Seminar Parenting SMA: Generasi Zaman Now vs Ortu Zaman Old

Children are our second chance to have a great parent-child relationship. –Laura Schlessinger

Ketika kita menjadi anak, kita mendapatkan didikan dari orang tua kita yang berbeda generasi dengan kita. Gaya parenting orang tua kita mungkin tak sempurna. Ada beberapa hal yang membuat kita tak mendapatkan kebutuhan kita, khususnya relasi dan bonding dengan orang tua.

Gaya parenting zadul (zaman dulu) yang cenderung kaku dan memunculkan jarak antara anak-orang tua membuat anak kesulitan “mengakses” orang tua mereka. Orang tua merasa perannya sebatas pemenuh kebutuhan fisik anak tanpa mengetahui bahwa anak pun membutuhkan relasi yang lebih dalam.

Ketika kita sekarang menjadi orang tua, kita belajar dari pengalaman masa lalu saat menjadi anak. kekecewaan dan kepahitan yang kita rasakan pada orang tua kita sebaiknya tak terulang kepada anak kita. Seperti kutipan Laura Schlessinger di atas, kehadiran seorang anak dalam hidup kita memberikan kita kesempatan kedua untuk memiliki relasi orang tua-anak yang lebih baik dari yang kita miliki dulu.

Menjalin relasi yang sehat dengan anak, khususnya yang berusia remaja, bisa menjadi salah satu cara kita, sebagai orang tua, untuk mendampingi anak menghadapi dunia yang besar ini. Relasi yang sehat akan membuat anak merasa nyaman dan memberikan kepercayaan penuh kepada orang tuanya dan menjadikan orang tua sebagai tempat berbagi.

Dalam seminar parenting bertema “Generasi Zaman Now vs Ortu Zaman Old” yang dipimpin oleh Ibu Charlotte, orang tua siswa SMA kelas 10, 11, 12 kembali diajak untuk semakin mengenal anak-anak mereka. Dalam salah satu sesi yang dibawakan oleh guru agama dan konselor, orang tua mendapatkan wawasan baru mengenai karakteristik umum generasi Z, yang merupakan generasi anak-anak mereka. Kemudian, Ibu Charlotte melengkapi data tersebut dengan memaparkan kondisi-kondisi yang terjadi berkaitan dengan relasi orang tua-anak.

Ibu Charlotte menekankan bahwa ada perbedaan karakteristik antara generasi X (para orang tua) dengan generasi Z yang cukup signifikan. Oleh karena itu, sering terjadi friksi di antara kedua generasi tersebut. Sebagai orang tua, kita diharapkan lebih memahami karakteristik anak zaman now dan menghadapi mereka dengan cara yang lebih persuasif, ketimbang cara otoriter.

Seminar ini diadakan dengan maksud membukakan wawasan para orang tua mengenai perilaku anak-anak mereka, serta langkah-langkah sederhana untuk bisa “berdamai” dengan perbedaan pandangan di antara orang tua dan anak. Walau tak semua kasus tentang relasi terungkap pada seminar ini, setidaknya para orang tua lebih memahami karakteristik umum anak-anak mereka dan diharapkan mau mengubah gaya parenting mereka untuk memiliki relasi yang lebih sehat dengan anak-anak mereka. (dln)

Menerapkan Godly Parenting

Memiliki anak adalah sebuah anugrah dari Tuhan yang selayaknya kita syukuri. Anak, sebagai kepunyaan Allah yang dititipkan kepada kita, menjadi berkat sekaligus tanggung jawab kita sebagai orangtua.

Sebagai seorang Kristen, sudah sepatutnya kita mengajarkan anak mengenai nilai-nilai kerohanian. Mereka harus diajar untuk mengenal Tuhan dan memaknai kehadiran Tuhan dalam setiap langkahnya.

Oleh karena itu, setiap orangtua Kristen diharapkan menerapkan godly parenting. Godly parenting ini merupakan cara mengasuh anak hanya berdasarkan kehendak Tuhan. Menjadikan Tuhan sebagai hal yang utama, prioritas kita.

Prioritas ini yang perlu terus kita jaga. Bersama pasangan, kita saling menguatkan dan mengingatkan bahwa kemuliaan bagi Tuhan adalah keutamaan yang hakiki. Kita berkomitmen untuk menyatakan kemuliaan-Nya melalui kehidupan kita.

Prinsip hidup inilah yang harus dihidupi di dalam keluarga kita. Dari orangtuanyalah seorang anak akan mengenal Tuhan dan memuliakan Tuhan. Inilah maksud dari godly parenting.

Cara ini juga bisa kita gunakan ketika mendampingi anak dalam membuat keputusan-keputusan penting dalam hidupnya. Semestinya kita mengesampingkan keinginan pribadi mengenai pilihan hidup anak kita. Ada banyak orangtua yang mungkin masih menyimpan mimpi-mimpinya yang belum sempat tercapai. Ada pula yang ingin mempertahankan “jejak karier” keluarga. Tuntutan-tuntutan inilah yang menjadi momok bagi gaya parenting kita, ketika kita lebih mementingkan kehendak kita semata dan tak menyertakan Tuhan di dalamnya.

