Menjadi Orang yang Bijaksana

Hidup manusia dikatakan bermakna, bukan dari seberapa lama atau seberapa panjang usia dia hidup tapi dengan nilai-nilai apa dia mengisi kehidupannya di dunia. Apakah dia sudah mengisi hidupnya dengan bijaksana selama dia di dunia?

Ada suatu kisah yang menceritakan tentang seorang pria yang hidup dengan kedua anaknya. Sebelum meninggal, ia membagikan sejumlah uang kepada kedua anaknya dan berpesan:”Gunakan uang ini baik-baik! Jadikan uang ini sebagai modal usaha, supaya engkau menjadi orang berhasil. Tetapi ingat pesanku ini: “Jangan sampai kepalamu terkena sinar matahari” Setelah meninggal, kedua anaknya menggunakan uang tersebut untuk mendirikan usaha. Mengingat pesan ayahnya, anak yang pertama setiap hari datang dan pulang dari tempat usahanya dengan membawa payung. Ia berusaha melindungi kepalanya supaya jangan terkena sinar matahari, dengan demikian ia akan berhasil. Tetapi kenyataannya, ia bukan berhasil melainkan usahanya menjadi bangkrut.

Anak yang kedua berbeda dalam memaknai pesan ayahnya. Ia tidak mau membeli payung atau pelindung apapun untuk melindungi kepalanya dari sinar matahari. Setiap hari ia datang pagi-pagi buta ke tempat usahanya, ia mengerjakan segala sesuatu hingga malam hari, barulah ia kembali ke rumah sehingga usahanya berhasil. Anak yang kedua berhasil karena ia bijaksana memaknai pesan dari ayahnya.

Apakah bijaksana itu? Dalam kamus bahasa Indonesia, bijaksana artinya selalu menggunakan akal budinya (pengalaman dan pengetahuannya); arif; tajam pikiran serta pandai dan hati-hati (cermat, teliti, dan sebagainya) apabila menghadapi kesulitan. Tuhan menghendaki agar umat-Nya memiliki hati yang bijaksana dalam menjalani hidupnya. Lalu, siapakah orang yang bijaksana? Orang yang bijaksana tidak identik dengan orang yang berpengetahuan tinggi karena orang yang berpengetahuan tinggi belum tentu bijaksana. Orang yang bijaksana belum tentu berpengetahuan tinggi tapi orang bijaksana pasti pintar dalam menghadapi segala sesuatu. Orang bijaksana adalah orang yang mampu melihat hidup ini dari sudut pandang Allah dan kemudian mengetahui tindakan terbaik untuk dilakukan. Orang yang bijaksana adalah orang yang mengenal isi hati Tuhan. Setiap orang pasti punya kerinduan untuk menjadi orang yang bijaksana.

Bagaimana menjadi orang yang bijaksana menurut Alkitab?

  1. Alkitab mengajarkan satu kalimat yang melampaui ajaran buku manapun; Takut akan Tuhan adalah permulaan pengetahuan (Amsal 1:7). Takut akan Tuhan ialah menghormati Tuhan. Takut akan Tuhan adalah mengakui bahwa Tuhan adalah sumber hikmat dan kepada-Nya-lah kita meminta hikmat. Takut akan Tuhan membawa kita untuk menjauhkan dosa dan membenci dosa, kejahatan serta ketidakbenaran dalam hidup kita. Orang saleh dalam Alkitab seperti Henokh, Nuh, Ayub, mereka dapat menjauhi kejahatan bukan karena mereka hebat tetapi karena mereka punya rasa hormat yang besar kepada Tuhan sehingga walaupun semua berbuat jahat, mereka tetap berkata “tidak” terhadap kejahatan. Inilah yang disebut takut akan Tuhan. Orang yang tidak takut akan Tuhan, bagaimana pun pintarnya, dia akan binasa. Salomo adalah seorang raja dalam perjanjian lama yang terkenal karena bijaksananya. Salomo memohon diberikan bijaksana oleh Tuhan dalam memimpin rakyatnya karena Salomo takut akan Tuhan. Tuhan memberikan Salomo kebijaksanaan sehingga raja Salomo menjadi raja yang begitu bijaksana dalam memerintah rakyatnya. Tetapi raja Salomo tidak terus punya hati yang takut akan Tuhan. Raja Salomo mengambil perempuan-perempuan asing yang tidak takut akan Tuhan, akhirnya Salomo pun ikut menyembah dewa dari isteri-isterinya tersebut. Raja Salomo sudah kehilangan hati yang takut akan Tuhan. Salomo tidak lagi mengandalkan Tuhan dalam hidupnya. Dia berjalan menurut keinginan hatinya sendiri sehingga pada akhirnya Tuhan pun murka kepada Salomo. Bijaksana yang tidak disertai takut akan Tuhan akan membawa kehancuran. Jadi takut akan Tuhan adalah pondasi bijaksana yang sejati.
  2. Orang yang bijaksana harus punya hati yang melekat akan Tuhan dan mencintai Firman Tuhan. Saat hati raja Salomo tidak takut lagi akan Tuhan, maka hatinya tidak lagi melekat dan mencintai titah Tuhan. Sehingga Salomo lebih memilih untuk mencintai perempuan asing walaupun Tuhan telah melarang Salomo. Salomo mengabaikan Firman Tuhan. Hatinya tidak menyembah Tuhan lagi. Dia melupakan Tuhan. Hatinya terus menjauh dari Tuhan. Dia menyembah dewa para isterinya. Salomo tidak membiarkan kebijaksanaannya dipimpin oleh Tuhan. Dia tidak lagi mampu memiliki hati yang didedikasikan untuk Tuhan. Melekat kepada Tuhan berarti tinggal di dalam Tuhan dan Tuhan di dalam kita. Orang yang bijaksana mempercayakan hidup ini sepenuhnya kepada Tuhan dan mengizinkan Tuhan berotoritas penuh atas hidupnya. Hidup bergaul dan berjalan bersama Tuhan, mencintai firman dan menjadi pelaku firman. Daud berkata, ”Aku lebih berakal budi dan aku lebih mengerti, sebab aku merenungkan peringatan-peringatanMu dan memegang titah-titahMu (Mazmur 119:99-100). Daud mempelajari Firman Tuhan dan menjadikannya sebagaai isi pikirannya serta gaya hidupnya. Untuk menjadi orang yang bijaksana, kita harus menjadikan Firman Tuhan sebagai pelita bagi kaki kita. Alkitab adalah Firman Allah yang memberitahu kita mengapa kita hidup, bagaimana kehidupan berjalan, apa yang harus dihindari dan apa yang harus kita lakukan untuk bisa menjalani hidup dengan bijaksana di dalam pandangan Allah. Jadi melekat kepada Tuhan dan mempelajari serta merenungkan Firman Tuhan dapat membuat seseorang bertindak dengan hikmat dan bijaksana.
  3. Kebijaksanaan yang sejati tidaklah berasal dari filosofi dan ide manusia. Kebijaksanaan yang sejati berasal dari Tuhan saat orang tersebut punya hati yang takut akan Tuhan dan punya hati yang melekat akan Tuhan serta mencintai Firman Tuhan dan melakukannnya. Maukah kita menjadi orang yang bijaksana sesuai dengan kehendak Tuhan?

