Banyak orang tua yang merasa kebingungan saat menghadapi perilaku anak. Apa yang harus saya lakukan saat anak menunjukkan pemberontakan? Apakah saya perlu menghukum anak? Bagaimana cara efektif untuk mendisiplinkan anak? Apa yang harus saya lakukan untuk membuat anak tumbuh menjadi sosok yang mandiri dan tangguh? Kebingungan-kebingungan ini, yang kemudian membuat orang tua meempraktikan parenting yang kurang tepat, lantas menyebabkan dampak yang cukup signifikan dalam diri anak. Anak jadi tidak manja, terlalu bergantung, suka melawan orang tua, dan lain sebagainya. Kalau sudah begini, orang tua jadi semakin bingung dan pusing…
Tag Archives: Karakter
Teacher’s Day Sekolah Athalia 2020
Teacher’s Day Sekolah Athalia 2020
Persembahan Pujian Natal Bersama Guru, Staf dan Siswa-siswi SMP & SMA Sekolah Athalia
Persembahan Pujian Natal Bersama Guru, Staf dan Siswa-siswi SMP & SMA Sekolah Athalia
Lagu:
Hai Dunia Gembiralah
Gita Sorga Bergema
Hai mari berhimpun
Malam Kudus
#sekolahathalia #perayaannatal #natalvirtual #virtualchoir #natal2020 #komunitassekolahathalia #rightfromthestart
Webinar Parenting #4 “Adik Kakak Bertengkar: Biasa atau Luar Biasa?”
Banyak hal yang dibahas dalam webinar parenting #4 bertema “Adik Kakak Bertengkar: Biasa atau Luar Biasa?” kali ini. Masih bersama Ibu Charlotte Priatna, peserta belajar mengenali tanda-tanda relasi di antara saudara kandung sudah masuk ke area “berbahaya”. Dipaparkan juga mengenai cara mengajarkan anak untuk berelasi secara sehat dengan saudara kandungnya. Dalam webinar ini, hadir juga pembicara tamu, Ibu Clara, yang merupakan orang tua yang memiliki tiga orang anak, yang semakin memperkaya materi webinar kali ini.
Jangan lewatkan webinar berikutnya:
– Webinar LTS #5: Anak Kebablasan, Ortu Kebingungan (Jumat, 15 Januari 2020, pukul 14.00)
Pendaftaran: http://bit.ly/LTSPart5
– Webinar LTS #6: Letting Go: Melepas Anak “Ke Luar Sarang” (Jumat, 19 Februari 2020, pukul 14.00)
Pendaftaran: https://bit.ly/LTSPart6
#webinarparenting #belajarparenting #sekolahathalia #familyfirstindonesia #christianparenting #relasisaudarakandung #charlottepriatna #learningtostop
Ibadah Natal SMP 2020
Ibadah Natal SMP Athalia 15 Desember 2020
Yesus Datang Membawa Damai
Damai Allah Turun Atas Kita
Oleh: Dra. Corrina Anggasurjana, MA
Apakah damai itu? Menurut KBBI, damai adalah:
1 n tidak ada perang; tidak ada kerusuhan; aman 2 a tenteram; tenang 3 n keadaan tidak bermusuhan; rukun.
Dalam Bahasa Ibrani “shalom” שלום berarti damai, sejahtera, sentosa, aman, selamat, perdamaian, ketenangan, completeness, sedangkan dalam Bahasa Yunani “eirênê” ειρηνη artinya keadaan tenang, damai, dan sentosa.
Apa yang muncul di pikiran Anda bila mendengar kata “damai”? Ada yang membayangkan burung merpati, pemandangan gunung yang biru dengan lembah hijau dipenuhi bunga-bunga liar yang bermekaran, berdiri di pantai sambil memandang semburat kejinggaan di langit menjelang senja atau aliran sungai yang tenang dengan gemericik lembut, ada juga yang menggambarkannya sebagai berikut.