Bijaknya, kita membiarkan anak kita memilih jalan hidupnya sendiri. Kita hanya perlu membimbingnya dalam jalan Tuhan dan memberikan wisdom agar anak mau ikut Tuhan dan menjadikan Tuhan sebagai sandaran dan tempat bertanya: apa yang Tuhan inginkan dari saya?” Biarkan Tuhan sendiri yang berbicara kepada anak kita: ingin dipakai sebagai apa dirinya di muka bumi ini?

Inilah esensi dari tugas kita sebagai orangtua, yaitu sebagai pemandu perjalanan hidup anak. Tugas kita untuk mendampingi anak dan menjadi rekan sekerja Allah. Dapat diilustrasikan bahwa saat ini kita berada di tengah-tengah, tangan yang satu berpegang kepada Allah dan tangan lainnya menggenggam tangan anak kita. Sepanjang anak kita membutuhkan pendampingan, kita tak boleh melepaskan genggaman tersebut. Yang perlu kita lakukan justru menularkan nilai-nilai yang sudah Tuhan ajarkan kepada kita. Kita percaya bahwa kehidupan anak kita berada dalam pimpinan Tuhan, dan Tuhan memakai kita sebagai orang tua untuk menjadi perpanjangan tangan Tuhan. Tetapi akan ada masa dimana anak harus memilih jalan hidupnya sendiri. Melepaskan genggaman tangan kita sebagai orang tua dan menyerahkan anak kita untuk langsung dibimbing oleh Tuhan. Sementara itu, kita memegang tangan Tuhan yang lainnya. Di sini, posisi Tuhan berada di tengah, sebagai center of life.

Godly parenting memastikan bahwa anak-anak suatu hari nanti akan menggenggam erat sendiri tangan Tuhan. Kita sebagai orangtua hanya bisa mengawasi mereka dari kejauhan. Sebisa mungkin kita perlu menuntunnya dengan penuh kebijaksanaan, membawanya sendiri kepada Tuhan. Jika kita lalai melakukan ini, ketakutan terbesar kita adalah anak akan “dicengkeram” kuasa lainnya, yang bisa saja kuasa duniawi yang akan membuatnya semakin jauh dari kebenaran firman Tuhan. (DLN)

(Disarikan dari materi seminar Ibu Charlotte Priatna)

Building The Nation By Building Your Children

artikel parenting
Oleh: Beryl Sadewa Lumenta, guru SMP

 

Negara adalah struktur sosial terbesar dalam suatu bangsa. Negara tersusun dari unit-unit sosial lain yang lebih kecil yang saling mempengaruhi dalam hubungan yang kompleks. Unit sosial terkecil itu adalah keluarga. Kalau negara digambarkan sebagai sebuah rumah, maka batu pondasinya, ubin pada lantainya, batu bata pada dindingnya, dan genteng pada atapnya adalah penggambaran dari kumpulan keluarga.

Peran keluarga yang sangat penting, dalam unit sosial terkecil inilah, generasi penerus bangsa muncul, tumbuh, dan berkembang. Kuat lemahnya mereka, sangat tergantung pada kondisi keluarga tempat mereka tumbuh dan berkembang. Masa depan bangsa tergantung pada generasi mudanya. Jika generasi muda kuat, maka akan kokoh pulalah bangsa itu, namun jika mereka lemah, akan rapuhlah bangsa itu. Dengan kata lain, keluarga yang sehat, akan menghasilkan generasi muda yang kuat, dan pada gilirannya akan menghasilkan bangsa yang kokoh.

Banyak di antara kita para orang tua, yang mungkin kurang menyadari pengaruh keberadaan keluarga kita bagi perkembangan bangsa, khususnya bangsa Indonesia. Kita mengakui bahwa seorang duta besar yang bertugas di luar negeri dikatakan sedang menjalankan tugas negara. Begitu pula seorang tentara yang diutus ke perbatasan untuk memperkuat pertahanan. Demikian juga sama halnya dengan seorang dokter yang diutus ke pedalaman Papua untuk mengatasi masalah gizi buruk dan wabah campak. Bagaimana dengan peran kita sebagai orang tua? Kita mungkin bukan duta besar, tentara atau dokter, tapi kita juga sedang menjalankan tugas negara yang tidak kalah pentingnya dengan mereka, kita sedang mendidik generasi muda penerus bangsa.

Mungkin ada yang berpikir bahwa pendidikan anak adalah tanggung jawab guru dan sekolah. Kalau demikian adanya, saya terpaksa harus mengatakan bahwa pernyataan itu salah. Guru dan sekolah TIDAK pernah dimaksudkan untuk menggantikan peran orang tua dan keluarga. Guru dan sekolah adalah rekan sekerja orang tua dan keluarga dalam mendidik anak. Seperti yang tertulis dalam Ulangan 6, bahwa orang tua diberikan mandat untuk mendidik anak-anak mereka.

Ada tiga aspek dasar dalam pendidikan: aspek kognitif atau pengetahuan, aspek afektif atau sikap/karakter, dan aspek psikomotor atau keterampilan. Mungkin tidak semua orang tua memiliki pengetahuan atau keterampilan yang diperlukan oleh anak untuk dipelajari, dalam hal inilah guru dan institusi sekolah berperan. Dalam pembentukan karakter anak, orang tua dan guru sama-sama berperan dalam membentuk karakter anak. Meskipun demikian, Tuhan memberikan tanggung jawab pendidikan atau pembentukan karakter anak kepada orang tua.