Bijaksana

Siapa yang tidak mengenal kata bijaksana? Tentu kata tersebut bukanlah suatu kata yang baru kita kenal. Bijaksana merupakan kata sifat yang memiliki arti menurut kamus bahasa Indonesia yaitu bertindak sesuai dengan pikiran, akal sehat sehingga menghasilkan perilaku yang tepat, sesuai dan pas, juga pandai dan hati-hati apabila menghadapi kesulitan, dan sebagainya. Biasanya sebelum bertindak selalu disertai dengan pemikiran yang cukup matang sehingga tindakan yang dihasilkan tidak menyimpang dari pemikiran kita. Orang bijaksana tahu hal mana yang boleh dilakukan dan mana yang tidak. Jadi bisa dikatakan orang bijaksana adalah orang yang mampu mengambil keputusan dengan tepat, baik secara langsung maupun tidak langsung tanpa memihak secara adil dan obyektif. Sikap seperti ini sangat dibutuhkan oleh setiap orang, baik itu sebagai pemimpin, pendidik, orang tua, pedagang, atau siapapun.

Kita melihat bahwa banyak orang bermimpi untuk menjadi orang yang terpandang, terkenal, kaya, dan berhasil. Inilah dunia sekarang, dimana setiap individu selalu menilai orang lain berdasarkan apa yang terlihat secara kasat mata dan subyektif. Banyak orang cerdas dan memiliki kecerdasan yang tinggi, namun tidak bijaksana. Mereka menggunakan kemampuannya untuk merugikan banyak orang dan tidak berperilaku adil. Padahal Tuhan menghendaki setiap kita memiliki hati yang bijak dan menjadi pribadi yang bijaksana. Dalam Amsal 3:7 jelas dikatakan “Janganlah engkau menganggap dirimu sendiri bijak, takutlah akan Tuhan dan jauhilah kejahatan”. Apakah kita bisa menilai diri kita sendiri bahwa kita sudah bijak? Biasanya orang lain yang bisa menilainya berdasarkan perkataan, perilaku, dan pemikiran yang mereka lihat dari diri kita sehari-hari.

Apa yang dimaksud dengan bijaksana melalui perkataan? Bijaksana dalam perkataan dimana orang tersebut dapat berinteraksi dengan bahasa yang dimengerti dan direspon oleh semua kalangan, juga mampu melakukannya dengan tenang, tidak buru-buru, dan tegas. Berbicara merupakan komunikasi yang penting dalam menjalin hubungan baik dengan Tuhan maupun sesama. Sebagai seorang pendidik (guru) kita harus menjalin komunikasi dengan orang tua untuk membicarakan tentang perkembangan anaknya, kita perlu sikap yang bijaksana dalam setiap perkataan kita terlebih lagi untuk anak yang berkebutuhan khusus. Begitu juga terhadap anak didik kita sendiri, kita perlu hikmat dari Tuhan untuk dapat menjaga setiap tutur kata kita sehingga setiap kalimat atau perkataan yang keluar dari mulut kita bersifat membangun. Mazmur 39:2 berkata “Aku hendak menjaga diri supaya jangan aku berdosa dengan lidahku”. Firman Tuhan tersebut membahas cara berbicara dan menjaga perkataan kita agar tidak jatuh dalam dosa, juga untuk berkata yang benar sebagai murid Kristus. Sama halnya seorang pemimpin yang menegur bawahannya atau sesama rekan kerja kita. Berilah dampak yang positif dalam perkataan kita dengan baik dan ucapan yang tulus bukan membuat orang tersinggung dan sakit hati.

Bijaksana dalam bertindak, biasanya terlihat saat harus mengambil sebuah keputusan. Salah satu contoh diambil dari kisah Raja Salomo dalam 1 Raja-Raja 3:16-28 dimana Tuhan memberikan hikmat kepadanya dalam mengambil keputusan yang tepat untuk memberikan bayi yang diperebutkan kepada ibunya yang benar.
Kita mungkin pernah mengalami hal yang sama seperti Raja Salomo dengan masalah yang lain. Apa pun masalahnya kita dapat belajar darinya bagaimana bertindak dengan bijaksana, yaitu dengan memohon hikmat dari Tuhan.

1 Raja-Raja 3:9…”Maka berikanlah kepada hambaMu ini hati yang faham, menimbang perkara untuk menghakimi umatMu dengan dapat membedakan antara yang baik dan yang jahat, sebab siapakah yang sanggup menghakimi umatMu yang sangat besar ini?” Dengan hikmat dari Tuhan, kita akan mampu mengambil sebuah keputusan yang tepat dan tidak ceroboh, tentunya keputusan/tindakan yang kita lakukan baik dan sesuai dengan kehendakNya.
Dalam mengelola keuangan, kita pun harus memiliki pemikiran yang bijaksana. Kita harus bisa memprioritaskan mana yang utama dan mana yang tidak terlalu penting dilakukan. Kebijaksanaan di sini berhubungan erat dengan pengendalian diri dan menahan hawa nafsu/keinginan. Kita harus menahan diri untuk tidak terpengaruh dengan lingkungan di sekitar kita berada. Senantiasa bersyukur dan mencukupkan dengan kondisi yang ada, tidak berlebih atau kurang tapi cukup.

Jadi untuk dapat menjadi orang yang bijaksana, kita tidak dapat melakukan dengan kekuatan diri kita sendiri, namun harus memiliki hubungan yang intim dengan Tuhan dengan kerendahan hati kita memohon hikmatnya. Luangkan banyak waktu untuk berdiam diri dan merenungkan firmanNya yang dapat menjadi refleksi hidup kita. Semakin kita menyukai Firman Tuhan, semakin kita dibentuk menjadi pribadi yang bijaksana. Banyak belajar dari buku-buku lain untuk menambah wawasan kita tanpa meninggalkan Alkitab sebagai pegangan utama kita dalam menjalani hidup yang bijaksana. Terus berusaha dan jangan pernah menyerah untuk menjadi baik. Tuhan Yesus memberkati kita semua.

Mazmur 90:12…”Ajarlah kami menghitung hari-hari kami sedemikian, hingga kami beroleh hati bijaksana”.

Amin.

Rendah Hati

rendah hati

Kerendahan hati adalah sebuah karakter (sifat) sekaligus sebuah sikap (perilaku). Ia disebut sifat karena ia berada di wilayah pikiran dan hati yang berperan besar dalam menghasilkan perilaku manusia. Ia disebut perilaku karena ia harus terwujud dalam perilaku-perilaku tertentu yang oleh khalayak umum diakui sebagai tanda-tanda kerendahan hati. Kerendahan hati sejati muncul apabila keduanya menyatu dan saling melengkapi seperti dua sisi pada satu koin. Kita tidak dapat mengatakan seseorang itu rendah hati apabila kita tidak melihat perilaku-perilaku rendah hati dalam hidupnya. Sebaliknya, kita juga tidak serta merta dapat menyimpulkan bahwa seseorang itu rendah hati melalui perilaku-perilakunya karena ada kemungkinan sikapnya adalah rekayasa dan bukan merupakan dorongan hatinya.