Bangsa Israel mempunyai pengalaman yang menarik dengan “damai”. Bangsa ini diberi hak istimewa untuk menerima langsung janji datangnya Raja Damai. Namun, mereka mengalami kesulitan untuk memercayainya. Mengapa? Karena yang mereka harapkan dan bayangkan berbeda dengan maksud dan rencana Tuhan.
Nabi Yesaya menubuatkan datangnya Raja Damai (± tahun 740 SM) yang tertulis dalam Yesaya 9:6–7.
Sebab seorang anak telah lahir untuk kita, seorang putera telah diberikan untuk kita; lambang pemerintahan ada di atas bahunya dan namanya disebutkan orang: Penasihat Ajaib, Allah yang Perkasa, Bapa yang Kekal, Raja Damai. Besar kekuasaannya, dan damai sejahtera tidak akan berkesudahan di atas takhta Daud dan di dalam kerajaannya, karena ia mendasarkan dan mengokohkannya dengan keadilan dan kebenaran dari sekarang sampai selama-lamanya. Kecemburuan TUHAN semesta alam akan melakukan hal ini. Ternyata bangsa Israel justru mengalami pembuangan ke Babilonia.
Di mana damai yang dijanjikan?
Ketika Raja Damai itu lahir di dunia (± 700 tahun setelah nubuat tentang ini disampaikan), seperti tercatat dalam Lukas 1 dan 2, Raja itu tidak membebaskan bangsa Israel yang sedang dijajah dan diperbudak oleh bangsa Romawi, bahkan Raja itu mati dengan cara yang sangat hina—disalib—dan setelah kebangkitan-Nya, Raja itu pun naik ke surga tanpa mendirikan kerajaan atau meninggalkan pengganti-Nya secara fisik. Tindakan kaisar-kaisar Romawi bahkan mendorong bangsa Israel untuk berdiaspora, tercerai-berai tanpa tanah air. Di mana damai yang dijanjikan?
Situasi politik selama Perang Dunia I membuka jalan bagi bangsa Israel untuk melakukan Gerakan Zionis (Zionisme), yang memicu pertentangan dan perang berkepanjangan dengan Palestina. Di mana damai yang dijanjikan?
Saat Perang Dunia II meletus, bangsa Israel mengalami holocaust, yaitu genosida terhadap kira-kira enam juta penganut Yahudi di Eropa, suatu gerakan pembunuhan secara sistematis yang dipimpin oleh Adolf Hitler, dan berlangsung di seluruh wilayah yang dikuasai oleh Nazi. Di mana damai yang dijanjikan?
Di mana damai itu? Berita damai itu disampaikan ketika bangsa Israel mengalami situasi-situasi yang tidak menyenangkan, keadaan yang justru terjadi karena ulah mereka sendiri yang menduakan Tuhan, mereka berpaling kepada allah-allah lain yang tidak dapat memberikan ataupun melakukan apa-apa, tetapi Tuhan yang mahabaik memberi jalan keluar dengan mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, Yesus Kristus.
Syukur! Janji itu tidak hanya untuk bangsa Israel…. orang Yahudi… tapi untuk semua orang yang percaya kepada Tuhan, pemberi janji itu. Apakah kita akan bersikap seperti bangsa Israel yang memaksakan damai sesuai pandangan dan keinginan sendiri? Damai seperti apa yang Tuhan maksudkan? Berdamai dengan Allah Tritunggal, itulah damai yang sesungguhnya. Karya Kristus di kayu salib membuka jalan perdamaian itu, memulihkan hubungan manusia dengan Allah.
Damai sejahtera Kutinggalkan bagimu. Damai sejahteraKu Kuberikan kepadamu, dan apa yang Kuberikan tidak seperti yang diberikan oleh dunia kepadamu. Janganlah gelisah dan gentar hatimu (Yohanes 14:27).
Damai yang dianugerahkan-Nya memungkinkan kita menghadapi dan menjalani hari-hari kita dengan damai sejahtera-Nya, sekalipun situasinya tidak menyenangkan karena Damai sejahtera Allah, yang melampaui segala akal, akan memelihara hati dan pikiranmu dalam Kristus Yesus (Filipi 4:7). Tugas kitalah untuk membagikan damai itu kepada semua orang karena kita bukan peace owner atau peace keeper, tetapi peace maker.
