Anak adalah Kertas Berwarna

Teach your children they’re unique. That way, they won’t feel pressured to be like everybody else.” –Cindy Cashman

Kita sering mendengarkan orang berkata bahwa “Anak itu seperti kertas putih. Sekarang tergantung kita mau menuliskan kertas itu seperti apa…”

Padahal, anak hadir ke dunia dengan keunikannya sendiri. Jika diibaratkan seperti kertas, anak adalah kertas berwarna dengan jenis yang berbeda-beda. Ada kertas folio, kertas kalkir, kertas duplex, dan lain sebagainya. Tekstur dan karakteristik kertas-kertas tersebut berbeda sehingga peruntukannya pun berbeda. Perlakuan terhadap kertas-kertas tersebut pun tentu berbeda.

Ibu Charlotte menegaskan bahwa selain seperti kertas berwarna, anak juga seperti kertas yang sudah punya tulisan-tulisan di dalamnya. Anak memiliki sifat dan karakteristik bawaan. Oleh karena itu, sangat mungkin satu anak berbeda dengan kakak atau adiknya. Namun, yang awam dilakukan orang tua, yaitu memperlakukan anak-anaknya sama rata. Mereka juga memberikan ekspektasi yang sama kepada anak-anaknya. Akibatnya, ketika ada anak yang tidak berhasil melakukan pencapaian sesuai ekspektasi orang tuanya, perbandingan-perbandingan terlontar. “Si A kenapa nggak bisa displin seperti adiknya?” “B itu sukanya main bola terus, susah disuruh belajar. Nggak seperti kakaknya yang sudah sadar untuk belajar tanpa disuruh….”

Komparasi ini tentunya sangat berbahaya bagi anak-anak yang diperbandingkan. Selain menimbulkan rasa iri, sakit hati, dan kecewa, anak bisa merasakan benih-benih kebencian kepada saudara yang diperbandingkan dengannya. Efeknya, sibling rivalry bisa terjadi di dalam keluarga.

Tuhan sudah memiliki tujuan untuk anak-anak kita. Atas dasar tujuan tersebut, Tuhan membekali anak-anak kita dengan kekurangan dan kelebihan. Ketidaksempurnaan itu juga yang kita miliki. Ada beberapa hal yang kita kuasai dan tidak. Lalu, mengapa kita cenderung menuntut kesempurnaan pada anak-anak kita? Mengapa kita menuntut mereka untuk bisa meraih nilai tinggi di pelajaran yang tidak dikuasainya? Mengapa kita menuntut anak untuk bisa melakukan sebuah keterampilan, sedangkan dari awal dia menunjukkan bahwa dia tidak cakap melakukannya?

Ketidaksempurnaan yang Tuhan berikan sudah sesuai “porsinya” karena Tuhan tahu bahwa itu tidak dibutuhkan untuk tujuan Tuhan kepada anak-anak kita. Sebagai orang tua, kita hanya bisa mendorong anak untuk menerima kekurangannya dan mengasah kelebihannya untuk menjadikannya seturut kehendak Tuhan. (dln)

*Disarikan dari video Ibu Charlotte Priatna oleh Tanam Benih berjudul “Benarkah Anak itu Ibarat Kertas Putih Kosong?”

Pojok Parenting: Trauma Seksual pada Anak Usia Dini

Sex education tentang cara menangani anak dengan trauma seksual menjadi sebuah kebutuhan. Namun, tak banyak yang sudah memiliki kemahiran dasar dalam menangani anak-anak dengan kasus berat ini. Dalam praktiknya, banyak yang akhirnya mengalami kebingungan ketika anak datang dengan kisah yang begitu memilukan.

Dalam seminar “Pencegahan dan Pemulihan Trauma Seksual pada Anak Usia Dini” yang diselenggarakan oleh LK3, para fasilitator menjabarkan mengenai trauma seksual yang dialami anak. Trauma seksual pada anak merupakan interaksi antara anak dan orang dewasa atau anak lainnya. Korban “digunakan” sebagai seksual stimulator dari pelaku.

Trauma seksual bisa berbentuk macam-macam, tak hanya terbatas pada rabaan, tetapi juga voyeurism (mencoba melihat tubuh telanjang anak), exhibitionism (memperlihatkan alat kelamin), sampai menyuruh anak melihat dan menonton gambar porno (pornografi).

Salah satu fasilitator, Nona Pooroe Utomo, menyatakan bahwa 1 dari 4 anak perempuan dan 1 dari 6 anak laki-laki mengalami trauma seksual sebelum usia 18 tahun. Mirisnya, kebanyakan dari kasus tersebut tidak pernah dilaporkan. Alasan kuat atas ketakutan anak untuk melapor kepada orang tuanya, yaitu ketakutannya terhadap pelaku, yang pada umumnya adalah orang yang dia kenal dan percaya. Sebanyak ¾ kasus pelecehan seksual yang terlaporkan menunjukkan bahwa pelakunya adalah orang kepercayaan keluarga atau bahkan anggota keluarga.

Berikut beberapa gejala umum yang sering ditunjukkan oleh anak yang mengalami trauma seksual.

  • Mengalami mimpi buruk/sulit tidur
  • Menarik diri
  • Mudah marah/meledak
  • Cemas
  • Depresi
  • Tidak mau ditinggal sendiri, khususnya dengan orang tertentu.
  • Pengetahuan seksual, penggunaan bahasa, dan perilaku yang tidak sesuai dengan umur anak.