Di tengah jaman yang penuh kompetisi seperti sekarang ini, adalah sangat sulit untuk menemukan orang yang rendah hati bahkan mungkin telah ada keraguan (kalau bukan keyakinan) bahwa kerendahan hati sudah tidak relevan lagi karena dianggap sebagai penghalang keberhasilan sehingga “rendah hati” ditinggalkan oleh banyak orang. Keinginan semua orang untuk menjadi “seseorang” dan penolakan semua orang menjadi “bukan siapa-siapa” diduga menjadi penyebabnya. Ada desakan yang sangat kuat dalam diri setiap orang untuk menjadi penting dan berarti serta mendapat pengakuan dari lingkungan dan masyarakat dan akibatnya terjadi persaingan yang sangat ketat untuk menjadi penting dan berarti. Persaingan ini mendorong orang berlomba-lomba untuk menjadi yang utama. Semua orang ingin menjadi nomor satu.

Pandangan Kristen tentang kerendahan hati sangat jelas. Hal yang menjadi dasar sikap rendah hati dalam pandangan Kristen adalah diri Kristus sendiri mulai dari kerendahan dalam kelahiran-Nya di kandang domba, kerendahan dalam sikap sehari-hari di masa hidup-Nya dan akhirnya kerendahan dalam pengorbanan-Nya di kayu salib. Kerendahan hati Kristiani juga bersifat paradoks sebagaimana Kristus katakan: “Barangsiapa terbesar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu. Dan barangsiapa meninggikan diri, ia akan direndahkan dan barangsiapa merendahkan diri, ia akan ditinggikan” (Matius 23:11-12). Yakobus menegaskan ini dalam Yakobus 4:10: “Rendahkanlah dirimu di hadapan Tuhan, dan Ia akan meninggikan kamu”.
Rendah hati adalah tentang mengutamakan orang lain dan menempatkan diri sendiri di posisi yang lebih rendah daripada orang lain. Rendah hati adalah tentang menjadi pelayan orang lain dan “mengosongkan” diri sendiri dan menjadi “bukan siapa-siapa”. Menjadi rendah hati adalah perjuangan seumur hidup. Namun kita tidak perlu kuatir karena kita mempunyai Tuhan yang rendah hati dan berjanji menolong kita menjadi rendah hati seperti Dia.

Ciri pribadi yang rendah hati adalah dengan senantiasa bertanggung jawab serta berani mengakui kesalahan dan meminta maaf dengan tulus jika melakukan kesalahan, baik yang disengaja atau tidak disengaja sekalipun, atau pada saat menyinggung perasaan orang lain. Pribadi rendah hati yaitu manusia yang sangat peduli dengan perasaan orang lain. Empat tanda bahwa seseorang adalah pribadi yang rendah hati yaitu:
Tidak merasa perlu menyombongkan diri.
Bisa menunjukkan empati.
Senang membuat orang lain bahagia.
Melihat semua orang sama.

Menurut Alkitab, ada beberapa upah yang akan kita peroleh jika kita rendah hati, yaitu: makan dan kenyang, jalannya dibimbing Tuhan, bersuka cita, mewarisi negeri, kesejahteraannya berlimpah-limpah, dimahkotai dengan keselamatan, dikasihani Tuhan, memiliki hikmat, menerima pujian, semangatnya dihidupkan oleh Tuhan, terlindung pada hari kemurkaan Tuhan, dibiarkan hidup, dihibur Tuhan, kehormatan dan kehidupan.

Tokoh Alkitab yaitu Daud memiliki hati yang luar biasa. Dia dikenal sebagai orang yang berkenan di hadapan Allah. Berbagai masalah dilalui Daud dengan penuh penderitaan tetapi juga selalu penuh kemenangan. Kuncinya ada di kerendahan hati yang Daud miliki. Kerendahan hati membuat Tuhan berkenan kepada kita. Dia melihat orang-orang yang rendah hati dan mencurahkan berkat-Nya bagi mereka.

Bagaimana menjadi rendah hati? Kita semua sedang belajar untuk itu. Perenungan yang terus-menerus akan anugerah keselamatan yang sudah Bapa berikan melalui Yesus Kristus kepada kita seharusnya bisa menjadi dasar yang kuat sekali untuk kita menjadi rendah hati. Kita “bukan siapa-siapa” tetapi kita diselamatkan-Nya. Kesadaran ini seharusnya membuat kita tak henti-hentinya bersyukur. Selama kita meyakini bahwa menjadi yang utama di antara orang lain adalah tujuan hidup, selama itu juga kita akan gagal menjadi rendah hati. Marilah kita bersama-sama terus belajar rendah hati sehingga melalui hal tersebut kita boleh menyenangkan hati Allah dan nama Tuhan dipermuliakan.

(Oleh: Endang Ninanta, guru SD)

Tertib

Dalam bahasa Indonesia, kata ‘tertib“ bisa berarti teratur; aturan; rapi; peraturan yang baik. Sedangkan kata “tertib” dalam bahasa Yunani adalah taksis, bisa berarti urutan tetap, pengalihan kekuasaan yang berurut (untuk imam), ketertiban, keteraturan (seperti dalam I Korintus 14:40, segala sesuatu harus berlangsung dengan sopan dan teratur), sebab Allah tidak menghendaki kekacauan, tetapi damai sejahtera.

Dari surat Paulus kepada jemaat di Korintus kita mendapat pemahaman bahwa Allah yang kita kenal adalah Allah yang menghendaki ketertiban. Karena itu kepada jemaat Tesalonika yang tidak tertib ia menasehati  “Saudara-saudara, tegurlah mereka yang hidup dengan tidak tertib” (I Tesalonika 5:14). Kata ‘tidak tertib’ dalam bahasa Yunani adalah ataktos. Kata ini dalam bahasa Indonesia artinya adalah malas, mengacu pada orang yang tidak mau bekerja dan suka mencampuri urusan orang lain (periergazomai, mengerjakan yang sia-sia/hal-hal yang tidak berguna; mereka sibuk tetapi tidak melakukan apa-apa; mereka sibuk dengan hal-hal yang bukan urusannya sendiri), tidak disiplin, tidak mengikuti peraturan, pemberontak (II Tesalonika 3:11). Mereka aktif bahkan hiperaktif tetapi tidak produktif.

Dengan demikian, ketika kita hidup secara tidak teratur, maka sebenarnya kita sedang menjalani hidup yang bertentangan dengan kehendak Tuhan. Sebagaimana dalam hal kemalasan, ada banyak orang beranggapan itu hanya sebuah sifat yang menjadi kekurangan dan tidak melihat sebagai dosa, banyak orang percaya yang juga berpikir bahwa hidup tidak tertib itu bukanlah dosa. Namun, ketika kita memahami bahwa hal tersebut tidak sesuai dengan kehendak Allah, maka kita mengerti bahwa hidup tidak tertib sebenarnya adalah melawan kehendak Tuhan, melenceng dari tujuan Allah, dan itu artinya dosa.

Semua yang diciptakan Tuhan itu tertib. Amsal 30:27 mengajarkan agar kita belajar dari belalang yang  walaupun tidak ada raja atau atasannya, mereka sangat tertib, berangkat dan pergi bisa bersama-sama dengan teratur sekali. Begitu juga orang yang dewasa (matang rohaninya) akan hidup tertib, sebab ia hidup takut akan Allah dan taat akan Firman-Nya. Sekalipun tidak ada pengarah, supervisor atau orang yang mengawasinya, ia tetap hidup kudus dan taat akan Firman Tuhan seperti belalang ini.

