Lebih Dekat dengan Siswa melalui “Parent’s Teaching”

Oleh: Elisa Christanto, Orang Tua Siswa

Saya selalu tertarik untuk berkontribusi lebih dalam dunia pendidikan, khususnya mendukung proses belajar mengajar di sekolah anak saya yang bungsu. Oleh karena itu, saya tak berpikir panjang lagi saat ditawari untuk menjadi relawan dalam program Parent’s Teaching di unit TK.

Parent’s teaching kali ini mengambil konsep story telling dengan tema “Kelinci”. Saya mulai mempelajari tema dan menyusun konsep cerita. Sembari jalan, saya memutuskan untuk mengamati karakter anak-anak di jenjang Pra-TK. Selain itu, saya juga membutuhkan bantuan orang tua lainnya untuk berperan sebagai singa dan kelinci. Puji Tuhan, banyak orang tua Athalia yang ringan tangan, mau memberikan bantuan dan kontribusi demi terwujudnya acara ini.

Kami melakukan beberapa pertemuan dan latihan sampai datanglah hari yang dinanti. Pada 11 Februari 2020, kami sudah bersiap untuk tampil di depan anak-anak, dengan persiapan yang cukup mepet dan seadanya. Namun, niat membara kami penuh, mengingat bahwa momen ini akan sangat berarti bagi anak-anak.

Kami membawakan cerita tentang singa dan kelinci dalam dua sesi, pagi dan siang. Pada sesi pagi, kami terkejut melihat anak-anak yang begitu manis, duduk di tempatnya dan menyimak dengan saksama. Saya amati, kebanyakan dari mereka adalah anak-anak audio visual sehingga mendengarkan kisah dengan peraga menjadi hal yang sangat menarik bagi mereka. Saat diperbolehkan untuk berpartisipasi, mereka pun dengan antusias mendekati sumur tempat singa melompat. Luar biasa!

Sesi kedua, yaitu kelas siang, yang terdiri atas kelas Apple 1 dan Grape 1. Anak-anak di kelas siang sangat manis, cenderung kinestetik dan penuh antusiasme! Saat diminta untuk memanggil kelinci dan singa, mereka kompak berteriak memanggil “Kelinci…!” dan “Singa….!”

Peran singa yang dihayati dengan baik oleh salah satu orang tua siswa membuat para anak terbawa suasana. Mereka refleks memundurkan badan ketika singa mendekat. Begitu pula dengan kelinci, yang tingkah polahnya lucu, membuat anak-anak ingin menyapa kelinci.

Secara keseluruhan, acara ini sangat menyenangkan dan patut untuk dipertahankan. Tentu saja ada banyak manfaat yang bisa dipetik.

  • Melibatkan orang tua dalam proses belajar dan mengajar di sekolah dalam satu kesempatan, dapat menciptakan hubungan yang luwes dan hangat antara sekolah dan orang tua.
  • Orang tua dapat mendukung proses belajar dan mengajar di sekolah sesuai dengan talenta masing-masing.
  • Nyaman dan percaya. Ketika orang tua mengetahui bahwa proses belajar mengajar di sekolah anaknya baik sehingga orang tua pun merasa nyaman dan percaya kepada sekolah tersebut.
  • Sekolah juga akan senang jika ada orang tua yang peduli dengan proses belajar anaknya dan peduli dengan sekolah.

Manfaat lain yang tidak bisa diungkapkan adalah betapa bersyukurnya saya bisa menjadi pencerita dalam program Parent’s Teaching kali ini. Tak pernah membayangkan bisa sejenak menjadi seorang guru di sekolah formal.

Saya berharap akan ada banyak orang tua yang peduli dan rela hati saat diminta untuk terlibat dalam kegiatan sekolah. Karena itu semua bukan untuk kita, bukan untuk orang tua, tetapi untuk sekolah dan anak-anak.

Yuk… kita pakai talenta untuk menyenangkan hati Tuhan dengan melakukan hal-hal yang menyenangkan orang lain.

Kehangatan yang Terjalin di Pra-event Temu Alumni

Oleh: Martin Manurung, konselor SMA.

Acara Pra-Event Temu Alumni merupakan kegiatan yang diadakan sebagai bagian dari rangkaian kegiatan HUT 25 tahun Sekolah Athalia dengan tema “We Are One”. Acara Temu Raya Alumni sendiri akan diadakan pada 8 Agustus 2020. Panitia menargetkan 350 alumnus dari delapan angkatan untuk hadir pada Acara Temu Raya Alumni. Mereka akan berkumpul, sharing, berdiskusi, dan dibina demi menyatukan gerak langkah alumni Sekolah Athalia.

Adalah hal yang luar biasa untuk bisa mengumpulkan delapan angkatan alumnus Athalia yang saat ini tersebar di berbagai kota, baik di dalam maupun luar negeri. Untuk itulah acara Pre-Event Temu Alumni diadakan dengan tujuan membangun gairah dan menggerakkan alumni melihat pentingnya acara Temu Raya Alumni dan mengusahakan berbagai cara untuk hadir dan terlibat di dalamnya.

Acara pra-event ini juga diadakan untuk mengumpulkan kembali semangat kebersamaan dan kekeluargaan para alumnus setelah beberapa tahun tidak bertemu satu sama lain, termasuk dengan para bapak/ibu guru. Adapun persiapan kegiatan pra-event ini dilakukan kurang lebih selama dua bulan dengan campur tangan langsung dari para alumni—Keia, Disa, Moses, Adit, Andy, Krishna, Andrew, Kenisha, Kezia Adelia, Fily, dan Marcella—serta beberapa siswa yang masih sekolah di SMA Athalia—Kelvin, Jordan, Victor. Acara pra-event ini dilaksanakan pada Sabtu, 29 Februari 2020 pukul 18.00–22.00.