Lalu, apakah anak-anak akan pulih dari trauma ini ketika mereka beranjak dewasa? Tergantung kondisi si anak. Ada anak yang tangguh, yang dengan pendekatan konseling yang efektif, serta dukungan dari keluarga, dapat pulih dari pengalaman buruknya dan menjalani hidup yang normal di kemudian hari.

Namun, bagi anak-anak yang lebih sensitif dan fragile, pengalaman trauma tersebut mungkin akan sangat menyakiti hatinya dan meninggalkan luka yang cukup dalam. Dengan konseling yang berkelanjutan, anak bisa terus mendapat pendampingan dalam menghadapi hari-harinya. Namun, ada pula anak yang tak pernah mendapatkan penanganan terhadap trauma seksual yang dialaminya dan di masa dewasanya menjadi pelaku, homoseksual, atau kecanduan pornografi.

Sekolah, sebagai institusi pendidikan dan rumah kedua anak, bisa menjadi wadah bagi anak-anak yang pernah mengalami trauma seksual. Para konselor bisa difungsikan dengan optimal untuk mendampingi anak-anak tersebut dalam proses pemulihan. Bekerja sama dengan keluarga sebagai support system, sekolah bisa mengupayakan agar anak bisa menjalani hari-harinya. Namun, untuk kasus trauma yang lebih berat, sekolah bisa merujuk anak untuk melakukan konseling berkelanjutan ke psikolog khusus atau bahkan psikiater—jika trauma sudah mengganggu aktivitas anak.

Penanganan anak dengan trauma seksual
Ketika anak datang kepada guru atau konselor dan mengaku bahwa dia telah mengalami kekerasan seksual, berarti anak sudah menunjukkan kesiapan untuk mendapatkan pendampingan. Pada seminar kali ini, Julianto Simanjuntak memaparkan beberapa langkah awal yang bisa dilakukan dalam mengonseling anak dengan kasus ini.

  1. Memvalidasi/meneguhkan. Anak mendapatkan validasi akan keberanian untuk mengungkapkan kasusnya butuh keberanian yang sangat besar bagi anak untuk akhirnya mau membagikan kisah pahitnya. Di sini, guru perlu menunjukkan peneguhannya agar anak merasa bahwa keputusannya adalah langkah yang tepat.
  2. Berempati. Baik bagi konselor/guru untuk menunjukkan empatinya terhadap hal yang dialami anak agar anak merasakan kenyamanan. Pastikan anak mengetahui bahwa guru/konselor akan terus mendampinginya selama proses pemulihan.
  3. Normalisasi. Ketika anak menceritakan pengalamannya dan menyatakan bahwa dirinya malu dan sangat terpukul, guru/konselor perlu menegaskan bahwa perasaan-perasaan tersebut sangat normal terjadi. Bantu anak untuk menerima perasaannya.
  4. Menasihati. Langkah ini bisa ditawarkan kepada anak dengan tanpa unsur paksaan. Biarkan anak memutuskan apakah dia sudah siap diberi masukan atau hanya perlu “teman bicara”. Ketika anak siap diberi masukan, ajak anak untuk mempertimbangkan apakah sudah saatnya dia untuk jujur kepada keluarga atau mengikuti konseling intensif dengan psikolog atau psikiater. (dln)

Seminar Parenting SMA: Generasi Zaman Now vs Ortu Zaman Old

Children are our second chance to have a great parent-child relationship. –Laura Schlessinger

Ketika kita menjadi anak, kita mendapatkan didikan dari orang tua kita yang berbeda generasi dengan kita. Gaya parenting orang tua kita mungkin tak sempurna. Ada beberapa hal yang membuat kita tak mendapatkan kebutuhan kita, khususnya relasi dan bonding dengan orang tua.

Gaya parenting zadul (zaman dulu) yang cenderung kaku dan memunculkan jarak antara anak-orang tua membuat anak kesulitan “mengakses” orang tua mereka. Orang tua merasa perannya sebatas pemenuh kebutuhan fisik anak tanpa mengetahui bahwa anak pun membutuhkan relasi yang lebih dalam.

Ketika kita sekarang menjadi orang tua, kita belajar dari pengalaman masa lalu saat menjadi anak. kekecewaan dan kepahitan yang kita rasakan pada orang tua kita sebaiknya tak terulang kepada anak kita. Seperti kutipan Laura Schlessinger di atas, kehadiran seorang anak dalam hidup kita memberikan kita kesempatan kedua untuk memiliki relasi orang tua-anak yang lebih baik dari yang kita miliki dulu.

Menjalin relasi yang sehat dengan anak, khususnya yang berusia remaja, bisa menjadi salah satu cara kita, sebagai orang tua, untuk mendampingi anak menghadapi dunia yang besar ini. Relasi yang sehat akan membuat anak merasa nyaman dan memberikan kepercayaan penuh kepada orang tuanya dan menjadikan orang tua sebagai tempat berbagi.

Dalam seminar parenting bertema “Generasi Zaman Now vs Ortu Zaman Old” yang dipimpin oleh Ibu Charlotte, orang tua siswa SMA kelas 10, 11, 12 kembali diajak untuk semakin mengenal anak-anak mereka. Dalam salah satu sesi yang dibawakan oleh guru agama dan konselor, orang tua mendapatkan wawasan baru mengenai karakteristik umum generasi Z, yang merupakan generasi anak-anak mereka. Kemudian, Ibu Charlotte melengkapi data tersebut dengan memaparkan kondisi-kondisi yang terjadi berkaitan dengan relasi orang tua-anak.

