Perjalanan Panjang Mendampingi Anak Bertumbuh

Oleh: anonim

Keluarga kami terdiri dari enam orang, yaitu kami sebagai orang tua dengan empat anak. Awalnya, kami hanya berpikir untuk mempunyai dua orang anak laki-laki dengan selisih umur satu tahun. Selisih umur yang dekat ini membuat kami tercengang. Ketika anak pertama kami baru berusia enam bulan, saya kembali hamil. Bila anak pertama kami sambut dengan bahagia dan antusias, anak kedua ini kami sambut dengan sukacita bercampur kaget.

Saat tiba harus memilih sekolah, kami punya beberapa pertimbangan. Yang paling mendasar, yaitu dekat dengan rumah, berbahasa pengantar bahasa Inggris, dan menerapkan batas usia yang tidak terlalu ketat. Sepertinya waktu itu sedang populer pemikiran kalau anak bisa lancar berbahasa Inggris, sehari-hari bicaranya menggunakan bahasa Inggris, kelihatannya hebat sekali. Sungguh pemikiran yang sangat dangkal, yang pernah kami yakini sebagai orang tua muda.

Kami menyekolahkan anak pertama saat berusia dua tahun. Saat itu, kami memilih sekolah dekat rumah, dengan saya melakukan pendampingan selama di kelas. Ketika kami mendengar ada sekolah lain yang baru buka di daerah Serpong, kami—seperti orang tua yang lain—langsung memindahkan anak ke sekolah tersebut karena sepertinya sekolah tersebut mempunyai nilai-nilai pendidikan yang kurang lebih sama, tetapi dengan biaya yang lebih murah.

Perpindahan sekolah untuk anak kami yang pertama (di jenjang TK) menyebabkan pemilihan sekolah untuk adiknya juga mengikuti “yang dekat” dengan sekolah anak pertama. Sekolah untuk si adik adalah sekolah kecil yang menerapkan sistem montessori dan berbahasa pengantar Inggris. Beberapa nilai yang menjadi pertimbangan menyekolahkan anak-anak kami tersebut ternyata menimbulkan “kecelakaan besar” dalam pertumbuhan anak kedua kami. Dia sering tidak mau sekolah karena tidak menikmati lingkungannya. Sikap tersebut dipandang tidak apa-apa karena sepertinya sekolah juga mengikuti kemauan anak (anak-anak tidak boleh dipaksa).

Pada tahap berikutnya, kami memindahkan kembali anak pertama kami ke sekolah di dekat rumah sehingga otomatis adiknya pun ngikut. Kami menyangka semua upaya coba-coba ini sudah selesai dengan kembali bersekolah di sekolah dekat rumah, plus ini merupakan sekolah favorit.

Untuk anak pertama, proses belajar berjalan lancar. Kebetulan anak ini memang rajin dan mudah diarahkan. Selain itu, dia mengikuti jenjang TK B sebanyak dua kali di mana di sekolah keduanya sudah diajarkan membaca dan menulis. Jadi, saat kembali ke sekolah pertama, dia tidak mengalami hambatan belajar.

Masalah justru muncul pada anak kedua. Di sekolah, dia tidak diajari baca tulis di jenjang TK B, tetapi saat di SD 1 sudah harus lancar baca tulis. Kami tidak menyadari hal ini karena tidak ada masalah di anak pertama. Selain itu, komunikasi antara guru kelas dengan orang tua sangat kurang, khususnya mengenai ketidakmampuan anak ini. Ini menjadi isu yang cukup panjang sampai-sampai kami berkali-kali dipanggil oleh sekolah. Walau begitu, kami tidak pernah menemukan akar masalah dan solusinya. Kesan yang kami terima justru sekolah menganggap anak kami malas mengikuti pelajaran.

Sesungguhnya, kami berharap sekolah bisa bekerja sama dengan orang tua untuk menemukan akar masalah anak kami. Kami berpikir bimbingan konseling bisa membantu. Namun, saat bertemu konselor sekolah, beliau menyarankan anak kami untuk pindah sekolah karena dianggap tidak cocok bersekolah di sana. Kami tidak langsung percaya dengan saran itu. Kami tetap meyakini kalau anak kedua kami bisa terus bersekolah di sana—walau dalam hati tetap ada kekhawatiran.

Karena merasa tidak terbantu dengan saran sekolah, kami membawa anak untuk konseling ke Konselor Kristen. Seperti yang sudah-sudah, selagi anak menjalani konseling, kami sebagai orang tua juga harus menjalani sesi konseling. Menyatukan dua pribadi dengan latar belakang berbeda memang selalu ada pasang surutnya. Namun, kami sungguh bersyukur Tuhan bekerja melalui masalah anak kedua ini sehingga saat menjalani konseling, kami juga memulai masa pendewasaan dan pemulihan. Kami terus dibangun untuk memahami, menerima, dan menyeimbangkan perbedaan yang ada di dalam rencana Allah bagi keluarga kami.

Melalui konseling ini, diketahui bahwa anak kami mengalami keterlambatan motorik di dalam menulis yang tidak ditangani sejak dia masuk SD 1. Ini menjadi isu yang pelik ketika baru ditangani di SD 3. Proses yang kami lewati sungguh panjang. Kami terus menghadapi panggilan demi panggilan dari sekolah dengan keluhan yang hampir sama: anak kami malas menulis. Padahal, semua ujian diberikan secara tertulis yang berarti bila tidak dikerjakan, dia gagal ujian. Anak kami selalu menghitung angka kecukupan untuk dia bisa naik secara pas-pasan sehingga tidak perlu mengeluarkan usaha maksimal untuk naik kelas. Puji Tuhan dengan berbagai kesulitan yang ada, setiap tahun dia tetap naik kelas dengan nilai secukupnya. Semua guru di setiap jenjang selalu berkomentar anak ini pintar, tetapi tidak mau berusaha maksimal.

Saat dia duduk di SD 5, kami diberi Tuhan anugerah tambahan, yaitu kehamilan anak ketiga. Tentu saja kehadiran anak ketiga ini sangat mengubah ritme hidup kami. Hal ini juga mengubah banyak hal dalam diri kedua anak kami. Anak pertama, karena memang posisinya sebagai anak sulung, semakin mandiri apalagi memang sudah memasuki jenjang SMP. Namun, kondisinya berbeda bagi anak kedua kami, yang sebelumnya sempat menjadi anak bungsu dalam waktu lama. Dia yang tadinya masih sangat manja, tiba-tiba harus menjadi kakak dan menjadi lebih bertanggung jawab atas dirinya sendiri, tidak bisa mengandalkan mamanya terus-menerus. Kehadiran anak ketiga juga mengubah kondisi ekonomi keluarga sehingga kami perlu menyesuaikan berbagai hal mengingat penambahan kebutuhan dengan kehadiran anak ketiga. Hal ini sangat memengaruhi ritme hidup anak kedua karena segala fasilitas yang tadinya bisa diberikan kepadanya—privilege sebagai anak bungsu—tak lagi dirasakan: dia harus berbagi dengan adiknya.

Kondisi kehamilan ketiga ini membuat anak pertama harus bersekolah di SMP dekat rumah agar saya tidak repot mengantar-jemput. Setahun kemudian, saat anak kedua masuk SMP, kami menyekolahkannya ke sekolah yang berbeda dengan kakaknya—mengingat pergumulannya di SD. Kami berpikir untuk memindahkannya ke Athalia. Namun, tiga kali kami mencoba mengontak sekolah ini, tidak pernah berhasil bertemu dengan bagian pendaftaran karena berbagai alasan. Saat itu, yang tebersit di pikiran kami, yaitu Tuhan tidak mengizinkan anak ini bersekolah di sini (sebuah pola pikir yang belakangan kami sadari kalau salah). Jadilah anak saya mendaftar ke sekolah lain.