Acara pra-event ini dipandu oleh Bapak Martin Manurung dan Ester Kumala Tantri (Angkatan 3) sebagai MC. Acara dimulai dengan kata sambutan dari Pak Presno dan dilanjutkan dengan permainan tebak lagu. Momen ini dipakai untuk sekaligus menanyakan kabar para alumnus, termasuk “status relasi”-nya. Acara diisi dengan kuis yang mengingatkan mereka akan masa SMA bahkan cerita pengalaman dari beberapa alumnus tentang “kenakalan” yang mereka lakukan saat SMA dahulu.

Sukacita malam itu dilanjutkan dengan pertunjukan musik dari alumni dan guru, yang semakin menambah kehangatan acara ini. Keseruan semakin terasa ketika para alumnus dibagi ke dalam kelompok angkatan untuk barbeque (BBQ) bersama sehingga komunikasi, canda, dan tawa terasa lepas malam itu. Di tengah keramaian, para alumnus terlihat mengobrol santai dengan bapak/ibu guru yang hadir.

Acara pra-event ini dibantu oleh perwakilan OSIS SMA Athalia dan Bapak/Ibu orang tua alumnus yang berkontribusi memberikan donasi dan konsumsi. Selain itu, tampak hadir pula beberapa guru SD dan SMP yang pernah mengajar para alumnus semasa SD dan SMP di Athalia. Adapun jumlah alumni yang hadir pada acara ini berjumlah 115 orang yang terdiri atas angkatan pertama sampai dengan angkatan ketujuh.

Secara keseluruhan, para alumnus dan bapak/ibu guru terlihat antusias dan menikmati acara ini. Semoga acara Temu Raya Alumni nanti bisa berjalan lancar dan lebih banyak alumnus yang hadir dan ikut berpartisipasi.

Marriage Oneness

Oleh: Jessica Jeanne P. Rossall

Salah satu seminar yang dikhususkan bagi pasangan suami istri dalam rangka kegiatan HUT 25 Sekolah Athalia mengambil tema Marriage Oneness dibawakan secara apik oleh Bapak Rizal dan Ibu Rina Badudu pada Sabtu, 22 Februari 2020. Seminar ini dihadiri oleh 51 pasangan yang terdiri atas orang tua Athalia dan Pinus, guru, staf, juga beberapa peserta dari luar komunitas Athalia.

Sejak awal, seminar ini dirancang berbeda dari seminar lain yang umumnya diadakan oleh APC maupun sekolah. Berbagai ide dicetuskan demi memberikan peserta pengalaman yang unik dan istimewa. Kreativitas pun digali untuk menyempurnakan acara ini.

Pada hari pelaksanaan, peserta disambut dengan tatanan meja dan kursi yang tidak biasa. Setiap pasangan akan menemukan nama mereka di meja yang telah ditentukan. Namun, sebelum mereka duduk manis, mereka akan diminta untuk berfoto terlebih dulu. Tim dokumentasi—yang adalah beberapa siswa yang bersedia membantu panitia—membantu mengarahkan gaya agar setiap pasangan dapat difoto dengan pose terbaiknya.

Acara hari itu dibagi menjadi dua bagian utama, yaitu sesi seminar dan sesi intimate moment.

Sesi seminar dibawakan secara bergantian oleh Bapak Rizal dan Ibu Rina. Penjelasan dasar firman Tuhan tentang pernikahan mengingatkan sekaligus membawa setiap pasangan masuk dalam pemahaman yang lebih dalam. Peserta juga diajak melihat tantangan nyata dalam pernikahan yang sering kali disebabkan kurangnya skill problem solving sehingga membuat pola konflik yang sama terjadi berulang kali. Tidak sampai di situ, peserta juga diajak untuk mempelajari teknik mencari solusi bersama atas permasalahan yang sering mereka hadapi.

Analogi Ballroom Dancing menutup sesi seminar diiringi sedikit praktek yang dipimpin langsung oleh kedua pembicara. Bagi banyak pasangan yang hadir saat itu, bisa jadi ini pertama kalinya mereka belajar ballroom dancing.

Tidak ingin para peserta hanya duduk diam mendengarkan, panitia merangkai beberapa kegiatan yang membuat para peserta ikut berperan aktif. Dimulai dengan kegiatan makan di mana para istri ditutup matanya dan belajar percaya penuh kepada suaminya, mulai dari mengambil makanan hingga dituntun kembali ke tempat duduk. Para suami diberi kesempatan untuk melayani istrinya dengan mengambilkan makanan yang disukai istrinya, serta menyuapi.

Selesai mengisi perut, sie acara mengajak peserta untuk bermain games yang bertema “I Know You”. Setiap pasangan duduk saling membelakangi dan menuliskan jawaban dari pertanyaan yang diajukan. Setelah itu, mereka diminta untuk mencocokkan jawaban yang ditulis. Kegiatan ini menjadi momen grrrrr… bagi para peserta.

Namun, masih ada satu momen yang dipersiapkan bagi para pasangan suami istri untuk betul-betul mengalami hal istimewa lewat acara ini. Satu hal yang bahkan mungkin belum pernah dilakukan sebelumnya. Setiap pasangan diberi waktu untuk berdansa diiringi lagu yang lembut. Pastinya, ini menjadi salah satu momen yang berarti bagi setiap pasangan.