Ibu Charlotte menekankan bahwa ada perbedaan karakteristik antara generasi X (para orang tua) dengan generasi Z yang cukup signifikan. Oleh karena itu, sering terjadi friksi di antara kedua generasi tersebut. Sebagai orang tua, kita diharapkan lebih memahami karakteristik anak zaman now dan menghadapi mereka dengan cara yang lebih persuasif, ketimbang cara otoriter.

Seminar ini diadakan dengan maksud membukakan wawasan para orang tua mengenai perilaku anak-anak mereka, serta langkah-langkah sederhana untuk bisa “berdamai” dengan perbedaan pandangan di antara orang tua dan anak. Walau tak semua kasus tentang relasi terungkap pada seminar ini, setidaknya para orang tua lebih memahami karakteristik umum anak-anak mereka dan diharapkan mau mengubah gaya parenting mereka untuk memiliki relasi yang lebih sehat dengan anak-anak mereka. (dln)

Dampak dari Ayah yang “Hilang”

Hubungan ayah dan anak merupakan hubungan yang kompleks. Tak seperti hubungan anak dengan ibunya, yang sudah terjalin bonding di antara keduanya sejak anak di dalam kandungan, hubungan ayah-anak memerlukan pemeliharaan jangka panjang dengan komitmen penuh.


Budaya Timur yang masih memegang teguh patriarki membuat ayah menjadi “The Provider Father” yang lebih banyak menghabiskan waktu di luar rumah untuk mencari nafkah demi memenuhi kebutuhan keluarganya. Dengan begitu, fungsi ayah hanya berpusat pada fungsi secara ekonomi, mencukupkan kebutuhan finansial keluarganya.


Oleh sebab itu, konsep ayah atau kepala rumah tangga lebih banyak dipahami sebagai seorang provider, penyedia. Kesuksesan seorang ayah dilihat dari jabatannya di kantor dan seberapa banyak dia bisa memberikan penghidupan untuk keluarganya. Konsep ini membuat ayah-ayah berfokus pada pencapaian karier dan kondisi finansial dan menarik diri dari urusan rumah tangga.


Dampaknya, anak-anak mereka, khususnya anak laki-laki, merasakan kekosongan besar dalam dirinya akan sosok maskulin dalam perkembangan emosinya. Anak laki-laki, ketika beranjak remaja dan dewasa, sangat memerlukan seorang patron atau pembimbing yang mengawalnya memasuki fase pencarian jati diri. Anak-anak yang merasakan kekosongan ini pada akhirnya mencari sosok maskulin pada orang lain, entah itu pemusik yang diidolakannya atau gurunya di sekolah.


Ketidakhadiran ayah dalam hidup anak-anak mereka juga akan membuat relasi di antara mereka sulit terbangun dengan harmonis. Akan ada gap yang terjadi, yang membuat anak enggan untuk berbagi perasaannya dengan ayahnya. Begitu juga si ayah yang merasa tak perlu mengetahui seluk-beluk perasaan anaknya—karena mereka pun di masa remajanya tertempa untuk tumbuh sendiri dan menemukan maskulinitas dengan cara mereka sendiri.


Pemahaman-pemahaman inilah yang membuat banyak ayah tak memiliki emosi yang matang. Mereka cenderung memendam perasaan, tak banyak bicara, dan menjaga jarak dengan anggota keluarga lainnya—untuk membentuk kesan bahwa ayah adalah sosok superior yang perlu ditakuti.


Relasi di antara ayah dan anak pada akhirnya tumbuh menjadi sebuah hubungan berjarak yang membuat komunikasi akan sulit terjalin. Dampaknya, akan sering terjadi kesalahpahaman yang membuat ayah berpikir bahwa anaknya pembangkang, sementara sang anak berpikir bahwa ayahnya terlalu kolot dan tidak mau memahami perasaannya. Jika dibiarkan, anak akan semakin menjauh dan memilih untuk menghindari komunikasi dengan ayahnya. Anak pun akan merasa bahwa ayahnya tak mengasihinya, dan yang paling ekstrem, merasa tak diinginkan.


Pdt. Julianto Simanjuntak memaparkan dalam artikel “Absent Fathers, Lost Sons” dalam buku Mendidik Anak utuh Menuai Keluarga Tangguh bahwa dampak ketiadaan keintiman antara anak dengan ayah bisa sangat luas. Ketidakpercayaan akan kualitas dan kemampuan diri adalah salah satunya. Anak kehilangan kemampuan untuk menjadi dirinya sendiri dan mengalami kesulitan untuk mengambil keputusan. Beberapa anak juga mengalami masa-masa remaja yang sangat sulit yang membuat mereka terjerumus ke dalam berbagai tindakan negatif, seperti menarik diri dari lingkungan sosial, mengonsumsi narkoba, merokok, gaya hidup seks bebas, serta kecanduan game online dan gadget. Dalam artikel ini, Pdt. Julianto menekankan bahwa para ayah harus mau mengambil inisiatif untuk meminta maaf kepada anak dan menambal luka yang sudah pernah ditabur agar terjadi rekonsiliasi di antara ayah-anak sehingga mereka bisa membangun kembali hubungan baru yang lebih berkualitas dan intim. (dl)

Menerapkan Godly Parenting

Memiliki anak adalah sebuah anugrah dari Tuhan yang selayaknya kita syukuri. Anak, sebagai kepunyaan Allah yang dititipkan kepada kita, menjadi berkat sekaligus tanggung jawab kita sebagai orangtua.