Ulangan 6:7 mengatakan : “… haruslah engkau mengajarkannya berulang-ulang kepada anak-anakmu dan membicarakannya apabila engkau duduk di rumahmu, apabila engkau sedang dalam perjalanan, apabila engkau berbaring dan apabila engkau bangun.” Ada dua implikasi dari ayat tersebut. Yang pertama adalah bahwa pendidikan (karakter) tidak dapat dilakukan sesekali (apalagi hanya sekali saja) melainkan harus terus-menerus. Yang kedua, pendidikan karakter terhadap anak hanya efektif bila dilakukan dengan cara “bergaul akrab” dengan anak.
Cara terbaik dalam memberikan pendidikan karakter bagi anak adalah dengan menjadi teladan bagi mereka sebab telinga anak mungkin tertutup terhadap nasihat, tetapi matanya selalu terbuka melihat teladan. Dan cara apakah yang lebih baik bagi orang tua dalam memberikan teladan bagi anak-anaknya selain dengan bergaul akrab dengan mereka? Tuhan Yesus tinggal dengan murid-murid-Nya supaya Ia dapat bergaul akrab dengan mereka. Murid-murid Tuhan Yesus setiap hari selalu melihat teladan dari Sang Guru. Di sini tampak jelas bahwa peran orang tua tidak tergantikan oleh guru. Guru tidak mungkin bersama-sama dengan anak setiap hari, sedangkan orang tua tinggal bersama anak.

Walaupun demikian, ada perbedaan besar antara berada di tengah anak-anak, dengan hadir di tengah-tengah mereka. Kita bisa saja berada bersama-sama dengan anak-anak kita, namun mereka tidak merasakan kehadiran kita. Keberadaan kita bisa mereka rasakan kalau ada interaksi antara kita dengan mereka. Pelajaran-pelajaran paling berharga bisa anak-anak kita dapatkan pada saat kita sedang beraktivitas bersama mereka. Momen-momen penting dapat muncul tiba-tiba, kesempatan baik bagi kita untuk menyampaikan nilai-nilai moral kepada anak-anak kita.

Ketika kita membangun karakter anak-anak kita, kita sedang mempersiapkan anak-anak kita menghadapi masa depannya; dan masa depan anak-anak kita adalah masa depan bangsa dan negara kita. Kita sebagai orang tua mengambil bagian yang sangat penting dalam membangun bangsa kita. Bahkan mungkin kita mempunyai peran yang lebih besar dari yang kita bayangkan; karena pemimpin bangsa kita di masa depan bisa jadi salah satu dari anak-anak kita.

Mengenali “Panggilan” Anak

Oleh: Tri Ananda, Kabag SDM Sekolah Athalia

parenting, mengenali panggilan anak

“Apa sih yang kau tahu?”, sebuah kalimat yang mungkin pernah kita sebagai orang tua atau guru perkatakan kepada anak atau siswa kita. Kalimat yang dikatakan bisa secara langsung ataupun hanya dalam hati. Perkataan tersebut biasanya muncul karena sebuah pemahaman bahwa sebagai orang yang lebih dewasa, orang tua atau guru sudah mempunyai “banyak” pengalaman hidup. Pengalaman hidup yang membuat orang dewasa dapat merasa sudah banyak tahu, dan mempunyai pra-anggapan bahwa anak atau siswa tidak “banyak” mengerti atau kurang berpengalaman.
Saat anak atau siswa kita masih kecil, pra-anggapan itu diterima oleh anak tanpa perlawanan. Tetapi ketika anak beranjak remaja, maka ada tuntutan adanya pembuktian atas pra-anggapan tersebut. Jika orang tua tidak mampu membuktikan pra-anggapannya maka yang terjadi adalah pertentangan bahkan mungkin pemberontakan. Apakah pertentangan atau pemberontakan ini harus terjadi? Hal tersebut bisa tidak terjadi. Dengan cara menghilangkan pra-anggapan atau sikap “underestimate” terhadap anak. Sebaliknya, mengembangkan sikap “trust” kepada anak. Bukankah akan lebih tentram apabila relasi kita sebagai orang tua/guru dengan anak bisa berjalan dengan baik? Bagaimana caranya?
Rasul Paulus memberikan nasihatnya dalam bentuk “penguatan” dan “kepercayaan” kepada Timotius sebagai generasi yang lebih muda dalam melakukan tugas panggilannya, untuk: “Beritakanlah dan ajarkanlah semuanya itu. Jangan seorang pun menganggap engkau rendah karena engkau muda…” (1 Timotius 4: 11 – 12). Dalam lanjutan dari pasal ini, diungkapkan faktor-faktor yang mendukung keberhasilan dalam menjalankan tugas panggilan bukan faktor usia melainkan berkenaan dengan faktor keteladanan dalam perkataan, tingkah laku, kasih, kesetiaan dan kesucian. Keteladanan inilah yang membuat orang meskipun dia masih muda bisa dipercaya dan mampu menjalankan tugas-tugas yang diembannya. Ini juga yang seharusnya dilakukan orang tua kepada anak/anak didiknya.
Orang tua terlebih dahulu memberikan teladan baik dalam perkataan, tingkah laku, kasih, kesetiaan dan kesucian kepada anaknya. Sehingga anak/siswa bersedia melakukan dengan senang hati hal-hal yang sudah diteladankan oleh orang tuanya. Orang tua harus memberikan kepercayaan kepada anak/siswanya mulai dari tanggung jawab dalam perkara yang kecil, sampai mereka siap untuk melakukan tanggung jawab dalam perkara-perkara yang besar (Matius 25: 23).
Oleh karena itu ketika orang tua/guru ingin mengenali “panggilan” anak, maka sebagai landasannya adalah membangun kepercayaan. Orang tua atau guru mulai belajar memberikan kepercayaan kepada anak-anak, dan hal ini akan menolong anak untuk mengenali panggilannya sendiri. Bimbingan orang tua, tanpa adanya pemaksaan kehendak orang tua kepada anak sangat dibutuhkan. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah hindari pemenuhan semua keinginan anak atau memanjakan anak tanpa ada “tali kekang” sedikit pun. Hal ini akan membuat anak/siswa lepas kendali dan terlanjur menjadi susah untuk dikendalikan.
Dalam kitab Hosea 11:4 dituliskan, “Aku menarik mereka dengan tali kesetiaan, dengan ikatan kasih”. Jadi “tali kekang” yang harus dikenakan kepada anak/siswa kita adalah tali kesetiaan dengan ikatan kasih, bukan tali yang membelenggu mereka sehingga mereka memberontak untuk melepaskan diri dari tali itu dan apabila terlepas menjadi “liar” tak terkendali.
Jadi langkah-langkah praktis yang bisa kita pikirkan dan lakukan dalam upaya untuk mengenali “panggilan” anak/siswa kita, adalah:

