasa, ketika Dia harus menghadapi saat penyaliban. Yesus dengan jujur mengatakan ketakutan-Nya, tetapi pada saat yang sama Dia juga berkata bahwa sekalipun berat, biarlah kehendak Bapa yang terjadi. “Ya Bapa-Ku, jikalau cawan ini tidak mungkin lalu, kecuali apabila Aku meminumnya, jadilah kehendak-Mu!” Yesus mau bertindak sebagai pribadi yang taat.

Pada akhirnya, kita mengetahui bahwa Yesus tetap menjalankan proses penyaliban itu tanpa mengeluh sepatah kata pun. Yesus mau memikul salib yang berat dan menyakitkan itu, untuk menebus dosa manusia. Ketaatan Yesus mengajarkan kepada kita bahwa di dalam taat membutuhkan pengorbanan dan penundukan diri. Ketika kita mau taat, maka kita juga harus mau menanggung resiko akibat ketaatan tersebut. Ketaatan selalu berhadapan dengan godaan. Kita sebagai manusia pasti tidak kuat menanggung godaan tersebut.

Bersyukurlah bila kita bisa memanggil nama yang ajaib itu, yaitu: Yesus. Yesus sudah membuktikan bahwa Dia adalah pribadi yang taat. Rintangan yang begitu hebat, bahkan maut yang menghadang, ternyata tidak bisa menghancurkan ketaatan-Nya. Maka, bila kita ingin taat menyelesaikan suatu perintah, janganlah ditanggung sendiri. Mintalahlah Yesus mendampingi diri kita. Karena kita akan digandeng-Nya melewati perjalanan ketaatan itu hingga tuntas. Taat bersama Yesus, pasti membuahkan kemenangan.

Meskipun peringatan Paskah baru saja kita lewati, namun demikian biarlah semangat Paskah terus menyala dalam kehidupan kita. Karena, melalui Paskah kita akan selalu diingatkan tentang ketaatan yang sejati.

BD/Tim Karakter

Tanggung Jawab; Panggilan atau Kewajiban

Tanggung Jawab

“Kami tidak bertanggung jawab atau berkewajiban atas setiap klaim, kerusakan, atau kerugian…”
“… Perhatikan barang bawaan Anda, kami tidak bertanggung jawab atas kehilangan…”
“Anda bertanggung jawab untuk menjaga barang bawaan Anda…”
“… kerusakan menjadi tanggung jawab Anda…”
Inilah beberapa kalimat yang sering kita dengar atau baca pada saat kita berada di suatu tempat, pada saat menaiki transportasi umum, atau pada saat kita menggunakan suatu jasa. Mengapa banyak orang yang lari, menghindari atau saling melempar tanggung jawab? Pertanyaan ini dapat kita jawab dengan memahami apa itu tanggung jawab.

 

Tanggung: panggilan atau kewajiban

Tanggung jawab dapat dipandang sebagai panggilan atau kewajiban. Ketika kita memandang tanggung jawab sebagai panggilan, maka kita akan melihatnya sebagai anugerah, hak istimewa yang diberikan Tuhan kepada kita. Karena anugerah adalah pemberian. Mengapa dikatakan sebagai anugerah dan hak istimewa? Karena pada dasarnya kita bukanlah siapa-siapa dan tidak memiliki apa-apa. Kita sebenarnya tidak layak dan tidak mampu mengerjakan tanggung jawab yang diberikan oleh Tuhan kepada kita. Mengapa demikian? Karena kita adalah ciptaan Tuhan sehingga segala sesuatu yang kita miliki bukanlah kepunyaan kita sendiri tetapi kepunyaan Tuhan yang dipercayakan oleh Tuhan pada kita. Jadi ketika kita tidak layak dan tidak mampu, siapa yang memampukan dan melayakkan kita? Hanya Tuhan. Tuhan yang berotoritas memanggil kita, membuat kita mau dan mampu mengerjakan tanggung jawab tersebut. Tuhan yang berotoritas memanggil dan memberikan tanggung jawab dan Tuhan yang memampukan kita dalam mengerjakannya.

