Mendidik Anak dengan Benar Sejak Awal

Oleh: Beryl Sadewa Lumenta, guru SMP

parenting

Tahun baru, identik dengan awal yang baru. Sering kali orang mengawali tahun dengan membuat resolusi tahun baru, yang biasanya berupa komitmen untuk melakukan sesuatu yang baik. Mengapa di awal tahun? Karena, disadari atau tidak, kita tahu bahwa melakukan sesuatu yang baik dan benar, jika dimulai dari awal, maka hasilnya akan maksimal.

Hal yang sama berlaku di dunia parenting. Semua orang tua yang baik, pasti menginginkan anaknya tumbuh menjadi pribadi yang baik pula; taat, disiplin, bertanggung jawab, sabar, inisiatif, dan lain-lain. Jika kita mulai mendidik anak kita sejak dini, maka hasilnya juga akan lebih baik. Lebih mudah mendidik anak agar memiliki karakter yang baik daripada memperbaiki karakter mereka ketika mereka sudah beranjak remaja, atau bahkan dewasa.

Masalahnya, hal tersebut ternyata tidak mudah, dan yang paling sulit adalah bagaimana mendidik anak agar konsisten melakukan apa yang benar.. Kalau sekedar memberitahu mereka apa yang baik dan tidak baik, atau mendorong mereka melakukan apa yang baik dan benar sesekali, tentu tidak terlalu sukar. Lantas bagaimana caranya?

Ada 3 hal yang harus kita perhatikan.
Yang pertama, anak membutuhkan teladan dari orang tuanya. Ada pepatah mengatakan bahwa telinga anak mungkin tertutup terhadap nasehat, tapi matanya selalu terbuka melihat teladan. Ketika kita konsisten melakukan apa yang benar, maka anak kita akan cenderung meneladani perilaku kita, demikian pula sebaliknya. Percuma kita menasehatkan satu hal kepada anak kita, tapi anak kita melihat hal yang tepat berkebalikan dengan apa yang kita katakan.

Yang kedua, harus ada kesehatian antara Ayah dan Ibu. Artinya, Ayah dan Ibu harus memiliki nilai-nilai yang sama, dan harus sepakat mengenai apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan anak. Misalnya, ketika orang tua mau mengajarkan tanggung jawab kepada anak, dengan meminta dia merapikan mainannya. Ayah dan Ibu harus sepakat bahwa anak harus merapikan mainannya. Jika Ayah berkeras anak membereskan mainannya, tapi Ibu membolehkan anak untuk tidak membereskan mainannya, misalnya, maka anak akan cenderung mencari-cari celah untuk tidak melakukan tanggung jawabnya, dibalik kata-kata: “Kata Ibu boleh”sehingga akan sulit mengharapkan anak konsisten membereskan mainannya.

Yang terakhir, kita sebagai orang tua, harus bergaul akrab dengan anak-anak kita. Sediakanlah waktu untuk melakukan berbagai hal bersama-sama dengan mereka. Bermain, menonton, jalan-jalan, membaca buku, atau berolahraga bersama. Proses pendidikan karakter dalam keluarga adalah proses transfer nilai dari orang tua kepada anak-anaknya. Dan transfer nilai ini mustahil terjadi tanpa interaksi antara orang tua dan anak. Kalau sekedar transfer pengetahuan saja, bisa kita lakukan dengan memberi anak-anak kita nasehat, tapi tidak dengan transfer nilai. Sering kali saat yang paling tepat untuk mengajarkan nilai-nilai yang kita percayai kepada anak adalah saat kita sedang melakukan aktivitas sederhana bersama anak-anak kita. Momen-momen itu sering kali muncul saat kita sedang bersama-sama dengan anak-anak kita, kita yang perlu peka melihat momen-momen tersebut. Pernah suatu kali sedang duduk menunggu pesanan makanan di restoran, dan anak saya tiba-tiba bertanya: “Papi, aku kalau berdoa makan kan hampir selalu sama tuh kata-katanya, kira-kira Tuhan bosen gak, ya?” Sebenarnya, saat itu adalah momen yang sangat tepat untuk saya mengajarkan kepada anak saya mengenai sikap hati saat berdoa, tapi sayang, saat itu saya hanya bisa tertawa karena tidak siap menangkap momen yang muncul tiba-tiba.

Jika kita melakukan ketiga hal tersebut secara konsisten, maka akan lebih mudah bagi anak-anak kita untuk konsisten melakukan apa yang benar. Selamat mencoba.

Seminar Parenting “Raising Strong And Tough Children”

Acara dilaksanakan Sabtu, 19 Agustus 2017 di Aula F Sekolah Athalia.
Dengan judul “Raising Strong And Tough Children”.

Jumlah peserta yang hadir sekitar 460 orang tua.

Tujuan dari acara ini adalah untuk membawa pengertian bagi setiap orang tua yang hadir untuk mampu:
1. membuat anak-anaknya bisa mandiri, tidak bergantung pada orang lain.
2. mempersiapkan anak-anak untuk bisa melalui proses yang tidak menyenangkan bagi anak. Kesulitan dan tantangan menjadi bagian dalam menjalani proses tersebut.
3. memotivasi anak-anak untuk memiliki daya tahan dan daya juang dalam diri untuk mampu melewati ujian-ujian dalam hidupnya.

Hasil dari seminar ini:
Banyak orang tua yang diberkati dengan pengetahuan yang baru mereka dapatkan.
• Melihat bagaimana jika seandainya anak mengalami kegagalan dan bagaimana cara mendampinginya.
• Membiarkan anak belajar mengatasi kesulitannya sendiri tanpa terburu-buru menawarkan bantuan.
• Menyiapkan diri kita sendiri menjadi pribadi yang tangguh, karena anak-anak akan melihat bagaimana kita menghadapi kesulitan.

 

Peran Ayah Dalam Keluarga

(Mazmur 128)

 

Dalam zaman modern saat ini, banyak keluarga Kristen yang kehilangan fungsi dan perannya. Berbagai kesibukan kerja dan aktifitas yang padat membuat banyak keluarga tidak bisa menikmati kebersamaan satu dengan yang lain. Rumah cuma tempat istirahat setelah melakukan aktifitas dan pekerjaan. Tidak ada altar keluarga, tidak ada acara kumpul bersama untuk saling bicara, makan bersama, nonton bersama, saling sharing. Semuanya sibuk, sibuk dan sibuk. Tetapi itulah realita hidup yang harus kita lihat dan mungkin kita ada di dalam situasi yang seperti itu.