Sedapat-dapatnya, kalau hal itu bergantung padamu, hiduplah dalam perdamaian dengan semua orang!(Rm 12:18).
Apakah Tuhan hanya mengurusi damai yang berhubungan dengan hal-hal rohani? Dapatkah Dia menenangkan kekisruhan jasmaniah? Dapat! Laut yang bergelombang pun Dia tenangkan hanya dengan perkataan:
“Tenanglah! Aku ini, jangan takut!”
Matius 14:27
Belajar Percaya dan Bergantung kepada Tuhan
Oleh: Andy E. Daniswara
Percayalah kepada Tuhan dengan segenap hatimu dan janganlah bersandar kepada pengertianmu sendiri. (Amsal 3: 5)
Waktu itu saya masih berada di kelas X dan diberi kesempatan untuk menjadi pengurus OSIS. Awalnya, saya masih ragu untuk menerima tawaran tersebut karena jadwal pelajaran yang padat. Namun, dengan modal pengalaman di kepengurusan OSIS SMP, saya memberanikan diri untuk menerima tawaran tersebut.
Awal mula masuk ke kepengurusan OSIS SMA, saya belajar banyak hal baru yang belum pernah saya dapat sebelumnya di OSIS SMP. Mulai dari cara mengatur waktu, menentukan prioritas, hal-hal yang diperlukan untuk berorganisasi, hingga menjalin hubungan yang baik dengan guru maupun teman.
Setahun telah berjalan, kepengurusan OSIS kemudian berganti. Puji Tuhan saya diberi kesempatan oleh teman-teman menjadi ketua pada waktu itu. Awal mula kepengurusan berjalan, saya sadar bahwa semua memang karena jalan-Nya. Secara pribadi, saya menjadikan Tuhan sebagai fondasi di dalam kepengurusan yang saya pimpin. Saya menjadikannya pokok doa agar kepengurusan ini selalu tetap di jalan Tuhan dan sesuai dengan rencana-Nya. Selama OSIS berjalan, setiap kegiatan yang dilaksanakan oleh kepengurusan OSIS selalu saya bawa di dalam doa. Saya meminta tuntunan dan penyertaan Tuhan agar dapat menjalankan tugas ini dengan sebaik-baiknya.
Namun, pada suatu waktu, ada rencana kegiatan OSIS yang tidak mendapat izin karena bentrok dengan kegiatan yang diadakan oleh sekolah. Gejolak pun muncul di dalam pengurus OSIS. Banyak yang mempertanyakan keputusan sekolah pada waktu itu. Saya pun pada waktu itu mencoba untuk bernegosiasi dengan pembimbing OSIS dan beberapa guru yang bersangkutan, tetapi tidak membuahkan hasil. Hal yang lebih mengesalkan lagi, kami tidak terlalu dilibatkan di dalam kegiatan sekolah yang bisa dibilang berskala besar.
Saya bergumul. Saya mulai mempertanyakan Tuhan. Kenapa pada waktu itu Tuhan seperti tidak campur tangan? Kenapa pada waktu itu Tuhan tidak membuka jalan untuk kegiatan OSIS SMA? Karena merasa seperti Tuhan tidak pernah bertindak, pada akhirnya saya kecewa dengan Tuhan.
Kekecewaan saya terhadap Tuhan berdampak hampir ke seluruh aspek hidup saya. Saya jadi jarang baca Alkitab dan saat teduh. Kepribadian saya juga mulai berubah. Saya menjadi lebih temperamental. Saya mengatakan apa saja yang ingin saya katakan tanpa memikirkannya terlebih dahulu. Saya menjadi congkak dan egois. Cara pandang saya dalam mengambil keputusan rapat yang biasa didasari dengan hati yang tenang dan damai berubah menjadi penuh kekesalan dan hati yang gundah. Hal ini berdampak pada pengambilan keputusan yang tidak memuaskan.