  1. Dengarkan apa yang menjadi mimpi-mimpi/keinginan mereka.
  2. Ujilah mimpi-mimpi/keinginan mereka dengan pertanyaan-pertanyaan reflektif, misalnya: Apakah sudah dipikirkan konsekuensinya bagi diri anak, keluarga, teman, dan masyarakat? Apakah anak/siswa mampu dan tahan dalam menjalankan semua konsekuensi itu?
  3. Apabila anak/siswa sudah firm dengan dirinya sendiri , bahwa ia akan mampu/tahan menjalankan dan menghadapi konsekuensinya, maka kita dapat mempersilahkan anak/siswa untuk menjalani “panggilan” yang menjadi pilihannya.
  4. Terus lakukan monitoring bila dalam prosesnya anak/siswa memerlukan dukungan, coaching ataupun counseling. Bahkan, pantau terus untuk mendapati bilamana ada kebutuhan mereka melakukan redefinisi terhadap “panggilan” yang dipilihnya.

Apabila ada kebutuhan untuk redefinisi, maka kita akan mulai lagi dengan langkah pertama, sehingga dalam prakteknya akan terus terjadi siklus aksi – refleksi – aksi.
Tulisan ini adalah sebuah tawaran, buah pemikiran dalam rangka menolong anak/siswa untuk mengenali “panggilan”nya. Perihal penerapannya, hal ini sangat bergantung pada sikap yang diambil. Pemaparan ini juga bukan merupakan formula yang kaku, tetapi bisa disesuaikan dengan konteks yang kita hadapi. Selamat mencoba.

Seminar Parenting “Dealing with Child Tantrums”

Acara yang dilaksanakan pada Sabtu, 25 November 2017 di Aula F Sekolah Athalia ini, berlangsung dari jam 08.00 sampai dengan jam 13.00 WIB. Sebagai pembicara adalah ibu Hanlie Muliani, M.Psi, Psikolog, seorang penulis buku “How to Deal with Your Child“.

Peserta yang hadir dalam seminar ini berjumlah sekitar 186 orang tua yang terdiri dari orang tua siswa Athalia, guru, dan beberapa peserta dari luar. Seminar ini diadakan dengan tujuan untuk menolong orang tua dalam bersikap ketika menghadapi anak yang tantrum, memahami kondisi anak dan mengerti apa yang menjadi penyebab anak tantrum, juga untuk belajar bersabar dalam menghadapi anak tantrum dengan tips yang diberikan oleh pembicara.

Hasil dari seminar ini adalah banyak orang tua yang diberkati dengan pengetahuan yang baru mereka dapatkan, membuka pikiran orang tua untuk menghadapi anak tantrum pada tahap usia tertentu, dan memberikan ide kepada orang tua dalam mencegah dan mengatasi konflik dengan anak menggunakan kemampuan yang efektif.

seminar_tantrum

seminar_tantrum

seminar_tantrum

seminar_tantrum

seminar_tantrum

seminar_tantrum

seminar_tantrum

seminar_tantrum

seminar_tantrum

seminar_tantrum

Mendidik Anak dengan Benar Sejak Awal

Oleh: Beryl Sadewa Lumenta, guru SMP

parenting

Tahun baru, identik dengan awal yang baru. Sering kali orang mengawali tahun dengan membuat resolusi tahun baru, yang biasanya berupa komitmen untuk melakukan sesuatu yang baik. Mengapa di awal tahun? Karena, disadari atau tidak, kita tahu bahwa melakukan sesuatu yang baik dan benar, jika dimulai dari awal, maka hasilnya akan maksimal.

Hal yang sama berlaku di dunia parenting. Semua orang tua yang baik, pasti menginginkan anaknya tumbuh menjadi pribadi yang baik pula; taat, disiplin, bertanggung jawab, sabar, inisiatif, dan lain-lain. Jika kita mulai mendidik anak kita sejak dini, maka hasilnya juga akan lebih baik. Lebih mudah mendidik anak agar memiliki karakter yang baik daripada memperbaiki karakter mereka ketika mereka sudah beranjak remaja, atau bahkan dewasa.