Seorang ayah yang seharusnya menjadi imam, kepala keluarga, suami dan ayah bagi anak-anaknya ternyata tidak punya waktu untuk keluarganya. Seorang ayah karena kesibukannnya, tidak hadir dan berperan dalam mendidik, mengajar, membangun dan mengasihi di dalam keluarganya. Sehingga apa yang terjadi? Banyak anak yang kehilangan figur seorang ayah yang mempengaruhi mereka dalam membangun self image (gambar diri) serta menentukan bagaimana mereka berelasi dengan pria lain. Pada saat mereka tidak menemukan perhatian dan kasih sayang dari ayah mereka, mereka akan mencarinya di luar dan di sana dengan begitu mudah pula mereka akan jatuh dalam pergaulan bebas.

Dalam situasi seperti ini, kita harus kembali kepada Alkitab. Dalam Mazmur 128, kita belajar beberapa hal bagaimana seorang ayah menjalankan perannya dalam keluarga.

 

1. Seorang ayah harus punya hati yang takut akan Tuhan

Mazmur 128:1 menyatakan bahwa berbahagialah orang yang takut akan Tuhan. Dalam ayat 4, kembali dinyatakan bahwa Tuhan memberkati seorang laki-laki yang takut akan Tuhan. Hal ini menunjukkan bahwa seorang ayah haruslah jadi ayah yang takut akan Tuhan. Ayah yang menjalankan fungsi dan perannya sebagai seorang imam dalam keluarga. Ayah yang mengajarkan anak-anaknya di dalam pengenalan akan Tuhan. Mengajak keluarganya untuk beribadah melalui altar keluarga, membaca alkitab, berdoa bersama. Sehingga anak-anak akan melihat langsung figur seorang ayah yang memberikan teladan iman kepada mereka.

Mengapa banyak orang merokok? Karena ayah mereka juga perokok. Mengapa ada orang peminum? Karena ayah mereka juga seorang peminum. Jadi kita bisa melihat bahwa seorang ayah yang baik adalah ayah yang mendidik hidup anak-anaknya seturut dengan firman Tuhan. Ayah yang dalam seluruh hidupnya, pekerjaannya, aktifitasnya, kasihnya, pengajarannya membawa seluruh keluarganya takut akan Tuhan.

 

2. Seorang ayah harus menjadi suami yang mengasihi isterinya (Mazmur 128:3a)

Seorang pria harus menjadi seorang suami sekaligus ayah yang bijaksana dalam keluarganya. Efesus 5 : 25 menuliskan “Hai suami, kasihilah isterimu sebagaimana Kristus telah mengasihi jemaatNya dan telah menyerahkan diri-Nya baginya”. Sebuah kata bijak mengatakan: “Salah satu hadiah terindah yang dapat diberikan seorang ayah kepada anak-anaknya adalah dengan mengasihi ibunya”. Saat seorang ayah mengasihi isterinya maka ia sudah memberikan teladan kasih kepada anak-anaknya bagaimana mereka bersikap hormat kepada ibu mereka, teman lawan jenis mereka dan pasangan hidup mereka kelak.

 

3. Seorang ayah harus menjadi ayah yang bijaksana bagi anak-anaknya.


Ayah yang bijaksana terlibat dalam kehidupan anak-anaknya
Seorang ayah berjanji pada anaknya untuk berjalan-jalan dan pergi makan bersama pada hari ulang tahunnya yang ke-11. Anaknya begitu gembira dan mulai menghitung hari, namun menjelang hari ulang tahunnya, sang ayah menerima undangan untuk menghadiri sebuah seminar penting di luar kota tepat pada hari ulang tahun anaknya. Ia akan menerima $1,000 untuk menjadi pembicara selama 1 jam. Seminar ini begitu penting bagi karirnya dan akan dihadiri oleh orang-orang penting juga. Ia mencoba berbicara dan bernegosiasi dengan anaknya untuk membatalkan rencana jalan-jalan bersama dan menawarkan $1,000 kepada anaknya. Apa jawab sang anak? Setelah berpikir sejenak, sang anak menjawab, ”No, that’s Ok Dad, I’d rather spend time with you”. Anak tersebut menolak uang $1,000 dan lebih memilih untuk menghabiskan waktu bersama-sama dengan ayahnya. Inilah contoh cerita betapa pentingnya waktu dan kehadiran seorang ayah dalam hidup anak-anaknya.

 

Ayah yang bijaksana adalah ayah yang selalu konsisten

Seorang ayah berjanji akan makan siang bersama dengan anaknya dan kemudian akan main basket bersama. Sang anak menunggu dengan antusias. Beberapa jam sebelum makan siang, ia sudah siap dengan bola basketnya berikut baju basketnya dan menunggu sang ayah tiba di rumah siang itu. Tunggu punya tunggu ayahnya belum datang juga. Jam 1 siang ayahnya menelepon dan mengatakan bahwa ia sangat sibuk karena banyak pekerjaan, ia mengatakan bahwa ia belum lupa janjinya dan akan pulang sekitar jam 3 siang sehingga masih ada waktu untuk main basket bersama. Tunggu lagi hingga jam 4 sore, ayahnya kembali menelepon bahwa ia tidak bisa pulang, akhirnya ayahnya pulang sekitar jam 10-an malam dan menemukan anaknya sudah tertidur dengan baju basketnya. Dia mengendong anaknya ke tempat tidur dengan berbisik, ”I’m sorry my son.” Sang anak dengan setengah terbangun menjawab, ”It’s Ok Dad, I had fun thinking about it.”
Seorang ayah harus konsisten dalam segala hal terutama di dalam menjaga nilai-nilai yang kita pegang khususnya dalam hal iman.

 

Ayah yang bijaksana akan mengenal secara mendalam karakter anak-anaknya

Setiap anak mempunyai karakter yang berbeda-beda satu dengan yang lain. Untuk itu seorang ayah harus mengenal anaknya, masuk ke dalam jiwa mereka. Mengenal setiap kebutuhan mereka, kekuatiran mereka, apa yang sedang dialami, perasaan mereka dan cara berpikir mereka. Hal itu akan membangun hubungan ayah dengan anaknya secara lebih mendalam.