Ketertiban orang percaya bukanlah karena sistem atau taat pada perintah pimpinan, tetapi karena takut, cinta akan Tuhan. Ia  ingin diperkenan Tuhan sehingga berjuang untuk hidup tertib dan baik. Inilah yang  harus terus dikembangkan dan ditingkatkan yaitu tertib karena Tuhan. Segala sesuatu yang kamu lakukan dengan perkataan atau perbuatan, lakukanlah semuanya itu dalam nama Tuhan Yesus, sambil mengucap syukur oleh Dia kepada Allah, Bapa (Kol 3:17). Allah memberikan kepada kita bukan roh ketakutan, melainkan roh yang membangkitkan kekuatan, kasih dan ketertiban.”  (2 Timotius 1:7).

Dengan demikian sesungguhnya hidup tertib bukan hanya cerminan bahwa kita adalah orang-orang yang telah dilahirbarukan oleh Allah, dimana salah satu buktinya adalah mau menaati kehendak Tuhan untuk hidup tertib, tetapi juga sekaligus itu merupakan bentuk ucapan syukur dan kasih kita kepada Tuhan.

Dalam hal apa saja kita perlu hidup tertib? Dalam segala aspek kehidupan. Tertib pada peraturan yang berlaku secara lisan ataupun tidak lisan, selama itu tidak bertentangan dengan kebenaran Firman Tuhan, tertib dalam perjanjian, tertib waktu, tertib dalam pengelolaan keuangan, dan seterusnya. Marilah kita bersama-sama terus belajar dan bertumbuh dalam hidup tertib sehingga melalui hal tersebut kita boleh menyenangkan hati Allah dan nama Tuhan dipermuliakan.

(Oleh: Ruth Irene Chandra, staf Pengembangan Karakter)

Jujur

Jujur

Allah adalah kebenaran dan satu-satunya kebenaran yang mutlak. Sebagai anak Allah yang diciptakan menurut gambar dan rupa Allah, maka Allah menginginkan agar kita anak-anak-Nya menjadi orang yang jujur, baik dalam pikiran, perkataan, maupun dalam tindakan kita dengan menjaga hati kita tetap murni (Kis 24:16).

Namun, di dalam menumbuhkan karakter jujur ada beberapa pandangan yang salah dan harus dilihat kembali dalam terang Firman Tuhan sehingga kita sebagai anak-anak-Nya dapat berhati-hati agar tidak terjebak di dalamnya. Beberapa pandangan tersebut adalah sebagai berikut :

1. Orang yang jujur akan rugi

Semakin lama kejujuran semakin langka kita temukan di dunia ini, karena banyak anggapan bahwa “orang jujur hidupnya sulit jadi kalau mau hidup untung, nyaman dan tidak sulit buat apa jujur?”
Tetapi tahukah kita bahwa banyak sekali firman Tuhan yang diberikan kepada orang yang mau berlaku jujur; seperti “orang yang jujur dilepaskan oleh kebenarannya, tetapi pengkhianat tertangkap oleh hawa nafsunya.” (Amsal 11:6)
“Perhatikanlah orang yang tulus dan lihatlah kepada orang yang jujur, sebab pada orang yang suka damai akan ada masa depan; tetapi pendurhaka-pendurhaka akan dibinasakan bersama-sama, dan masa depan orang-orang fasik akan dilenyapkan.” (Mazmur 37:37-38)
Sebaliknya Firman Tuhan di dalam Yesaya 28:17 yang memaparkan Tuhan ALLAH akan menyapu bersih perlindungan kebohongan. Artinya orang yang percaya bahwa kebohongan adalah sesuatu yang kuat, menguntungkan, melindungi, sekali waktu ia akan menyadari bahwa semua itu akan dibongkar oleh Tuhan. Sebaliknya, orang yang jujur akan dibela oleh kebenarannya.

2. Itu bukan bohong tapi cerdik

Firman Tuhan yang berkata, “Hendaklah kamu cerdik seperti ular dan tulus seperti merpati,” seringkali disalahartikan oleh mereka karena kurang paham akan maknanya. Kata cerdik sering diganti menjadi licik dan menipu, padahal bukan itu yang dimaksudkan oleh Tuhan Yesus. Sebab kata cerdik yang dimaksudkan oleh Tuhan Yesus adalah gesit dalam pengertian banyak akal/idenya, banyak usahanya, kreatif, dan tidak mudah putus asa. Lebih jauh lagi, kecerdikan ini tidak berdiri sendiri, tetapi harus disertai oleh ketulusan. Tulus di sini artinya benar, jujur, dan baik. Jadi ayat ini tidak dapat digunakan untuk membenarkan perbuatan-perbuatan licik atau penipuan. Harus diingat bahwa prinsip Firman Tuhan adalah ya katakan ya, tidak katakan tidak, selebihnya itu asalnya dari si jahat.

3. Berbohong demi kebaikan

Adapula anggapan bahwa kita boleh berbohong dengan tujuan untuk kebaikan orang lain atau bersama bahkan diri sendiri. Prinsip seperti ini jelas tidak dikenal di dalam kehidupan Kristiani. Bohong adalah bohong, seberapa kecil pun bohong itu. Bohong tidak dapat menjadi bohong putih karena ia berguna bagi seseorang. Firman Tuhan dengan jelas mengatakan bahwa:

a. Hal yang baik tidak mungkin timbul dari hal yang jahat
“Bukankah tidak benar fitnahan orang yang mengatakan, bahwa kita berkata: “Marilah kita berbuat yang jahat, supaya yang baik timbul dari padanya.” Orang semacam itu sudah selayaknya mendapat hukuman.” (Roma 3:8)

b. Dusta tidak mungkin berasal dari kebenaran
“Aku menulis kepadamu, bukan karena kamu tidak mengetahui kebenaran, tetapi justru karena kamu mengetahuinya dan karena kamu juga mengetahui, bahwa tidak ada dusta yang berasal dari kebenaran.” (1 Yohanes 2:21)

c. Mata air tidak dapat memancarkan air tawar dan air pahit sekaligus
“Adakah sumber memancarkan air tawar dan air pahit dari mata air yang sama? Saudara-saudaraku, adakah pohon ara dapat menghasilkan buah zaitun dan adakah pokok anggur dapat menghasilkan buah ara? Demikian juga mata air asin tidak dapat mengeluarkan air tawar.” (Yakobus 13:11-12). Jadi, dari kebohongan tidak akan dapat menghasilkan kebaikan.

d. Kebohongan berasal dari si jahat
Jika ya, hendaklah kamu katakan: ya, jika tidak, hendaklah kamu katakan: tidak. Apa yang lebih dari pada itu berasal dari si jahat (Matius 5:37).

Berdasarkan pemaparan di atas kita belajar bahwa hidup jujur dilakukan karena kita adalah gambar dan rupa Tuhan disertai dengan hati yang takut akan Tuhan.Selain itu tidak ada kebenaran yang berasal dari kebohongan sekecil apapun itu.  Semangat hidup jujur, Tuhan memberkati.

(Sumber: Buku “Bertumbuh dalam Karakter Baru”, karya Erich Unarto)

Kejujuran

Kejujuran

“Jika ya hendaklah kamu katakan: ya, jika tidak hendaklah kamu katakan: tidak. Apa yang lebih dari pada itu berasal dari si jahat”.
(Mat 5:37).