Masalahnya, hal tersebut ternyata tidak mudah, dan yang paling sulit adalah bagaimana mendidik anak agar konsisten melakukan apa yang benar.. Kalau sekedar memberitahu mereka apa yang baik dan tidak baik, atau mendorong mereka melakukan apa yang baik dan benar sesekali, tentu tidak terlalu sukar. Lantas bagaimana caranya?

Ada 3 hal yang harus kita perhatikan.
Yang pertama, anak membutuhkan teladan dari orang tuanya. Ada pepatah mengatakan bahwa telinga anak mungkin tertutup terhadap nasehat, tapi matanya selalu terbuka melihat teladan. Ketika kita konsisten melakukan apa yang benar, maka anak kita akan cenderung meneladani perilaku kita, demikian pula sebaliknya. Percuma kita menasehatkan satu hal kepada anak kita, tapi anak kita melihat hal yang tepat berkebalikan dengan apa yang kita katakan.

Yang kedua, harus ada kesehatian antara Ayah dan Ibu. Artinya, Ayah dan Ibu harus memiliki nilai-nilai yang sama, dan harus sepakat mengenai apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan anak. Misalnya, ketika orang tua mau mengajarkan tanggung jawab kepada anak, dengan meminta dia merapikan mainannya. Ayah dan Ibu harus sepakat bahwa anak harus merapikan mainannya. Jika Ayah berkeras anak membereskan mainannya, tapi Ibu membolehkan anak untuk tidak membereskan mainannya, misalnya, maka anak akan cenderung mencari-cari celah untuk tidak melakukan tanggung jawabnya, dibalik kata-kata: “Kata Ibu boleh”sehingga akan sulit mengharapkan anak konsisten membereskan mainannya.

Yang terakhir, kita sebagai orang tua, harus bergaul akrab dengan anak-anak kita. Sediakanlah waktu untuk melakukan berbagai hal bersama-sama dengan mereka. Bermain, menonton, jalan-jalan, membaca buku, atau berolahraga bersama. Proses pendidikan karakter dalam keluarga adalah proses transfer nilai dari orang tua kepada anak-anaknya. Dan transfer nilai ini mustahil terjadi tanpa interaksi antara orang tua dan anak. Kalau sekedar transfer pengetahuan saja, bisa kita lakukan dengan memberi anak-anak kita nasehat, tapi tidak dengan transfer nilai. Sering kali saat yang paling tepat untuk mengajarkan nilai-nilai yang kita percayai kepada anak adalah saat kita sedang melakukan aktivitas sederhana bersama anak-anak kita. Momen-momen itu sering kali muncul saat kita sedang bersama-sama dengan anak-anak kita, kita yang perlu peka melihat momen-momen tersebut. Pernah suatu kali sedang duduk menunggu pesanan makanan di restoran, dan anak saya tiba-tiba bertanya: “Papi, aku kalau berdoa makan kan hampir selalu sama tuh kata-katanya, kira-kira Tuhan bosen gak, ya?” Sebenarnya, saat itu adalah momen yang sangat tepat untuk saya mengajarkan kepada anak saya mengenai sikap hati saat berdoa, tapi sayang, saat itu saya hanya bisa tertawa karena tidak siap menangkap momen yang muncul tiba-tiba.

Jika kita melakukan ketiga hal tersebut secara konsisten, maka akan lebih mudah bagi anak-anak kita untuk konsisten melakukan apa yang benar. Selamat mencoba.

Peran Ayah Dalam Keluarga

(Mazmur 128)

 

Dalam zaman modern saat ini, banyak keluarga Kristen yang kehilangan fungsi dan perannya. Berbagai kesibukan kerja dan aktifitas yang padat membuat banyak keluarga tidak bisa menikmati kebersamaan satu dengan yang lain. Rumah cuma tempat istirahat setelah melakukan aktifitas dan pekerjaan. Tidak ada altar keluarga, tidak ada acara kumpul bersama untuk saling bicara, makan bersama, nonton bersama, saling sharing. Semuanya sibuk, sibuk dan sibuk. Tetapi itulah realita hidup yang harus kita lihat dan mungkin kita ada di dalam situasi yang seperti itu.

Seorang ayah yang seharusnya menjadi imam, kepala keluarga, suami dan ayah bagi anak-anaknya ternyata tidak punya waktu untuk keluarganya. Seorang ayah karena kesibukannnya, tidak hadir dan berperan dalam mendidik, mengajar, membangun dan mengasihi di dalam keluarganya. Sehingga apa yang terjadi? Banyak anak yang kehilangan figur seorang ayah yang mempengaruhi mereka dalam membangun self image (gambar diri) serta menentukan bagaimana mereka berelasi dengan pria lain. Pada saat mereka tidak menemukan perhatian dan kasih sayang dari ayah mereka, mereka akan mencarinya di luar dan di sana dengan begitu mudah pula mereka akan jatuh dalam pergaulan bebas.

Dalam situasi seperti ini, kita harus kembali kepada Alkitab. Dalam Mazmur 128, kita belajar beberapa hal bagaimana seorang ayah menjalankan perannya dalam keluarga.