 

Kiranya Tuhan menolong setiap para ayah untuk menjalankan perannya sebagai ayah yang takut akan Tuhan, mengasihi istrinya dan ayah yang bijaksana bagi anak-anaknya. God bless us.
(by: DRZ)

Mengasihi Anak-anak dengan Mengenali Bahasa Kasih Mereka

Menjadi orang tua adalah sebuah tugas mulia yang telah dipercayakan oleh Tuhan untuk menjaga, merawat, dan membesarkan anak-anak yang dititipkan oleh-Nya. Terkadang karena sibuknya pekerjaan membuat para orang tua tidak sempat memperhatikan anak-anaknya bertumbuh. Orang tua seringkali jadi kurang mengenali anak-anak mereka sendiri dan tidak tahu bagaimana cara yang tepat untuk mencintai mereka. Jika caranya kurang tepat, dapat saja anak-anak merasa tidak dikasihi padahal sebagai orang tua tentu saja sangat menyayangi mereka. Untuk itu, sangat perlu untuk memahami bahasa kasih dari anak-anak tersebut. Menurut buku berjudul “Lima Bahasa Kasih” tulisan Gary Chapman, ada lima bahasa kasih yang digunakan oleh manusia untuk mengekspresikan kasih sayang atau untuk merasa dicintai, lima bahasa kasih itu adalah:

1. Quality Time (Waktu yang Berkualitas)

2. Physical Touch (Sentuhan Fisik)

3. Receiving Gift (Hadiah)

4. Words of Affirmation (Kata-kata Pendukung/Penguatan)

5. Act of Service (Pelayanan)

 

1. Quality Time (Waktu yang Berkualitas)

Ciri-ciri seorang anak dengan bahasa kasih ini:

  • sangat suka ditemani dan suka menemani
  • suka berlibur dengan keluarga (senang berkumpul atau meluangkan waktu bersama-sama dengan orang-orang yang mereka sayangi atau yang menyayangi mereka)
  • tidak suka jika orang tuanya terlalu sibuk dan jarang di rumah, atau tidak punya waktu untuk mereka, karena baginya, kehadiran Anda adalah kebahagiaannya.

Anak-anak dengan bahasa kasih ini akan merasa sangat terluka jika Anda tidak datang untuk mengambil raport, atau tidak menghadiri pentas drama yang anak Anda mainkan di sekolah padahal sebagai orang tua Anda menerima undangan pada acara tersebut, melewatkan janji main bola, atau melupakan rencana nonton film bersama. Mereka juga merasa diabaikan saat sedang liburan keluarga tapi Anda sibuk sendiri dengan laptop dan pekerjaan Anda atau Anda sibuk sendiri dengan ponsel atau gadget Anda. Sebaliknya, mereka akan merasa sangat dicintai jika Anda bersedia menemani mereka belajar, penuh perhatian saat mereka sedang bercerita tanpa apapun memecah fokus Anda padanya, mau meluangkan waktu sekedar untuk ngobrol atau main catur bersama. Mereka juga akan merasa sangat disayangi ketika Anda sedang tugas di luar negeri atau di luar kota untuk beberapa minggu tapi khusus di hari ulang tahunnya Anda mau menyempatkan pulang sebentar hanya untuk merayakan hari spesial itu sekalipun mungkin Anda lupa membeli kado. Baginya, kehadiran atau keberadaan Anda di sisinya jauh lebih penting baginya.

 

2. Physical Touch (Sentuhan Fisik)

Ciri-ciri seorang anak dengan bahasa kasih ini:

  • sangat suka dipeluk atau diusap, juga suka memeluk atau mengusap
  • suka menyentuh kalau berbicara
  • kemarahannya akan segera lenyap ketika diberi pelukan

Anak-anak dengan bahasa kasih ini akan sangat hancur hatinya ketika Anda menamparnya, memukul, atau menjambak rambutnya. Sebaliknya, mereka akan merasa sangat dikasihi ketika Anda menggandeng tangannya, menepuk punggungnya, mencium keningnya ketika mereka akan berangkat sekolah atau ketika mereka akan tidur, mengusap tangannya ketika mereka sedih, mengelus kepala mereka, menggendong, atau memeluk mereka.

 

3. Receiving Gift (Hadiah)

Ciri-ciri seorang anak dengan bahasa kasih ini:

  • sangat senang menerima hadiah dan suka memberi hadiah pada orang tuanya
  • senang diberi oleh-oleh ketika orang tuanya pulang dari bepergian atau senang memberikan oleh-oleh untuk teman-temannya ketika dia baru pulang berlibur.
  • mengharapkan kado di hari ulang tahunnya

Menurut anak-anak dengan bahasa kasih ini membahagiakan orang lain adalah dengan memberikan hadiah, begitu juga sebaliknya bagi diri mereka sendiri, mereka akan merasa bahagia jika diberi sesuatu. Tidak harus sesuatu yang wah, mahal, atau spektakuler, kadang bagi anak-anak dengan bahasa kasih ini, diberi sebutir permen pun sudah cukup membuat hatinya luluh saat mereka sedang merajuk atau ngambek. Anak-anak ini mungkin akan mulai berpikir Anda tidak menyayanginya lagi ketika Anda lupa memberinya kado Natal.

 

4. Words of Affirmation (Kata-kata Pendukung/Penguatan)

Ciri-ciri seorang anak dengan bahasa kasih ini:

  • senang dipuji
  • senang memuji dan mengucapkan kata-kata manis
  • sangat suka diberi kata-kata dukungan
  • tidak suka dikritik

Anak-anak dengan bahasa kasih ini mudah remuk oleh kata-kata celaan, makian, dan hinaan. Sebaliknya, mereka akan merasa sangat dicintai ketika Anda memuji prestasinya di sekolah, memberikan kata dukungan semangat saat mereka mulai malas belajar, menyapa dengan manis saat mereka baru bangun tidur, atau mengucapkan selamat tidur saat mereka mulai memejamkan mata. Memanggil mereka dengan sebutan “sayang”, “jagoan Papa”, “anak Papa yang baik”, atau “anakku yang manis”, akan membuat mereka sangat yakin bahwa Anda benar-benar menyayanginya. Jika mereka melakukan kesalahan, sebuah kata-kata kritikan bukanlah cara yang tepat untuk mereka, tapi sebuah saran atau solusi dan kata-kata dukungan semangat untuk memperbaikinya  justru akan lebih mengena.