Singkat cerita, di sekolah yang baru, konselor dan guru-guru sangat perhatian dan mencoba membantu kesulitan anak kami. Namun, cara belajar di sana berbeda dengan sekolah sebelumnya. Jadilah anak saya semakin malas, bukannya semangat. Dia terus menyalahkan kami karena sudah memindahkannya ke sana, bukan ke sekolah yang dia mau (sekolah lain dengan biaya yang jauh lebih mahal dan jarak yang lebih jauh).

Ketika anak-anak ini siap memasuki jenjang SMA, kami mengarahkan, tetapi juga memberikan mereka beberapa opsi, supaya tidak ada lagi cerita “dipaksa sekolah di sekolah pilihan orang tua”. Apakah masalah selesai? Ternyata tidak karena begitu mulai sekolah, mereka harus mengalami pembelajaran jarak jauh (PJJ) karena pandemi. Anak pertama sempat bersekolah tatap muka, tetapi anak kedua memulai masa SMA-nya dengan PJJ penuh. Masa SMA, yang menuntut anak untuk bisa mandiri mengatur waktu dan menyelesaikan tugas tepat waktu, ternyata sulit dipenuhi oleh anak kedua kami. Lagi-lagi kami menghadapi panggilan guru dan nilai rapor yang tidak memuaskan yang membuat anak kami yang kedua ini hampir tinggal kelas.

Sepanjang proses ini, sebagai orang tua, kami jatuh bangun menghadapi setiap kondisi yang ada. Kami terus berpengharapan bahwa hanya Tuhanlah yang mampu mengubahkan anak kami. Kami juga terus memohon agar diberi hikmat untuk bisa mengembalikan anak kami ke “jalan yang benar”. Tuhan memang Mahapengasih, tetapi kami juga menyadari segala rencana Tuhan akan berjalan sesuai dengan waktu-Nya.

Akhirnya perubahan terjadi. Selama liburan sekolah, ketika kami banyak berbincang dengan kakaknya mengenai kelanjutan sekolah di universitas, rupa-rupanya sang adik ikut mendengarkan. Keinginan sang kakak untuk bersekolah di PTN membuat sang adik menyadari bahwa untuk masuk PTN membutuhkan nilai rapor yang bagus. Di sinilah kebangkitannya. Dia mulai rajin belajar dan mengumpulkan tugas tepat waktu. Yang tadinya jarang masuk kelas atau masuk kelas dengan mematikan kamera, sekarang sudah tidak lagi. Dia mulai mau ikut klub ekskul dengan kemauan sendiri.

Berdasarkan pengalaman dengan anak pertama dan kedua, kami tidak mau mengulang kesalahan yang sama dengan anak ketiga dan keempat. Bahasa utama yang harus dipelajari adalah bahasa ibu. Dengan demikian, anak kami akan jauh lebih mudah berkomunikasi dengan siapa pun sehingga perkembangannya juga lebih berkualitas. Anak ketiga dan keempat kemajuan berbahasanya lebih baik. Mereka mudah berbicara dan bercerita tentang apa saja. Sungguh kami bersyukur Tuhan membuka pikiran dan mengubah konsep berpikir kami. Sungguh semuanya hanya karena anugerah-Nya.

Saat tiba waktunya bagi anak ketiga dan keempat bersekolah, kami sudah memiliki prioritas yang berbeda dari sebelumnya. Kami mencari sekolah yang bisa mengajarkan anak untuk takut dan hormat akan Tuhan, mengenal Tuhan Allah, dan mempunyai karakter Kristus. Motto Athalia, yaitu right from the start, menarik perhatian kami. Maknanya sungguh dalam, membuat kami mengingat kembali kasus yang terjadi kepada anak kedua. Ketika langkah awalnya keliru, segala jalan ke depannya menjadi sangat-sangat terjal.

Saat ini, kami masih terus berproses dalam mendidik anak-anak. Yang pertama dan kedua sudah remaja dan akan mulai kuliah. Segalanya terus berjalan, naik turun. Ada masa-masa di mana muncul masalah di dalam komunikasi sehari-hari. Terjadi pergesekan antara anak kedua dan anak ketiga sehingga kami harus terus mengawasi dan menjaga agar kondisi dan relasi mereka tetap terjaga. Namun, satu hal yang pasti, kami percaya bahwa Tuhan terus berbelas kasihan dan memimpin perjalanan kami. Saat liburan Natal 2021 lalu, kami melihat komunikasi anak kedua dan ketiga terus membaik. Pekerjaan rumah kami masih banyak, seperti membawa anak-anak berjalan bersama Tuhan, kembali kepada Tuhan, dan mau ke gereja untuk beribadah setiap Minggu. Kami terus belajar dan mengalami jatuh bangun. Hanya dengan mengandalkan Tuhan, menyandarkan diri kepada-Nya, dan terus-menerus memohon kepada Tuhan agar Tuhan beranugerah membentuk dan keempat anak kami untuk dipakai seturut dengan rencana dan kehendak-Nya. Soli Deo Gloria.

Pendidikan Karakter = Menghasilkan Anak “Baik”?

Sebuah refleksi dari buku Emotionally Healthy Spirituality.

Oleh: Bella Kumalasari, staf Pengembangan Karakter Sekolah Athalia.

Baru-baru ini saya membaca buku Emotionally Healthy Spirituality karangan Peter Scazzero. Salah satu babnya yang berjudul “Mengenal Diri Sendiri untuk Mengenal Allah – Menjadi Diri Sendiri yang Autentik” menarik perhatian saya untuk merenungkannya lebih jauh tentang pembelajaran karakter yang sering kita dengar. Di dalam bab tersebut, Peter mengangkat kisah Joe DiMaggio, seorang pemain baseball terbesar yang pernah ada pada abad ke-20 dan sering dipuja sebagai pahlawan olahraga Amerika. Ia menikahi Marilyn Monroe yang dikenal sebagai wanita tercantik pada masa itu. Namun setelah Joe meninggal, biografinya yang ditulis oleh Richard Ben Cramer mengungkap kenyataan yang mengejutkan: Joe secara sengaja hanya menunjukkan sisi yang baik saja dalam hidup dan menutupi banyak hal yang sebenarnya. “Kisah Joe DiMaggio sang ikon sangatlah terkenal. Kisah DiMaggio yang sebenarnya telah dikubur.”

Ironis sekali membaca kisah ini. Namun sebenarnya, menggunakan “topeng” bukanlah hal yang asing, bahkan dalam hidup orang-orang Kristen. Bagaimana hal ini bisa terjadi? Saya rasa, banyak faktor yang membentuk manusia menjadi pribadi yang tidak otentik. Salah satunya yaitu pola pikir yang ditanamkan, baik secara langsung atau tidak langsung. Misalnya, ketika anak menangis karena mainannya rusak, tidak jarang orang tua langsung berkata “Sudah, enggak usah nangis, nanti diperbaiki.” Tentu tidak sepenuhnya salah, tetapi juga tidak selalu tepat karena belum tentu itu yang dibutuhkan anak. Jika hal tersebut terjadi berulang kali, bisa jadi anak akan berpikir, “Ketika bersedih, aku tidak perlu menangis karena lebih penting mencari solusi untuk menyelesaikan masalahku!