 

1. Seorang ayah harus punya hati yang takut akan Tuhan

Mazmur 128:1 menyatakan bahwa berbahagialah orang yang takut akan Tuhan. Dalam ayat 4, kembali dinyatakan bahwa Tuhan memberkati seorang laki-laki yang takut akan Tuhan. Hal ini menunjukkan bahwa seorang ayah haruslah jadi ayah yang takut akan Tuhan. Ayah yang menjalankan fungsi dan perannya sebagai seorang imam dalam keluarga. Ayah yang mengajarkan anak-anaknya di dalam pengenalan akan Tuhan. Mengajak keluarganya untuk beribadah melalui altar keluarga, membaca alkitab, berdoa bersama. Sehingga anak-anak akan melihat langsung figur seorang ayah yang memberikan teladan iman kepada mereka.

Mengapa banyak orang merokok? Karena ayah mereka juga perokok. Mengapa ada orang peminum? Karena ayah mereka juga seorang peminum. Jadi kita bisa melihat bahwa seorang ayah yang baik adalah ayah yang mendidik hidup anak-anaknya seturut dengan firman Tuhan. Ayah yang dalam seluruh hidupnya, pekerjaannya, aktifitasnya, kasihnya, pengajarannya membawa seluruh keluarganya takut akan Tuhan.

 

2. Seorang ayah harus menjadi suami yang mengasihi isterinya (Mazmur 128:3a)

Seorang pria harus menjadi seorang suami sekaligus ayah yang bijaksana dalam keluarganya. Efesus 5 : 25 menuliskan “Hai suami, kasihilah isterimu sebagaimana Kristus telah mengasihi jemaatNya dan telah menyerahkan diri-Nya baginya”. Sebuah kata bijak mengatakan: “Salah satu hadiah terindah yang dapat diberikan seorang ayah kepada anak-anaknya adalah dengan mengasihi ibunya”. Saat seorang ayah mengasihi isterinya maka ia sudah memberikan teladan kasih kepada anak-anaknya bagaimana mereka bersikap hormat kepada ibu mereka, teman lawan jenis mereka dan pasangan hidup mereka kelak.

 

3. Seorang ayah harus menjadi ayah yang bijaksana bagi anak-anaknya.


Ayah yang bijaksana terlibat dalam kehidupan anak-anaknya
Seorang ayah berjanji pada anaknya untuk berjalan-jalan dan pergi makan bersama pada hari ulang tahunnya yang ke-11. Anaknya begitu gembira dan mulai menghitung hari, namun menjelang hari ulang tahunnya, sang ayah menerima undangan untuk menghadiri sebuah seminar penting di luar kota tepat pada hari ulang tahun anaknya. Ia akan menerima $1,000 untuk menjadi pembicara selama 1 jam. Seminar ini begitu penting bagi karirnya dan akan dihadiri oleh orang-orang penting juga. Ia mencoba berbicara dan bernegosiasi dengan anaknya untuk membatalkan rencana jalan-jalan bersama dan menawarkan $1,000 kepada anaknya. Apa jawab sang anak? Setelah berpikir sejenak, sang anak menjawab, ”No, that’s Ok Dad, I’d rather spend time with you”. Anak tersebut menolak uang $1,000 dan lebih memilih untuk menghabiskan waktu bersama-sama dengan ayahnya. Inilah contoh cerita betapa pentingnya waktu dan kehadiran seorang ayah dalam hidup anak-anaknya.

 

Ayah yang bijaksana adalah ayah yang selalu konsisten

Seorang ayah berjanji akan makan siang bersama dengan anaknya dan kemudian akan main basket bersama. Sang anak menunggu dengan antusias. Beberapa jam sebelum makan siang, ia sudah siap dengan bola basketnya berikut baju basketnya dan menunggu sang ayah tiba di rumah siang itu. Tunggu punya tunggu ayahnya belum datang juga. Jam 1 siang ayahnya menelepon dan mengatakan bahwa ia sangat sibuk karena banyak pekerjaan, ia mengatakan bahwa ia belum lupa janjinya dan akan pulang sekitar jam 3 siang sehingga masih ada waktu untuk main basket bersama. Tunggu lagi hingga jam 4 sore, ayahnya kembali menelepon bahwa ia tidak bisa pulang, akhirnya ayahnya pulang sekitar jam 10-an malam dan menemukan anaknya sudah tertidur dengan baju basketnya. Dia mengendong anaknya ke tempat tidur dengan berbisik, ”I’m sorry my son.” Sang anak dengan setengah terbangun menjawab, ”It’s Ok Dad, I had fun thinking about it.”
Seorang ayah harus konsisten dalam segala hal terutama di dalam menjaga nilai-nilai yang kita pegang khususnya dalam hal iman.

 

Ayah yang bijaksana akan mengenal secara mendalam karakter anak-anaknya

Setiap anak mempunyai karakter yang berbeda-beda satu dengan yang lain. Untuk itu seorang ayah harus mengenal anaknya, masuk ke dalam jiwa mereka. Mengenal setiap kebutuhan mereka, kekuatiran mereka, apa yang sedang dialami, perasaan mereka dan cara berpikir mereka. Hal itu akan membangun hubungan ayah dengan anaknya secara lebih mendalam.