 

5. Act of Service (Pelayanan)

Ciri-ciri seorang anak dengan bahasa kasih ini:

  • suka dilayani dan suka melayani
  • senang dibantu
  • penolong, peka terhadap kebutuhan orang lain
  • senang membantu orang tuanya bekerja di rumah

Anak perempuan Anda membuatkan Anda secangkir kopi, atau anak laki-laki Anda membantu Anda mencuci mobil, adalah wujud rasa sayang yang sedang ditunjukkan oleh anak-anak dengan bahasa kasih ini. Bagi anak-anak ini sebuah tindakan nyata lebih berarti bagi mereka daripada hanya sekedar kata-kata belaka. Anak-anak ini akan merasa disayangi ketika Anda mau mengantarnya sekolah atau menjemputnya saat pulang les. Membantu mereka menyelesaikan masalah, membantu mereka mengerjakan PR, membantu mereka mempersiapkan peralatan sekolah, membuatkan mereka sarapan, membantu mereka menyiapkan bekal, menyuapi mereka saat mereka sakit, atau membuatkan mereka secangkir susu saat akan pergi tidur akan membuat mereka merasa sangat bahagia. Mereka akan merasa sangat sedih, merasa ditelantarkan, dan berkecil hati saat Anda membiarkan mereka menyelesaikan masalah-masalah mereka sendiri ketika mereka butuh bantuan atau melakukan segala sesuatunya sendiri saat mereka butuh pertolongan.

 

Pada dasarnya setiap anak atau orang menggunakan kelima bahasa kasih ini, hanya saja mana yang lebih dominan dan intens membuat seorang anak paling merasa terluka atau hal mana yang paling membuatnya merasa sangat bahagia dan paling merasa dikasihi jika diperlakukan seperti yang diharapkannya, berarti itulah bahasa kasihnya.

 

Nah, para orang tua, kasihi putra-putri Anda dengan cara mereka, sesuai dengan bahasa kasih mereka, karena wujud kasih sayang yang Anda tunjukkan itu akan terus terkenang di hati mereka hingga kelak mereka dewasa.

 

(*Ind).

Tips Komunikasi Efektif dengan Anak

Kita sebagai orang tua ingin agar anak kita dapat membicarakan segala hal dengan kita-baik ataupun buruk. Hal ini membutuhkan banyak kesabaran dan kerja keras. Bagaimanapun, keterbukaan, kejujuran dan komunikasi yang efektif dapat menyatukan keluarga dan menciptakan situasi yang baik untuk membangun komunikasi dan relasi yang positif dengan anak-anak kita.

Berikut ini beberapa tips dalam menjalin komunikasi yang baik dengan anak:

  1. Secara terbuka tunjukkan cinta, perasaan dan penerimaan. Anak yang merasa aman dan terlindungi lebih terbuka untuk membagikan pikiran dan perasaan mereka.
  2. Investasikan waktu untuk berhubungan dengan anak. Buatlah diri kita tersedia (available) untuk mengajar anak dan membuat mereka tahu bahwa waktu untuk dapat bersama-sama mereka itu penting dan berharga bagi kita.
  3. Luangkan waktu tiap harinya untuk mengobrol. Hal ini dapat dilakukan secara informal, contohnya saat mengendarai mobil, makan malam, sebelum tidur, atau pada pertemuan keluarga yang lebih formal. Pastikan juga untuk memeriksa kelanjutan dari setiap diskusi.
  4. Mulailah pembicaraan. Bicarakan dengan anak mengenai hal-hal dimana mereka terlibat atau hal-hal yang menarik perhatian mereka. Untuk menghindari respon singkat, tanyakan pertanyaan terbuka dan minta mereka menjelaskan lebih lanjut jawaban mereka.
  5. Untuk anak yang lebih muda, berkomunikasilah sesuai dengan level mereka. Secara fisik, rendahkan tubuh (jongkok, duduk, berlutut, dll) dan gunakan kata-kata yang lebih mudah dan sederhana.
  6. Dengarkan baik-baik. Hilangkan segala gangguan dan berikan anak kita atensi atau perhatian yang penuh- tidak terbagi-bagi. Buatlah kontak mata dan biarkan mereka tahu bahwa mereka didengar. Ijinkan mereka untuk mengekspresikan perasaan dan tidak memotong perkataan mereka.
  7. Jangan merasa gagal/ tak bisa, khususnya saat berhubungan dengan anak remaja. Meskipun anak remaja menunjukkan perilaku seperti tak peduli dan tak mau bicara, mereka tetap butuh untuk berbicara dengan kita. Cari tahu situasi dimana anak merasa nyaman dan bersedia untuk mengatakan perasaan dan pikiran mereka, contohnya dengan duduk bersampingan saat berkendara, saat membuat makan malam atau ketika melakukan tugas-tugas rumah bersama. Dengarkan dengan sabar dan siap ketika mereka juga telah siap untuk berbicara.
  8. Perhatikan dengan seksama, tidak hanya kata-kata yang mereka ucapkan, tetapi juga bahasa tubuh, perilaku, emosi, dan intensitas. Hal-hal ini akan membantu kita untuk dapat memahami anak dengan lebih baik dan menolong kita untuk mengawasi perilaku mereka.
  9. Akui dan terimalah apa yang anak bagikan pada kita. Simpati, empati, dukungan dan pengertian. Jangan menyalahkan atau mengkritik mereka dengan berlebihan. Tunjukkan penerimaan untuk setiap anak.
  10. Ekspresikan perasaan dan nilai-nilai yang kita miliki dengan cara yang tidak menghakimi.
  11. Hindari komunikasi negatif. Contohnya, menguliahi, mengomel, mengancam, atau berkata-kata kasar, berbohong, dan memberi tahu anak apa yang harus dilakukan tanpa memikirkan perasaan mereka.
  12. Pujilah anak atas usaha mereka untuk berkomunikasi. Buat mereka tahu bahwa kita menghargai apa yang mereka katakan dan keterbukaan mereka pada kita.

Konsistensi dan komunikasi yang efektif dapat menciptakan hubungan yang lebih kuat dengan anak kita. Penghargaan dan kepercayaan yang terbangun dapat memudahkan mereka untuk membagikan lebih banyak informasi dengan kita saat mereka bertumbuh. Selain itu, kemampuan yang dipelajari melalui komunikasi sehari-hari (berbicara dan mendengarkan) dapat menolong untuk membangun harga diri, kepercayaan diri serta memampukan mereka untuk lebih mudah berkomunikasi dengan orang lain dalam kehidupan sehari-hari mereka.

Diterjemahkan dari: www.barringtonyouthandfamilyservices.org/uploads/LDS/karakter

Mengambil Keputusan? Jangan takut!

“Tutut..tutut… “ alarm jam berbunyi setiap pagi. Sebelum matahari terbit kita sudah harus membuat keputusan apakah akan segera bangun dari tempat tidur atau justru menarik selimut dan kembali terlelap. Begitu pula ketika sudah bangun kita juga harus memutuskan apakah akan mandi atau sarapan terlebih dahulu. Setiap manusia rata-rata membuat lebih dari 200 keputusan setiap harinya. Mulai dari bangun tidur hingga tidur kembali di malam hari.