Sebaliknya, pada saat kita memandang tanggung jawab sebagai kewajiban, maka kita akan melihatnya sebagai suatu beban. Ketika tanggung jawab dipandang sebagai beban, maka akan muncul tuntutan. Kita merasa dituntut untuk melakukan sesuatu sehingga kita tidak akan melakukan pekerjaan kita dengan sukacita dan rela hati, tetapi dengan keterpaksaan.

 

Tanggung jawab: Berkat atau Beban

Ketika kita menganggap tanggung jawab sebagai panggilan, maka kita akan melihat tanggung jawab sebagai berkat. Kita akan merasa berharga dan dihargai ketika diberikan tanggung jawab dan akan melakukannya dengan sukacita. Kita akan mendekat, mencari, mengingini dan memiliki kerinduan untuk melakukan tanggung jawab tersebut, bukan menghindarinya. Misalnya, mengingini berada di rumah agar dapat melayani anak dan suami, mengingini suatu tugas yang memberikan kesempatan kepada kita untuk dapat berinteraksi dan melayani siswa untuk memenuhi panggilan dan kerinduan hati kita sebagai guru atau staff, dll.

Namun, ketika kita menganggap tanggung jawab sebagai kewajiban maka kita akan melihat tanggung jawab sebagai beban, sehingga tidak akan ada sukacita di dalam hati pada saat melakukannya. Hal ini akan menyebabkan munculnya keluhan, rasa tidak puas dan rasa kecewa yang membuat kita cenderung menghindari tanggung jawab tersebut. Misalnya, menyalahkan anak atas nilai-nilai buruk yang ia miliki dan tidak pernah merasa puas atas gaji suami atau nilai anak, menghindari tugas tambahan untuk mengurus dan memperhatikan siswa, dll.

 

Sikap ketika diberikan tanggung jawab

Ketika kita menganggap tanggung jawab sebagai panggilan, maka kita akan bersyukur dan melakukan yang terbaik pada saat dipanggil untuk suatu tanggung jawab. Kita juga akan setia dalam menjalani setiap proses dari panggilan tanggung jawab tersebut. Meskipun proses tersebut mengharuskan kita untuk melakukan hal-hal kecil, sederhana, sepele atau rendah menurut pandangan dunia. Karena kita tidak akan pernah bisa setia pada perkara besar jika kita tidak setia pada perkara yang kecil. “Barang siapa setia dalam perkara-perkara kecil, ia setia juga dalam perkara-perkara besar. Dan barangsiapa tidak benar dalam perkara-perkara kecil, ia tidak benar juga dalam perkara-perkara besar (Lukas 16:10). Kita akan tetap setia menjalani proses tersebut sebagai bentuk ucapan syukur pada Tuhan atas panggilan yang diberikan-Nya pada kita.

Ketika kita menganggap tanggung jawab sebagai kewajiban, maka kita akan menuntut imbalan pada saat diberikan tanggung jawab. Pada saat diberikan tanggung jawab maka kita akan selalu bertanya “Apa yang akan saya dapatkan dari tanggung jawab ini?” Kita akan menimbang-nimbang apakah tanggung jawab tersebut akan menghasilkan imbalan yang menguntungkan bagi kita atau tidak. Ketika menguntungkan maka kita cenderung akan mengerjakannya dengan maksimal, sebaliknya ketika tidak menguntungkan maka kita akan mengerjakannya dengan berat hati dan berkeluh kesah. Misalnya, menuntut kenaikan gaji ketika kita diberikan sedikit tambahan pekerjaan diluar apa yang tertulis di dalam perjanjian kerja, dll. Dan pada saat kita tidak mendapatkan apa yang kita tuntut, maka kita akan menjadi kecewa, diperlakukan tidak adil atau dirugikan.