Masalah demi masalah terus datang dan selalu selesai dengan tidak memuaskan. Rasanya ada yang kurang dan selalu menghalangi kebahagiaan di dalam diri. Hal ini juga terasa di dalam lingkungan OSIS. Kami, yang biasanya selalu menanggapi ledekan dan kata-kata “manis” sebagai sebuah candaan, berubah jadi lebih mudah tersulut emosinya.
Waktu terus berjalan dan saya masih menyimpan rasa kecewa. Rasanya tidak mungkin pada waktu itu berdamai dengan Tuhan. Hingga pada suatu saat di kegiatan OSIS yang diadakan di sekolah, saya menerima pesan dari ibu saya. Isi pesannya pada waktu itu: “Nak, baca Amsal 16, ya.” Dalam hati, saya bertanya-tanya maksudnya. Namun, saya mengikuti saran ibu saya dan membaca kitab yang dimaksud. Saat membacanya, beberapa ayat terngiang-ngiang terus di kepala saya yang membuat saya akhirnya kembali kepada Tuhan.
Namun, pergumulan yang dihadapi setelah itu adalah “memperbaiki” kondisi pribadi dan kondisi di dalam kepengurusan OSIS yang pada waktu itu kian memanas. Banyak hal yang menjadi beban pikiran kami. Kami hanya mengandalkan kepintaran sendiri sehingga masalah-masalah yang ada sulit sekali untuk diselesaikan.
Saya akhirnya menyadari kalau ada yang salah. Saya mencoba untuk mendamaikan diri dengan berdoa dan membaca Alkitab. Saya menemukan satu ayat yang sampai saat ini terus menjadi pedoman yang menguatkan saya. Amsal 3: 5 yang berbunyi, “Percayalah kepada Tuhan dengan segenap hatimu dan janganlah bersandar kepada pengertianmu sendiri.”
Akhirnya, saya berdoa dan mencoba menyerahkan semua masalah yang saya hadapi, termasuk OSIS. Puji Tuhan, masalah yang ada Tuhan selesaikan dengan cara-Nya. Saya kembali menjadi pribadi yang tenang dan tidak mudah marah. Puji Tuhan, kondisi di OSIS pun lebih kondusif. Aura persahabatan kembali terasa kental di antara pengurus OSIS.
Masalah di atas membuat saya belajar untuk bergantung sepenuhnya kepada Tuhan dan tidak kecewa kepada-Nya. Berdasarkan pengalaman saya, kekecewaan tersebut justru menimbulkan masalah-masalah baru yang membuat hidup menjadi tidak damai. Dengan kita berserah dan bergantung kepada Tuhan, Dia akan membantu kita dan menuntun kita di jalan-Nya.
Sukacita Menjadi Seorang Ibu
Oleh: Valentina
Saya seorang ibu dengan tiga orang anak. Dua orang putri dan satu anak laki-laki. Ketiganya saya rawat dan besarkan seorang diri karena ayahnya bekerja jauh yang pulang beberapa kali dalam satu tahun. Meskipun sangat repot, ada rasa suka cita manakala melihat anak-anak bertumbuh dengan baik.
Dalam mendidik anak, saya berusaha untuk tidak mendikte mereka. Untuk urusan yang berhubungan dengan kegiatan mereka, saya selalu mendiskusikannya, bahkan sejak mereka masih balita. Mereka boleh mengajukan pendapat meskipun saya yang memutuskan. Saya akan menjelaskan alasannya jika ternyata keputusan berbeda dengan pilihan mereka. Begitu pula bila mereka melakukan kesalahan, bukan saja menegurnya, saya harus menerangkan alasan saya marah sampai mereka paham.
Anak-anak juga tidak ada yang mengikuti les mata pelajaran. Saya mendampingi mereka saat belajar di rumah. Namun, ketika mereka kelas tiga SD, saya mulai melepaskan perlahan. Mereka sudah mulai belajar secara mandiri, dan saya hanya memantau. Pada awalnya, nilai agak turun (memang tidak sampai di bawah KKM), tetapi itu tidak apa-apa. Biar mereka belajar bagaimana harus berjuang untuk meraih sesuatu sesuai yang diharapkan.