Tapi terkadang kita tidak menyadari bahwa setiap keputusan yang kita ambil, ternyata menentukan masa depan kita. Setiap keputusan akan membawa kita pada satu kondisi yang berbeda dari keputusan yang lainnya. Oleh karena itu kita harus selalu mempertimbangkan dengan matang setiap keputusan yang akan kita ambil.

Di sisi lain, perlu kita ketahui juga bahwa pertimbangan-pertimbangan yang diperlukan saat membuat keputusan tidak dapat muncul dengan sendirinya. Pertimbangan atau pemikiran mengenai konsekuensi dari pilihan-pilihan merupakan hasil dari pengalaman sebelumnya. Lalu bagaimana dengan anak-anak yang belum memiliki cukup pengalaman untuk memikirkan konsekuensi dari setiap keputusannya?

Di pertengahan bulan Januari 2015 ini sempat beredar berita dimana ada seorang anak remaja yang memutuskan untuk mengakhiri hidupnya dengan menggantung diri (metro.sindonews.com/read/950371/31/siswa-smp-di-pancoran-gantung-diri-dalam-lemari-1421209068). Sudah beberapa kali kita mendengar hal ini, dimana ada anak-anak yang berani mengambil keputusan tanpa memikirkan baik-baik dampaknya bagi diri dan orang lain di sekitar mereka. Anak-anak yang berani mengakhiri hidupnya mungkin tidak berpikir bahwa hal ini akan menyedihkan hati orang tua mereka dan bahwa bunuh diri bukanlah satu-satunya jalan keluar. Begitu juga halnya dengan para remaja yang memutuskan bunuh diri hanya karena masalah percintaan atau orang-orang yang terjebak dalam obat-obatan terlarang dan minuman keras. Seperti yang kita sudah dengar, menurut data BNN pada tahun 2014, 4,2 juta orang di Indonesia menjadi pecandu narkotika dan setiap tahunnya 51.000 pecandu meninggal.

Semua ini tak lain merupakan hasil dari pengambilan keputusan yang mereka lakukan. Tetapi bagaimana caranya agar mereka bisa mengambil keputusan yang tepat sesuai dengan kehendak Tuhan? Di sinilah orang tua berperan untuk mendampingi anak ketika membuat keputusan.

Bu Charlotte Priatna dalam seminarnya ‘Bagaimana Mendampingi Anak Membuat Keputusan’ Sabtu, 17 Januari 2015 lalu juga menjelaskan bahwa terdapat beberapa alasan yang membuat anak dapat mengambil keputusan yang salah/ tidak tepat. Diantaranya adalah,

• Adanya tekanan dari teman sebaya
• Kelihatan bagus di awal/ terlihatnya bagus
• Bosan
• Tidak mempertimbangkan konsekuensinya
• Tidak dapat berhenti memikirkannya

Beberapa alasan ini secara langsung maupun tidak langsung telah memengaruhi anak dalam memutuskan sesuatu. Khususnya para remaja saat ini dengan pergaulan yang semakin luas dan yang berarti juga semakin rentan untuk terpengaruh trend di sekitar mereka. Berbagai informasi yang baik maupun tidak baik dengan begitu mudahnya diakses dan masuk dalam pikiran anak. Oleh karena itu pendampingan dari orang tua sangat penting dan sebaiknya diberikan sejak anak masih kecil.

Ketika masih kecil, anak-anak memang akan bergantung sepenuhnya pada orang tua dalam mengambil keputusan. Orang tua harus siap menjadi ‘time keeper’ dan ‘organizer’ bagi keseharian anak-anak karena mereka belum mengerti apa yang mereka lakukan dan apa akibat dari kelakuan itu di kemudian hari. Orang tua bertanggung jawab untuk mendampingi kehidupan anak hingga mereka mampu membuat keputusan sendiri dan bertanggung jawab atas keputusan itu.

Orang tua masih harus membuat keputusan bagi anaknya hingga anak mulai masuk sekolah dasar. Ketika masuk di sekolah dasar, anak mulai diberi kesempatan untuk memutuskan meski masih berupa keputusan-keputusan sederhana. Anak mulai bisa memutuskan sikap yang diambil ketika berhubungan dengan orang lain. Ketika sudah memasuki usia sekolah menengah pertama dan akhir, anak mulai diberi porsi kesempatan yang lebih untuk mengambil keputusan, seperti kapan waktunya belajar dan kapan waktunya bermain. Anak juga perlahan harus mulai belajar bertanggung jawab atas hidupnya. Kemudian anak dapat dilepas untuk mengambil keputusan sendiri ketika mulai memasuki usia kuliah atau setelah lulus sekolah.

Perlahan orang tua memang harus berani melepaskan pegangan anak-anak mereka. Meski begitu anak tetap membutuhkan pendampingan dan monitoring dari orang tua ketika menjalani keputusan yang mereka pilih. Anak-anak pun harus diingatkan bahwa setiap keputusan yang telah mereka ambil harus mereka jalani dengan suka hati dan bertanggung jawab. Tujuan hidup setiap anak harus menjadi poros ketika mereka membuat keputusan. Anak harus diajarkan bahwa yang terpenting dalam hidup bukan sekedar memiliki dan melakukan apa yang mereka sukai, tetapi juga sungguh-sungguh menjadi seseorang yang dapat memberkati orang lain. Kehidupan mereka adalah milik Tuhan dan mereka harus dapat menggunakannya juga untuk kemuliaan Tuhan.

Bila anak sudah memiliki prinsip hidup yang benar, maka dengan sendirinya mereka dapat lebih mudah untuk memilih mana yang tepat untuk dijalaninya. Kita juga harus belajar untuk menyerahkan segala sesuatunya pada Tuhan karena Ia tahu mana yang terbaik bagi kita. Jangan biarkan emosi sesaat atau keinginan diri sendiri memengaruhi keputusan yang diambil, tetapi terus libatkan Tuhan dalam setiap aspek kehidupan. Jadi janganlah takut mengambil keputusan ketika kita sudah mengandalkan Tuhan. (LDS)

Sepuluh Kesalahan yang Dilakukan Orang Tua Saat Ini

Seorang Psikiatri Paul Bohn berkata:

“Banyak orang tua yang akan melakukan apa saja untuk melindungi anak mereka. Mereka bahkan berusaha untuk melindungi anak-anak dari ketidaknyamanan, kecemasan atau kekecewaan yang ringan atau segala sesuatu yang kurang menyenangkan. Hasilnya adalah ketika anak-anak tumbuh dewasa dan mengalami kegagalan hidup yang berada pada batas normal, mereka langsung berpikir bahwa ada sesuatu yang sangat salah sedang terjadi.