 

Relasi yang terbentuk dalam tanggung jawab

Relasi yang terbentuk pada saat kita menganggap tanggung jawab sebagai panggilan dan anugerah adalah relasi “si pemberi dan si penerima”. Gambaran relasinya adalah seperti aliran air yang terus mengalir, dimana apa yang sudah diberikan oleh si pemberi akan diteruskan oleh si penerima kepada penerima lain dan seterusnya. Bukan relasi timbal balik dimana si penerima akan membalas atau membayar apa yang telah diberikan oleh si pemberi kepadanya. Kita mengasihi orang lain karena sudah dikasihi oleh Tuhan, memberi kepada orang lain karena sudah diberi oleh Tuhan, mengampuni orang lain karena sudah diampuni oleh Tuhan. Di dalam relasi “si pemberi dan si penerima”, si pemberi tidak akan pernah mengharapkan balasan dari si penerima, karena siapakah yang sanggup membalas kasih Tuhan? Siapa yang sanggup memberi kepada Tuhan? Siapa yang dapat mengampuni Tuhan, apakah Tuhan pernah salah?.

Selain relasi “si pemberi dan si penerima”, maka relasi lain yang terbentuk adalah “being”. Karena telah menjadi istri, maka harus melayani suami. Karena telah menjadi karyawan maka sudah seharusnya bekerja dengan sungguh-sungguh. Pada saat “being”, maka kita tidak akan membandingkan diri dengan orang lain karena kita sadar sepenuhnya bahwa kita mau dan mampu hanya karena Tuhan. Sehingga tidak akan ada perasaan iri atau tidak adil di dalam hati kita. Misalnya, tidak akan merasa diperlakukan tidak adil karena orang lain yang lebih malas memiliki gaji yang lebih besar, istri tidak akan marah kepada suami meskipun ia telah bekerja keras membereskan rumah dan suami tidak mau membantu, dll.

Relasi yang terbentuk pada saat kita menganggap tanggung jawab sebagai kewajiban adalah relasi timbal balik, relasi tuntutan, sehingga akan selalu ada kata “seharusnya”. Karena saya sudah menjadi ibu kamu, seharusnya kamu menuruti kata-kata Ibu, karena saya sudah bekerja keras, maka seharusnya saya diberikan kenaikan gaji, karena saya sudah menjadi istri yang baik, maka seharusnya kamu mengasihi saya, dll.

 

Motivasi dalam melakukan tanggung jawab

Pada saat tanggung jawab dipandang sebagai panggilan yang adalah anugerah, maka motivasi dalam melakukan tanggung jawab adalah ungkapan syukur, “giving”. Penerima tanggung jawab akan selalu berusaha memberi yang terbaik dalam mengerjakan tanggung jawab atas dasar ungkapan syukur kepada Tuhan. Misalnya, ketika guru mendapatkan anak yang memiliki masalah perilaku perilaku di kelasnya, maka ia tidak akan merasa sial. Namun ia tetap bersyukur dan akan mau memberi perhatiannya untuk membantu siswa tersebut. Dan pada saat ia belum berhasil, maka ia tidak akan menyalahkan dirinya atau siswa melainkan terus berusaha dan mencari cara-cara lain yang dapat ia lakukan untuk membantu siswa tersebut.

Jika tanggung jawab dipandang sebagai kewajiban, maka motivasi dalam melakukan tanggung jawab adalah ingin mendapatkan sesuatu, “taking”. Kualitas dari pengerjaan tanggung jawab akan di dasarkan pada seberapa banyak yang akan ia dapatkan. Pada saat penerima tanggung jawab melakukan yang terbaik, ia melakukannya untuk mendapatkan sesuatu yang menguntungkannya, apakah itu imbalan atau pujian dari orang lain. Misalnya melakukan yang terbaik dalam pelayanan agar mendapatkan berkat dari Tuhan, melakukan yang terbaik dalam pekerjaan agar mendapatkan promosi, dll.

