“Eh, anakmu SMA mau di mana?” tanya seorang tante. “Wah, belom tau. Tapi kayaknya mau kupindahin ke sekolah yang lebih gede aja, biar gampang cari kuliah,” jawab tante yang lain. Rasanya tidak asing mendengar percakapan seperti ini di kalangan orang tua Athalia. Entah orang tua yang ingin anaknya masuk ke universitas negeri maupun yang mau mengirim anaknya ke luar negeri, kelihatannya SMA Athalia kurang menarik. Tidak mengherankan karena Athalia bukan sekolah tua, baru meluluskan 2 angkatan sampai saat ini. Tapi benarkah usia sekolah menjadi standar kualitas?
Saya lulus dari SMA Athalia di angkatan kedua tahun 2014. Cukup beruntung, saya dapat kesempatan untuk kuliah di Amerika, di Dordt College, mengambil jurusan Fisika. Ketika saya mencapai tahun terakhir di SMA, saya memutuskan untuk ikut tes SAT, yaitu ujian masuk perguruan tinggi di seluruh Amerika. Yah bisa dibilang semacam SBMPTN kalau di Indonesia. Ternyata semua perguruan tinggi di Amerika punya akses ke nilai-nilai ini, dan mereka akan menawarkan diri kepada murid-murid yang dianggap punya potensi. Cukup mengagetkan, saya dapat lumayan banyak tawaran dari universitas yang cukup besar, seperti Arizona State University, University of South Florida, University of Cincinnati, dan lainnya, meskipun akhirnya saya memilih sekolah yang lebih kecil untuk lingkungan Kristen yang lebih baik.
Namun yang saya ingin sampaikan bukan senangnya saya tentang kehidupan baru saya, atau menyombongkan keberhasilan saya, tetapi justru saya mau bercerita tentang pengalaman saya di SD, SMP, SMA Athalia (ya, saya tahu saya tidak pernah ganti sekolah semenjak SD). Saya masih sangat terkesan dengan guru-guru di Athalia yang selalu peduli dengan murid-muridnya. Meskipun Athalia bukan sekolah yang menuntut akademik setinggi sekolah-sekolah “top” di Tangerang atau Jakarta, tetapi guru-guru Athalia selalu mengharapkan murid-muridnya untuk melakukan lebih dari “cukup”. “Melakukan yang terbaik” adalah prinsip yang selalu ditekankan, dan memang sebagai murid itulah motivasi yang dibutuhkan. Sekolah lain boleh menuntut pelajaran yang lebih susah, tetapi sebagian anaknya menyontek. Murid Athalia, di sisi lain mendapatkan nilai sesuai dengan kemampuan mereka, yaitu yang terbaik yang mereka bisa.
Guru-guru Athalia selalu memberi motivasi setiap harinya. Motivasi-motivasi itulah yang kemudian membentuk karakter kami sebagai murid, hingga kami mampu bekerja keras dan semangat belajar (bahkan setahu saya, guru-guru yang ketahuan mengucapkan kalimat yang tidak membangun ditegur kepala sekolah). Itu menunjukkan betapa seriusnya sekolah Athalia membangun karakter murid.
Saya berani bilang Athalia punya komunitas paling baik dibandingkan sekolah-sekolah di Tangerang (atau malah di seluruh Indonesia jangan-jangan). Banyak orang bilang Athalia terlalu terisolasi, sehingga ketika muridnya pergi keluar malah lebih mudah terjerumus. Pengalaman saya bilang sebaliknya. Komunitas yang baik ini sudah memberi “image” ke saya kalau definisi teman adalah orang-orang berkelakuan baik, bukan anak nakal. Sehingga ketika saya kuliah pun, saya mencari teman-teman yang baik (semoga teman-teman alumni yang lain juga begitu).
Pada akhirnya, saya hanya ingin bilang kalau saya bangga menjadi lulusan Athalia. Keluarga saya bukan keluarga yang berbahasa Inggris, dan saya juga tadinya hanya seperti anak SMA pada umumnya, pergi les Inggris dua kali seminggu. Sekolah Athalia terbukti bisa memberi saya kesempatan kuliah ke mana saja, dan bukan saya saja, tetapi banyak teman-teman alumni lain yang punya cerita-cerita hebat. Saya harap sekolah Athalia akan terus mempertahankan kualitasnya, tetap seperti sekolah yang saya tahu, dan saya pun mengundang adik-adik kelas untuk mempertimbangkan sekolah Athalia lebih serius lagi. Salam dari saya untuk guru-guru dan teman-teman.
Daniel Amadeo Amin