Tak bisa dipungkiri bahwa kadang kala, pengajaran di dalam gereja pun menyiratkan bahwa tidak baik jika seseorang merasakan emosi-emosi tertentu, seperti marah, kesal, atau benci. Tuhan tidak suka! Atau bahkan yang lebih keras: itu dosa. Akibatnya, kita mengabaikan banyak emosi dalam diri. Rasanya, tidak berani menilik hasrat, mimpi, kesenangan, dan ketidaksukaan kita karena khawatir hal tersebut akan “menempatkan diri saya terlalu tinggi dan menjauhkan saya dari mengutamakan Allah”. Apa dampaknya? Kita berusaha menghindar dan mengabaikan perasaan, berjuang untuk terlihat baik-baik saja, dan ingin selalu menampilkan diri yang baik, ideal, dan saleh.

Saya jadi berpikir, jangan-jangan pendidikan karakter yang selama ini kita dengar juga memiliki gambaran yang sama. Kita melihat karakter sebagai tampilan luar, perilaku, atau kebaikan yang terlihat hingga muncul berbagai stigma. “Orang yang sabar itu tidak pernah marah. Orang yang rajin akan selalu bersemangat mengerjakan tugas, apa pun kondisinya. Orang yang dapat mengendalikan diri tidak pernah tergoda melakukan sesuatu untuk memuaskan keinginan diri…” dan masih banyak stigma lainnya. Akibatnya, kita hanya mengenakan tampilan luar atau perilaku yang palsu supaya terlihat baik. Hal yang sama juga kita terapkan ketika mendidik anak-anak untuk memiliki “karakter yang baik”.

Menurut saya, pendidikan karakter tidak sesederhana itu. Pendidikan karakter bukan hanya soal moralitas yang harus dijaga demi nama baik diri, keluarga, maupun sekolah. Pendidikan karakter Kristus seharusnya memanusiakan manusia sebagaimana Kristus sendiri pernah hidup sebagai manusia yang sejati. Pendidikan karakter semestinya menilik lebih dalam ke dalam diri, menyingkap hati, motivasi, dan emosi yang bergejolak, berani melihat keberadaan diri yang sesungguhnya, yang hancur di hadapan Allah.

Peter menulis dalam bukunya:

“Ketika kita mengabaikan penderitaan, kehilangan, dan semua perasaan kita selama bertahun-tahun, kemanusiaan kita menjadi semakin berkurang. Kita pelan-pelan berubah menjadi cangkang kosong yang diberi lukisan senyuman di depannya. … Kegagalan untuk menghargai perasaan seperti yang Alkitab lakukan dalam kehidupan Kristen kita yang lebih luas telah menghasilkan kerusakan yang besar, dan membuat manusia yang harusnya bebas dalam Kristus tetap dalam perbudakan.”

Tentu hal ini bukan berarti kita menyerahkan diri kepada perasaan sepenuhnya dan mengikuti ke mana diri ini dibawa—mengingat bahwa kita adalah manusia yang sudah jatuh dalam dosa. Namun, usaha membuka diri untuk merasakan emosi dan jujur kepada diri sendiri adalah langkah awal agar kita bisa merespons dengan benar di hadapan Allah. Justru hal itu mungkin menjadi cara Allah berbicara, merengkuh manusia dengan kasih-Nya, serta membentuk kita makin serupa dengan-Nya. Ia menyingkap diri kita dan berbicara dengan lembut “It’s okay, Aku mengenalmu, Aku mau berjalan bersamamu.

Apakah kita memiliki pesan yang sama untuk disampaikan kepada anak-anak ketika melihat hal yang kurang tepat, kesalahan, kegagalan, atau bahkan “kebobrokan” mereka? Ataukah kita mengabaikan dan menghindari hal itu, lalu memaksa mereka untuk menampilkan yang baik-baik saja? Apakah kita mengatakan, “Mari berproses bersama” alih-alih “Kamu tidak seharusnya begitu. Kamu seharusnya begini”?

Karakter bukanlah suatu tempelan ataupun fenomena semata. Membentuk karakter adalah membentuk hati. Pembentukan karakter Kristus adalah bagian dari perjalanan iman; sebuah proses yang berlangsung seumur hidup, yang seharusnya dijalani dengan sukacita di dalam dasar penerimaan dan penebusan Kristus yang sempurna.

Manfaatkan Pandemi, Bangkitkan Potensi

Ratu Putri Hiemawan dari kelas X IPS 1.

Pernahkah merasa malas untuk mengembangkan potensi diri? Atau masa remaja terasa sia-sia? Remaja dan pemuda sering disebut sebagai penentu masa depan bangsa. Beberapa tahun lagi, negara ini akan dipimpin oleh para remaja dan pemuda yang sudah bertumbuh dewasa. Presiden pertama Republik Indonesia, Ir. Soekarno pernah mengatakan, “Berikan aku 1.000 orang tua, niscaya akan kucabut semeru dari akarnya, beri aku 10 pemuda, niscaya akan kuguncang dunia”. Kalimat ini membuktikan betapa besarnya pengaruh pemuda terhadap keberlangsungan sebuah negara. Terlebih di masa pandemi seperti ini, anak muda sangat dibutuhkan untuk membuat gebrakan-gebrakan baru yang diharapkan dapat memajukan bangsa. Pengaruh anak muda terhadap kemajuan bangsa sudah terbukti. Pada tahun 2021 ini, muncul situs Aku pintar yang didirikan oleh seorang pemuda kelahiran 1993 bernama Lutvianto Pebri Handoko. Situs ini dapat membantu menemukan minat, bakat, gaya belajar, jurusan kuliah, dan lainnya secara daring. Adanya situs ini membuktikan bahwa pemuda bisa memberdayakan potensinya di masa pandemi.

Hal ini diperkuat dengan fakta bahwa saat ini kita tengah berada di era digital 4.0, di mana teknologi akan menjadi tombak utama majunya sebuah bangsa. Menurut Tekno Kompas, pengguna internet di Indonesia pada awal 2021 ini mencapai 202,6 juta jiwa, dan 49,5% di antaranya berusia 19-34 tahun. Sebagai generasi yang paling familiar dengan teknologi, seharusnya pemuda dan remaja dapat lebih tanggap dan memanfaatkan teknologi semaksimal mungkin di masa pandemi untuk mengembangkan potensi.

Setiap orang unik karena memiliki potensi yang berbeda-beda. Ada orang yang memiliki satu potensi, ada pula yang memiliki banyak potensi. Namun perlu diingat, semua orang memiliki peluang yang sama untuk sukses. Semuanya tergantung bagaimana cara menemukan dan mengembangkan potensi tersebut. Sayangnya, banyak siswa yang masih belum dapat menemukan potensinya. Ada pula orang-orang yang sudah menemukan potensinya namun malas untuk mengembangkannya.

Sangat disayangkan, banyak orang yang malah menjadikan situasi pandemi yang tengah dialami ini sebagai alasan untuk berhenti mencari dan mengembangkan potensi diri. Dengan berbagai alasan, entah karena keterbatasan ruang dan media, kurangnya motivasi, atau bahkan sekadar malas. Contohnya, siswa yang memiliki potensi di bidang olahraga memiliki keterbatasan untuk mengembangkan potensinya

karena keterbatasan ruang. Ada juga siswa yang malah lebih memilih bersantai sambil menelusuri laman media sosial. Namun, jangan berhenti hanya karena hal-hal tersebut.

