Pendidikan Nasional dan Karakter Siswa

Pendidikan saat ini hanya mengedepankan penguasaan aspek keilmuan dan kecerdasan anak. Adapun pembentukan karakter dan nilai-nilai budaya bangsa di dalam diri siswa semakin terpinggirkan. Rapuhnya karakter dan budaya dalam kehidupan berbangsa bisa membawa kemunduran peradaban bangsa. Padahal, kehidupan masyarakat yang memiliki karakter dan budaya yang kuat akan semakin memperkuat eksistensi suatu negara.

Persoalan itu mengemuka dalam Sarasehan Nasional Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa yang diadakan Kementerian Pendidikan Nasional di Jakarta, Kamis (14/1/2010). Acara yang dibuka Menteri Pendidikan Nasional Mohammad Nuh itu diikuti sekitar 195 orang yang terdiri dari pakar pendidikan, tokoh masyarakat, budayawan, rohaniwan, akademisi, birokrat, dan pihak lain yang terkait.

”Indonesia dikenal memiliki karakter kuat sebelum zaman kemerdekaan, tatkala mencapai kemerdekaan, dan mempertahankan kemerdekaan. Sekarang, karakter masyarakat Indonesia tidak sekuat pada masa lalu, sangat rapuh. Pemimpin saat ini juga tidak menjaga pembangunan karakter dan budaya bangsa,” kata Yahya Muhaimin, mantan Menteri Pendidikan Nasional, salah satu pembicara. Menurut Yahya, pembangunan karakter mesti menjadi program nasional. Dalam pendidikan, pembentukan karakter dan budaya bangsa pada siswa tidak mesti masuk kurikulum. Yahya mengatakan, nilai-nilai yang ditumbuhkembangkan dalam diri siswa berupa nilai-nilai dasar yang disepakati secara nasional yang berdasarkan pada agama dan kenegaraan. Misalnya, kejujuran, dapat dipercaya, kebersamaan, toleransi, tanggung jawab, dan peduli kepada orang lain.

Franz Magnis-Suseno, guru besar Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, mengatakan, yang dibutuhkan bukan hanya karakter kuat, tetapi juga benar, positif, dan konstruktif. Namun, untuk membentuk anak-anak didik yang berkarakter kuat tidak boleh ada feodalisme para pendidik. Jika pendidik membuat anak menjadi ”manutan” dengan nilai-nilai penting, tenggang rasa, dan tidak membantah, karakter anak tidak akan berkembang. ”Kalau kita mengharapkan karakter, anak itu harus diberi semangat dan didukung agar ia menjadi pemberani, berani mengambil inisiatif, berani mengusulkan alternatif, dan berani mengemukakan pendapat yang berbeda. Ia harus diajarkan untuk berpikir sendiri,” katanya.

Pemimpin Pondok Modern Darussalam Gontor KH Syukri Zarkasi mengatakan, kita mesti tahu orientasi pendidikan supaya tidak sekadar mendapat ijazah untuk mencari kerja. Pendidikan yang utama adalah membangun karakter.

Mendiknas mengatakan, kerisauan dan kerinduan banyak pihak untuk kembali memperkuat pendidikan karakter dan budaya bangsa direspons dengan baik. Pemerintah membutuhkan masukan, antara lain, menyangkut model-model pengembangan karakter dan budaya bangsa sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari sistem pendidikan nasional.

Tekad pemerintah menjadikan pengembangan karakter dan budaya bangsa sebagai bagian yang tak terpisahkan dari sistem pendidikan nasional harus dimaknai serius karena butuh banyak pengorbanan. “Sebab, syaratnya, pendidikan karakter itu harus holistik, tidak bisa terpisah dengan yang sifatnya kognitif atau akademik,” ujar praktisi pendidikan, Dr Anita Lie, di Jakarta, Jumat (15/1/12010).

Mata pelajaran biologi, misalnya, siswa bisa diajak langsung menanam tumbuh-tumbuhan, diberi pemahaman tentang manfaatnya, dikaitkan dengan kerusakan lingkungan dan sebagainya. Dikatakannya, pelajaran biologi juga menyangkut hal-hal lain di luar disiplin ilmu tersebut.

Pada mata pelajaran kesenian pun bisa diterapkan pendidikan karakter. Sebutlah contohnya, siswa diajak mengenal dan mempraktikkan beragam peninggalan seni budaya yang menjadi muatan-muatan lokal, falsafah budaya, dan manfaatnya. “Masalahnya, mayoritas guru belum punya kemauan untuk melakukan itu. Kesadaran sudah ada, hanya saja belum menjadi sebuah aksi nyata,” ujarnya.

Hal tersebut, kata Anita, disebabkan pendidikan Indonesia masih terfokus pada aspek-aspek kognitif atau akademik, baik secara nasional maupun lokal di satuan pendidikan. Sebaliknya, aspek soft skils atau nonakademik sebagai unsur utama pendidikan karakter justeru diabaikan. “Karena mengejar target-target akademik itu, sebutlah seperti Ujian Nasional (UN) misalnya, pendidikan karakter akan sulit diterapkan. Kita semua memang masih terpusat pada prestasi akademik,” tambah Anita. Selama ini pendidikan karakter yang kebanyakan dijalankan di sekolah hanya berbentuk konseling oleh guru Bimbingan dan Penyuluhan (BP), belum menyentuh secara optimal dalam kurikulum.

Hal tersebut sulit dimungkiri, karena guru BP memang tidak bisa meraih semuanya sehari-hari di sekolah. Istilahnya, kalau ada masalah datang, kalau tidak, ya, tidak. Selain itu, tidak jarang keberadaan guru BP dirangkap oleh guru mata pelajaran. Akhirnya, konsep pendidikan karakter sampai sejauh ini tidak pernah optimal. “Padahal seharusnya semua guru bisa menerapkan pendidikan karakter itu, tetapi mereka harus bisa meneguhkan dulu, bahwa di kelas itu mereka juga mendidik, bukan cuma mengajar,” ujar praktisi pendidikan, Dr Anita Lie, di Jakarta, Jumat (15/1/12010).

Anita mengatakan, untuk menerapkan pendidikan karakter seluruh sekolah harus memiliki kesepakatan tentang nilai-nilai karakter yang akan dikembangkan di sekolahnya. Unsur-unsur pengembangan karakter itu pun harus diintegrasikan di semua mata pelajaran. “Masalahnya, mayoritas guru belum punya kemauan untuk melakukan itu. Kesadaran sudah ada, hanya saja belum menjadi sebuah aksi nyata,” ujarnya.

Peraih gelar Doktor Bidang Kurikulum dan Pengajaran dari Baylor University, Texas, Amerika Serikat, ini menambahkan bahwa pendidikan karakter sebaiknya tidak dikotomikan macam-macam. Dia katakan, konsep pendidikan tersebut harus diintegrasikan ke dalam kurikulum. “Memang, selama ini bimbingan karakter sudah ada di sekolah seperti konseling, tetapi itu bervariasi. Di sekolah guru BP tidak bisa meraih semua, kalau ada masalah datang, kalau tidak, ya, tidak,” ujarnya. Selain itu, lanjut Anita, tidak jarang keberadaan guru bimbingan dan penyuluhan (BP) kadang dirangkap oleh guru mata pelajaran. Akhirnya, konsep pendidikan karakter sampai sejauh ini tidak pernah optimal.

Sumber : Kompas.com

Posted in karakter, News, Parenting and tagged , , , .