Bu Charlotte menutup seluruh rangkaian acara hari itu dengan doa. Harapannya, setiap pasangan diberkati dan semakin dimampukan untuk menjaga kesatuan dalam pernikahannya.

Mengasihi Walau Terluka

Oleh: Nostagia Pax Nikijuluw, M.Div.

Mungkinkah seseorang mengasihi walau terluka? Jika mengasihi walau terluka adalah pilihan, rasanya tidak banyak orang yang memilihnya. Kasih biasanya dinyatakan melalui sesuatu yang indah, menghibur, menyenangkan bahkan membahagiakan. Sangat jarang kasih diekspresikan melalui bentuk yang menyakitkan atau menyedihkan. Sebuah fenomena yang paradoks, mengasihi sekaligus terluka.


Kisah paradoks ini, menjadi kisah yang spektakuler, kisah kasih yang berkorban dan menyelamatkan dunia. Kisah hidup Kristus Sang Guru Agung.

1 Yohanes 3:16: demikianlah kita ketahui kasih Kristus, yaitu bahwa Ia telah menyerahkan nyawa-Nya untuk kita; jadi kitapun wajib menyerahkan nyawa kita untuk saudara-saudara kita.

Melalui kematian-Nya, manusia dapat mengetahui kualitas kasih-Nya. Rasul Yohanes mengingatkan para pengikut Kristus untuk hidup meneladani Sang Guru. Menyatakan kasih kepada sesama sampai menyerahkan nyawanya. Apa artinya hal ini bagi kita? Artinya, jika kita mengatakan bahwa kita mengasihi, akan ada pembuktian atas perasaan kasih tersebut. Karena kasih tidak berhenti pada perasaan, tetapi kasih dibuktikan melalui tindakan nyata dan pengorbanan diri.

Mengikuti teladan Kristus yang menyerahkan nyawanya bagi orang lain adalah tindakan yang tidak mementingkan diri sendiri, tindakan rela berkorban bagi orang lain. Untuk hal inilah kita, para pengikut-Nya, dipanggil. Adakah kerelaan untuk tidak selalu mengutamakan diri sendiri? Jika kita mengatakan bahwa kita mengasihi sesama kita, mengasihi orang-orang di sekitar kita, adakah kepedulian terhadap orang lain tampak dalam tindakan? Jika kita katakan bahwa kita mengasihi orang lain, adakah kita memiliki kerelaan untuk membantu, mendampingi, bahkan ikut menanggung kesulitan yang sedang dihadapi orang lain? Jika kita berjuang untuk menghidupi kebenaran ini dalam diri, demikian kita dapat mengatakan bahwa kasih bukanlah sekadar perasaan, mengasihi adalah tindakan.

Namun demikian, tidak semua tindakan baik kepada orang lain didasari oleh kasih. Untuk dapat mengetahuinya kita perlu merenungkan motivasi kita dalam bertindak. Apakah sesuatu yang kita perbuat adalah tindakan yang disertai kasih, ataukah tindakan karena mementingkan kepentingan diri?

1 Korintus 13:3: “Sekalipun aku membagi-bagikan segala sesuatu yang ada padaku, bahkan menyerahkan tubuhku untuk dibakar, tetapi jika aku tidak mempunyai kasih, sedikit pun tidak ada faedahnya bagiku.”

Rasul Paulus mengingatkan untuk memperhatikan dasar dari tindakan kita. Manusia memiliki potensi untuk bisa melakukan sesuatu yang terlihat baik, tetapi tidak didasari oleh kasih. Manusia mudah melihat rupa. Ada orang yang sepertinya mengasihi, memberi dirinya untuk orang lain, tetapi dasar tindakan itu belum tentu berasal dari kasih. Kasih yang sejati tidak berpusat pada cinta akan diri sendiri. Kasih yang sejati adalah tindakan yang rela mengorbankan diri dan tidak mengambil keuntungan dari orang lain.

Seorang ayah yang mengasihi anggota keluarganya akan membuktikan kasihnya melalui tindakan merawat dan melindungi seluruh anggota keluarganya dan bukan sebaliknya. Para orang tua akan bekerja keras demi keluarganya, melakukan tanggung jawabnya demi kesejahteraan anggota keluarganya. Namun, jika tidak disertai kasih kepada seluruh anggota keluarganya, misalnya tidak memberikan diri untuk relasi yang yang intim dengan keluarganya, dan hadir dalam kehidupan mereka, apakah mereka melakukan seluruh tanggung jawab tersebut karena kasih? Marilah kita merenungi adakah kasih itu hidup dalam diri dan apakah kehidupan kita meneladani kasih Kristus yang rela menyerahkan nyawa bagi orang lain?

Bagi tenaga kependidikan, yang telah bekerja keras dan rela berkorban demi pendidikan para murid, adakah kasih dalam diri, memiliki kerinduan untuk membangun relasi dengan para murid, dan mendasari seluruh tindakannya atas dasar kasih?

Kita tidak dapat mengatakan bahwa kita mengasihi Tuhan, jika kita tidak berupaya keras mewujudkan kasih kepada Tuhan melalui seluruh aspek dalam hidup kita. Kasih sejati akan mengampuni walau dilukai, kasih sejati akan dengan sabar memberi kesempatan, kasih sejati akan bertahan dalam kesulitan, kasih sejati akan memampukan seseorang tetap mengasihi orang yang melukainya. Kasih sejati tampak dalam perkataan, tindakan, bahkan setiap motif dalam diri yang mendasari setiap perilaku. Kasih sejati hanya bersumber pada Dia yang telah menjalaninya terlebih dahulu. Kasih sejati akan memberikan fondasi yang kuat dan tahan uji untuk dapat mengasihi walau terluka.