Memang, ada beberapa hal di masa ini yang menjadi kurang ideal untuk mengembangkan potensi. Contohnya, pembelajaran daring yang sedang dilakukan ini dinilai kurang efektif dan efisien. Banyak penyesuaian yang harus dilakukan karena pembatasan-pembatasan yang ada, mengingat tidak adanya interaksi secara langsung dan bebas yang biasanya dilakukan. Selain itu, tidak meratanya akses teknologi juga merupakan salah satu faktor penghambat. Indonesia merupakan sebuah negara dengan wilayah yang sangat luas. Sayangnya, masih ada daerah-daerah yang mengalami kesulitan dalam mengakses internet.

Ada faktor-faktor yang dapat menghambat pengembangan potensi seseorang, baik faktor internal dirinya sendiri maupun faktor eksternal. Di faktor internal sendiri, ada beberapa alasan yang dapat menghambat seseorang dalam mengembangkan potensinya. Salah satu alasan yang utama adalah tidak adanya tujuan hidup yang jelas. Alasan ini akan membawa ke penghambat-penghambat lain, seperti tidak percaya diri dan tidak adanya motivasi. Hal ini akan terjadi karena adanya anggapan bahwa dirinya tidak berguna di dunia ini dan apa yang ia lakukan adalah sia-sia. Namun hal ini tidak benar. Setiap orang memiliki tujuan hidup masing-masing. Setiap orang juga memiliki peluang yang sama untuk sukses. Semuanya hanya tinggal bagaimana cara menemukan dan mengembangkannya.

Faktor internal lain adalah kita terjebak dalam zona nyaman. Jika seseorang sudah terjebak dalam zona nyamannya, akan sangat sulit untuk mau keluar dan belajar mengembangkan potensi. Ibaratnya seperti seekor burung yang di dalam sangkar yang terbuka, tanpa ada rasa ingin keluar dan memulai petualangannya sendiri. Tak kalah berbahaya dengan terjebak di dalam zona nyaman, faktor internal lain yang dapat menghambat adalah adanya trauma akan kegagalan. Trauma merupakan suatu hal yang nyata, dan faktanya banyak orang yang takut untuk mengembangkan potensi atau bahkan memilih menyerah karena trauma terhadap kegagalan. Sedih karena gagal merupakan hal yang wajar, namun jangan sampai larut di dalam kesedihan tersebut dan akhirnya menghambat dalam mengembangkan potensi.

Selain faktor internal, faktor eksternal juga tidak kalah berbahaya. Salah satu penghambat yang sering dialami adalah adanya aturan atau kebiasaan dari lingkungan sekitar. Contohnya, adanya stigma bahwa seni hanya sebuah hobi yang tidak menjanjikan. Hal ini akan menghambat siswa-siswa yang memiliki potensi di bidang seni dalam mengembangkan potensi. Stigma lain yang masih melekat di masyarakat, terutama masyarakat Indonesia adalah bidang tari dan kecantikan hanya untuk wanita. Namun

faktanya pada zaman ini, banyak pria yang tertarik dan bahkan berbakat dalam bidang-bidang tersebut. Karena adanya stigma tersebut, pria yang memiliki ketertarikan di bidang kecantikan tidak dapat mengembangkannya, entah karena menuruti kemauan orang tuanya atau bahkan takut dengan omongan masyarakat.

Faktor eksternal lain adalah kurangnya apresiasi dari orang sekitar. Kurangnya apresiasi ini dapat menjadi faktor penyebab dari tidak percaya diri, kurangnya motivasi, atau bahkan timbulnya perasaan bahwa mereka tidak berguna. Meskipun hanya sekadar perkataan atau afeksi kecil, apresiasi sangat berpengaruh terutama bagi mereka yang baru memulai untuk mengembangkan potensinya. Sedikit perkataan baik dapat memberi motivasi yang besar. Sebaliknya, sedikit perkataan buruk dapat menghilangkan semua motivasi tanpa sisa.

Masa remaja memang identik dengan masa untuk bersenang-senang dan menikmati hidup. Namun jangan lupa, masa remaja juga merupakan masa untuk mencari bakat dan potensi diri. Sebagai siswa, tentunya harus memilih jurusan kuliah dan pekerjaan yang diinginkan. Jangan sampai akhirnya memilih dengan asal dan tidak sesuai dengan potensi karena tidak mengetahui bakat dan minat diri sendiri.

Sebelum mulai mengembangkan potensi, tentunya harus menemukan potensi terlebih dahulu. Memang bukan hal yang mudah, namun ada banyak cara yang bisa dilakukan untuk menemukan potensi diri. Langkah pertama yang dapat dilakukan adalah mengenali diri sendiri. Bagaimana bisa menemukan potensi diri? Langkah pertama adalah mendengarkan suara hati dan jujur kepada diri sendiri. Di masa pandemi seperti ini, manfaatkan waktu untuk lebih mengenal diri sendiri, karena interaksi dengan orang lain berkurang. Cobalah untuk mengambil beberapa waktu tenang sambil merefleksikan dan memikirkan tentang hal-hal yang disukai. Lihat lagi tentang masa lalu, cobalah ingat tentang hal yang dapat dinikmati dan tidak terbebani saat harus berkutat dengan hal itu dengan jangka waktu yang panjang.

Langkah kedua setelah menemukan kita harus berani mencoba. Cobalah hal-hal baru, bahkan hal yang tidak pernah kamu bayangkan sebelumnya. Cobalah untuk keluar dari zona nyaman. Di masa pandemi ini, ada lebih banyak hal yang bisa dicoba, mengingat semua hal dilakukan secara daring. Hal yang dapat diikuti adalah lomba-lomba, webinar, dan lainnya secara daring. Terkadang, ada siswa yang takut untuk mencoba karena takut akan kegagalan. Namun, kegagalan bukanlah akhir dari segalanya. Kegagalan akan menuntun ke akhir yang lebih indah dan baik. Setiap akan belajar dari kegagalan dan menemukan versi diri terbaik.

Jika sudah menemukan potensi, langkah ketiga adalah mengembangkannya. Masa pandemi seperti ini memang menyulitkan, namun bukan berarti tidak bisa. Situasi seperti ini memaksa para siswa untuk memaksimalkan penggunaan media daring. Jika pintar, situasi ini dapat dimanfaatkan dan mendapat kemudahan-kemudahan yang didapat dari inovasi-inovasi tersebut. Setiap orang yang dapat mengakses teknologi dengan mudah harus bersyukur dan memanfaatkannya dengan maksimal. Ada banyak keuntungan yang didapat dari kemudahan mengakses teknologi dan internet di masa pandemi ini. Contohnya adalah kemudahan mencari sumber-sumber tertulis maupun video, menambah wawasan dari pengalaman orang lain, atau bahkan mengikuti seminar dan perlombaan daring untuk menguji kemampuan.

Ada banyak hal yang dapat dilakukan secara daring untuk mengembangkan potensi. Salah satu contoh kegiatan yang dapat diikuti selama masa pandemi untuk mengembangkan potensi adalah mengikuti seminar secara daring, atau biasa disebut webinar. Dengan mengikuti webinar, materi-materi yang dapat membantu mengembangkan potensi. Hal kedua adalah pemerolehan ilmu-ilmu yang mungkin tidak diketahui sebelumnya. Selain itu, akan didapat pula cara dan trik untuk mengembangkan potensi secara daring. Proses pendaftaran dan pelaksanaan webinar yang dilakukan secara daring akan banyak menguntungkan. Jika mengikuti seminar secara tatap muka, kita harus menempuh jarak tertentu untuk mengikuti seminar dengan durasi yang bisa dibilang lama. Sementara jika mengikuti seminar secara daring, kita dapat mendengarkan materi dari rumah dengan posisi yang nyaman dan mengurangi rasa lelah. Materi yang disampaikan dalam webinar pun pasti akan disesuaikan dengan kondisi pandemi saat ini, yang mana akan membantu dalam lebih memaksimalkan pengembangan potensi di masa pandemi ini.