 

Kiranya Tuhan menolong setiap para ayah untuk menjalankan perannya sebagai ayah yang takut akan Tuhan, mengasihi istrinya dan ayah yang bijaksana bagi anak-anaknya. God bless us.
(by: DRZ)

Mengasihi Anak-anak dengan Mengenali Bahasa Kasih Mereka

Menjadi orang tua adalah sebuah tugas mulia yang telah dipercayakan oleh Tuhan untuk menjaga, merawat, dan membesarkan anak-anak yang dititipkan oleh-Nya. Terkadang karena sibuknya pekerjaan membuat para orang tua tidak sempat memperhatikan anak-anaknya bertumbuh. Orang tua seringkali jadi kurang mengenali anak-anak mereka sendiri dan tidak tahu bagaimana cara yang tepat untuk mencintai mereka. Jika caranya kurang tepat, dapat saja anak-anak merasa tidak dikasihi padahal sebagai orang tua tentu saja sangat menyayangi mereka. Untuk itu, sangat perlu untuk memahami bahasa kasih dari anak-anak tersebut. Menurut buku berjudul “Lima Bahasa Kasih” tulisan Gary Chapman, ada lima bahasa kasih yang digunakan oleh manusia untuk mengekspresikan kasih sayang atau untuk merasa dicintai, lima bahasa kasih itu adalah:

1. Quality Time (Waktu yang Berkualitas)

2. Physical Touch (Sentuhan Fisik)

3. Receiving Gift (Hadiah)

4. Words of Affirmation (Kata-kata Pendukung/Penguatan)

5. Act of Service (Pelayanan)

 

1. Quality Time (Waktu yang Berkualitas)

Ciri-ciri seorang anak dengan bahasa kasih ini:

  • sangat suka ditemani dan suka menemani
  • suka berlibur dengan keluarga (senang berkumpul atau meluangkan waktu bersama-sama dengan orang-orang yang mereka sayangi atau yang menyayangi mereka)
  • tidak suka jika orang tuanya terlalu sibuk dan jarang di rumah, atau tidak punya waktu untuk mereka, karena baginya, kehadiran Anda adalah kebahagiaannya.

Anak-anak dengan bahasa kasih ini akan merasa sangat terluka jika Anda tidak datang untuk mengambil raport, atau tidak menghadiri pentas drama yang anak Anda mainkan di sekolah padahal sebagai orang tua Anda menerima undangan pada acara tersebut, melewatkan janji main bola, atau melupakan rencana nonton film bersama. Mereka juga merasa diabaikan saat sedang liburan keluarga tapi Anda sibuk sendiri dengan laptop dan pekerjaan Anda atau Anda sibuk sendiri dengan ponsel atau gadget Anda. Sebaliknya, mereka akan merasa sangat dicintai jika Anda bersedia menemani mereka belajar, penuh perhatian saat mereka sedang bercerita tanpa apapun memecah fokus Anda padanya, mau meluangkan waktu sekedar untuk ngobrol atau main catur bersama. Mereka juga akan merasa sangat disayangi ketika Anda sedang tugas di luar negeri atau di luar kota untuk beberapa minggu tapi khusus di hari ulang tahunnya Anda mau menyempatkan pulang sebentar hanya untuk merayakan hari spesial itu sekalipun mungkin Anda lupa membeli kado. Baginya, kehadiran atau keberadaan Anda di sisinya jauh lebih penting baginya.

 

2. Physical Touch (Sentuhan Fisik)

Ciri-ciri seorang anak dengan bahasa kasih ini:

  • sangat suka dipeluk atau diusap, juga suka memeluk atau mengusap
  • suka menyentuh kalau berbicara
  • kemarahannya akan segera lenyap ketika diberi pelukan

Anak-anak dengan bahasa kasih ini akan sangat hancur hatinya ketika Anda menamparnya, memukul, atau menjambak rambutnya. Sebaliknya, mereka akan merasa sangat dikasihi ketika Anda menggandeng tangannya, menepuk punggungnya, mencium keningnya ketika mereka akan berangkat sekolah atau ketika mereka akan tidur, mengusap tangannya ketika mereka sedih, mengelus kepala mereka, menggendong, atau memeluk mereka.

 

3. Receiving Gift (Hadiah)

Ciri-ciri seorang anak dengan bahasa kasih ini:

  • sangat senang menerima hadiah dan suka memberi hadiah pada orang tuanya
  • senang diberi oleh-oleh ketika orang tuanya pulang dari bepergian atau senang memberikan oleh-oleh untuk teman-temannya ketika dia baru pulang berlibur.
  • mengharapkan kado di hari ulang tahunnya

Menurut anak-anak dengan bahasa kasih ini membahagiakan orang lain adalah dengan memberikan hadiah, begitu juga sebaliknya bagi diri mereka sendiri, mereka akan merasa bahagia jika diberi sesuatu. Tidak harus sesuatu yang wah, mahal, atau spektakuler, kadang bagi anak-anak dengan bahasa kasih ini, diberi sebutir permen pun sudah cukup membuat hatinya luluh saat mereka sedang merajuk atau ngambek. Anak-anak ini mungkin akan mulai berpikir Anda tidak menyayanginya lagi ketika Anda lupa memberinya kado Natal.