Sebagai seorang Kristen, sudah sepatutnya kita mengajarkan anak mengenai nilai-nilai kerohanian. Mereka harus diajar untuk mengenal Tuhan dan memaknai kehadiran Tuhan dalam setiap langkahnya.

Oleh karena itu, setiap orangtua Kristen diharapkan menerapkan godly parenting. Godly parenting ini merupakan cara mengasuh anak hanya berdasarkan kehendak Tuhan. Menjadikan Tuhan sebagai hal yang utama, prioritas kita.

Prioritas ini yang perlu terus kita jaga. Bersama pasangan, kita saling menguatkan dan mengingatkan bahwa kemuliaan bagi Tuhan adalah keutamaan yang hakiki. Kita berkomitmen untuk menyatakan kemuliaan-Nya melalui kehidupan kita.

Prinsip hidup inilah yang harus dihidupi di dalam keluarga kita. Dari orangtuanyalah seorang anak akan mengenal Tuhan dan memuliakan Tuhan. Inilah maksud dari godly parenting.

Cara ini juga bisa kita gunakan ketika mendampingi anak dalam membuat keputusan-keputusan penting dalam hidupnya. Semestinya kita mengesampingkan keinginan pribadi mengenai pilihan hidup anak kita. Ada banyak orangtua yang mungkin masih menyimpan mimpi-mimpinya yang belum sempat tercapai. Ada pula yang ingin mempertahankan “jejak karier” keluarga. Tuntutan-tuntutan inilah yang menjadi momok bagi gaya parenting kita, ketika kita lebih mementingkan kehendak kita semata dan tak menyertakan Tuhan di dalamnya.

Bijaknya, kita membiarkan anak kita memilih jalan hidupnya sendiri. Kita hanya perlu membimbingnya dalam jalan Tuhan dan memberikan wisdom agar anak mau ikut Tuhan dan menjadikan Tuhan sebagai sandaran dan tempat bertanya: apa yang Tuhan inginkan dari saya?” Biarkan Tuhan sendiri yang berbicara kepada anak kita: ingin dipakai sebagai apa dirinya di muka bumi ini?

Inilah esensi dari tugas kita sebagai orangtua, yaitu sebagai pemandu perjalanan hidup anak. Tugas kita untuk mendampingi anak dan menjadi rekan sekerja Allah. Dapat diilustrasikan bahwa saat ini kita berada di tengah-tengah, tangan yang satu berpegang kepada Allah dan tangan lainnya menggenggam tangan anak kita. Sepanjang anak kita membutuhkan pendampingan, kita tak boleh melepaskan genggaman tersebut. Yang perlu kita lakukan justru menularkan nilai-nilai yang sudah Tuhan ajarkan kepada kita. Kita percaya bahwa kehidupan anak kita berada dalam pimpinan Tuhan, dan Tuhan memakai kita sebagai orang tua untuk menjadi perpanjangan tangan Tuhan. Tetapi akan ada masa dimana anak harus memilih jalan hidupnya sendiri. Melepaskan genggaman tangan kita sebagai orang tua dan menyerahkan anak kita untuk langsung dibimbing oleh Tuhan. Sementara itu, kita memegang tangan Tuhan yang lainnya. Di sini, posisi Tuhan berada di tengah, sebagai center of life.

Godly parenting memastikan bahwa anak-anak suatu hari nanti akan menggenggam erat sendiri tangan Tuhan. Kita sebagai orangtua hanya bisa mengawasi mereka dari kejauhan. Sebisa mungkin kita perlu menuntunnya dengan penuh kebijaksanaan, membawanya sendiri kepada Tuhan. Jika kita lalai melakukan ini, ketakutan terbesar kita adalah anak akan “dicengkeram” kuasa lainnya, yang bisa saja kuasa duniawi yang akan membuatnya semakin jauh dari kebenaran firman Tuhan. (DLN)

(Disarikan dari materi seminar Ibu Charlotte Priatna)

Seminar Parenting “Addiction”, 16 Maret 2019

Narasumber: CHARLOTTE PRIATNA, M. Pd.

Kecanduan? Wah, jauhlah itu dari saya.”
“Saya orang yang tahu batasan, tidak mungkin kecanduan.”
Umumnya orang akan menolak jika dikatakan bahwa dirinya kecanduan sesuatu. Pemberitaan di media massa banyak memberi informasi addiction/kecanduan yang erat kaitannya dengan narkoba, pornografi, obat terlarang. Tetapi ternyata kecanduan banyak aspeknya.

Seminar yang berlangsung Sabtu, 16 Maret 2019 di Sekolah Athalia ini dibawakan oleh Ibu Charlotte Priatna, M. Pd. mengangkat tema “Addiction”. Kecanduan terjadi ketika sesuatu tidak bisa tidak dipenuhi, sesuatu yang mengikat, bahkan sangat mungkin hal kecanduan terjadi pada sesuatu yang justru ingin dihindari atau dibenci oleh seorang pecandu. Berawal karena sebuah keterpikatan, lalu terjerat, dan terikat, kemudian menjadi nikmat, sampai akhirnya tidak bisa keluar dari jerat. Bentuk-bentuk addiction sangat banyak diantaranya: rokok, alkohol-alkoholic, pekerjaan-workaholic, belanja-shopaholic, sex-sexaholic, judi, obat-obatan, narkoba, kopi, games, porn, cutting, aica aibon, tatoo, gadget, drama Korea.