Saya menemukan bahwa saat ini, banyak orang tua yang lebih berinvestasi dalam kehidupan anak-anak mereka daripada generasi-generasi sebelumnya. Apa yang mungkin kita benarkan sebagai “pola asuh yang benar” dapat melukai anak-anak kita di kemudian hari. Salah satunya adalah ketika kita membuat hidup mereka terlalu mudah. Seperti filosofi pola asuh favorit saya: “Prepare your child for the road, not the road for your child.”

Disini saya akan menguraikan 10 kesalahan yang orang tua sering lakukan saat ini. Tujuan saya adalah untuk membangun kesadaran.

Kesalahan No. 10:

Memuja anak-anak kita. Banyak di antara kita yang hidup dalam komunitas child-centric (anak sebagai pusat). Kita memelihara anak kita di dalam rumah yang child-centric. Anak-anak kita menyukai hal ini, tentu saja, karena kehidupan kita berputar mengelilingi mereka. Sebagian besar dari kita tidak keberatan akan hal itu, karena kebahagiaan mereka adalah kebahagiaan kita juga. Hal ini mendorong kita untuk melakukan sesuatu untuk mereka, membelikan sesuatu untuk mereka, menghujani mereka dengan cinta dan perhatian.

Tetapi, saya berpikir bahwa sangat penting untuk mengingat bahwa anak-anak kita diciptakan untuk dicintai, bukan dipuja. Sehingga ketika kita memperlakukan mereka sebagai pusat dari dunia, kita menciptakan idola palsu. Daripada rumah yang child-centric, kita seharusnya mengusahakan sebuah rumah yang Christ-centric (berpusat pada Kristus). Anak-anak kita tetap dicintai, hanya saja dalam cara yang lebih baik, yang mengutamakan ketidakegoisan diatas keegoisan.

Kesalahan No. 9

Percaya bahwa anak-anak kita sempurna. Satu hal yang sering saya dengar dari profesional yang bekerja dengan anak-anak (konselor, guru, dll) adalah bahwa orang tua tidak ingin mendengar sesuatu yang negatif mengenai anak-anak mereka. Meskipun hal-hal itu disampaikan atas dasar kasih kepada anak, namun reaksi spontan dari orang tua biasanya adalah menyerang si pemberi pesan.

Kenyataan dapat menyakitkan, tetapi ketika kita mendengar dengan hati dan pikiran yang terbuka, hal itu akan menguntungkan kita. Kita dapat mencegah lebih dini sebelum situasi berkembang di luar kendali. Sangat mudah untuk menghadapi anak bermasalah daripada memperbaiki orang dewasa yang sudah rusak.

Pada saat saya mewawancara seorang psikiater anak dari Alabama mengenai depresi pada anak remaja, ia mengatakan bahwa intervensi awal adalah kunci, karena hal itu dapat mengubah lintasan kehidupan anak. Dia mengatakan bahwa hal inilah yang membuatnya menikmati psikiatri anak dan remaja-karena anak-anak lebih elastis, dan lebih mudah untuk mengintervensi secara efektif ketika mereka masih muda, daripada tahun-tahun setelahnya. Ketika masalah berlangsung cukup lama, maka hal itu akan menjadi bagian dari identitas mereka.

Kesalahan No. 8

Hidup mewakili anak-anak kita. Kita orang tua memiliki kebanggaan yang besar terhadap anak-anak kita. Ketika mereka sukses, hal itu membuat kita lebih senang daripada jika kita melakukannya sendiri.

Tetapi ketika anak-anak menjadi eksistensi kita, maka kita mungkin akan melihat mereka sebagai kesempatan kedua. Akhirnya, itu bukan lagi mengenai mereka, tetapi mengenai kita. Inilah dimana kebahagiaan mereka menjadi tercampur aduk dengan kebahagiaan kita.

Kesalahan no. 7

Ingin menjadi BFF (Best Friend Forever) anak kita. Ketika saya bertanya kepada seorang imam untuk menyebutkan kesalahan terbesar yang dia lihat dalam pengasuhan anak, dia berpikir sesaat kemudian berkata, “Orang tua tidak menjadi orang tua. Mereka tidak melangkah untuk melakukan hal-hal yang sulit.”

Sama seperti semua orang, saya ingin anak-anak saya mencintai saya. Saya ingin mereka memuji dan menghargai saya. Tetapi, jika saya melakukan tugas sebagai orang tua dengan benar, mereka akan marah dan kadang-kadang tidak menyukai saya. Mereka akan memutar mata mereka, menguap, dan mengerang, dan berharap mereka dilahirkan di keluarga lain.

Berusaha menjadi BFF anak kita hanya akan mengarahkan pada tindakan permisif dan mengakibatkan rasa putus asa karena kita takut kehilangan persetujuan dari anak-anak kita.

Kesalahan no. 6

Terlibat dalam pengasuhan yang kompetitif. Saya mendengar cerita ini kebanyakan dari level SMP dan SMA, cerita mengenai persahabatan yang rusak dan  adanya penghianatan karena satu keluarga melemahkan keluarga lain.

Menurut pendapat saya, akar permasalahannya adalah rasa takut. Kita takut anak-anak kita akan tertinggal di belakang. Kita berusaha mendidik anak mengikuti tren yang ada (mendaftarkan anak untuk mengikuti berbagai kursus/ les sejak usia dini dan memberi gadget). Kita takut bila kita tidak melakukan itu nantinya mereka akan memiliki hidup yang biasa-biasa saja.

Saya percaya bahwa anak-anak perlu bekerja keras dan mengerti bahwa mimpi tidak akan datang diatas piring perak, mereka harus berkeringat dan berjuang untuk mendapatkannya.

Karakter mungkin tidak terlihat penting pada masa remaja, namun pada masa dewasa, itu adalah segalanya.

Kesalahan no. 5

Kehilangan kemegahan masa kecil. Membesarkan anak kecil sulit, sebuah pekerjaan yang monoton. Pada saat itu juga sangat melelahkan secara fisik dan emosional. Terkadang kita berharap agar mereka lebih tua untuk membuat hidup kita lebih mudah. Kita juga ingin tahu mereka akan tumbuh seperti siapa. Apa yang menjadi passion mereka? Apakah Tuhan memberikan karunia yang jelas? Sebagai orang tua kita berharap demikian untuk mengetahui kekuatan memelihara mana yang akan memampukan kita untuk mengarahkan mereka pada arah yang jelas.