Pacaran (?)

Manusia punya lubang-lubang dalam dirinya, yang tidak mungkin diisi oleh benda/orang terdekat sekalipun. Hanya satu yang bisa memenuhi lubang itu—Tuhan Yesus Kristus.

Secara alamiah, manusia punya lubang dalam hidupnya yang sulit diisi oleh sesuatu atau seseorang. Sudah begitu, orang tua di rumah bertengkar tiada henti, mengancam ingin pisah setiap saat, dan saling memaki terus. Anak-anak makin merasa hampa. Lubang yang sudah menganga lebar tambah dipenuhi luka. Sekarang, fenomena baru merebak—remaja lebih mudah jatuh cinta di usia muda demi menutup kekosongan itu. Demi mendapatkan figur lelaki karena ayah mereka tidak sungguhan “hadir”.

Para ayah memang sangat diharapkan punya waktu berkualitas dengan anak-anak. Seminggu sekali, setiap anak harusnya punya jatah keluar berdua dengan ayahnya. Hanya berdua, bukan sekeluarga. Hal ini adalah upaya para ayah untuk memenangi kembali hati setiap anak. Karena hubungan yang buruk dengan sosok ayah dikaitkan dengan fenomena anak-anak zaman now yang lebih mudah jatuh cinta. Mereka bilang, sudah “pacaran” di usia lima belas tahun. Pacaran?

Ibu Charlotte Priatna, dalam seminar parenting SMA pada 22–24 Januari 2020, memaparkan soal hal ini. Beliau beragumen bahwa pacaran adalah langkah menuju pernikahan. Kalau begitu, mengapa harus berpacaran di usia 15 tahun kalau baru akan menikah umur 30 tahunan?

Kan, mau kenal lebih dekat.

Fase saling mengenal satu sama lain ada di lingkaran pertemanan, bukan pacaran. Inilah tugas orang tua untuk memberikan pengertian kepada anak mereka perihal definisi pacaran yang sebenarnya. Orang tua harus bisa memosisikan diri sebagai sahabat bagi anak sehingga mereka mau cerita kepada papa dan mama. Kalau tidak, mereka bisa jadi lebih nyaman bercerita dengan temannya. Jika bukan pada teman yang tepat, pandangan yang diajukan anak remaja seusianya bisa jadi keliru. Dalam hal ini, orang tua diharapkan bisa sungguhan hadir dan menjadi “sahabat” bagi anak. Ketika anak mulai buka suara bahwa mereka “naksir” si A, orang tua bisa masuk dengan menanamkan batasan-batasan. Ingatkan kepada anak, di usia remaja, mereka boleh menaksir seseorang, tetapi minta mereka juga membuka hati dan pergaulan selebar-lebarnya.

Berpacaran layaknya dimulai saat anak sudah bisa menentukan hidupnya sendiri. Dalam berpacaran, ada beberapa fase yang akan dilewati. Pertama, cinta harus diuji dan itu perlu waktu. Tanamkan pada anak bahwa naksir dengan lawan jenis harus melalui proses pengujian. Setelah yakin, kedua belah pihak harus mendoakannya sungguh-sungguh untuk mendapat peneguhan bahwa memang si dia adalah jodoh dari Tuhan. Pacaran adalah proses melihat karakter-karakter baik maupun jelek dalam diri pasangannya. Untuk kelebihan-kelebihannya, kita bisa terima. Lalu, bagaimana dengan kekurangannya? Orang tua perlu menempatkan diri sebagai outsider. Saat anak mengenalkan si dia kepada orang tuanya, kita berperan sebagai outsider yang objektif karena seseorang yang sedang jatuh cinta bisa melihat apa pun yang buruk sebagai hal mengesankan! (SO)

*Tulisan ini disarikan dari materi Seminar Parenting SMA 22–24 Januari 2020.

Mengajarkan Anak Mengucapkan Kalimat Bijak

Oleh: Florensia Nasution, Orang tua siswa

Salah satu lagu anak TK A tentang ketaatan terus terngiang di telinga saya. Bahkan, saya sering menyanyikannya jika sedang berusaha membujuk anak saya melakukan sesuatu yang dia tidak suka.

Ketika sedang mendidik anak untuk taat, saya membaca buku Say Goodbye to Whining, Complaining, Bad Attitudes in You and Your Kids versi bahasa Inggris. Wah, ternyata, sebagai orang tua, saya harus terlebih dahulu mengubah diri sebelum menuntut anak. Memang benar yang dikatakan Bu Charlotte saat seminar parenting SD semester lalu, “Menghargai anak bukan dari apa yang dia capai, tapi dari karakter, value, dan sikap anak sehari-hari.” Mari kita kupas buku ini bersama-sama.

Ketaatan adalah melakukan langsung apa yang diminta seseorang, tanpa harus diingatkan.” Tuhan tahu jelas apa yang Dia kehendaki dalam memberikan dua perintah dalam Efesus 6:1-4: “Hai anak-anak, taatilah orang tuamu di dalam Tuhan, karena haruslah demikian. Hormatilah ayahmu dan ibumu — ini adalah suatu perintah yang penting, seperti yang nyata dari janji ini: supaya kamu berbahagia dan panjang umurmu di bumi”. Ketika anak membangun ketaatan, mereka berusaha melakukan sesuatu tanpa diingatkan. Mereka belajar untuk memilih apa saja yang mereka perlu kerjakan, mengikuti aturan, dan menyelesaikan pekerjaan tanpa diawasi. Mereka akan belajar bertanggung jawab, kerelaan untuk melayani, dan setia dalam melakukan hal baik.