Seminar yang diadakan di Sekolah Athalia ini dihadiri oleh 129 peserta dari dalam dan luar komunitas Athalia. Pada sesi kedua seminar ini, acara dilanjutkan dengan talkshow yang mengundang Andrew Timothy, seorang yang pernah terjerat pada kecanduan game online. Kesaksian Andrew juga diperkuat dengan kesaksian sang ayah, yaitu Bp. Yantje Korompis beserta istri dan kedua anaknya yang lain. Apa yang disampaikan oleh kelima narasumber kesaksian tersebut menguatkan apa yang disampaikan oleh Ibu Charlotte bahwa penyebab Addiction adalah: hilangnya keintiman (ketidakhadiran orang tua, hubungan yang lemah), kesepian (pelarian untuk mengisi kekosongan), kepribadian seseorang yang lemah (kurang percaya diri, ketrampilan diri yang tidak dikembangkan, pengaruh lingkungan sosial yang buruk).

Orang yang rentan pada kecanduan adalah mereka yang memiliki harga diri yang rendah, depresi, orang yang memiliki masalah dalam hubungan keluarga, orang yang tidak memiliki relasi yang dekat dengan Tuhan. Kita perlu memikirkan hal apa saja yang harus kita lakukan agar anak-anak atau diri kita tidak terjerat pada kecanduan. Dampak dari kecanduan diantaranya adalah: kesehatan yang terganggu, emosi yang berubah (menutup diri, mudah tersinggung, depresi, meledak-ledak), dalam relasi sosial cenderung menyendiri, egois, menutup diri, dan ada perubahan kebiasaan dalam hidupnya misalnya pola hidup yang berubah, berkata-kata yang buruk, prestasi menurun, hutang yang menumpuk, dan lain sebagainya.

Kecanduan yang paling banyak menjerat anak-anak pada umumnya adalah kecanduan pada game. Untuk menolong mereka tidak terjerat pada kecanduan tersebut, para orang dewasa yang terlibat dalam pendidikan anak perlu memperhatikan kebutuhan mereka. Anak-anak membutuhkan 3P: Penerimaan, Penghargaan, dan Pengakuan dari orang terdekat mereka. Anak-anak membutuhkan komunitas yang membangun, dan berbagai alternatif kegiatan lain yang bisa mengembangkan diri dan talenta mereka, dan alternatif untuk mengisi waktu mereka. Singkatnya, untuk menolong mereka para orang tua perlu: mencarikan kegiatan pengganti selain game, mengembangkan hobi anak, menjadikan keluarga sebagai tempat dimana anak merasakan relasi dalam kasih yang dibangun oleh orang tua, keluarga yang saling mendukung, mau mengembangkan kebiasaan baik bersama, dan keluarga yang mau terus bertumbuh dalam kasih, serta para orang tua yang mau terlebih dahulu menjadi teladan bagi anak-anaknya. (Penulis: Nostalgia Pax Nikijuluw, kabag PK3).

Listening with Your Heart: Salah Sambung or Susah Sinyal?

Narasumber: charlotte priatna, M.Pd.

Listening With Your Heart – Salah Sambung or Susah Sinyal? Adalah tema pada seminar yang diadakan pada hari Sabtu, 24 November 2018 yang lalu. Peserta seminar kali ini adalah orang tua dan anak-anak remaja usia SMP. Seminar bagi orang tua dipandu oleh Ibu Charlotte, sedangkan seminar bagi remaja dipandu oleh Bapak Boris Manurung dan Ibu Meilita Kitting Manurung.


Komunikasi orang tua dan anak akan menjadi “salah sambung” atau “susah sinyal” ketika anak-anak mulai tumbuh menginjak fase remaja. Pada fase ini, kenapa anak-anak sudah tidak mau mendengarkan kita lagi sebagai orang tua? Hal ini dikarenakan mereka sudah tidak respect lagi. Mengapa mereka menjadi tidak respect? Hakekatnya, hal tersebut bisa terjadi disebabkan dari segala apa yang telah kita perbuat kepada mereka. Nah, pada seminar ini, kita belajar bersama bagaimana membuat komunikasi antara orang tua dan anak yang “salah sambung” or “susah sinyal”, bisa “nyambung” kembali. Komunikasi bisa kembali terjalin hangat dan berkualitas.


Hal pertama adalah “Listen – Silent”, suatu padanan kata yang unik, yang mengisyaratkan bahwa proses mendengar haruslah dalam situasi yang hening atau tenang. Dalam situasi yang tenang, kita akan lebih mudah untuk fokus memperhatikan orang yang sedang kita dengarkan.

“Hai saudara-saudara yang kukasihi, ingatlah hal ini: setiap orang hendaklah cepat untuk mendengar, tetapi lambat untuk berkata-kata, dan juga lambat untuk marah“
(Yakobus 1:19)

Sebagai manusia kita diberikan dua telinga, dua mata, dan satu lidah oleh Tuhan. Kita diingatkan agar senantiasa lebih banyak mendengar, lebih banyak melihat, dan sedikit bicara.

Dalam proses mendengar, semestinya apa pun yang kita dengar dapat mengendap dulu, sehingga kita menjadi lambat untuk berkata-kata dan lambat untuk menjadi marah.

Kata “mendengar” dalam bahasa Cina, mengandung beberapa unsur karakter atau kata yang terdiri dari “telinga”, “raja”, “sepuluh”, “mata”, “satu”, dan “hati”. Rangkaian kata-kata ini menjadi petuah bagi kita bahwa setiap kali kita mendengar dengan telinga, perlakukan orang yang kita dengar itu seperti Raja yang sedang berbicara kepada kita, dan apabila kita memiliki sepuluh mata, gunakan semuanya, fokuslah pada satu titik saja dan libatkan hati kita selama proses mendengar berlangsung.