Untuk masa depan kita bertanya apakah anak-anak kita yang memiliki kepandaian khusus dalam seni akan menjadikan mereka seorang Picasso, atau apakah suara merdu mereka akan membuat mereka seperti Taylor Swift, kita mungkin lupa untuk menyerap kemegahan yang ada di hadapan kita: Anak di piyama berkaki, cerita pengantar tidur, menggelitik perut, dan jeritan gembira. Kita mungkin lupa untuk membiarkan anak kita menjadi anak kecil dan menikmati satu-satunya masa kecil yang diberikan pada mereka.

Bagi mereka, hal ini bukan tentang menjadi produktif, ini tentang keberadaan/ menjadi ada. Ini tentang bermimpi besar dan menikmati kehidupan. Tekanan pada anak-anak dimulai terlalu cepat. Kita perlu melindungi mereka dari tekanan-tekanan itu. Kita perlu untuk membiarkan mereka bersenang-senang dan tumbuh sesuai dengan kecepatan mereka, sehingga: 1. Mereka dapat mengeksplore ketertarikan mereka tanpa takut gagal dan 2. Mereka tidak mengalami “burned out”.

Masa anak-anak adalah waktu untuk bebas bermain dan menjelajah. Ketika kita memburu-buru mereka melewati masa-masa ini, maka kita akan merampas masa-masa kecil mereka dan mereka tidak tidak akan pernah dapat kembali ke masa itu.

Kesalahan no. 4

Membesarkan anak yang kita inginkan, bukan anak yang kita miliki. Sebagai orang tua, kita memiliki mimpi untuk anak-anak kita. Hal itu bermula ketika kita hamil, sebelum jenis kelaminnya diketahui. Diam-diam kita berharap agar anak kita menjadi seperti kita, namun lebih pintar dan lebih bertalenta.

Tetapi ironinya adalah, anak-anak kita mengikuti cetakan kita dengan cara yang terbalik. Mereka keluar dari jalur dengan cara yang tidak dapat kita antisipasi. Tugas kita adalah mencari tahu sifat mereka, tunduk pada ketetapan Allah, dan melatih mereka pada ketetapan Allah. Memaksakan mimpi kita pada mereka tidak akan berhasil. Hanya ketika kita melihat mereka sebagaimana adanya merekalah yang dapat membuat kita dapat berdampak kuat dalam kehidupan mereka.

Kesalahan no. 3

Lupa bahwa tindakan kita berbicara lebih keras daripada kata-kata kita. Saya ingin memenuhi anak-anak saya dengan kebijaksanaan, tetapi apa yang saya lupakan adalah bagaimana contoh-contoh yang saya perlihatkan membayangi kata-kata saya.

Bagaimana saya menghadapi penolakan dan penderitaan… bagaimana saya memperlakukan teman dan orang asing… apakah saya mengomeli atau membangun ayah mereka… mereka memperhatikan seluruh hal-hal ini. Cara saya merespon memberikan mereka ijin untuk bertindak dan melakukan hal yang sama.

Jika saya ingin anak-anak saya menjadi luar biasa, saya harus memiliki tujuan yang luar biasa juga. Ketika saya ingin anak saya memiliki kualitas tertentu, maka saya harus terlebih dahulu memiliki kualitas tersebut. Dengan begitu saya dapat menjadi contoh bagi mereka, tidak sekedar menyuruh mereka menaati perkataan saya.

Kesalahan no. 2

Menghakimi orang tua lain-dan anak-anak mereka. Tidak menjadi masalah seberapa tidak setujunya kita dengan pola asuh seseorang, bukan menjadi bagian kita untuk menghakimi mereka. Tidak satu orang pun di dunia ini yang “seluruhnya benar” atau “seluruhnya salah”, kita semua memiliki keduanya.

Kesalahan no. 1

Meremehkan karakter. Banyak orangtua tidak fokus dalam mengembangkan karakter anak dan bahkan menganggap karakter sebagai hal yang tidak penting. Tapi bagi saya satu hal yang saya harapkan benar dalam diri anak saya adalah karakter sebagai inti hidup mereka. Karakter inilah yang akan meletakkan dasar untuk bahagia, dan masa depan yang sehat. Hal-hal ini lebih penting dari pada semua nilai, rapor, dan penghargaan yang pernah mereka terima.

Tidak seorangpun dari kita dapat memaksa anak kita untuk memiliki karakter tertentu. Hal ini karena bagi anak-anak usia 10 atau 15 tahun, karakter tidak akan berarti banyak. Mereka cenderung lebih peduli pada penghargaan secara langsung yang diberikan pada saat itu juga (short-term gratification). Namun, kita tahu bahwa apa yang akan terjadi pada usia 25, 30, dan 40 bukanlah seberapa jauh mereka dapat melempar bola, atau apakah mereka menjadi cheerleader, tetapi bagaimana mereka memperlakukan orang lain dan apa yang mereka pikirkan tentang diri mereka sendiri. Jika kita ingin agar mereka membangun karakter, kepercayaan diri, kekuatan, dan kegembiraan, kita butuh untuk membiarkan mereka menghadapi kesengsaraan dan mengalami kebanggaan yang mengikuti ketika mereka menjadi lebih kuat di sisi lain.

Sulit untuk melihat anak-anak kita jatuh, tetapi kadang-kadang kita harus. Kadang kita harus bertanya pada diri kita sendiri apakah intervensi adalah cara terbaik untuk mereka. Ada ribuan cara untuk mengasihi anak, tetapi dalam pencarian kita untuk membuat mereka senang, mari kita menyadari bahwa terkadang dibutuhkan rasa sakit jangka pendek untuk mendapatkan keuntungan jangka panjang.

Kari Kubiszyn Kampakis.

Sumber: http://www.viacharacterblog.org/

Belajar Bersama di Parenting Class (Kid & Teen)

“Mama, bayi itu asalnya dari mana ya?”

“Papa, tadi temanku bilang dia suka sama aku, aku mesti jawab apa?”

Pernahkah anak Anda mengajukan pertanyaan-pertanyaan seperti itu dan Anda tidak siap menjawabnya? Pernahkah Anda berharap akan adanya sarana yang dapat membantu dan membimbing Anda sebagai orang tua? Atau akan adanya wadah untuk saling berbagi dengan orang tua lainnya? Bila iya, maka Parenting Class adalah jawabannya. Parenting Class adalah sebuah kelas pembelajaran yang khusus diberikan bagi para orang tua. Terkait hal ini, maka Sekolah Athalia mengadakan Parenting Class untuk membantu para orang tua murid. Salah satunya adalah untuk membantu orang tua paham cara mengasuh dan mendidik anak sesuai dengan prinsip-prinsip Alkitab.