Kejujuran merupakan sebuah bagian kehidupan yang semakin langka untuk didapati. Mencari orang yang jujur dan tulus hari ini sama dengan mencari jarum dalam tumpukan jerami. Tipu-menipu, manipulasi dan sejenisnya terdapat hampir di semua lini. Orang tidak lagi malu dalam menipu. Jangan-jangan nanti malah orang jujur yang terlihat aneh. Orang semakin tidak takut melakukan kecurangan, orang semakin cenderung berpikir pendek hanya memikirkan kenikmatan sesaat tanpa peduli resiko. Semakin banyak orang yang hidup penuh kecurangan dan semakin tidak tulus dalam memuji. Banyak orang saat ini yang hanya memuji atau mengatakan sesuatu yang baik karena ada motif-motif tertentu di belakangnya.

Alkitab sendiri mengatakan “Jika ya hendaklah kamu katakan ya, jika tidak hendaklah kamu katakan tidak” (Yak 5:12).  Ayat ini menegaskan  bahwa Allah adalah kebenaran dan satu-satunya kebenaran yang mutlak. Segala sesuatu yang benar datang dari Tuhan dan yang tidak benar disebut dusta, dusta berasal dari yang jahat (Yoh 8:44).

Berikut adalah definisi kejujuran yang diambil dari Encyclopedia Wikipedia: “Jujur adalah sikap moral (dalam perkataan maupun perbuatan) yang mengandung atribut berharga berupa kebenaran, integritas, kesatuan antara tindakan luar dan hati, dan sikap lurus yang berarti juga absennya kebohongan, penipuan, dan pencurian.” Dengan kata lain, jujur adalah sebuah sikap moral dalam perkataan maupun perbuatan yang di dalamnya terkandung kebenaran yang utuh, kesamaan antara tindakan luar dan hati (tanpa topeng), dan sikap yang lurus di mana pada pribadi tersebut tidak melakukan kebohongan, penipuan, dan pencurian.

Artinya kejujuran adalah sesuatu yang utuh; ¼ jujur,  ½ jujur, atau ¾ jujur sekalipun adalah tidak jujur, karena jika seseorang berkata ½ jujur, berarti ada ½  dari informasi tersebut yang merupakan kebohongan. Tidak ada kebohongan di dalam kejujuran.  Itu sebabnya yang namanya kejujuran selalu berkualitas- tanpa mengenal level kualitas. Jujur berarti berpikir, berkata-kata dan bertindak sesuai dengan apa yang sebenarnya dengan hati yang murni, bukan dengan hati yang palsu dengan manipulasi, melebih-lebihkan atau mengurangi sesuatu untuk maksud mencari keuntungan atau merugikan orang lain. Jujur harus dilakukan secara konsisten, di mana pun, kapan pun, dengan siapa pun dalam kondisi apapun, sehingga orang yang jujur akan tetap jujur walaupun hal itu akan beresiko baginya. Orang-orang jujur juga tidak akan mengijinkan praktek-praktek ketidakjujuran terjadi.

Ajaran Kristus tidak mengenal kejujuran kualitas nomor dua, kejujuran kualitas nomor tiga, nomor empat, dan sebagainya. Jujur hanya memiliki satu kualitas, yaitu kualitas nomor satu. Hanya “nampak” jujur – bukanlah kejujuran, karena itu berarti ada kebohongan di baliknya.

Mengapa masih banyak orang-orang yang mengaku mengenal Kristus, mengenal Firman Tuhan  masih saja sulit hidup jujur,  tidak mau memulai komitmen untuk jujur, apalagi menanggung resikonya?  Karena tidak mempercayai janji penyertaan Tuhan bagi orang-orang jujur. Mereka lebih mempercayai kebohongan dunia bahwa orang jujur pasti melarat, pasti tertinggal di belakang. Kadang kala jalan yang ditempuh oleh orang jujur untuk sementara penuh onak dan duri. Tetapi, hasil akhirnya TUHAN Allah mendatangkan kemenangan yang besar bagi orang-orang jujur.

Suatu hari ada seorang pimpinan perusahaan yang sedang mencari orang untuk menggantikan posisinya sebagai pemimpin. Maka ia mengumpulkan semua karyawan dan memberi bibit tanaman untuk dirawat. Setiap orang menerima satu bibit tanaman. Setelah beberapa minggu masing-masing orang saling bercerita tentang perkembangan bibit tanamannya ada yang mulai tumbuh tunas, dan ada yang mulai berbunga. Sementara seorang karyawan bernama Jimmy tidak menemukan perkembangan pada bibit tanamannya, padahal dia sudah menyiram, memupuk, dan merawatnya dengan baik setiap hari. Setelah hampir satu tahun sang pimpinan mengumpulkan semua karyawan dengan membawa tanamannya. Jimmy tidak ingin pergi hari itu karena tidak ada perkembangan apapun pada bibit tanamannya. Akhirnya dia pergi juga dengan hati yang sedih, dengan muka tertunduk malu, karena inilah waktunya ia akan kehilangan pekerjaannya. Semua karyawan yang lain telah membawa tanaman yang indah dan tumbuh subur, hati Jimmy semakin ciut. Tibalah waktunya sang pemimpin mengumumkan siapa yang berhak menggantikan posisinya. “Saya telah menemukan orang yang tepat, orang yang rajin dan ulet, yang menyiram, memupuk dan merawat tanaman dengan baik…., (Jimmy semakin tertunduk malu), dan orang yang berhak menggantikan posisi saya adalah…..  Jimmy, semua kaget. Ternyata sang pimpinan memberi bibit tanaman yang sudah direbus terlebih dahulu, sehingga bibit itu tidak mungkin bertumbuh. Kejujuran mendatangkan berkat yang luar biasa – Yesaya 33:15-16. Orang jujur hidupnya dijamin oleh TUHAN Allah. Di mana ada kejujuran, maka TUHAN Allah akan memerintahkan berkat-berkat-Nya ke dalam perbendaharaan atau ke dalam lumbung-lumbung atau ke dalam pundi-pundi orang-orang jujur.

Beberapa tahun yang lalu saya mengikuti kegiatan orientasi staf selama  kurang lebih satu bulan, dan dana dikumpulkan dari orang-orang yang bersedia mendukung. Setelah dana sudah cukup, ternyata masih ada dana yang masuk ke rekening saya. Pada saat itu ada keinginan untuk diam, toh tidak ada yang tahu…, tapi hati saya sangat gelisah dan akhirnya memberitahu kepada pimpinan, bahwa ada sejumlah uang yang masuk ke rekening saya. Setelah saya jujur, ada suka cita yang melimpah di hati saya. Seringkali yang membuat kita tidak jujur bukan karena kejujuran itu merugikan sama sekali, melainkan karena kita menginginkan lebih dari yang seharusnya.  Jika kita menginginkan sesuatu lebih dari seharusnya hingga kita berdusta/mencuri, maka pertanyaannya, siapa/apa yang ada di hati kita? Tuhan atau sesuatu yang lain (uang/benda/kesenangan) yang sedang kita kejar?