Hebatnya, ternyata mereka memiliki standar untuk diri mereka sendiri, tanpa saya perlu memintanya. Mereka begitu bersemangat, sementara saya hanya mengawal dan mendampingi, sambil menggali dan mencari tahu potensi yang ada di dalam diri tiap anak. Ketika saya mulai melihat talenta yang Tuhan karuniakan, saya berusaha untuk mendukung dan terus mengembangkannya.
Memang, tidak semua anak seperti itu. Anak pertama kami lebih membutuhkan perhatian khusus, tapi kami berhasil melewatinya. Saya percaya semua ini adalah campur tangan Tuhan. Roh Kudus yang memberikan kepada mereka hati yang bertanggung jawab, mandiri, dapat membedakan yang baik dan tidak, mana yang boleh dan tidak. Bahkan jika melakukan kesalahan, mereka terbuka mau bercerita kepada saya. Sebagai orang tua, kami tidak mengalami kesulitan dalam mendidik mereka.
Berbeda dengan kedua kakaknya (jaraknya cukup jauh), putra kami yang bungsu setiap hari belajar bersama kelompoknya, tapi tetap di rumah masing-masing. Tentu saja awalnya saya bingung karena saya kira dia cuma sedang mengobrol. Ternyata, dia sedang berdiskusi secara online bersama tiga orang temannya. Di situ saya merasa bangga karena dia memanfaatkan teknologi dengan tujuan baik. Meskipun jika ada waktu, mereka juga bermain game bersama.
Di sinilah saya belajar bahwa beda generasi, beda pula cara asuhnya. Semakin ke sini, mau tidak mau anak akan tumbuh berdampingan dengan teknologi. Karena itu, modal yang saya tanamkan kepada mereka adalah bahwa dalam menjalani hidup, mereka bertanggung jawab kepada Tuhan. Orang tua tidak selalu ada untuk mereka, tetapi ada Tuhan yang menjaga sekaligus mengamati. Saat ini, kedua putri kami sedang menempuh kuliah, dan saat tulisan ini ditulis, keduanya sudah di akhir semester. Sementara putra bungsu kami duduk di kelas sepuluh. Walaupun ada sedikit riak-riak, segala sesuatu termasuk berjalan dengan lancar. Kami merasakan penyertaan Tuhan. Dia telah mempertemukan kami dengan orang-orang dan kondisi yang tepat, seperti salah satunya dengan sekolah dan guru-guru Athalia. Dia selalu ada, serta menolong tepat di saat kami membutuhkan pertolongan.
Tak Kenal, maka Tak Sayang
Oleh: Adrianus
Sepertinya peribahasa yang menjadi judul tulisan ini sangat cocok untuk mengisahkan pengalaman anak kami satu-satunya yang saat tulisan ini dibuat, duduk di kelas 4N. Kami mengingat awal anak kami masuk kelas 1 SD. Kebetulan anak saya punya teman sekelas sejak TK. Jarak rumah kami berdekatan. Akhirnya, selama seminggu saya mengantar dan menjemput kedua anak tersebut.
Terus terang, sebagai orang tua, kami berharap anak akan senang ketika berada di sekolah. Namun, harapan itu ternyata jauh dari kenyataan. Saya sempat kaget melihat anak saya menolak masuk kelas dan terus menangis. Sementara itu, temannya dengan santai dan percaya diri melenggang masuk ke kelas.
Anak saya terus menangis, berkata bahwa dia tidak mau sekolah dan mau pulang saja. Saya shock sampai menelepon istri dan berkata, “Apa perlu kita pindahkan sekolahnya?” Padahal, sewaktu mengikuti tes penerimaan siswa baru, anak kami mampu menjawab pertanyaan dengan baik. Dia juga terlihat senang dan mau sekolah di Athalia. Mungkin anak kami kaget melihat suasana sekolah yang ramai. Saat TK, memang lingkungannya lebih kecil dengan sedikit teman.