 

Respon terhadap hasil dari pelaksanaan tanggung jawab

Ketika tanggung jawab dipandang sebagai panggilan, maka kita menyadari bahwa pemilik tanggung jawab itu adalah Tuhan dan kita hanyalah orang yang dipanggil untuk ambil bagian dalam pengerjaannya. Dengan demikian, maka kita akan dengan sadar mengakui bahwa bagian terbesar dalam pengerjaan tanggung jawab adalah Tuhan sedangkan bagian kita sangat kecil sekali dan itupun berada di dalam bagian Tuhan. Mengapa? Karena hanya Tuhanlah yang membuat kita mampu untuk melakukan tanggung jawab tersebut. Sehingga pada saat tanggung jawab yang kita kerjakan membuahkan hasil, maka kita akan dengan sadar mengembalikan hasil tersebut untuk Tuhan, terlepas dari apakah hasilnya berhasil atau gagal, menang atau kalah. Semuanya adalah milik Tuhan dan hanya untuk Tuhan saja. Dengan demikian, hasil dari pengerjaan tanggung jawab yang kita lakukan tidak dikaitkan dengan diri sendiri, tetapi dikaitkan bagi Tuhan, kepada Tuhan, dari Tuhan, dan oleh Tuhan.

Jadi, apakah kita boleh bangga atau kecewa? Pada saat tanggung jawab yang kita kerjakan berhasil, kita tidak boleh bangga untuk diri sendiri tetapi bangga untuk Tuhan. Kita tidak boleh mengklaim apa yang seharusnya menjadi milik Tuhan. Demikian juga sebaliknya, pada saat kita gagal mengerjakan tanggung jawab, kita tidak boleh kecewa, menyesali diri atau menyalahkan Tuhan tetapi justru melihat apa yang menjadi rencana Tuhan lewat kegagalan yang kita alami. Hal ini akan membuat kita tidak berorientasi pada hasil, tetapi pada proses. Misalnya, pada saat gaji kita masih kecil, maka kita tidak melihatnya sebagai hasil tetapi sebagai proses apa yang Tuhan inginkan melalui kejadian ini, pada saat memiliki anak autis, maka kita tidak melihatnya sebagai hasil; “Mengapa anakku seperti ini?”, tetapi sebagai proses; “Apa rencana Tuhan pada anak ini?”.

Ketika tanggung jawab sipandang sebagai kewajiban, maka orientasi kita selalu pada hasil, bukan proses. Misalnya, saya harus menang agar tidak menjadi malu. Kita juga akan menganggap bahwa kitalah yang memiliki bagian yang terbesar dari pengerjaan tanggung jawab tersebut, sedangkan Tuhan hanya memililki bagian yang sangat kecil atau tidak memiliki bagian sama sekali. Sehingga ketika tanggung jawab tersebut membuahkan hasil, maka kita akan mengklaim hasil tersebut untuk diri sendiri. Jika hasilnya adalah suatu keberhasilan atau kemenangan, maka kita akan merasa bangga atau menjadi sombong. Sebaliknya, ketika hasilnya adalah suatu kegagalan, kekalahan atau sesuatu yang tidak sesuai dengan harapan atau target yang telah kita tentukan, maka kita akan merawa kecewa, menyalahkan diri sendiri, merasa bersalah, dll. Misalnya, kita akan berkata paduan suara ini menjadi bagus karena saya yang melatihnya, proyek ini berhasil karena saya telah bekerja keras, nilai saya jelek karena saya anak yang bodoh, dll.

Tanggung jawab, panggilan atau kewajiban? Semuanya kembali lagi pada diri kita masing-masing memandangnya sebagai apa. Tetapi sebagai seorang Kristen yang telah ditebus oleh Tuhan, sudah seharusnya kita memandangnya sebagai panggilan yang merupakan anugerah dan berkat untuk kita. Hal ini dengan kesadaran penuh bahwa segala sesuatu adalah dari Dia, dan oleh Dia, dan kepada Dia: Bagi Dialah kemuliaan sampai selama-lamanya! (Roma 11:36). Biarlah pandangan yang baru membawa kita pada motivasi, sikap dan respon yang benar terhadap tanggung jawab. Sehingga kita akan meresponi setiap tanggung jawab yang diberikan kepada kita dengan ucapan syukur serta mengerjakannya dengan sungguh-sungguh dan dengan hati yang bersuka cita, hanya untuk Tuhan dan bukan untuk mendapatkan keuntungan pribadi ataupun pujian dari manusia. “Apapun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia.” (Kolose 3:23). Dan biarlah setiap hasil yang kita peroleh dengan penuh kesadaran selalu kita kembalikan hanya bagi kemuliaan Tuhan saja.