Menghormati ternyata termasuk keterampilan tersembunyi dalam ketaatan. Ternyata, ketika anak bisa mempunyai perilaku baik, melakukan sesuatu lebih dari yang diharapkan, kepekaan melihat apa saja yang dibutuhkan, melakukan sesuatu tanpa instruksi, mendukung seseorang dan memberikan kontribusi, mereka telah berhasil menumbuhkan rasa hormat kepada orang lain. Alangkah bangga bisa mempunyai anak yang mempunyai sifat-sifat tersebut.

Jika anak-anakmu hendak terbang lurus, ajar mereka tentang ketaatan. Jika anak-anakmu hendak terbang tinggi, ajar mereka untuk menghormati. Ketaatan dan rasa hormat memegang peranan penting. Tantangan biasanya terjadi ketika anak tidak mau taat dalam melakukan rutinitas sehari-hari. Biasanya, mereka akan merengek dan mengeluh. Buku ini mengajarkan cara komunikasi untuk meminta izin, membuat permintaan, dan mendapatkan izin dengan terhormat. Orang tua bisa melatih anak berkomunikasi sejak usia batita untuk menggunakan kalimat bijak berikut untuk bernegosiasi.

Saya mengerti papa/mama mau saya melakukan ini … untuk …

Saya punya masalah dengan perintah ini karena …

Bisakah saya … ?

Biarkan anak mengisi titik-titik tersebut. Anak berusia muda biasanya tidak tahu alasan di balik instruksi dari orang tuanya. Mereka pun tak punya pilihan selain tunduk dan mengikutinya. Nah, cara di atas merupakan bagian dari kunci bijak untuk mendorong anak bertanya jika mereka tidak mengerti tentang hal yang harus mereka lakukan.

Buku ini memberikan banyak contoh kasus nyata. Misalnya, ketika Ibu Joanne mengajari anaknya, Timothy, usia 4 tahun, tentang kalimat bijak ini. Timothy sedang bermain di halaman belakang rumah dan Ibu Joanne memanggilnya masuk ke rumah. Timothy menghampiri ibunya dan berkata, “Aku mengerti Ibu memintaku masuk ke dalam rumah, tapi aku masih mau bermain di luar. Bisakah aku bermain sebentar lagi?” Timothy mengerti ide dari kalimat bijak ini. Dia menyampaikan masalahnya daripada mengeluh atau berteriak.

Kalimat bijak ini mungkin terdengar tidak masuk akal, tapi bisa menjadi cara berkomunikasi yang efektif untuk mereka di masa depan. Anak jadi tidak merasa komunikasi dengan orang tua merupakan sebuah tantangan. Cara ini juga membantu mereka untuk lebih menghormati orang tua. Ada kalanya anak bertanya sebelum mereka menaati sesuatu, saatnya orang tua memberi batasan, “Taat terlebih dahulu, nanti kita bicarakan mengapa harus melakukan ini semua.”

Hal menarik dari kehidupan keluarga adalah orang tua harus berubah dahulu sebelum membantu anak untuk berubah. Jika kita sebagai orang tua ingin membantu anak berhenti merengek/mengeluh, sebagai orang tua juga kita perlu menyesuaikan diri dan merespons dengan tepat ketika anak merengek/mengeluh.

Investasi terbesar yang bisa disiapkan orang tua bukan hanya melalui uang, tetapi rasa hormat. Pastinya dibutuhkan ketekunan, kegigihan, dan kreativitas agar anak bisa belajar tentang hal ini.

Pengalaman Berkesan selama Live In

Oleh: Adelyn Alvincia, XII MIPA 3

Live in kelas 12 SMA tahun ini kembali dilaksanakan di Kopeng, Jawa Tengah, selama enam hari. Kami berangkat pada Minggu malam menggunakan kereta api dan baru sampai di Kopeng pagi keesokan harinya.

Kedatangan kami disambut dengan sangat hangat oleh warga setempat. Kami langsung dibagi ke dalam rumah-rumah penduduk dengan orang tua asuh masing-masing. Ada pekerjaannya sebagai petani, peternak sapi, usaha warung, dan lain sebagainya. Saya sendiri mendapat orang tua asuh yang bekerja sebagai petani. Mereka menanam jipang (labu). Mereka juga beternak sapi, ada tiga ekor sapi. Di Kopeng, sudah menjadi hal yang biasa tinggal bersama hewan peliharaan di dalam rumah. Di tempat tinggal saya, kandang sapi bahkan terhubung dengan dapur. Setiap hari, kami pergi beraktivitas sesuai pekerjaan orang tua asuh kami, membantu di ladang, menjaga warung, dan berjualan susu.

Selain mengikuti aktivitas penduduk setempat, kami juga membawa tugas community service. Sejak awal semester 1, kami sudah dibagi ke dalam kelompok-kelompok untuk melakukan kegiatan sosial di Kopeng. Ada kelompok karang taruna, perpustakaan, memasak, bimbel pelajaran dan seni, PAUD, panti asuhan dan jompo, serta parenting. Saya masuk ke dalam kelompok parenting yang bertugas untuk membuat acara seminar keluarga bagi pasangan suami-istri. Dalam setiap acara yang kami adakan, partisipan dari penduduk setempat berjumlah cukup banyak. Mereka juga memberi respons yang sangat positif. Pada malam terakhir kami di Kopeng, ada acara malam perpisahan yang diisi oleh berbagai penampilan dari anak-anak di Kopeng, persembahan tarian dari murid Athalia, kuis, dan pembagian doorprize.