Kejujuran berkaitan dengan siapa penguasa hati kita.  Jika Tuhan adalah raja di hati kita, maka tidak sulit untuk membuat komitmen hidup jujur. Sebuah komitmen berarti sesuatu yang dilakukan kapan saja, di mana saja, terhadap siapa saja, tidak bergantung sikon (situasi kondisi).  Maukah kita membiarkan Tuhan yang sudah kita kenal itu, untuk sungguh-sungguh menjadi raja di hati kita, hingga kita dapat berkomitmen hidup jujur?  Marilah kita belajar untuk hidup jujur dan dalam ketulusan. Patut diakui bahwa untuk hidup jujur memang tidak gampang, sungguh butuh iman untuk dapat hidup jujur.   Kejujuran dibangun dengan mempercayai janji Tuhan. Kejujuran datang dari hati yang takut akan Tuhan (Ams 14:2). Bagaimana dengan kita? Kiranya Tuhan menolong kita untuk hidup jujur. Soli Deo Gloria.

 

(Oleh: Martha Sirait, guru Agama SMA)

Si Kecil yang Rajin (Amsal 6:6-11)

 

karakter_rajin

 

Ada perbedaan yang mencolok antara orang rajin dan malas. Alkitab menggambarkan pemalas sebagai seorang yang “senang tidur, mengantuk, berbaring, dan melipat tangan” (ay.10). Ia membiarkan dirinya dikuasai oleh sikap malas. Ia membiarkan waktu berlalu tanpa berbuat apa-apa. Prinsip hidupnya berbunyi: “sebentar lagi”. Dengan kata lain ia terus menerus menunda-nunda tiap kesempatan yang datang. Ia terbenam dalam mimpi-mimpinya, sehingga tanpa sadar, dengan cepat waktu berlalu. Barulah ia menyadari bahwa ia sudah ketinggalan jauh.

Apa yang terjadi dengan hidupnya kemudian? “Kemiskinan datang seperti seorang penyerbu, dan kekurangan seperti orang bersenjata.” Ia dikuasai oleh kemiskinan. Ia terjebak oleh kemiskinan, dan pada saat itu ia sudah tidak bisa melakukan apa-apa lagi karena kesempatan sudah lewat.

Sebaliknya, untuk menjadi seorang yang rajin seseorang perlu belajar kepada semut. Kehidupan semut menjadi sebuah gambaran sebuah tindakan rajin yang perlu dilakukan kita semua. Belajar rajin harus dimulai semenjak kecil. Sewaktu masih kecil, anak-anak harus diingatkan untuk menyelesaikan pekerjaannya. Satu demi satu pekerjaan dikerjakan hingga selesai karena permintaan orang lain. Sedangkan dalam dunia pekerjaan, banyak orang dewasa juga menyelesaikan tanggung jawabnya karena diawasi oleh sang bos.

Seorang yang rajin tidak membutuhkan seseorang untuk mengingatkan, mengawasi, mendikte, maupun memerintahkan apa yang harus diselesaikan. Meskipun tanpa ada  yang mengawasi, dia akan menyelesaikan semua pekerjaan maupun tanggung jawabnya. Seorang yang rajin itu menyadari bahwa apa yang dia lakukan adalah untuk kebaikan dirinya bukan hanya pada masa kini namun berefek pada masa depannya.

Ayat 7 menggambarkan semut-semut yang bekerja dengan “tidak ada pemimpin, pengatur, atau penguasanya.” Mereka tidak berpangku tangan menunggu perintah, atau baru bertindak jika disuruh. Mereka menyadari adanya suatu kebutuhan yang harus dipenuhi, yaitu mengumpulkan makanan. Itulah sebabnya mereka bekerja sama memenuhi kebutuhan tersebut.

Selanjutnya, seorang yang rajin menyelesaikan apa yang telah dimulai dan tahu apa yang dilakukan berguna untuknya. Seorang yang rajin tidak pernah menunda-nunda kesempatan yang ada. Ketika kesempatan datang, seorang yang rajin akan memanfaatkan kesempatan tersebut sehingga ia mendapatkan keuntungan yang maksimal. Ayat 8 menggambarkan semut-semut “menyediakan roti di musim panas, mengumpulkan makanannya pada waktu panen.” Waktu untuk mencari makanan ternyata sangat terbatas dan tidak bisa datang setiap waktu. Semut-semut menggunakan kesempatan mencari makan itu karena mereka tahu jika kesempatan ini disia-siakan, maka kesempatan itu akan lewat dan mereka bisa mati kelaparan.

Kita semua memiliki waktu yang sama: dua puluh empat jam sehari. Namun cara kita menggunakannya berbeda. Sukses atau tidaknya kita di masa depan ditentukan oleh bagaimana kita menggunakan waktu kita hari ini.

(Oleh: Daniel Santoso Ma, staf Kerohanian, disadur dari Seri Bintang Gaya Hidupku)

Waktu: Perhatikan Bagaimana Kamu Hidup!

Waktu dapat diartikan sebagai sebuah rangkaian atau untaian; saat atau ketika yang sudah terjadi (lewat), yang sedang terjadi (aktual),  dan yang akan terjadi. Saat yang sudah terjadi adalah sejarah masa lalu atau kesempatan yang telah terlewat – biasanya untuk dikenang, dipelajari, atau bisa juga dilupakan. Sedangkan saat yang sedang terjadi adalah kesempatan yang sedang ada di hadapan untuk saat itu juga diaktualisasi berdasarkan konteks. Dan saat yang akan terjadi dibutuhkan disiplin komitmen untuk mengaktualisasikannya. Dari ketiga rangkaian ini, hanya dua rangkaian yang akan kita bahas.

Waktu yang akan terjadi: disiplin, komitmen, dan konsistensi
Dalam pengertian ini, waktu adalah fakta. Terukur dan objektif. Waktu terjadi pada saat ‘ketika’ dan ‘saat’ dalam waktu penetapannya. Indikator yang dipakai dapat diterima semua orang. Tidak tergantung sudut pandang, kondisi, ataupun konteks. Berdiri sendiri.

Namun anehnya, dalam dinamika lingkungan kita – sekolah, gereja, organisasi, atau bangsa secara umum –  kadang pengingkaran atas waktu  masih dianggap lumrah. Kita sangat mudah menoleransi keterlambatan dan memandangnya sebagai sesuatu yang biasa. Telat semenit atau dua menit wajarlah, demikian banyak orang berujar. Alasan dengan mudah membenarkan inkosistensi tersebut.

Permasalahannya adalah waktu sebagai fakta yang objektif telah kita jadikan sebuah realitas yang subjektif. Waktu akhirnya kita tempatkan dalam konteks. Misalnya, terlambat ke gereja masih lebih baik dari pada tidak datang sama sekali, toh masih bisa dengar firman, demikian kita berujar. Begitu juga untuk keadaan yang lain, persoalan keterlambatan, waktu molor, dan lain-lain kita permudah dalam konteks. Kalau alasannya masuk akal, bisa diterima. Akhirnya secara tidak sadar kita menjadikan keterlambatan itu urusan tetek bengek.

Permasalahan ini disebabkan karena kita masih lemah dalam disiplin, komitmen, dan konsistensi. Misalnya, seorang siswa diwajibkan hadir 06:55.00 WIB setiap harinya di sekolah. Ketika siswa hadir 06:56:01 WIB maka faktanya terjadi indisipliner, pengingkaran komitmen dan menjadi inkonsisten. Begitu juga dengan perjalanan kereta api yang menjanjikan akan berangkat 22:00 WIB dan bila berangkat 22:07 WIB maka terukur dan objektif telah terjadi pelanggaran. Karena itulah biasanya, pihak kereta api akan meminta maaf atas keterlambatan tersebut. Hal inilah yang mendasari negara-negara maju sangat menghargai on time. Konon katanya, di Jepang rata-rata keterlambatan kereta api di Jepang hanya 7 detik. Bagaimana dengan kita? Sudah berapa kali Anda telat datang ke tempat kerja? Atau masih terlambat ke gereja?