Mendengar adalah suatu seni yang aktif, mendengar dengan seksama kemudian menjawab. Hentikan segala aktivitas ketika anak kita menunjukkan keinginan akan bicara. Ketika dalam situasi terpaksa kita belum bisa meninggalkan aktivitas kita, katakan bahwa setelah menyelesaikan pekerjaan, kita akan mendengarkannya. Dan saat kita berbicara atau bertanya, kita perlu mempersiapkan pertanyaan-pertanyaan yang kreatif untuk diajukan kepada anak-anak kita (bukan mempertanyakannya). Bukan dalam suasana bising tapi dalam keheninganlah kita akan dapat mendengarkan suara anak-anak kita. Bahkan dalam keheningan pulalah kita akan dapat mendengarkan suara Tuhan melalui Roh Kudus yang siap mendukung kita saat hal yang terburuk mungkin akan disampaikan oleh anak-anak kita. Dengan mendengar secara baik dan benar, kita akan semakin bisa mengenal anak-anak kita lebih dalam. Ketika kita mau mendengar dengan sepenuh hati, kita pun bisa belajar hal-hal yang baru dari anak-anak kita.


Saat kita mendengarkan anak-anak berbicara menyampaikan isi hati mereka, pastikan kita tetap fokus, tidak menyela, dan memberikan judgement ataupun kritikan terlebih dulu sebelum proses mendengar selesai.

“Jikalau seseorang memberi jawab sebelum mendengar, itulah kebodohan dan kecelaannya” (Amsal 18:13)

Selama proses mendengar, biarkan anak-anak kita berbicara, tunjukkan kerendahan hati kita.


Kerendahan hati untuk menerima apapun hal terburuk yang akan mereka sampaikan. Kita sebagai orang tua harus berani terbuka dan jujur dalam berkomunikasi dengan anak-anak kita sejak anak-anak kita mulai tumbuh dewasa. Hal ini dibutuhkan untuk menjaga dan mempertahankan relasi yang baik. Jangan terlalu memaksakan anak-anak kita selalu “harus” mendengarkan apa yang kita katakan.

“Karena itu sempurnakanlah suka citaku
dengan ini: hendaklah kamu sehati sepikir,
dalam satu kasih, satu jiwa, satu tujuan,
dengan tidak mencari kepentingan sendiri atau puji-pujian yang sia-sia. Sebaliknya hendaklah dengan rendah hati yang seorang menganggap yang lain lebih utama dari pada dirinya sendiri”
(Filipi 2:3-5)

Jangan egois, namun kita perlu lebih rendah hati mau mendengarkan dan memperhatikan perasaan mereka, karena anak-anak kita bisa menjadi lebih baik dari kita. Kelak, anak-anak kita tidak akan mengingat kata-kata kita, melainkan mereka akan mengingat kesan apa yang telah dia rasakan, apa yang dia alami. Terlebih penting lagi, maafkan kesalahan anak-anak kita, sekalipun mereka tidak meminta maaf. Jangan diungkit-ungkit lagi kesalahan mereka, karena sebenarnya mereka itu lemah dan tak berdaya.

Dengan menjadikan komunikasi berlangsung hangat, kita akan menciptakan suatu relasi yang dekat antara orang tua dan anak. Relasi yang kuat, akan menumbuhkan komunikasi yang sehat. Jadi, inti dari mendengar adalah mendengarkan dengan hati. (LY)

Tuhan Yesus memberkati.

Building The Nation By Building Your Children

artikel parenting
Oleh: Beryl Sadewa Lumenta, guru SMP

 

Negara adalah struktur sosial terbesar dalam suatu bangsa. Negara tersusun dari unit-unit sosial lain yang lebih kecil yang saling mempengaruhi dalam hubungan yang kompleks. Unit sosial terkecil itu adalah keluarga. Kalau negara digambarkan sebagai sebuah rumah, maka batu pondasinya, ubin pada lantainya, batu bata pada dindingnya, dan genteng pada atapnya adalah penggambaran dari kumpulan keluarga.

Peran keluarga yang sangat penting, dalam unit sosial terkecil inilah, generasi penerus bangsa muncul, tumbuh, dan berkembang. Kuat lemahnya mereka, sangat tergantung pada kondisi keluarga tempat mereka tumbuh dan berkembang. Masa depan bangsa tergantung pada generasi mudanya. Jika generasi muda kuat, maka akan kokoh pulalah bangsa itu, namun jika mereka lemah, akan rapuhlah bangsa itu. Dengan kata lain, keluarga yang sehat, akan menghasilkan generasi muda yang kuat, dan pada gilirannya akan menghasilkan bangsa yang kokoh.

Banyak di antara kita para orang tua, yang mungkin kurang menyadari pengaruh keberadaan keluarga kita bagi perkembangan bangsa, khususnya bangsa Indonesia. Kita mengakui bahwa seorang duta besar yang bertugas di luar negeri dikatakan sedang menjalankan tugas negara. Begitu pula seorang tentara yang diutus ke perbatasan untuk memperkuat pertahanan. Demikian juga sama halnya dengan seorang dokter yang diutus ke pedalaman Papua untuk mengatasi masalah gizi buruk dan wabah campak. Bagaimana dengan peran kita sebagai orang tua? Kita mungkin bukan duta besar, tentara atau dokter, tapi kita juga sedang menjalankan tugas negara yang tidak kalah pentingnya dengan mereka, kita sedang mendidik generasi muda penerus bangsa.