Kopeng merupakan tempat yang menjunjung tinggi toleransi. Mereka terbiasa hidup berdampingan antaragama. Letak gereja dan masjid pun sangat dekat, saling berpunggungan. Para warga Muslim tidak sungkan jika perlu masuk ke gedung gereja. Tidak pernah ada bentrok antara pemeluk agama.

Di hari terakhir kami sebelum kembali ke Tangerang, beberapa dari kami dan orang tua asuh menangis karena akan berpisah. Kami dibawakan begitu banyak oleh-oleh untuk dibawa pulang sehingga kami harus menenteng banyak dus berisi sayuran. Sebelumnya, kami juga sempat mampir membeli oleh-oleh di Semarang dan singgah ke Lawang Sewu. Kami baru sampai kembali di sekolah sekitar pukul 11 malam.

Pengalaman live in di Kopeng menjadi pengalaman yang menyenangkan dan berkesan untuk kami. Hingga setelah live in pun, beberapa dari kami masih membangun komunikasi dengan orang tua asuh di Kopeng. Kegiatan ini membuat kami bisa keluar dari zona nyaman dan mengenal cara hidup di tempat yang baru, serta belajar dari nilai-nilai baik yang dimiliki penduduk setempat.

Cas Camp Kelas 8: Belajar Peduli dan Berbagi

Oleh: Beryl Sadewa, guru SMP

Pada 17–18 Januari, Sekolah Athalia mengadakan Caring and Sharing Camp yang diikuti siswa-siswi kelas 8. Kegiatan ini bertujuan untuk menumbuhkan kesadaran siswa-siswi kelas 8 untuk mengasihi sesama (caring), menerima mereka dan rela berkorban (sharing) bagi mereka, seperti Allah juga sudah mengasihi mereka dengan mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal menggantikan mereka sehingga mereka tidak binasa dan beroleh hidup kekal.

Melalui kegiatan ini mereka diharapkan dapat mengaplikasikan Caring and Sharing kepada teman-teman mereka, lingkungan sekolah, dan orang tua. Untuk itu, ada beberapa kegiatan yang dilakukan, meliputi permainan, seminar, group sharing, dan kerja bakti di lingkungan sekolah.

Kegiatan permainan di hari pertama dirancang untuk menarik minat siswa, sekaligus sebagai sarana mereka belajar, bahwa tiap orang memiliki peran masing-masing, yang harus dijalankan dengan baik. Permainan ini dilakukan dalam kelompok, dan tiap kelompok terdapat beberapa orang dengan peran yang berbeda-beda. Tiap kelompok kemudian harus menyelesaikan misi yang diberikan kepada mereka di tiap pos yang mereka kunjungi.

Melalui seminar dan group sharing, mereka belajar untuk memahami diri sendiri dan teman-teman mereka sehingga mereka mulai belajar untuk memperhatikan kebutuhan teman-temannya, dan berusaha membantu mereka memenuhi kebutuhan tersebut. Sementara kegiatan kerja bakti di lingkungan sekolah mengajarkan mereka untuk peduli terhadap lingkungan.

Pada sesi group sharing, siswa membagikan pengalaman mereka selama mengikuti kegiatan di hari pertama. Mereka terlihat menikmati kegiatan ini, terutama saat permainan. Beberapa dari mereka terlihat terkejut ketika mereka melihat teman-teman mereka yang sehari-hari terlihat tidak terlalu menonjol dalam pergaulan, ternyata juga bisa menjalankan peran dalam kelompok dengan baik. Beberapa di antara mereka juga bahkan terkejut ketika mereka ternyata juga mampu mengerjakan tanggung jawab yang dipercayakan kepada mereka dengan baik. Mereka terlihat lebih percaya diri setelah menyadari hal tersebut.

Mereka juga membagikan pengalaman mereka, bahwa saat kegiatan, terutama saat permainan, mereka melihat banyak tindakan teman-teman mereka (terutama yang sekelompok) yang menunjukkan kepedulian kepada sesama anggota kelompok. Saat group sharing mereka juga belajar lebih memahami teman-teman mereka, kelebihan dan kekurangan mereka. Mereka juga membuat komitmen untuk lebih peduli kepada teman-temannya, terutama yang membutuhkan bantuan.

Memaknai arti keluarga
Pada hari Sabtu, anak-anak mendapatkan pengarahan mengenai makna keluarga bagi mereka. Dalam sesi seminar bersama Riggruben, mereka diajak untuk menggali alasan kenapa selama ini terjadi miskomunikasi antara mereka dan orang tua. Dengan mengetahui posisi orang tua dan berusaha memahami pola pikir orang tua, diharapkan anak-anak bisa memahami bahwa orang tua mereka pun masih terus belajar dan kasih orang tua untuk mereka tak akan pernah surut.

Di tempat lain, di saat yang bersamaan, para orang tua siswa kelas 8 dikumpulkan di Aula F untuk mendapatkan insight dari Ibu Charlotte.Orang tua diajak untuk merenungi: berapa harga anakku? Bagaimana aku memandang keberhargaan mereka?