Selain webinar, cobalah juga untuk mengikuti perlombaan. Perlombaan yang dilaksanakan di masa pandemi ini pastinya akan berbeda dengan perlombaan biasanya, karena akan disesuaikan dengan kondisi sekarang ini. Sama halnya dengan webinar, akan ada banyak keuntungan yang akan didapat dengan mengikuti perlombaan secara daring. Dibandingkan dengan perlombaan secara tatap muka, perlombaan daring ini juga memiliki lebih banyak keunggulan. Peluang yang dimiliki pun lebih banyak. Pada perlombaan tatap muka, peserta diharuskan untuk menghadiri perlombaan tersebut dan hal ini dapat menjadi salah satu penghambat dalam mengikuti perlombaan tersebut mengingat adanya jarak yang harus ditempuh. Sementara jika mengikuti perlombaan daring, peserta hanya diharuskan mengirimkan hasil karya, tanpa harus memikirkan jarak dan menghabiskan tenaga untuk menempuh perjalanan tersebut.

Adanya komunitas atau relasi tidak kalah pentingnya dalam proses pengembangan potensi diri. Pada zaman ini, media sosial dapat dimanfaatkan untuk mencari teman baru yang memiliki kesamaan minat atau potensi. Dengan adanya komunitas ini, banyak informasi baru yang didapatkan, belajar dari pengalaman teman-teman komunitas, dan lainnya. Dalam komunitas pun, dapat meminta bantuan atau meminta pendapat terkait hal-hal tertentu yang belum diketahui.

Apa yang dapat dilakukan jika mengalami kesulitan dalam mengembangkan potensi? Yang pasti, tanamkan prinsip dan komitmen untuk mengembangkan potensi. Selain itu juga dapat menetapkan suatu hal sebagai motivasi mengembangkan potensi tersebut. Contohnya, saya sendiri menanamkan di otak saya, bahwa saya harus giat berlatih piano agar dapat cepat lulus dan mengaplikasikan apa yang sudah saya pelajari. Saya juga menjadikan kedua orang tua saya sebagai motivasi untuk tetap semangat berlatih dan mengembangkan potensi saya.

Selama pandemi ini, setiap orang dapat lebih bebas dalam menggali dan mengembangkan potensi sendiri. Murid dituntut untuk menjadi kreatif dan mandiri dalam mencari sebanyak mungkin sumber pembelajaran agar dapat menambah wawasan dan menghasilkan karya. Sumber yang kini dapat diakses tidak lagi terbatas dari guru di sekolah, melainkan lebih luas dan lengkap jika memiliki niat untuk mencarinya sendiri. Selain itu, durasi pembelajaran daring yang lebih sebentar dibandingkan dengan pembelajaran tatap muka membuat adanya lebih banyak waktu untuk mencari dan mengembangkan potensi sendiri. Cobalah untuk mulai aktif mencari tahu atau melakukan hal-hal yang bermanfaat dalam pengembangan potensi.

Kesulitan-kesulitan untuk mengembangkan potensi selama masa pandemi ini juga saya rasakan. Saya yang biasanya dapat bertemu dengan guru les piano saya secara langsung, kini menjadi terbatas dan hanya dapat bertemu secara daring. Menurut saya, perubahan-perubahan yang ada menjadikan kegiatan les ini menjadi kurang ideal. Salah satu hal yang sangat menghambat adalah adanya delay waktu antara kami. Biasanya saat saya bermain, saya selalu akan menghitung ketukannya, “sa.. tu.. du.. a.. ti.. ga..” dan seterusnya dan guru saya terkadang akan ikut menghitung. Namun karena adanya delay waktu tersebut, saya terkadang sudah menghitung hingga ketukan tertentu, namun guru saya terlambat. Misalnya, saya sudah sampai di ketukan keempat sementara guru saya baru sampai ketukan kedua. Hal ini tentunya membingungkan saya. Berbeda dengan saat kami dapat bertatap muka, di mana kami dapat menghitung secara bersamaan.

Hal lain yang dapat menimbulkan masalah selama kegiatan les daring ini adalah koneksi yang kadang hilang. Dalam kegiatan les piano, tentunya suara merupakan yang paling utama. Namun terkadang, koneksi yang hilang dapat menyebabkan suara menjadi putus-putus dan menghambat guru saya dalam mendengarkan dan mengoreksi permainan saya. Saya juga mengalami kesulitan dalam mendengar perintah dan petunjuk dari guru saya. Koneksi yang putus juga dapat menyebabkan video yang kadang menjadi buram dan menghalangi guru saya dalam mengawasi dan mengoreksi nomor jari saya. Namun di balik keterbatasan-keterbatasan tersebut, saya tetap mengusahakan yang terbaik karena mengingat motivasi saya, yaitu cepat lulus dan membanggakan kedua orang tua. Saya juga berusaha memanfaatkan masa pandemi ini, dengan kembali mengambil ujian ABRSM atau Association Board of Royal Schools of Music, ujian musik tingkat internasional yang berasal dari Inggris secara daring. Tahun-tahun sebelumnya, saya mengikuti ujian ini secara tatap muka. Namun karena adanya keterbatasan, saya terpaksa mengikuti ujian ini secara daring dan ada sangat banyak manfaat yang bisa saya dapatkan dengan ujian daring ini, mengingat adanya pengurangan kompetensi yang diujikan.

Pembatasan-pembatasan yang akhirnya menuntut adanya perubahan-perubahan tentunya akan menyulitkan kita. Namun ternyata kita dapat memanfaatkan masa pandemi ini untuk mengubah persepsi kita. Memang tidak mudah, namun kita harus mau berjuang, memiliki motivasi yang tepat, dan beradaptasi untuk berusaha mengembangkan potensi diri sebaik mungkin. Ingatlah, pandemi seharusnya bukan menjadi batasan dalam berkarya. Jadi, mari manfaatkan pandemi ini sebaik mungkin untuk mengembangkan potensi diri.

Daftar Pustaka:

Riyanto, G. P. (2021). Jumlah Pengguna Internet Indonesia 2021 Tembus 202 Juta. Diakses pada 11 Oktober 2021, dari https://tekno.kompas.com/read/2021/02/23/16100057/jumlah-pengguna-internet-indonesia-2021-tembus-202-juta

Anwar, Fahrul. (2021). Lutvianto Pebri Handoko : Bantu Pelajar Dalam Memilih Minat dan Jurusan. Diakses pada 11 Oktober 2021, dari https://youngster.id/technopreneur/lutvianto-pebri-handoko-bantu-pelajar-dalam-memilih-minat-dan-jurusan/

“Value” dan “Belief”

Erika Kristianingrum, Orang Tua Siswa.

Bulan November 2021 lalu saya mengikuti program CARE (Connect – Accept – Restore – Equipt). Program ini digagas oleh Bu Charlotte untuk membantu peserta menemukan jati diri dan menyembuhkan luka-luka yang sedang dirasakan. Diharapkan, setelah mengikuti program ini, peserta mampu menolong orang lain.