 

4. Words of Affirmation (Kata-kata Pendukung/Penguatan)

Ciri-ciri seorang anak dengan bahasa kasih ini:

  • senang dipuji
  • senang memuji dan mengucapkan kata-kata manis
  • sangat suka diberi kata-kata dukungan
  • tidak suka dikritik

Anak-anak dengan bahasa kasih ini mudah remuk oleh kata-kata celaan, makian, dan hinaan. Sebaliknya, mereka akan merasa sangat dicintai ketika Anda memuji prestasinya di sekolah, memberikan kata dukungan semangat saat mereka mulai malas belajar, menyapa dengan manis saat mereka baru bangun tidur, atau mengucapkan selamat tidur saat mereka mulai memejamkan mata. Memanggil mereka dengan sebutan “sayang”, “jagoan Papa”, “anak Papa yang baik”, atau “anakku yang manis”, akan membuat mereka sangat yakin bahwa Anda benar-benar menyayanginya. Jika mereka melakukan kesalahan, sebuah kata-kata kritikan bukanlah cara yang tepat untuk mereka, tapi sebuah saran atau solusi dan kata-kata dukungan semangat untuk memperbaikinya  justru akan lebih mengena.

 

5. Act of Service (Pelayanan)

Ciri-ciri seorang anak dengan bahasa kasih ini:

  • suka dilayani dan suka melayani
  • senang dibantu
  • penolong, peka terhadap kebutuhan orang lain
  • senang membantu orang tuanya bekerja di rumah

Anak perempuan Anda membuatkan Anda secangkir kopi, atau anak laki-laki Anda membantu Anda mencuci mobil, adalah wujud rasa sayang yang sedang ditunjukkan oleh anak-anak dengan bahasa kasih ini. Bagi anak-anak ini sebuah tindakan nyata lebih berarti bagi mereka daripada hanya sekedar kata-kata belaka. Anak-anak ini akan merasa disayangi ketika Anda mau mengantarnya sekolah atau menjemputnya saat pulang les. Membantu mereka menyelesaikan masalah, membantu mereka mengerjakan PR, membantu mereka mempersiapkan peralatan sekolah, membuatkan mereka sarapan, membantu mereka menyiapkan bekal, menyuapi mereka saat mereka sakit, atau membuatkan mereka secangkir susu saat akan pergi tidur akan membuat mereka merasa sangat bahagia. Mereka akan merasa sangat sedih, merasa ditelantarkan, dan berkecil hati saat Anda membiarkan mereka menyelesaikan masalah-masalah mereka sendiri ketika mereka butuh bantuan atau melakukan segala sesuatunya sendiri saat mereka butuh pertolongan.

 

Pada dasarnya setiap anak atau orang menggunakan kelima bahasa kasih ini, hanya saja mana yang lebih dominan dan intens membuat seorang anak paling merasa terluka atau hal mana yang paling membuatnya merasa sangat bahagia dan paling merasa dikasihi jika diperlakukan seperti yang diharapkannya, berarti itulah bahasa kasihnya.

 

Nah, para orang tua, kasihi putra-putri Anda dengan cara mereka, sesuai dengan bahasa kasih mereka, karena wujud kasih sayang yang Anda tunjukkan itu akan terus terkenang di hati mereka hingga kelak mereka dewasa.

 

(*Ind).

Character-based Parenting

Banyak orangtua setuju bahwa karakter baik memang penting bagi masa depan anak. Namun, apakah benar itu yang diyakini? Bila berkesempatan memilih antara anak berkarakter baik atau yang menjadi juara umum, akankah kita memilih yang  berkarakter baik? Banyaknya penghargaan dan dukungan yang diberikan institusi pendidikan untuk anak yang pintar membuat orangtua cenderung menuntut anak berprestasi tinggi; sementara untuk karakter, ya asal tidak buat masalah saja…
Padahal sejarah mencatat betapa karakter yang teguh menentukan jalan hidup seseorang.

Apa itu karakter? Benarkah karakter demikian penting? Bagaimana agar kita menjadi orangtua yang mendukung tumbuhnya karakter baik dalam diri anak? Bagaimana menyeimbangkan antara kesibukan pekerjaan, waktu pribadi, kehidupan sosial, dan pengasuhan anak?

Flyer seminar

Seminar Parenting “Unik dan Menarik”

Kita punya kecenderungan bertanya, “Buah mana yang lebih enak, apel atau manggis?” Dan jawabannya adalah, “Itu pertanyaan bodoh.” Jika kita dikaruniai 2 orang anak. Meskipun mereka memiliki kemiripan & berasal dari mama papa yg sama, namun mereka tetap berbeda. Sungguh tidak adil & jelas tidak mungkin mengharapkan ikan pandai memanjat & melompat pohon seperti kera, apalagi juga membandingkannya. Daripada berusaha mengubah seseorang & menjadi seperti orang lain, lebih baik kita bangga pada diri sendiri & merayakan perbedaan serta keunikan kita dengan segala kelebihan & kekurangan yg ada.

Bagaimana kita sebagai orang tua memahami dan memperlakukan anak-anak sebagai pribadi yang unik dan menarik? Hadirilah seminar dan workshop “Unik dan Menarik” yang akan diadakan pada: Sabtu, 9 Maret 2013 pk. 08.00-12.00 di Aula C Sekolah Athalia. Pembicara : Dra. Charlotte Priatna M.Pd Biaya : 40.000/70.000 (+pasangan) 50.000 per org (utk umum).

 

brosur seminar unik & menarik

Gambar: dokumen APC (Athalia Parents Community)