Parenting Class di Sekolah Athalia

Sekolah Athalia adalah sekolah yang berbasis pada karakter Oleh karena itu pengembangan karakter harus dilakukan di dalam keseluruhan hidup anak. Pengembangan karakter anak di sekolah harus didukung juga dengan pengembangan karakter anak di rumah. Namun kita semua sadar bahwa tidak semua orang tua tahu dan mengerti bagaimana cara untuk mendidik dan mengasuh anak dengan tepat. Untuk itulah Sekolah Athalia berinisiatif untuk membantu para orang tua melalui Parenting Class.

Parenting Class juga merupakan sarana untuk memfasilitasi para orang tua murid untuk saling berbagi dan belajar. Berbagi mengenai kehidupan mereka selama menjadi orang tua dan belajar bagaimana untuk menjadi orang tua yang baik bagi anak-anak mereka. Parenting Class sendiri dibagi menjadi dua. Parenting Class (Kid) diperuntukkan bagi orang tua yang memiliki anak usia 0 hingga kelas 5 SD. Kemudian Parenting Class (Teen) diperuntukkan bagi orang tua yang memiliki anak diatas kelas 5 SD.  Parenting Class (Kid) dan Parenting Class (Teen) saat ini masing-masing diikuti oleh 29 pasang orang tua.

Komitmen Orang Tua untuk Belajar

Setiap orang tua harus berkomitmen untuk menyediakan jangka waktu dua tahun untuk Parenting Class (Kid) dan satu tahun untuk Parenting Class (Teen). Pada setiap Parenting Class, orang tua juga harus memiliki buku yang akan menjadi panduan dalam setiap pertemuannya. Parenting Class (Kid) saat ini memakai buku Let the Children Come Series, Along the Virtuous Way. Sedangkan Parenting Class (Teen) memakai buku Let the Children Come Series, Along the Middle-Years Way.

Parenting Class (Kid) dan (Teen) sejak bulan Oktober 2014 diadakan setiap dua minggu sekali dan difasilitasi oleh Bu Charlotte Priatna sebagai pembicara. Selama Parenting Class, orang tua diminta untuk aktif dalam membahas materi maupun melakukan tanya jawab. Oleh karena itu, para orang tua dibagi dalam kelompok-kelompok sesuai dengan area tempat tinggal mereka. Masing-masing kelompok akan mengadakan pertemuan secara mandiri untuk berdiskusi sebelum pertemuan Parenting Class. Setiap pertemuan, masing-masing kelompok secara bergantian akan mempresentasikan hasil diskusi mereka. Setelah kelompok yang bertugas selesai mempresentasikan hasil diskusi mereka, maka akan diadakan sesi diskusi yang dipandu oleh Ibu Charlotte. Tanya jawab biasanya diisi dengan pembahasan mengenai materi yang tidak dimengerti atau dengan pengalaman serta kesulitan yang dialami oleh orang tua dalam mendidik dan membesarkan anak.

Keluarga yang Berproses

Setiap keluarga pastinya memiliki pengalaman hidup yang berbeda. Ada keluarga yang membagikan pengalaman mereka dalam menumbuhkan kesadaran, tanggung jawab dan kepedulian anak-anak. Ada juga keluarga yang membagikan kesulitan mereka dalam mengkomunikasikan kepada anak mengenai pergumulan mereka. Baik pergumulan dalam menghadapi sakit penyakit atau jatuh bangun dalam ekonomi keluarga.

Proses ini membuat para orang tua bisa saling mendukung, saling mendoakan atau bahkan membantu mencari pemecahannya. Mereka bisa merasakan bahwa mereka tidak sendiri dan menyadari bahwa di dunia ini tidak ada keluarga yang sempurna. Setiap orang mempunyai kelemahan dan kelebihan, termasuk mereka sebagai orang tua. Namun semua kembali lagi pada seberapa besar keinginan para orang tua untuk belajar dan memperbaiki diri. Didukung juga dengan kerinduan mereka untuk memiliki keluarga yang bertumbuh dan berproses di dalam Tuhan. (LDS)

Character-based Parenting

Banyak orangtua setuju bahwa karakter baik memang penting bagi masa depan anak. Namun, apakah benar itu yang diyakini? Bila berkesempatan memilih antara anak berkarakter baik atau yang menjadi juara umum, akankah kita memilih yang  berkarakter baik? Banyaknya penghargaan dan dukungan yang diberikan institusi pendidikan untuk anak yang pintar membuat orangtua cenderung menuntut anak berprestasi tinggi; sementara untuk karakter, ya asal tidak buat masalah saja…
Padahal sejarah mencatat betapa karakter yang teguh menentukan jalan hidup seseorang.

Apa itu karakter? Benarkah karakter demikian penting? Bagaimana agar kita menjadi orangtua yang mendukung tumbuhnya karakter baik dalam diri anak? Bagaimana menyeimbangkan antara kesibukan pekerjaan, waktu pribadi, kehidupan sosial, dan pengasuhan anak?

Flyer seminar

Seminar Parenting “Unik dan Menarik”

Kita punya kecenderungan bertanya, “Buah mana yang lebih enak, apel atau manggis?” Dan jawabannya adalah, “Itu pertanyaan bodoh.” Jika kita dikaruniai 2 orang anak. Meskipun mereka memiliki kemiripan & berasal dari mama papa yg sama, namun mereka tetap berbeda. Sungguh tidak adil & jelas tidak mungkin mengharapkan ikan pandai memanjat & melompat pohon seperti kera, apalagi juga membandingkannya. Daripada berusaha mengubah seseorang & menjadi seperti orang lain, lebih baik kita bangga pada diri sendiri & merayakan perbedaan serta keunikan kita dengan segala kelebihan & kekurangan yg ada.

Bagaimana kita sebagai orang tua memahami dan memperlakukan anak-anak sebagai pribadi yang unik dan menarik? Hadirilah seminar dan workshop “Unik dan Menarik” yang akan diadakan pada: Sabtu, 9 Maret 2013 pk. 08.00-12.00 di Aula C Sekolah Athalia. Pembicara : Dra. Charlotte Priatna M.Pd Biaya : 40.000/70.000 (+pasangan) 50.000 per org (utk umum).

 

brosur seminar unik & menarik

Gambar: dokumen APC (Athalia Parents Community)