Mungkin ada yang berpikir bahwa pendidikan anak adalah tanggung jawab guru dan sekolah. Kalau demikian adanya, saya terpaksa harus mengatakan bahwa pernyataan itu salah. Guru dan sekolah TIDAK pernah dimaksudkan untuk menggantikan peran orang tua dan keluarga. Guru dan sekolah adalah rekan sekerja orang tua dan keluarga dalam mendidik anak. Seperti yang tertulis dalam Ulangan 6, bahwa orang tua diberikan mandat untuk mendidik anak-anak mereka.

Ada tiga aspek dasar dalam pendidikan: aspek kognitif atau pengetahuan, aspek afektif atau sikap/karakter, dan aspek psikomotor atau keterampilan. Mungkin tidak semua orang tua memiliki pengetahuan atau keterampilan yang diperlukan oleh anak untuk dipelajari, dalam hal inilah guru dan institusi sekolah berperan. Dalam pembentukan karakter anak, orang tua dan guru sama-sama berperan dalam membentuk karakter anak. Meskipun demikian, Tuhan memberikan tanggung jawab pendidikan atau pembentukan karakter anak kepada orang tua.

Ulangan 6:7 mengatakan : “… haruslah engkau mengajarkannya berulang-ulang kepada anak-anakmu dan membicarakannya apabila engkau duduk di rumahmu, apabila engkau sedang dalam perjalanan, apabila engkau berbaring dan apabila engkau bangun.” Ada dua implikasi dari ayat tersebut. Yang pertama adalah bahwa pendidikan (karakter) tidak dapat dilakukan sesekali (apalagi hanya sekali saja) melainkan harus terus-menerus. Yang kedua, pendidikan karakter terhadap anak hanya efektif bila dilakukan dengan cara “bergaul akrab” dengan anak.
Cara terbaik dalam memberikan pendidikan karakter bagi anak adalah dengan menjadi teladan bagi mereka sebab telinga anak mungkin tertutup terhadap nasihat, tetapi matanya selalu terbuka melihat teladan. Dan cara apakah yang lebih baik bagi orang tua dalam memberikan teladan bagi anak-anaknya selain dengan bergaul akrab dengan mereka? Tuhan Yesus tinggal dengan murid-murid-Nya supaya Ia dapat bergaul akrab dengan mereka. Murid-murid Tuhan Yesus setiap hari selalu melihat teladan dari Sang Guru. Di sini tampak jelas bahwa peran orang tua tidak tergantikan oleh guru. Guru tidak mungkin bersama-sama dengan anak setiap hari, sedangkan orang tua tinggal bersama anak.

Walaupun demikian, ada perbedaan besar antara berada di tengah anak-anak, dengan hadir di tengah-tengah mereka. Kita bisa saja berada bersama-sama dengan anak-anak kita, namun mereka tidak merasakan kehadiran kita. Keberadaan kita bisa mereka rasakan kalau ada interaksi antara kita dengan mereka. Pelajaran-pelajaran paling berharga bisa anak-anak kita dapatkan pada saat kita sedang beraktivitas bersama mereka. Momen-momen penting dapat muncul tiba-tiba, kesempatan baik bagi kita untuk menyampaikan nilai-nilai moral kepada anak-anak kita.

Ketika kita membangun karakter anak-anak kita, kita sedang mempersiapkan anak-anak kita menghadapi masa depannya; dan masa depan anak-anak kita adalah masa depan bangsa dan negara kita. Kita sebagai orang tua mengambil bagian yang sangat penting dalam membangun bangsa kita. Bahkan mungkin kita mempunyai peran yang lebih besar dari yang kita bayangkan; karena pemimpin bangsa kita di masa depan bisa jadi salah satu dari anak-anak kita.