Untuk sementara, program ini karena berupa pilot project sehingga pesertanya ditujukan hanya untuk CPR dan CC Sekolah Athalia. Pada pertemuan ketiga, yang membahas tentang value, belief, dan attitude, materi yang disampaikan sangat menohok saya. Waktu tiap peserta diminta untuk memikirkan value, belief, dan attitude, saya bisa dengan mantab dan yakin bahwa value saya adalah keluarga. Buat saya, itu hal yang paling penting bagi saya saat ini. Belief yang saya yakini, keluarga adalah tempat kita pulang, tempat ternyaman, tempat di mana susah dan sedih dilalui bersama; tempat di mana saya tidak perlu memakai topeng untuk menjadi orang lain. Saya bisa menjadi diri sendiri tanpa perlu memikirkan penilaian orang. Salah satu contoh attitude yang mendukung kedua hal tersebut, yaitu saya tidak akan pernah pergi berlibur sendiri dengan teman-teman. Menurut saya, liburan adalah momen menyenangkan yang seharusnya saya habisnya bersama keluarga.

Namun, malam hari setelah pertemuan itu, pikiran saya terusik. Saya memikirkan value yang saya yakini, yang tertentu tentu saja berpengaruh terhadap belief dan attitude. Saya teringat pesan fasilitator untuk terus menggali hal ini agar semakin mengenal diri.

Saya merenungkan banyak hal, terutama dalam hal mendidik dan membesarkan anak-anak. Saya mengajarkan anak-anak untuk memiliki hati yang mau melayani orang lain. Saya juga berpesan kepada mereka untuk senantiasa menjadi berkat buat orang lain, memiliki sopan santun, dan bergaul dengan baik. Saya juga selalu menemani mereka saat belajar.

Begitu juga terhadap suami. Saya selalu menyiapkan segala keperluannya, mengantarnya sampe ke pintu pagar saat dia akan berangkat kerja, dan mengingatkannya untuk makan saat sedang di kantor.

Saya melakukan semua itu dengan pemikiran bahwa merekalah yang terpenting buat saya. Namun, malam itu saya merenung lebih dalam lagi sampai pada satu titik Tuhan menyingkapkan semuanya. Saya sadar bahwa selama ini saya melakukan semuanya bukan karena keluarga begitu penting, tetapi untuk diri sendiri.

Selama ini, saya mengajarkan anak-anak tentang cara bergaul dengan orang lain agar saya dilihat sebagai ibu yang berhasil mendidik anak dengan benar, sesuai ajaran Tuhan. Saya juga punya motif agar anak-anak tidak kepahitan kepada saya dan membenci saya di kemudian hari. Begitu juga saat memperlakukan suami. Saya ingin terlihat sebagai istri yang baik dan berbakti di mata suami dan orang lain. Ternyata, value saya adalah REPUTASI.

Ya… malam itu Tuhan menyingkapkan semuanya. Tak sadar, air mata saya menetes. Saya sadar bahwa menanggapi panggilan menjadi seorang ibu tidak mudah. Jika anak-anak bersikap tidak baik, orang akan bertanya, “Siapa ibunya?”. Jika terjadi sesuatu terhadap suami, orang akan berpendapat istrinya pasti kurang melayani suaminya dengan baik. Tidak ada penghargaan khusus atau promosi jabatan untuk seorang ibu terutama ibu rumah tangga seperti yang didapat wanita yang mendapatkan promosi jabatan di sebuah perusahaan.

Seorang ibu tidak akan pernah mendapat penghargaan sebagai ibu terbaik dari orang lain selain dari keluarganya sendiri. Setidaknya, hal-hal itulah yang saya percaya selama ini. Oleh karena itu, saya menganggap keluarga begitu penting karena dari keluargalah saya bisa mendapatkan reputasi yang baik. Hal inilah yang ingin saya capai: orang lain harus menilai saya baik.

Namun, akhirnya saya sadar bahwa semua itu pemikiran yang salah. Saya mulai belajar mengubah semua motivasi dalam menanggapi panggilan sebagai ibu rumah tangga dan istri. Saya seharusnya meresponsnya sebagai wujud syukur karena Tuhan sudah begitu besar mengasihi dan memberikan anugrah yang besar kepada saya: seorang suami yang baik dan anak-anak yang manis. Sudah sewajarnya saya melayani mereka sesuai dengan yang Tuhan mau, bukan sebagai alat agar orang melihat dan menilai saya sebagai ibu dan istri yang baik.

Saat ini, saya masih terus belajar memiliki motivasi yang benar, yaitu sebagai ucapan syukur kepada Tuhan agar hanya nama Tuhan yang dipermuliakan. Saya ingin Tuhan berkenan atas saya karena telah mendengar panggilan sebagai ibu rumah tangga sesuai dengan yang Dia kehendaki sehingga hanya nama-Nya yang dipermuliakan.

Kaulah yang Terbaik

Oleh: Tirza Naftali, orang tua siswa.

Karena itu nasihatilah seorang akan yang lain dan saling membangunlah kamu seperti yang memang kamu lakukan (1 Tesalonika 5: 11).

“Kaulah yang terbaik.”

Ketika mendengar frasa ini, kita langsung tahu bahwa frasa ini diucapkan untuk memberikan dukungan/peneguhan. Ketika frasa ini disampaikan kepada orang lain, bisa memberikan dukungan dan bersifat membangun. Kita bisa mengucapkan frasa ini dengan tulus jika memiliki unconditional love (kasih tanpa syarat) dan penerimaan terhadap orang lain.

Bagi orang percaya, dua hal tersebut bisa kita peroleh melalui Kristus karena melalui-Nya Allah mengasihi dan menerima kita tanpa syarat: “… Allah menunjukkan kasih-Nya kepada kita, oleh karena Kristus telah mati untuk kita, ketika kita masih berdosa.” (Roma 5: 8)

Gambar oleh Bpk. Rizal & Ibu Rina Badudu.

Kasih tanpa syarat ini idealnya kita praktikkan kepada orang lain sebagai dasar dalam berelasi, terutama kepada pasangan dan anak. Ketika hal ini terus-menerus dipraktikkan, akan membentuk sebuah siklus yang dapat semakin memperkuat relasi dengan orang lain.

Gambar oleh Bpk. Rizal & Ibu Rina Badudu.

Pada kesempatan ini, saya akan membagikan penerapan kasih tanpa syarat antara saya dan suami.

Saya dan suami memiliki bahasa kasih terkuat yang sama, yaitu sentuhan fisik. Bahasa kasih terkuat kami yang kedua, yaitu kata-kata penguatan/penghargaan (saya) dan pelayanan (suami saya). Bahasa kasih kedua inilah yang justru kerap kali menjadi sumber konflik. Di keluarga asal saya, saya tidak menerima kata-kata dorongan yang cukup dari orang tua. Akhirnya, saya mengalami kekosongan dan menuntut pasangan serta anak untuk memenuhi kekosongan tersebut. Sementara itu, suami memiliki latar belakang kedua orangtua mendidik anak supaya irit dalam berkata-kata, sopan kepada semua orang, termasuk di luar keluarga, dan sebisa mungkin menghindari konflik agar suasana di rumah dapat “tenang”. Latar belakang pola asuh kami ini juga terbawa ke dalam relasi kami sebagai suami istri.

Ketika konflik muncul, suami saya cenderung untuk diam. Suami saya bahkan bisa dalam beberapa hari “membiarkan” saya yang juga sedang diam. Padahal, di dalam pikiran, saya sangat gelisah. Saya berburuk sangka, merasa tidak dikasihi, karena tidak ada penyelesaian atas masalah kami (bahkan kata “maaf).

Dalam kondisi yang berbeda, saya merasa suami kurang bisa menunjukkan penghargaan kepada saya. Kepada orang lain, dia bisa begitu sopan. Namun, kepada saya, dia bisa mengutarakan kalimat, “Eh, lempar kunci, dong!”, “Ma, piring, dong!”, dan lain sebagainya. Padahal, saya begitu “haus” dengan kata-kata “maaf”, “tolong”, “terima kasih”, dan sejenisnya.