Saat pulang ke rumah, terus terang pikiran saya tidak tenang. Saya mengingat kembali ketika dia berusia 2,5 tahun. Dengan riang gembira, dia selalu mengikuti Sekolah Minggu. Begitu juga ketika dia masuk TK. Bahkan, dia kami ikutkan jemputan dan tidak pernah ada masalah sama sekali. Mungkin inilah yang terjadi, ekspektasi orang tua terhadap anak tidak sesuai kenyataan.
Setelah satu minggu mengantar-jemput anak selesai, kami melimpahkan tugas tersebut kepada mobil jemputan. Kami pikir semuanya sudah berlalu. Namun, ternyata kami salah.
Suatu pagi, terjadi kehebohan karena anak saya menolak ikut mobil jemputan. Istri saya mengantarnya sampai ke dalam mobil, tetapi anak kami berteriak-teriak tidak mau sekolah. Dia menangis dan memberontak, ingin lompat ke luar mobil. Saya sampai tepok jidat. Kenapa lagi anak ini? Setelah melakukan pembicaraan dengan anak dan sopir jemputan, akhirnya dia mau berangkat sekolah.
Kami bersyukur bahwa fase tersebut akhirnya berakhir. Setelah beberapa waktu berlalu, anak saya sudah mulai enjoy ke sekolah. Dia bercerita teman-temannya ternyata sangat baik, sangat welcome. Meskipun teman-temannya sebagian besar merupakan siswa Athalia sejak TK, mereka mau mengajaknya bermain dan tidak pernah mengejeknya.
Bahkan, setelahnya, anak kami tidak pernah mau izin tidak masuk sekolah. Ketika dia sakit, dia tidak mau izin. Pernah suatu hari karena lupa dia makan ikan laut sehingga alerginya kumat, di badannya tampak bentol-bentol dan dia merasa kurang sehat. Namun, ketika disuruh pulang oleh guru wali kelas, dia tidak mau, saking cintanya dengan sekolah Athalia dia memilih tetap belajar hingga selesai jam sekolah.
Dia bilang kepada mamanya, “Aku tidak mau ketinggalan pelajaran di sekolah.” Bahkan, ketika sedang demam pun di rumah tetap belajar agar bisa ikut ulangan. Kami terharu ketika melihat perjuangannya mengenal sekolah, lingkungan, teman, dan segala hal baru. Dia juga berhasil naik ke kelas 3 dengan mendapatkan piala hasil kumulatif dari piagam top score yang dia kumpulkan dari kelas 1 semester 1 sampai kelas 2 semester 2.
Itu adalah momen terindah baginya dan suatu kejutan bagi kami. Bahkan, malam sebelum dia terima rapor, saya bilang, “Ahhh…sepertinya kamu tidak mungkin deh dapat banyak nilai bagus karena agak malas belajar kelas 3 ini. Kalo sampai kamu dapat nilai bagus banyak, akan papa belikan jam tangan yang tahan air deh…”
Sekali lagi, ekspetasi orang tua tidak sesuai kenyataan. Ternyata, anak kami malah membawa pulang piala. Saya pun harus memenuhi janji membelikan sebuah jam tangan yang tahan air agar bisa dipakai renang. Ini adalah momen tepok jidat yang kedua.
Saat anak kami berada di kelas 3, dia mendapatkan rujuan dari RS untuk berobat dan menjalani serangkaian tes di RS Siloam Karawaci. Kami berangkat dari rumah jam 6 pagi karena jarak yang lumayan jauh. Dia berpesan untuk dibawakan seragam dan tas sekolah. Dia berharap proses tes tidak terlalu lama sehingga bisa lanjut pergi ke sekolah. Namun, ternyata proses tes berjalan lama sampai lewat jam makan siang sehingga hari itu dia tidak bisa masuk sekolah.