Mengenali “Panggilan” Anak

Oleh: Tri Ananda, Kabag SDM Sekolah Athalia

parenting, mengenali panggilan anak

“Apa sih yang kau tahu?”, sebuah kalimat yang mungkin pernah kita sebagai orang tua atau guru perkatakan kepada anak atau siswa kita. Kalimat yang dikatakan bisa secara langsung ataupun hanya dalam hati. Perkataan tersebut biasanya muncul karena sebuah pemahaman bahwa sebagai orang yang lebih dewasa, orang tua atau guru sudah mempunyai “banyak” pengalaman hidup. Pengalaman hidup yang membuat orang dewasa dapat merasa sudah banyak tahu, dan mempunyai pra-anggapan bahwa anak atau siswa tidak “banyak” mengerti atau kurang berpengalaman.
Saat anak atau siswa kita masih kecil, pra-anggapan itu diterima oleh anak tanpa perlawanan. Tetapi ketika anak beranjak remaja, maka ada tuntutan adanya pembuktian atas pra-anggapan tersebut. Jika orang tua tidak mampu membuktikan pra-anggapannya maka yang terjadi adalah pertentangan bahkan mungkin pemberontakan. Apakah pertentangan atau pemberontakan ini harus terjadi? Hal tersebut bisa tidak terjadi. Dengan cara menghilangkan pra-anggapan atau sikap “underestimate” terhadap anak. Sebaliknya, mengembangkan sikap “trust” kepada anak. Bukankah akan lebih tentram apabila relasi kita sebagai orang tua/guru dengan anak bisa berjalan dengan baik? Bagaimana caranya?
Rasul Paulus memberikan nasihatnya dalam bentuk “penguatan” dan “kepercayaan” kepada Timotius sebagai generasi yang lebih muda dalam melakukan tugas panggilannya, untuk: “Beritakanlah dan ajarkanlah semuanya itu. Jangan seorang pun menganggap engkau rendah karena engkau muda…” (1 Timotius 4: 11 – 12). Dalam lanjutan dari pasal ini, diungkapkan faktor-faktor yang mendukung keberhasilan dalam menjalankan tugas panggilan bukan faktor usia melainkan berkenaan dengan faktor keteladanan dalam perkataan, tingkah laku, kasih, kesetiaan dan kesucian. Keteladanan inilah yang membuat orang meskipun dia masih muda bisa dipercaya dan mampu menjalankan tugas-tugas yang diembannya. Ini juga yang seharusnya dilakukan orang tua kepada anak/anak didiknya.
Orang tua terlebih dahulu memberikan teladan baik dalam perkataan, tingkah laku, kasih, kesetiaan dan kesucian kepada anaknya. Sehingga anak/siswa bersedia melakukan dengan senang hati hal-hal yang sudah diteladankan oleh orang tuanya. Orang tua harus memberikan kepercayaan kepada anak/siswanya mulai dari tanggung jawab dalam perkara yang kecil, sampai mereka siap untuk melakukan tanggung jawab dalam perkara-perkara yang besar (Matius 25: 23).
Oleh karena itu ketika orang tua/guru ingin mengenali “panggilan” anak, maka sebagai landasannya adalah membangun kepercayaan. Orang tua atau guru mulai belajar memberikan kepercayaan kepada anak-anak, dan hal ini akan menolong anak untuk mengenali panggilannya sendiri. Bimbingan orang tua, tanpa adanya pemaksaan kehendak orang tua kepada anak sangat dibutuhkan. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah hindari pemenuhan semua keinginan anak atau memanjakan anak tanpa ada “tali kekang” sedikit pun. Hal ini akan membuat anak/siswa lepas kendali dan terlanjur menjadi susah untuk dikendalikan.
Dalam kitab Hosea 11:4 dituliskan, “Aku menarik mereka dengan tali kesetiaan, dengan ikatan kasih”. Jadi “tali kekang” yang harus dikenakan kepada anak/siswa kita adalah tali kesetiaan dengan ikatan kasih, bukan tali yang membelenggu mereka sehingga mereka memberontak untuk melepaskan diri dari tali itu dan apabila terlepas menjadi “liar” tak terkendali.
Jadi langkah-langkah praktis yang bisa kita pikirkan dan lakukan dalam upaya untuk mengenali “panggilan” anak/siswa kita, adalah:

  1. Dengarkan apa yang menjadi mimpi-mimpi/keinginan mereka.
  2. Ujilah mimpi-mimpi/keinginan mereka dengan pertanyaan-pertanyaan reflektif, misalnya: Apakah sudah dipikirkan konsekuensinya bagi diri anak, keluarga, teman, dan masyarakat? Apakah anak/siswa mampu dan tahan dalam menjalankan semua konsekuensi itu?
  3. Apabila anak/siswa sudah firm dengan dirinya sendiri , bahwa ia akan mampu/tahan menjalankan dan menghadapi konsekuensinya, maka kita dapat mempersilahkan anak/siswa untuk menjalani “panggilan” yang menjadi pilihannya.
  4. Terus lakukan monitoring bila dalam prosesnya anak/siswa memerlukan dukungan, coaching ataupun counseling. Bahkan, pantau terus untuk mendapati bilamana ada kebutuhan mereka melakukan redefinisi terhadap “panggilan” yang dipilihnya.

Apabila ada kebutuhan untuk redefinisi, maka kita akan mulai lagi dengan langkah pertama, sehingga dalam prakteknya akan terus terjadi siklus aksi – refleksi – aksi.
Tulisan ini adalah sebuah tawaran, buah pemikiran dalam rangka menolong anak/siswa untuk mengenali “panggilan”nya. Perihal penerapannya, hal ini sangat bergantung pada sikap yang diambil. Pemaparan ini juga bukan merupakan formula yang kaku, tetapi bisa disesuaikan dengan konteks yang kita hadapi. Selamat mencoba.

Seminar Parenting “Dealing with Child Tantrums”

Acara yang dilaksanakan pada Sabtu, 25 November 2017 di Aula F Sekolah Athalia ini, berlangsung dari jam 08.00 sampai dengan jam 13.00 WIB. Sebagai pembicara adalah ibu Hanlie Muliani, M.Psi, Psikolog, seorang penulis buku “How to Deal with Your Child“.

Peserta yang hadir dalam seminar ini berjumlah sekitar 186 orang tua yang terdiri dari orang tua siswa Athalia, guru, dan beberapa peserta dari luar. Seminar ini diadakan dengan tujuan untuk menolong orang tua dalam bersikap ketika menghadapi anak yang tantrum, memahami kondisi anak dan mengerti apa yang menjadi penyebab anak tantrum, juga untuk belajar bersabar dalam menghadapi anak tantrum dengan tips yang diberikan oleh pembicara.

Hasil dari seminar ini adalah banyak orang tua yang diberkati dengan pengetahuan yang baru mereka dapatkan, membuka pikiran orang tua untuk menghadapi anak tantrum pada tahap usia tertentu, dan memberikan ide kepada orang tua dalam mencegah dan mengatasi konflik dengan anak menggunakan kemampuan yang efektif.

seminar_tantrum

seminar_tantrum

seminar_tantrum

seminar_tantrum

seminar_tantrum

seminar_tantrum

seminar_tantrum

seminar_tantrum

seminar_tantrum

seminar_tantrum