Harga seorang anak bukan dari pencapaiannya, tetapi karena kasih Tuhan kepada mereka. Dalam sesi ini, orang tua juga diajak untuk memahami satu konsep penting, yaitu Tuhan menciptakan setiap manusia dengan tujuan tertentu—dan bersifat spesifik. Jadi, mengasihi anak perlu dilakukan secara penuh, tanpa melihat kepintaran, kemolekan wajah, dan lain sebagainya.

Di akhir sesi, anak dan orang tua dipertemukan. Mereka diharapkan melakukan rekonsiliasi, saling menyampaikan isi hati. Sesi pemberian hadiah oleh orang tua bisa dimaknai sebagai simbol kasih orang tua kepada anak—walau tidak melulu kasih dilambangkan dengan hadiah.

Harapannya, kegiatan kali ini mampu memberikan kesan mendalam untuk anak maupun orang tua, khususnya dalam hal memelihara relasi di antara mereka.

Keluarga yang Berdoa

Oleh: Ngatmiati, S.Th

Pada Senin–Selasa, 6 dan 7 Januari 2020, di Sekolah Athalia dilaksanakan retret bagi guru dan staf dengan tema “Tetaplah Berdoa” dengan dasar Firman Tuhan dari 1 Tesalonika 5:17. Tema ini dilatarbelakangi adanya kesadaran bahwa dunia pendidikan menghadapi banyak tantangan yang akan berdampak pada proses pembelajaran. Kadangkala, beratnya tantangan bisa melemahkan semangat. Oleh karena itu, dibutuhkan doa sebagai penopang dalam kehidupan pribadi dan pelayanan. Butuh kuasa Tuhan untuk terlibat karena banyak hal yang berada di luar batas kemampuan manusia. Melalui retret, guru dan staf Athalia merasa terberkati dan menikmati pengalaman baru dalam berdoa. Komitmen baru untuk lebih tekun dalam doa pun kembali diperbaharui.

Tantangan bukan hanya dihadapi oleh para guru dan staf di sekolah. Keluarga juga pasti menghadapi tantangan-tantangan yang tidak mudah. Misalnya, berkembangnya budaya yang tidak sesuai kebenaran Firman Tuhan yang bisa berdampak pada bergesernya nilai-nilai moral keluarga; kegiatan tiap anggota keluarga yang padat seperti sekolah atau bekerja sehingga waktu, perhatian, kebersamaan untuk keluarga menjadi berkurang; teknologi (sosial media, game, dan lain sebagainya) mengalihkan perhatian dari keluarga. Belum lagi masalah ekonomi, komunikasi, dan relasi antaranggota keluarga, dan lain sebagainya. Hal-hal tersebut jika tidak disikapi dengan tepat bisa berakibat buruk bagi relasi antaranggota keluarga. Banyak relasi dalam keluarga yang akhirnya retak karena berbagai persoalan yang mendera mereka.

Ada beberapa keluarga yang mungkin sudah mengerahkan segala daya upaya untuk mengatasi setiap tantangan, tetapi hasilnya belum sesuai harapan. Dalam kondisi demikian, bisa saja keluarga menjadi apatis atau kehilangan pengharapan. Keluarga butuh penopang yang kokoh supaya dimampukan bertahan ketika diterpa badai kehidupan dan lebih lagi menjadi keluarga yang memuliakan nama Tuhan. Keluarga perlu bersatu hati untuk memiliki waktu doa bersama untuk saling menopang satu dengan yang lain. Dengan berdoa, keluarga menyadari bahwa mereka memiliki keterbatasan dan datang kepada Allah yang Mahakuasa untuk berserah.

1 Samuel 1:1-3 menceritakan tentang keluarga Hana yang dari tahun ke tahun ke Silo untuk sujud menyembah dan mempersembahkan korban kepada Tuhan semesta alam. Keluarga ini begitu setia dalam beribadah kepada Tuhan. Ketika menghadapi pergumulan, Hana membawanya dalam doa. Saat itu, Hana sedang terluka hatinya oleh Penina, yang mengejek Hana yang tidak kunjung punya anak. Hana berdoa kepada Tuhan semesta alam. Hana mengakui kuasa dan otoritas yang dimiliki Tuhan. Tuhan menyatakan kuasanya dengan membuat seorang perempuan mandul bisa punya anak, tidak hanya satu orang, tetapi enam orang anak termasuk Samuel (1 Sam. 2:21).

Keluarga perlu memiliki waktu-waktu khusus untuk berdoa bersama karena melalui doa bersama keluarga, ada beberapa manfaat yang didapatkan. 1

  • Doa bersama keluarga bisa melepaskan luka-luka emosi dan saling mengampuni dengan pertolongan Tuhan dan pada akhirnya berdampak pada penyembuhan.
  • Doa bersama keluarga dapat memperkuat komunikasi dan relasi antaranggota keluarga jika dilakukan dengan tulus dan terbuka, bukan sekadar formalitas.
  • Doa bisa memberikan perlindungan terhadap anggota keluarga dari keputusan-keputusan yang salah maupun serangan-serangan si jahat yang membawa kepada dosa.
  • Doa baik untuk kesehatan anggota keluarga karena doa bisa menurunkan stres, mendorong tiap anggota keluarga menjadi pribadi yang lebih baik sehingga keluarga akan menjadi lebih sehat.
  • Doa bersama keluarga mengajarkan anak-anak sejak dini untuk mencari Tuhan terlebih dahulu.
  • Doa membantu anggota keluarga mengembangkan sudut pandang Allah jika doa dilandasi dengan kebenaran firman Tuhan. Anggota keluarga melihat bagaimana Tuhan bekerja menolong umat-Nya seperti yang tertulis di Alkitab.
  • Doa bersama keluarga akan menjadi warisan yang berharga yaitu pengalaman iman bagi anak-anak. Kelak anak-anak akan mengingat keluarganya adalah keluarga pendoa sehingga ketika dia mengalami pergumulan dia akan berdoa.