Puji Tuhan, akhirnya anak kami menemukan dunia yang indah di masa kecilnya untuk belajar banyak hal dan bermain. Kami sebagai orang mencoba mengajarkan kepada anak kami dengan memberikan keteladanan hidup, moral, dan iman untuk masa depannya. Dengan luar biasa, sekolah Athalia membentuknya dengan cara mendidik karakternya untuk menjadi anak yang takut akan Tuhan dan berguna bagi bangsa dan negara, seperti moto sekolah ini “Right From The Start”, benar sejak awal.
Terima kasih, Athalia
Libatkan Tuhan dalam Hidupmu
Oleh: Elisa Christanto
Sekilas saya melihat tatapan wajahnya kosong, menatap ke luar jendela. Kepalanya tersandar dengan lesu.
Setelah ngobrol tentang ini dan itu, akhirnya saya menemukan jawabannya: ia merasa letih dengan jadwal belajar yang sangat padat menjelang ujian nasional. Sebagai ibu yang mendampingi di rumah, saya pun merasakan hal itu. Iba sekaligus bangga melihat anak usia SD berjuang keras untuk meraih yang terbaik. Meski baru pulang sekolah, dia punya waktu belajar dan mengerjakan tugas-tugas. Luar biasa!
Saya dan suami bergandengan tangan untuk menjaga semangatnya sampai lulus UN dengan nilai yang sangat baik. Puji Tuhan. Namun, menjelang usianya yang sudah remaja, sebagai orang tua kami tak hanya ingin melihat anak berkembang secara kognitif alias punya pencapaian bagus dalam hal akademis. Kami butuh sekolah yang mendidik dan mendampingi anak-anak dengan nilai-nilai Kristiani sekaligus memberikan bekal untuk pengembangan karakternya.
Anak kami ini sangat peduli dengan orang lain dan paling tidak bisa melihat orang lain bersedih.
Hal itu sudah ditunjukkannya sejak ia masih kecil. Bahkan, pada saat TK A, ia sendiri yang bercerita bahwa salah seorang temannya tidak dibawakan bekal. Berhubung bekalnya masih ada, ia memberikan beberapa keping biskuit ke temannya itu tanpa disuruh guru.
Namun, di lain sisi ia juga menjadi anak yang tidak tegas. Tidak tegas untuk mengatakan “tidak” terhadap hal-hal yang kurang baik. Contohnya, saat kelas TK A, ada salah seorang temannya yang menggodanya, tetapi ia cuek. Justru temannya itu menjadi emosi dan akhirnya hidungnya ditonjok hingga lebam dan berdarah. Bahkan, dampak dari kejadian itu hidungnya mengalami trauma sehingga sering kali mimisan.
Peristiwa itu menjadi pergumulan kami dan puncaknya ketika di kelas 4 dia mengalami perundungan dari seorang temannya. Suatu hari, dia membawa bekal susu kotak. Lalu, temannya bilang bekalnya sudah habis, tetapi masih lapar dan meminta susu kotak itu. Dengan senang hati anak kami memberikannya.
Namun, rupanya tak berhenti di situ. Besok dan besoknya lagi setiap jam sarapan atau makan siang, anak itu selalu meminta bekal anak kami. Suatu hari, anak kami menolak permintaan temannya karena memang dia tidak membawa bekal lebih. Jawaban itu memicu kemarahan temannya yang berakibat seisi tas sekolah anak kami ditumpahkan di kelas.
Diperlakukan seperti itu, anak kami tetap bergeming. Dia tidak melawan. Salah seorang siswa yang melihat kejadian itu melapor kepada wali kelas dan guru. Akhirnya, orang tua anak tersebut dipanggil ke sekolah. Anak itu mendapatkan teguran serta skorsing.
Mungkin maksud anak kami baik, tidak membalas keburukan dengan keburukan.
Namun, kemudian kami melihat, ia menjadi anak yang kurang tegas untuk berkata “tidak” untuk hal-hal yang dirasa tidak baik. Ini menjadi satu kerinduan kami sebagai orang tua agar anak kami memiliki karakter yang makin baik dan makin mengenal Allah. Ketika akhirnya tebersit untuk mencari sekolah dengan muatan pendidikan karakter, kami memohon kepada Tuhan untuk campur tangan.