Situasi seperti demikian membuat saya merasa tidak nyaman. Bersyukur kepada Tuhan, pada 2018 yang lalu gereja kami mengadakan retret pasutri yang dibawakan oleh GI. Julimin dan alm. GI. Wei Tjen. Di acara tersebut, kami diberi kesempatan mengobrol berdua dan di situ kami saling mengungkapkan isi hati satu sama lain.

Suami, dengan latar belakang keluarganya dan penerimaan diri yang juga tidak terlalu baik, menjadi sangat sopan kepada orang lain di luar dirinya. Setelah menikah, suami saya merasa saya sudah menjadi bagian dari dirinya sehingga dia merasa bisa menjadi apa adanya dan tidak perlu terlalu sopan.

Suami saya merasa sudah memberikan seluruh cintanya melalui tindakan pelayanan yang dia lakukan kepada saya, tetapi saya tidak bisa merasakan kasihnya karena tidak sesuai dengan bahasa kasih saya.

Bagi suami saya, mengucapkan kata “maaf”, “terima kasih”, “tolong” kepada inner circle, termasuk dirinya sendiri, bukan sesuatu yang mudah dilakukan. Ketika mendiamkan saya saat konflik terjadi, suami saya pun gelisah setengah mati karena takut mengatakan hal yang salah dan nantinya makin memperbesar kekecewaan saya.

Ketika mendengarkan isi hati suami, saya merasa sedih karena selama ini saya kesulitan memahami dan menerima dia apa adanya. Padahal, dia sudah begitu berjuang menunjukkan kasihnya kepada saya. Setelah itu, kami bersama-sama mengambil langkah praktis yang terus-menerus dipraktikkan hingga sekarang dan harapannya bisa kami lakukan terus ke depannya.

Berikut beberapa hal yang kami sepakati.

  1. Berjuang bersama Roh Kudus untuk memulihkan diri dari luka masa lalu dengan cara memulihkan relasi saya dengan orangtua. Ketika saya bersedia diproses oleh Tuhan, saya semakin dipulihkan. Relasi saya dengan suami dan anak pun menjadi jauh lebih baik.
  2. Bersedia untuk terus belajar mengasihi satu sama lain dengan bahasa kasih yang sesuai dengan yang diharapkan pasangan.
  3. Berlatih untuk tidak menghakimi pasangan. Ketika sisi gelap salah satu dari kami muncul, pasangan tidak menghakimi dengan berkata, “Tuh, kan gua bilang juga apa, kebiasaan sih!”, “Kamu kok, gitu terus, sih”, dan lain-lain.
  4. Mendisiplinkan diri dengan bertanya, “Apa yang bisa saya lakukan untuk kamu/kita dalam menghadapi kelemahan/konflik ini?” Tidak ada lagi “saya vs kamu”. Yang ada adalah “kita vs masalah”.
  5. Menjadi penolong, bukan perongrong. Setiap pagi sebelum beraktivitas, kami akan bertanya, “Mau didoakan apa?” Selain itu, kami terus memegang prinsip: “Kamu memang tidak sempurna, saya pun begitu. Namun, kamu tetaplah yang terbaik yang Tuhan berikan kepada saya.”

Ketika kita sedang berada di titik rapuh, kita pasti rindu untuk direngkuh. Oleh karena itu, dari pada memberikan respons berupa penolakan, penghakiman, atau ketidakmengertian, sudahkah kita merangkul sesama, memberinya ketenangan, hiburan, dan penguatan?

Hati yang Sejuk Bagi Zaman: Sebuah “Self-Talk” tentang Amsal 24:10–12

Oleh: Benny Dewanto, Kabag PK3.

Dalam pelayanan kaum muda, dijajaki sebuah metode untuk menangkap kejujuran mereka saat berbicara tentang diri dan masa depannya melalui rekaman video pribadi (self-talk). Dalam durasi singkat, kurang lebih lima menit, self-talk tersebut ternyata dapat menggambarkan kejujuran kaum muda tentang jati diri, kesulitan hidup, dan harapan mereka ke depannya. Tidak disangka, dengan batasan durasi lima menit, kaum muda dapat memberikan gambaran nyata tentang realitas yang mereka gumuli.

Padahal, banyak pihak mengatakan bahwa kaum muda merupakan golongan yang cukup sulit untuk dipahami. Dampaknya, kaum muda diperlakukan sebagai segmen yang khusus. Tidak jarang, karena cara pandang tersebut, terbangun gap antara kaum muda dengan generasi di atasnya.

Dari self-talk di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa kaum muda merupakan pribadi yang rentan menderita karena perubahan zaman. Self-talk itu juga memperlihatkan bahwa kaum muda juga “menggeliat” dan membuat banyak perubahan zaman sebagai reaksi protes terhadap tekanan yang mereka tanggung. Ketika kaum muda gelisah karena “beban” tersebut, mereka mengambil aksi dengan melakukan perubahan zaman. Semakin besar tekanan tersebut, semakin cepat pula mereka melakukan perubahan. Alhasil, semakin lebar pula gap yang terjadi karena banyak pihak yang sulit mengerti atau memahami perubahan-perubahan tersebut. Jadi, ini seperti sebuah putaran yang tak berujung, yang menjadi lingkaran hidup kaum muda, yaitu tekanan (penderitaan) – ekspresi perubahan – gap ketidakmengertian.

Amsal 24:10–12 berkata: “10Jika engkau tawar hati pada masa kesesakan, kecillah kekuatanmu. 11Bebaskan mereka yang diangkut untuk dibunuh, selamatkan orang yang terhuyung-huyung menuju tempat pemancungan. 12Kalau engkau berkata: “Sungguh, kami tidak tahu hal itu!” Apakah Dia yang menguji hati tidak tahu yang sebenarnya? Apakah Dia yang menjaga jiwamu tidak mengetahuinya, dan membalas manusia menurut perbuatannya?” Perenung Amsal mengatakan bahwa Amsal 24:10–12 berbicara tentang perintah terhadap orang yang paham untuk menolong mereka yang rentan menyerah (the quitter). Bila renungan ini direfleksikan ke dalam fenomena kaum muda, ada sebuah pertemuan antara pihak yang tawar hati/sesak, yaitu kaum muda, dengan pihak yang— di mata Tuhan—sesungguhnya mengerti tentang persoalan yang menyebabkan tawar hati/sesak tersebut. Perenungan ini mengajak kita untuk berdiri sebagai pihak yang kedua.

Dalam perenungan tentang kaum muda yang dikaitkan dengan ayat di atas, sekalipun mereka melejit mengemukakan dunia, dalam kesesakan, mereka seperti pribadi yang tidak punya kekuatan karena tawar hati (ayat 10). Banyak penelitian yang menyatakan bahwa kekecewaan kaum muda berasal dari orang-orang terdekat yang seharusnya menjadi panutan hidup. Kata “tawar hati” di dalam Amsal menjelaskan makna lemas (hang limp), sebuah gambaran kekecewaan yang begitu mendalam hingga membuat dirinya enggan lagi berharap (grow slack).  Kondisi lesu, kecewa, dan tawar hati membuat mereka seperti korban empuk yang diintai untuk “dibunuh oleh dunia”.

Amsal 24: 10–12 dapat dijadikan topik self-talk baik bagi kaum muda maupun kita, kaum dewasa. Ini dapat menjadi dialog pribadi, menelusuri kejujuran hati tentang yang dirasa dan yang diketahui. Ayat ini dapat direnungi oleh seluruh anggota komunitas Athalia, untuk menyejukkan hati agar komunitas ini siap menyejukkan hati generasi muda dalam menghadapi zaman-zaman selanjutnya: zaman yang bergerak cepat yang memunculkan kekhawatiran dan kecemasan; zaman alternatif yang akan semakin masif.