Selamat berdoa bersama keluarga.

1 Disarikan dari https://www.beliefnet.com/love-family/galleries/6-benefits-of-praying-together-as-a-family.aspx; https://www.crosswalk.com/family/parenting/kids/10-benefits-of-family-prayer-time.html

Anak Saya Ternyata Mengidap Nomofobia…

“Bu… anak saya kalau sampai rumah, langsung masuk kamar, dan sibuk sama ponselnya. Dia sampai sering telat makan dan tidur karena hal itu. Bahkan, dia pernah seharian nggak mau bicara karena ponselnya rusak, kecemplung di toilet. Apa yang harus saya lakukan, ya?”

Perilaku seperti di atas tidak dialami oleh satu-dua anak. Semakin banyak anak yang menunjukkan kecenderungan terlalu lekat dengan ponsel mereka. Waktu mereka pun dihabiskan untuk berkelana di dunia maya. Ketika mereka berada di kondisi tak bisa mengakses ponsel, mereka menjadi marah, cemas, dan bingung. Gambarannya seperti orang yang sedang sakau.

Kondisi tersebut dikenal dengan “nomofobia”, yang menurut The National Center for Biotechnology Information AS, yaitu sebuah istilah yang biasa digunakan untuk mendeskripsikan kondisi psikologis seseorang yang punya ketakutan atau kecemasan ketika “terputus” dari ponselnya. Kondisi ini berkaitan erat dengan kecanduan gadget, yang sudah dikategorikan sebagai adiksi klinis. Perbedaanya, hingga saat ini, nomofobia belum dimasukkan ke dalam DSM-V (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders) edisi ke-5.

Nomofobia disebabkan oleh kecemasan yang sudah ada sebelumnya pada diri anak. Biasanya, berkaitan erat dengan image diri, self security, dan relasi dengan keluarga. Berikut beberapa hal yang bisa menyebabkan seorang anak mengalami nomofobia.

  • Tidak percaya diri. Anak-anak yang punya citra diri yang rendah tak mampu menghadapi dunia nyatanya sehingga dia mencari kenyamanan di dunia maya (misalnya, mencari teman baru di dunia maya). Hal ini biasanya dialami anak-anak yang memiliki kemampuan sosial yang rendah, yang pada umumnya terjadi pada anak-anak introvert. Anak-anak ini nyaman dengan dunia barunya sehingga akan begitu terganggu jika terputus dari dunia tersebut.
  • Kecemasan sosial. Dikenal juga dengan istilah “FOMO” (Fear of Missing Out). Anak-anak ini merasa cemas ketika mereka ketinggalan update terbaru di media sosial. Mereka ingin menjadi orang pertama yang mengetahui update terkini. Ketidakmampuan mengakses berita terbaru bisa membuat orang merasa cemas, takut dianggap tidak up to date.
  • Kekosongan. Ketika anak merasa kesepian, dia menemukan ponsel sebagai penghibur hati. Hal ini mengingatkan kita pada teori kelekatan, di mana seorang anak akan bergantung pada sosok/benda yang membuatnya nyaman. Ketika hanya ponsel yang membuatnya nyaman, tentu dia akan terganggu ketika ia tidak bisa mengakses ponselnya.

Di Sekolah Athalia sendiri, menurut survei kecil-kecilan yang dilakukan oleh para konselor dan guru agama oleh siswa SMP dan SMA pada 2019 lalu, beberapa anak secara sadar mengetahui bahwa mereka mengalami nomofobia. Anda bisa melihatnya pada gambar berikut.

Hasil di atas, kita sadar bahwa ada lebih dari 35 persen siswa SMA dan 28 persen siswa SMP mengaku mereka mengalami kecemasan jika jauh dari ponselnya. Jumlah yang memang tidak besar, tetapi tetap harus kita tangani sesegera mungkin.

Orang tua harus membantu!

Sebagai orang tua, apa yang bisa kita lakukan? Anak dengan nomofobia biasanya memang mengalami ketergantungan pada ponselnya (adiksi). Nah, memarahi anak dan mempersalahkan adiksinya justru akan semakin menciptakan jurang besar. Anda bisa membantu anak menghilangkan ketergantungannya pada gadget dengan cara-cara berikut:

  • Mengalihkan perhatian. Mengajak anak untuk keluar makan bersama atau beraktivitas bersama untuk membuatnya lupa sejenak dengan ponselnya, misalnya rekreasi ke taman hiburan.
  • Menyodorkan hobi baru. Perhatikan minat dan bakat anak, kemudian dukung dia untuk mendalaminya. Buatlah dia sibuk dengan hal-hal yang disukainya.
  • Lakukan interaksi intens. Anak-anak yang kecanduan gadget mungkin saja merasa kesepian di rumah. Saatnya menghabiskan waktu lebih banyak untuk mengobrol dengan anak.
  • Terapi. Jika anak sudah dalam tahap kecanduan gadget sampai mengganggu rutinitas hariannya, Anda bisa mengajaknya untuk konsultasi ke psikolog agar nomofobia-nya bisa ditangani dengan tepat. Dukung anak dalam menjalani terapinya dengan memberikan contoh terlebih dahulu mengenai cara bijak menggunakan gadget.

Kiranya kita diberi hikmat dalam mendampingi anak-anak. [DLN]