Kami berpikir, tak mudah memindahkan seorang anak remaja ke sekolah yang baru. Kami pun tak jarang mendengarkan pertanyaan-pertanyaan dari orang tua atau teman di sekolah sebelumnya.
“Ngapain pindah? Bukannya sekolah di sini sudah bagus?”
“Yakin pindah ke Athalia? Ngapain?”
Kami berpikir, di mana pun tempat pasti akan ada pertanyaan, dan kadang itu retoris.
Jadi, bersama Tuhan kami terus memantapkan langkah untuk memindahkan anak kami ke Sekolah Athalia.
Fase adaptasi di tempat yang baru, teman-teman yang baru, guru dan lingkungan baru tentu bukan hal yang mudah untuk dilewati. Kami sempat khawatir, tetapi kami yakin Tuhan yang pilihkan, Ia pun akan memampukan.
Kami perhatikan, perkembangan anak kami baik sekali. Satu semester terlewati dengan baik. Dia berhasil beradaptasi dalam hal akademis. Sikapnya di kelas juga sangat baik. Bahkan, kami dibuat terharu ketika wali kelas bercerita bahwa anak kami bersikap sangat sopan dan suka menolong teman-temannya.
Menuju semester dua, lagi-lagi Tuhan buat kami mengucap syukur.
Meski anak baru, ia memperoleh piagam besar dan piagam kecil High Achievement untuk mata pelajaran PKN. Senyumnya merekah seakan berhasil menaklukkan tantangan yang berat. Hal itu menjadi pencapaian yang membanggakannya karena pada dasarnya dia tak menyukai pelajaran PKN. Namun, dia justru mencetak prestasi di mata pelajaran tersebut.
Kami pun menasihatinya, “Jika kita melibatkan Tuhan, maka Ia mampu membuat hal yang paling tidak kita sukai sekalipun, menjadi jalan keberhasilan, Nak…”
Sejak hari itu, dia paham bahwa suka atau tidak suka, semua harus dipelajari dengan sungguh-sungguh. Meski demikian, anak kami masih terus berproses di Athalia, hingga ke masa yang akan datang pun ia akan terus berproses. Setidaknya, ia menyelesaikan kelas 7 dengan baik dan dia memasuki kelas 8. Mengingat tujuan utama kami memindahkan sekolahnya, yaitu untuk memberikan yang terbaik untuk pertumbuhan karakternya, tentu saja hal itu menjadi fokus kami.
Satu tahun pertama, hal yang paling mengharukan adalah dia sudah mulai mencuci piring dan gelas yang ia gunakan setelah makan dan minum. Dia juga membantu mamanya menjemur pakaian dan menyapu. Hal-hal sederhana yang sebelumnya tidak pernah ia lakukan. Setahap demi setahap ini adalah wujud dari pertumbuhan karakternya ke arah yang lebih baik.
Begitu juga dengan sikapnya yang perlahan mulai lebih terbuka. Tadinya ia tidak pernah cerita kalau tidak ditanya. Sekarang, dengan sendirinya, tiap pulang sekolah, dia akan aktif bercerita kepada kami tanpa harus ditanya.
Selain itu, kini dia punya banyak teman. Bahkan, sejak kelas 7, beberapa kali dia mengajak teman-temannya ke rumah untuk mengerjakan tugas. Anak-anak pun sangat senang mengerjakan tugas bersama. Jika ada kendala dalam membuat presentasi, papanya dengan senang hati membantu anak-anak. Bahkan, dari kegiatan mengerjakan bersama PR itu, kami memiliki ide untuk membuka les pemrograman untuk anak-anak, sesuai skill yang kami dalami.
Itu semua adalah contoh-contoh kecil perubahan yang sangat berarti buat kami. Rupanya, pilihan di Athalia direstui oleh Tuhan.
Terima kasih, Sekolah Athalia. Kiranya Tuhan memberkati anak-anak, guru, kepala sekolah, Ibu Charlotte, karyawan, orangtua, dan semua yang berada di dalam komunitas Athalia.