(Charlotte Priatna)

 

“Apapun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia.” (Kolose 3:23)

 

 

Pengendalian Diri

self control

“Sesudah itu dibasuhnyalah mukanya dan ia tampil ke luar. Ia menahan hatinya dan berkata: “Hidangkanlah makanan.”” (Kejadian 43:31). Narasi yang pendek ini mengisahkan tentang Yusuf, yang saat itu sedang dilanda emosi yang begitu hebat tatkala dia yakin bahwa yang berada dihadapannya adalah saudara-saudaranya. Kasihnya kepada Benyamin, adik yang seibu dengan dia, membuat luapan emosinya menggelagak tak tertahankan. Tangis hebat tumpah di dalam kamarnya. Yusuf digambarkan seperti seseorang yang sedang terkejut bahwa kerinduan bertemu dengan saudara-saudaranya terwujud tanpa disangkanya.

Gambaran luapan emosi Yusuf memang hanya digambarkan dalam 2 ayat saja, yaitu ayat 30 yang menceritakan luapan emosi Yusuf, dan ayat 31 yang menggambarkan emosinya mulai dikendalikan. Sekalipun demikian, kedua ayat tersebut perlu kita lihat sebagai suatu hal yang luarbiasa. Betapa tidak, perpisahan Yusuf dengan saudara-sadaranya telah berlangsung selama 2 dekade (+/- 20 tahun). Perpisahan yang tidak sebentar, terlebih perpisahan tersebut terjadi dalam suasana yang penuh dengan amarah dan benci. Yusuf menjadi korban amarah saudara-saudaranya, bahkan Yusuf adalah korban pembunuhan terencana. Apabila kita menempatkan diri sebagai Yusuf, yaitu sebagai seorang korban amarah dan benci tanpa alasan yang jelas, bukan tidak mungkin di dalam hati kita akan tersusun rencana yang lebih rapi untuk membalas dendam. Simulasi tersebut bukanlah suatu hal hal yang aneh. Dendam dibayar dengan dendam, benci dibayar dengan benci. Dunia mengajarkan norma seperti itu. Namun, bagaimana dengan dendam dibalas dengan kasih?

Pengendalian diri adalah ungkapan kasih. Demikianlah Firman Tuhan menyatakan hal itu melalui kisah sejati Yusuf. Cara Yusuf mengendalikan diri cukup dituliskan melalui 1 ayat saja (ayat 31).  Luapan emosi Yusuf juga digambarkan tidak berlebihan, secukupnya. Manusia yang normal pasti membutuhkan luapan emosi, menyatakan perasaan yang paling dalam. Alkitab menegaskan bahwa Yusuf yang sudah mengenal Tuhan, dan mengerti benar bahwa hidupnya berada di bawah kuasa kasih Tuhan. Sehingga, kasih Tuhan yang sudah dia rasakan harus dikembalikan kepada orang-orang disekelilingnya. Yusuf mau taat pada konsep tersebut, yaitu apa yang sudah Tuhan berikan pada dirinya harus dibagikan dan dikembalikan sebagai sikap yang benar kepada sesamanya.

Kasih tidak dapat diungkapkan dalam suasana hati yang emosional.  Pengendalian diri menolong kita untuk tidak terjebak berada di luar kasih. Apabila Yusuf mau untuk tidak mengendalikan dirinya, maka bisa saja semua saudaranya dikurung dalam penjara yang gelap. Yang pasti, bila hal itu dilakukan oleh Yusuf, maka dia tidak bisa menerima kehangatan keluarganya lagi. Bahkan, mungkin saja Yusuf akan mati merana oleh karena dicengkram rasa benci.  Pengendalian diri menolong dan memberikan Yusuf  rasa damai untuk kembali menikmati kehangatan keluarga yang dicintainya. Pengendalian diri memberikan keuntungan yang berlimpah.