Waktu yang sedang terjadi: Kesempatan
Pada pembahasan ini, kita memahami waktu sebagai kesempatan. Waktu ditempatkan sebagai kesempatan terkait dengan bagaimana kita mengisi waktu dalam setiap aspek hidup kita.

Mari kita cek. Pernahkah Anda merasa satu harian bekerja di kantor namun waktu itu berlalu begitu saja tanpa ada hal yang ‘bermakna’ yang terjadi? Atau maksud saya, sepanjang hari bermalas-malasan tidak jelas arah dan tujuan? Barangkali bentuknya bisa saja begini. Begitu tiba di kantor kita mengawali dengan obrolan dengan teman sejawat ngalor ngidul entah ke mana. Setelah itu, ketika kita sudah di depan komputer untuk siap bekerja, tapi tidak sadar mata kita tertuju kepada pengkinian informasi atau aktivitas di media sosial. Segala infomasi kita baca tanpa tahu apa artinya. Mulai dari ulasan sepak bola, hingga perkembangan politik kekinian kita lahap di media online. Dari satu media online  ke media online yang lain kita berpindah, menjelajahi informasi yang sebenarnya tidak ada hubungan dengan domain pekerjaan yang harusnya kita kerjakan pada saat itu. Lewat deh waktu berlalu begitu saja. Secara tidak sadar waktu kita dirampas dengan sendirinya. Kesempatan terbuang tanpa makna dan konteks.
Waktu sebagai ‘saat yang sedang terjadi’ maka waktu bergantung kepada konteks dan makna. Pengkhotbah menggambarkan bahwa semua ada waktunya atau kesempatannya. Ada waktu bekerja atau kesempatan berkarya. Ada waktu bersosialisasi atau kesempatan membangun relasi. Ada waktu tidur atau kesempatan untuk memulihkan tenaga. Ada waktu menghibur diri atau kesempatan menjernihkan pikiran. Ada waktu berolahraga atau kesempatan memiliki badan yang sehat. Dan banyak lagi waktu atau kesempatan yang kita miliki.
Berkenaan dengan itu, yang dituntut dari kita adalah bagaimana kita mempertanggungjawabkan kesempatan itu. Apakah saat kita bekerja, kita bekerja dengan optimal? Atau waktu bersosialisasi, kita curahkan sepenuhnya perhatian kita dengan keluarga atau orang lain. Atau waktu kita berolahraga kita dengan serius menjalaninya.

Bila dihubungkan bahwa waktu adalah anugerah, maka di situ akhirnya ada tuntutan dari Sang Pencipta dan Pemberi Waktu. Bahwa kesempatan itu akan diminta pertanggungjawaban dari kita. Harus kita ingat, kesempatan saat yang sedang terjadi, tidak akan berulang.

Hal inilah yang diingatkan Paulus dalam Efesus 5:15-16  5 Karena itu, perhatikanlah dengan saksama, bagaimana kamu hidup, janganlah seperti orang bebal, tetapi seperti orang arif,  16 dan pergunakanlah waktu yang ada, karena hari-hari ini adalah jahat. Pada dasarnya, waktu yang diterjemahkan LAI ITB (Indonesia Terjemahan Baru) memiliki makna ‘kesempatan’ (kairos). LAI BIS (Bahasa Indoensia Sehari-hari) menerjemahkan sebagai berikut; Efesus 5:15-16  15 Sebab itu, perhatikanlah baik-baik cara hidupmu. Jangan hidup seperti orang-orang bodoh; hiduplah seperti orang-orang bijak.  16 Gunakanlah sebaik-baiknya setiap kesempatan yang ada padamu, karena masa ini adalah masa yang jahat.

Jadi sekarang tergantung kita. Akankah kita biarkan hari-hari kita berlalu begitu saja tanpa bertanggung jawab terhadap kesempatan yang ada? Saya rasa di sinilah kita perlu ingat yang Amsal katakan: Orang yang malas harus memperhatikan cara hidup semut dan belajar daripadanya (BIS Amsal 6:6). (PP)

Tetap Bersyukur dalam Keadaan Apapun

Bersyukur

Apakah alasan kita mengucap syukur kepada Tuhan? Mungkin seribu alasan dapat kita ucapkan: “Dipromosikan naik jabatan; omsetnya bertambah, sembuh dari penyakit, anak naik kelas, menang undian berhadiah, dan lain-lain”. Coba perhatikan alasan-alasan yang kita ucapkan. Semua alasan didasarkan hanya pada kondisi baik yang kita alami. Dapatkah kita mengucap syukur di kala hidup kita sedang berada di titik terbawah kehidupan? Dapatkah kita berterima kasih ketika semuanya sedang meninggalkan kita?  Sanggupkah kita bersyukur untuk setiap ujian hidup yang kita alami?
Kepada jemaat di Tesalonika, Paulus mengingatkan agar mereka selalu mengucap syukur. I Tesalonika 5:18 berkata, “Mengucap syukurlah dalam segala hal, sebab itulah yang dikehendaki Allah di dalam Kristus Yesus bagi kamu”.  Menariknya, kondisi jemaat di Tesalonika waktu itu bukanlah dalam keadaan baik. Jemaat Tesalonika tidak dalam keadaan berlimpah, maupun aman. Banyak tantangan yang dialami oleh jemaat di Tesalonika sebagai jemaat yang mula-mula. Penganiayaan, curiga, tentangan dari orang-orang Yahudi akan keberadaan mereka dialami secara nyata oleh jemaat di Tesalonika.
Jika melihat keadaan lahiriah mereka pada waktu itu, maka sangatlah lumrah jika jemaat di Tesalonika mengeluh,  bersungut-sungut, maupun menutup diri. Namun, kenyataannya sungguh berbeda dimana jemaat di Tesalonika tetap hidup dalam pengharapan dan sukacita di dalam Tuhan. Dan Paulus menegaskan bahwa melalui ucapan syukur jemaat di Tesalonika semakin dikuatkan imannya menghadapi tantangan yang ada.
Melalui I Tesalonika 5:18, “Mengucap syukurlah dalam segala hal, sebab itulah yang dikehendaki Allah di dalam Kristus Yesus bagi kamu”,  kita belajar tentang tiga hal:

