Putriku, Gina, berada di kelas empatnya Bu Melton. Baru satu bulan sekolah, dia mulai secara teratur pulang ke rumah dengan meminta pensil, krayon, kertas, dan sebagainya. Pada mulanya dengan semangat aku menyediakan apa pun yang dia perlukan, tidak pernah menanyakannya.
Setelah permintaan yang terus-menerus akan benda-benda yang seharusnya bisa bertahan sedikitnya enam minggu di kelas empat, aku mulai heran dan bertanya, “Gina, apa yang kaulakukan dengan peralatan sekolahmu?” Dia selalu memberi jawaban yang bisa memuaskanku. Suatu hari, setelah memberikan benda yang sama seminggu sebelumnya, aku mulai kesal dengan permintaannya dan dengan tegas bertanya sekali lagi, “Gina! Apa yang terjadi dengan peralatan sekolahmu?” Mengetahui bahwa alasannya tidak akan mempan lagi, dia menundukkan kepala dan mulai menangis. Aku mengangkat dagu kecilnya dan memandang mata cokelatnya yang besar, yang sekarang digenangi air mata. “Apa?! Apa yang tidak beres?” Pikiranku dipenuhi segala macam pikiran. Apakah dia dinakali anak lain? Apakah dia memberikan peralatan sekolahnya agar dia tidak dilukai atau agar dia diterima oleh mereka?
Aku tidak bisa membayangkan apa yang sedang terjadi, tetapi aku tahu ada sesuatu yang serius sehingga dia menangis. Aku menunggu lama sekali sebelum dia menjawab. “Mom,” dia memulai, “ada seorang anak lelaki di kelasku; dia tidak punya semua peralatan yang dia perlukan untuk melakukan pekerjaannya. Anak-anak lain mengejeknya karena kertasnya kusut dan dia hanya punya dua krayon untuk mewarnai. Aku telah meletakkan semua peralatan yang Mom belikan untukku sebelum anak-anak lain masuk, jadi dia tidak tahu bahwa aku yang meletakkannya. Tolong jangan marah, Mom. Aku tidak bermaksud berbohong, tetapi aku tidak ingin siapa pun tahu bahwa aku yang melakukannya.”
Hatiku luruh saat aku berdiri di sana tak percaya. Dia telah mengambil peran seorang dewasa dan berusaha menyembunyikannya seperti seorang anak. Aku berlutut dan memeluknya, tidak ingin dia melihat air mataku sendiri. Ketika sudah tenang, aku berdiri dan berkata, “Gina, Mom tidak akan pernah marah padamu karena ingin menolong seseorang, tetapi mengapa kau tidak datang saja dan mengatakannya pada Mom?” Aku tidak harus menunggu dia untuk menjawab. Hari berikutnya, aku mengunjungi Bu Melton. Aku memberitahu apa yang telah dikatakan Gina. Dia juga mengetahui situasi John. Anak tertua dari empat anak lelaki, orangtuanya baru saja pindah ke sini dan ketika sekolah menunjukkan daftar peralatan sekolah untuk semua murid kelas empat, mereka merasa sangat terbebani.
Ketika tiba di sekolah minggu berikutnya, anak-anak itu nyaris tidak membawa apa pun- masing-masing hanya membawa beberapa lembar kertas dan satu pensil. Aku meminta daftar keperluan keempat kelas anak-anak itu dan memberitahu Bu melton bahwa aku akan menyiapkannya di hari berikutnya. Dia tersenyum dan memberikan daftar itu. Hari berikutnya, kami membawa perlengkapan itu dan memberikannya ke kantor sekolah dengan catatan untuk diberikan kepada keempat anak lelaki itu.
Ketika Natal mendekat, pikiran tentang John, saudara-saudara, dan keluarganya memenuhi pikiranku. Apa yang akan mereka lakukan? Pasti mereka tidak punya uang untuk membeli hadiah. Aku bertanya kepada Bu Melton apakah dia bisa memberi alamat keluarga mereka. Pada mulanya dia menolak, mengingatkanku bahwa ada kebijakan yang melindungi privasi murid. Tetapi karena dia mengenalku dari pekerjaanku di sekolah dan keterlibatanku dalam dewan Persatuan Orangtua Murid dan Guru, dia menyelipkan secarik kertas ke tanganku dan berbisik, “Jangan bilang siapa-siapa kalau aku memberikannya kepadamu.”
Ketika keluargaku mulai bersiap untuk tradisi Malam Natal, yang biasanya diselenggarakan di rumahku, aku hanya memberitahu mereka bahwa aku, suamiku, dan anak-anak tidak menginginkan kado, tetapi lebih ingin menerima perbekalan makanan dan hadiah-hadiah untuk “keluarga” kami. Saat aku dan anak-anak belanja untuk Natal, dengan gembira mereka memilihkan hadiah yang dibungkus untuk anak-anak lelaki itu. Ruang keluargaku penuh sesak dan kegembiraan menular.
Akhirnya, pada pukul 21.00, kami memutuskan bahwa tiba waktunya untuk membawa barang-barang kami kepada mereka. Saudara-saudara lelakiku, ayahku, paman, dan keponakan lelaki mengisi truk-truk mereka dan berangkat ke alamat kompleks apartemen yang telah diberikan oleh Bu Melton. Mereka mengetuk pintu dan muncul seorang anak lelaki kecil. Mereka menanyakan ayah atau ibunya, dan dia lari ke dalam.
Mereka menunggu sampai seorang pria muda, yang nyaris masih kanak-kanak juga, muncul di pintu. Dia memandang para pria yang berdiri di sana, masing-masing menggenggam kantong makanan dan hadiah, dan tidak bisa berkata-kata. Para pria menerobos masuk melewatinya dan langsung menuju meja dapur untuk meletakkan barang-barang.
Tidak ada perabotan. Hanya apartemen satu kamar tidur yang kosong dengan beberapa selimut di lantai dan satu televisi kecil, tempat mereka menghabiskan waktu mereka. Pohon Natalnya berupa pohon semak yang ditemukan anak-anak di ladang di belakang kompleks. Beberapa hiasan kertas yang dibuat di kelas membuatnya tampak seperti pohon Natal sungguhan. Tidak ada apa pun di bawah pohon itu. Keempat anak lelaki itu dan orangtuanya berdiri tanpa berkata-kata saat para pria meletakkan kantong demi kantong. Pada akhirnya mereka menanyakan siapa yang mengirimnya, bagaimana mereka bisa tahu alamat mereka, dan sebagainya. Tetapi para pria itu hanya pergi dengan teriakan “Selamat Natal!” Ketika para pria tiba kembali di rumahku, mereka terdiam, tidak bisa berkata-kata. Untuk memecah keheningan, bibiku berdiri dan mulai menyanyikan “Malam Kudus” dan kami semua ikut menyanyi.
Ketika sekolah dimulai kembali, setiap hari Gina pulang ke rumah menceritakan pakaian baru John dan bagaimana sekarang anak-anak lain bermain dengannya dan memperlakukannya sama seperti anak-anak lain. Gina tidak pernah memberitahu siapa pun tentang apa yang telah kami lakukan, tetapi setiap Natal sejak Natal yang satu itu, dia akan berkata kepadaku, “Mom, apa yang terjadi pada John dan keluarganya?” Meski tidak tahu jawabannya, aku ingin berpikir bahwa John dan keluarganya telah tertolong oleh hadiah dari putriku.
-Linda Snelson
Chicken Soup for the Soul Christmas Treasury