Suatu kesia-siaan apabila kita mengatakan bahwa kita adalah orang percaya, tetapi tidak  berusaha mengendalikan diri untuk tetap bisa mempertahankan wujud kasih Tuhan dalam kehidupan kita kepada sesama.

            BD/ Tim Karakter

SHEPHERDING TIME, Melihat dan meniru cara Yesus mengajar (Markus 4:1, 33-34)

gambar

Markus 4:1

Pada suatu kali Yesus mulai pula mengajar di tepi danau. Maka datanglah orang banyak yang sangat besar jumlahnya mengerumuni Dia, sehingga Ia naik ke sebuah perahu yang sedang berlabuh lalu duduk di situ, sedangkan semua orang banyak itu di darat, di tepi danau itu.

 

Pada suatu saat, Yesus hendak mengajar kembali di Danau Galilea. Banyak orang berkerumun untuk mendengar pengajaran Yesus. Saat itu Yesus memandang penting, bahwa setiap orang harus bisa melihat diriNya dengan jelas, agar apa yang diajarkanNya dapat didengar dan diperhatikan oleh orang-orang tersebut. Yesus ingin memastikan bahwa kesempatan untuk mendengar kebenaran pada saat itu, haruslah menjadi kesempatan yang menjawab. Artinya, ketika kebenaran disampaikan, maka setiap orang yang mendengarnya akan mendapatkan jawaban atas setiap pergumulannya masing-masing. Yesus mengerti benar, bahwa kebenaranNya adalah jawaban yang paling tepat bagi setiap manusia.

 

Oleh karena itu, Yesus memutuskan untuk berkhotbah menyampaikan pengajaranNya dengan cara berdiri di atas perahu, yang dengan sengaja ditempatkan agak jauh dari tepi danau, sehingga semua orang mendapatkan arah pandang yang sama untuk melihat dan sekaligus mendengar Yesus mengajar. Mungkin saja dengan arah angin laut (angin berhembus dari laut (danau) menuju daratan), maka suara Yesus akan  menjadi terdengar lebih jelas oleh orang banyak yang berada di darat. Sehingga, dapat dipastikan bahwa Yesus telah memikirkan tehnik penyampaian yang tepat.

 

Kerumunan orang yang begitu banyak, tidak menjadi hambatan bagi Yesus untuk tetap menyampaikan isi hati Bapa. KehendakNya untuk memberikan kebutuhan rohani bagi setiap orang yang membutuhkannya, entah orang tersebut menyadari atau tidak menyadari bahwa dirinya membutuhkan kebenaran Allah,  adalah kehendak yang tetap. Kehendak yang tetap adalah kehendak yang tidak dipengaruhi oleh situasi atau kondisi. Kehendak yang tetap adalah kehendak yang didorong oleh kasih  yang membuatNya tidak lagi fokus pada  kenyamanan diri. KenyamananNya adalah ketika dipastikan setiap orang dapat mendengar isi hati Bapa, dan hidup di dalamnya.

 

Dikatakan bahwa: “datanglah orang banyak yang sangat besar jumlahnya mengerumuni Dia,”  hal ini mau memberikan kenyataan bahwa ada kebutuhan yang sangat besar mengenai kebenaran. Tidak ditulis bahwa orang banyak itu mendapat undangan atau tidak untuk datang di Danau Galilea untuk mendengar khotbah Yesus. Diperkirakan bahwa orang banyak tersebut memang mengikuti Yesus, dan jumlahnya semakin banyak oleh karena orang-orang di sekitarnya menjadi penasaran untuk mengetahui seperti apakah pengajaran Yesus itu. Sementara, orang-orang lain yang sudah pernah mendengar pengajaran Yesus, dan tetap terus setia mengikuti Yesus berkeliling, dapat dipastikan bahwa mereka adalah orang-orang yang telah mendapatkan kepuasan hidup atas kebenaran yang didengarnya dari Yesus. Kepuasan tersebut pada akhirnya bisa menjadi materi promosi yang ampuh mengenai indahnya kebenaran hati Bapa. Orang-orang yang telah dipuaskan oleh kebenaran pengajaran Yesus, menjadi kesaksian hidup yang tak henti-hentinya mengajak orang lain untuk ikut serta hidup sebagai pendengar dan pelaku Firman Tuhan.