  • Pertama, perhatikan frasa “dalam segala hal”. Paulus ingin menegaskan bahwa baik kondisi pribadi maupun keadaan sekitar kita tidak boleh menjadi acuan dalam mengucapkan syukur. Jika keadaan saya baik, tidak ada masalah dan bahkan diberkati, barulah saya mengucap syukur. Paulus ingin memperluas cara berpikir kita mengenai alasan bersyukur. Paulus mengganggap penderitaan, penganiayaan, penolakan, dan bahkan kematian sekalipun dapat menjadi alasan bagi setiap orang Kristen untuk bersyukur. Bagi Paulus, justru dalam hal-hal yang buruk sekalipun kuasa Allah bekerja menopang kita.
  • Kedua, perhatikan frasa “dikehendaki Allah … bagi kamu”. Rupa-rupanya, kehidupan yang bersyukur bukan hanya sekedar ciri atau karakteristik hidup Kristiani. Namun, hidup bersyukur merupakan sebuah kehidupan yang diinginkan Allah bagi umat-Nya. Pada dasarnya, Allah selalu menghendaki hidup yang baik bagi umat-Nya. Namun, hidup dikatakan baik oleh Allah tidak selalu ditandai oleh keadaan jasmani/fisik yang baik pula. Yang menjadi kunci dalam hidup bersyukur adalah kondisi hati yang dapat menerima apapun. Kondisi hati inilah yang menjadi fokus bagaimana Allah mendidik kita. Keadaan yang kurang baik, ataupun buruk tidak boleh mempengaruhi kondisi hati kita yang harus selalu tertuju kepada Allah; menerima yang baik maupun yang kurang baik terjadi dalam hidup kita.
  • Ketiga, perhatikan frasa “di dalam Kristus Yesus”. Konsep mengucap syukur  haruslah berdasar pada diri Tuhan Yesus. Tidak ada berkat yang lebih besar dari apa yang telah dilakukan Tuhan Yesus di kayu salib: pengorbanan yang sempurna. Sehingga jika kita mencari-cari alasan untuk bersyukur, maka alasan yang paling utama dalam kita bersyukur adalah mensyukuri karya keselamatan dalam Tuhan Yesus. Berkat lainnya sebenarnya hanyalah tambahan belaka karena yang terutama telah dianugerahkan oleh Allah melalui Tuhan Yesus.

Jadi apakah alasan kita memiliki hidup bersyukur? Yang terutama bukanlah materi dan berkat, namun keselamatan yang Allah kerjakan melalui Tuhan kita Yesus Kristus. Mari kita selalu hidup bersyukur. Tuhan memberkati.

(Oleh: Daniel Santoso Ma, Bagian Kerohanian Sekolah Athalia)

TAAT

Setiap Bulan April, maka umat Kristen di seluruh dunia akan mempersiapkan dirinya untuk memperingati hari Paskah. Beberapa rangkaian ibadah dan kegiatan dilakukan beberapa minggu menjelang hari Paskah dan pada hari Paskah itu sendiri. Misalnya, Rabu Abu, Kamis Putih, Jumat Agung, Perjamuan Kudus, pengakuan dosa, baksos, jalan sehat, games, perlombaan, dll. Namun seiring dengan berjalannya waktu dan berlalunya hari Paskah, seringkali yang tertinggal di dalam diri kita hanyalah serangkaian memori mengenai kegiatan-kegiatan tersebut dan ucapan syukur karena dosa-dosa kita telah ditebus. Pada kenyataannya, Paskah juga berbicara mengenai ketaatan. Ketaatan Yesus dalam rencana keselamatan dan ketaatan manusia sebagai umat yang telah diselamatkan.

Apakah taat itu? Pertanyaan ini sebenarnya adalah pertanyaan yang umum, dan rata-rata akan dijawab seperti ini: Taat adalah kemampuan untuk patuh menjalankan perintah. Jawaban tersebut tidaklah salah, namun juga tidak 100% benar. Taat bukanlah suatu kemampuan. Keberhasilan untuk taat tidak didasari oleh kekuatan atau kemampuan seseorang.

Yosua, sebagai penerus Musa untuk memimpin Bangsa Israel masuk ke Tanah Kanaan, sempat mengalami kebimbangan. Rupanya Yosua kaget bahwa dirinya dipilih untuk memimpin Bangsa Israel. Melihat Bangsa Israel yang bebal dan pelbagai perang sengit melawan musuh yang kuat, membuat Yosua gentar. Kemudian Musa berkata kepadanya “…kuatkan dan teguhkanlah hatimu…” (Yosua 1:6,7). Dari nasihat Musa ini, Yosua menjadi tahu, bahwa itu artinya dia tidak boleh berpaling dari perintah untuk memimpin Bangsa Israel. Dia harus tunduk pada perintah itu. Apapun rintangannya, Yosua harus menyelesaikan perintah Allah. Yosua mulai belajar mengenai ketaatan.

Taat atau tidak taat akan terlihat ketika seseorang berada di dalam situasi yang sulit. Tidak mudah mengatakan bahwa orang itu taat, bila dia berada di dalam situasi yang baik-baik saja. Ketaatan akan terlihat ketika seseorang diuji masuk dalam kebimbangan, kebingungan, ketakutan, atau perasaan-perasaan lainnya yang cenderung mendorong untuk lari dari perintah yang seharusnya dikerjakan.

Taat adalah sikap dan tindakan memusatkan perhatian serta mengusahakan untuk tetap sesuai dengan perintah yang diberikan untuk mencapai tujuan. Allah tidak hanya memberikan perintah-Nya, tetapi juga memberikan kunci atau cara yang tepat agar perintah tersebut berhasil dikerjakan. Untuk dapat taat, Alkitab mengajarkan agar kita merenungkan kebenaran Allah siang dan malam  (Yosua 1:8).

Manusia tidak bisa taat hanya dengan mengandalkan kekuatan diri sendiri, karena akan berhadapan dengan berbagai cobaan/rayuan. Bersama Allah, ketaatan akan membuahkan hasil. Karena Allah, yang tidak pernah berubah itu, Dia-lah yang akan mendampingi kita untuk memerangi cobaan atau rayuan si jahat.

Kisah ketaatan juga bisa kita lihat saat Yesus bergumul di Taman Getsemani (Matius 26:36-46). Yesus pada saat itu sebagai manusia mengalami ketakutan yang luar biasa, ketika Dia harus menghadapi saat penyaliban. Yesus dengan jujur mengatakan ketakutan-Nya, tetapi pada saat yang sama Dia juga berkata bahwa sekalipun berat, biarlah kehendak Bapa yang terjadi. “Ya Bapa-Ku, jikalau cawan ini tidak mungkin lalu, kecuali apabila Aku meminumnya, jadilah kehendak-Mu!” Yesus mau bertindak sebagai pribadi yang taat.

Pada akhirnya, kita mengetahui bahwa Yesus tetap menjalankan proses penyaliban itu tanpa mengeluh sepatah kata pun. Yesus mau memikul salib yang berat dan menyakitkan itu, untuk menebus dosa manusia. Ketaatan Yesus mengajarkan kepada kita bahwa di dalam taat membutuhkan pengorbanan dan penundukan diri. Ketika kita mau taat, maka kita juga harus mau menanggung resiko akibat ketaatan tersebut. Ketaatan selalu berhadapan dengan godaan. Kita sebagai manusia pasti tidak kuat menanggung godaan tersebut.

Bersyukurlah bila kita bisa memanggil nama yang ajaib itu, yaitu: Yesus. Yesus sudah membuktikan bahwa Dia adalah pribadi yang taat. Rintangan yang begitu hebat, bahkan maut yang menghadang, ternyata tidak bisa menghancurkan ketaatan-Nya. Maka, bila kita ingin taat menyelesaikan suatu perintah, janganlah ditanggung sendiri. Mintalahlah Yesus mendampingi diri kita. Karena kita akan digandeng-Nya melewati perjalanan ketaatan itu hingga tuntas. Taat bersama Yesus, pasti membuahkan kemenangan.

Meskipun peringatan Paskah baru saja kita lewati, namun demikian biarlah semangat Paskah terus menyala dalam kehidupan kita. Karena, melalui Paskah kita akan selalu diingatkan tentang ketaatan yang sejati.

BD/Tim Karakter