Markus 4:33-34

33 Dalam banyak perumpamaan yang semacam itu Ia memberitakan firman kepada mereka sesuai dengan pengertian mereka, 34 dan tanpa perumpamaan Ia tidak berkata-kata kepada mereka, tetapi kepada murid-murid-Nya Ia menguraikan segala sesuatu secara tersendiri.

 

Yesus tidak menyia-nyiakan kesempatan pada saat itu. Dia sungguh mengenal profile jemaat yang berkumpul pada saat itu. Orang-orang Galilea yang dikenal sebagai penduduk yang sederhana membutuhkan penuturan yang pas sesuai dengan kemampuan edukasinya. Setidaknya, pendekatan yang dipakai Yesus untuk menyampaikan ajaranNya adalah melalui konteks kehidupan sehari-hari penduduk di sana. Penyampaian ilustrasi tentang dunia perkebunan, bercocok tanam, menjadi jembatan yang ampuh untuk membuat jemaat menjadi celik dan mengerti (walaupun dikatakan oleh Alkitab bahwa murid-murid Yesus kurang mengerti mengenai ilustrasi tersebut).

 

Yesus menyampaikan ajaranNya melalui pengertian yang dapat diterima oleh orang-orang. Markus mengatakan, bahwa: Yesus menguraikan segala sesuatu dengan cara tersendiri. Yesus sungguh-sungguh berusaha mencari segala cara untuk menyampaikan isi hati Bapa kepada setiap orang.

 

Athalia memandang hal ini sebagai bagian yang perlu diterapkan, dan dijadikan sebagai keseharian antara guru dengan murid. Shepherding time adalah bentuk konkrit bahwa Athalia ingin merespon bahwa setiap murid harus mendapatkan jawaban bagi kebutuhan rohaninya, sebagai fondasi pembentukan karakter. (karakter adalah buah Roh, yang haya akan dapat bertumbuh jika anak hidup dekat dengan Tuhan).

 

Shepherding time adalah bentuk pertemuan khusus antara murid dengan guru, sebagai gembala kelas. Kekhususan tersebut sama seperti secara khusus Yesus menempatkan diriNya agar dengan jelas dapat dilihat dan didengar oleh orang-orang yang mengerumuniNya. Demikian pula guru akan menempatkan dirinya secara khusus, dalam kesempatan  shepherding time,  sebagai pribadi yang hendak berbagi hidup, menceritakan bagaimana Yesus bertindak sebagai Tuhan dan Juru Selamat.

 

Shepherding time adalah waktu yang secara khusus dipersiapkan untuk mempertemukan murid pada Yesus melalui pengalaman hidup anak, sesuatu yang dekat dengan hidup anak sehari-hari. Diharapkan melalui hal itu, murid bisa melihat lebih jelas lagi tentang Yesus. Bahkan, murid bertumbuh menjadi pribadi yang haus mencari kebenaran. Sehingga mau terus berduyun-duyun mengikut Yesus. Murid menjadi pribadi yang tak segan untuk bertanya dan berdiskusi dengan gurunya mengenai Yesus. Lebih dari itu, murid  juga menjadi pribadi yang puas akan anugerahNya. Sehingga, dia akan menjadi pribadi kokoh, berkarakter ilahi (godly character). Setiap kesulitan hidup yang akan menghadangnya, tidak lagi menjadi bagian yang mengejutkan kehidupannya. Oleh karena dia memiliki karakter sebagai anak Tuhan, yaitu pribadi yang selalu merespon hidup ini sesuai dengan kehendakNya saja.

 

(Oleh: BD/  Tim karakter)