Perjalanan iman anak-anak kita akan semakin ditantang oleh dunia yang akan menawarkan lebih banyak pilihan. Jurang jarak antara kebenaran dan kepalsuan menjadi semakin besar, membuat “mata menjadi rabun” dalam membedakannya. Dalam kondisi ini, semakin banyak kaum muda yang berpotensi berjalan terhuyung-huyung. Akankah kita abai dan tetap berada di dalam gap ini? Apakah kita akan membiarkan mereka terhuyung-huyung menuju kebinasaan seperti orang yang akan dipancung?

Untuk menolong yang terhuyung-huyung tentu janganlah kita menjadi linglung dan limbung.  Membangun konsep pertolongan kehidupan yang terbaik adalah melalui pertemuan berbagi hidup, yaitu saling menggenggam dalam meniti jalan lurus dengan hati yang tulus. Amsal 24: 12 menuntut kita untuk memahami bahwa jiwa kita boleh terus bertumbuh oleh karena pertolongan-Nya. Karena itulah Dia menjaga dan meminta kita menjaga anak-anak ini. Amsal 24: 12 nyata berkata bahwa kita seharusnya menjadi pribadi yang matang, pemerhati kebenaran dan pelaku pemberi pertolongan. Janganlah cepat berkata, “Kami tidak tahu tentang hal itu!” Janganlah menjadi bagian yang membuat kaum muda seperti terhuyung-huyung menuju tempat pemancungan. Mata-Nya yang tajam akan senantiasa menatap isi hati dan pikiran kita. Berdirilah tegak dalam kebenaran, tidak terseok-seok. Genggamlah kaum muda mendekat agar turut pula berdiri tegak dalam kebenaran. Hati-Nya yang sejuk pun akan menjadikan kaum muda Athalia menjadi penyejuk zaman.

Tips agar Vaksinasi Anak Berjalan Lancar

Sebentar lagi, para siswa SD Athalia akan mengikuti vaksinasi COVID-19 (dosis kedua). Bagaimana cara agar proses ini minim drama? Persiapan apa saja yang perlu dilakukan oleh orang tua siswa supaya anak tetap merasa nyaman?

Mari baca ulasan berikut!

Dibentuk dengan Berbagi Hidup

Dibentuk dengan Berbagi Hidup

oleh: Merry David

Dari buku Sacred Marriage karya Gary Thomas.

Jangan kamu menghakimi, supaya kamu tidak dihakimi. Karena dengan penghakiman yang kamu pakai untuk menghakimi, kamu akan dihakimi dan ukuran yang kamu pakai untuk mengukur, akan diukurkan kepadamu (Matius 7: 1–2).

Gary Thomas di bagian ini mengatakan bahwa pernikahan bisa menjadi sarana perubahan diri. Berbagi hidup dengan pasangan di dalam pernikahan dapat membuat tiap individu saling mempertajam dan mengasah satu sama lain. Namun, ada hal yang bisa membunuh proses pembelajaran ini, yaitu kecenderungan menghakimi pasangan dan menolak untuk mendengarkan pasangan. Tidak ada satu orang pun yang sempurna di dunia ini, begitu juga pasangan kita. Oleh karena itu, ada baiknya kita berfokus pada kekuatan dan kelebihan pasangan yang bisa memberikan kita inspirasi.

Berdasarkan pengalaman pribadi, saya menyadari bahwa dunia pernikahan tidak seindah seperti yang saya bayangkan. Tidak seperti kehidupan yang digambarkan di drama Korea yang menampilkan hal yang indah-indah. Ketika merenungi tema PIT dengan judul “Dibentuk dengan Berbagi Hidup”, saya mulai berpikir, apa saja yang sudah saya dan suami lalui sebagai pasangan? Di usia pernikahan kami yang baru 13 tahun, kami tidak hanya memiliki banyak persamaan, melainkan juga perbedaan.

Sebagaimana yang disampaikan oleh Gary Thomas, kita bisa belajar dan dibentuk oleh pasangan, saya pun mengalaminya. Contoh beberapa hal yang saya pelajari dari suami saya, yaitu dalam hal percaya kepada orang lain, berani berpendapat, humble, dan lain sebagainya.

Dulunya saya tidak mudah percaya dengan orang lain sehingga saya selektif dalam memilih teman. Hal ini karena saya pernah dikecewakan oleh orang yang saya percayai sehingga tidak mudah bagi saya untuk percaya kepada orang lain lagi. Namun, suami saya mengajarkan saya untuk mau belajar memercayai orang. Misalnya di dalam pekerjaan, saya mulai bisa berbagi tugas dengan rekan kerja ketika saya bekerja sebagai sekretaris. Sebelumnya, semua pekerjaan saya tangani sendiri dan rekan saya hanya melakukan pekerjaan yang ringan-ringan saja. Dampaknya, saya sering kali kerja lembur untuk menyelesaikan pekerjaan. Ketika saya mulai belajar untuk memercayai orang lain, hidup saya tentunya menjadi lebih ringan. Dengan demikian, saya juga belajar untuk lebih rendah hati.

Dahulu, saya adalah orang yang tertutup atau antisosial. Namun, kemudian saya belajar bersedia membuka diri. Perubahan ini memungkinkan saya untuk melayani Tuhan bersama banyak orang. Apalagi ketika saya sudah menjadi orang tua dan anak saya bersekolah di Athalia. Mau tidak mau saya harus bersosialisasi dengan banyak orang tua lainnya karena di Athalia ada komunitas orang tua. Ketika saya bersedia diubah, saya merasa sangat terbantu dalam bersosialisasi dan berani ketika diminta melayani menjadi CPR lalu sekarang di BPH APC, serta berani melayani di gereja lokal kami.

Saya bersyukur suami tidak pernah menghakimi kekurangan saya ini. Dia membantu saya untuk terus memperbaiki diri. Begitu juga sebaliknya, saya juga belajar untuk tidak menghakimi kekurangan suami. Saya sadar, ketika saya menunjukkan jari telunjuk ke orang lain, sesungguhnya ada empat jari lainnya yang menunjuk ke diri saya.

Demikian sharing dari saya, kiranya Tuhan Yesus memberkati. Terima kasih.

Mempunyai Hati untuk Melakukan Hal Baik

Oleh: Elisa Christantio, Orang tua siswa.

Amsal 4: 23 “Jagalah hatimu baik-baik, sebab hatimu menentukan jalan hidupmu.” (BIS)

Amsal 4: 23 “Jagalah hatimu dengan segala kewaspadaan, karena dari situlah terpancar kehidupan.” (TB)

Firman Tuhan yang direnungkan pada Rabu, 6 Oktober 2021 diambil dari Amsal 4: 23. Ketika menyebut kata “menjaga” umumnya kita akan berpikir tentang hal-hal yang tampak, tetapi jarang terpikir akan hal yang tak kasatmata.

Jadi, ketika Alkitab berbicara tentang hati, tentu tidak berbicara tentang fisik. Hal ini lebih mengacu kepada pikiran, kehendak atau bahkan batiniah. Pikiran dan kemauan adalah tempat di mana kita membuat keputusan, setiap pilihan yang kita buat. Segala sesuatu yang kita putuskan untuk dilakukan berasal dari sana.

Mengapa penting untuk menjaga hati kita?

  • Karena kita mencintai Tuhan yang sudah lebih dulu mencintai kita.

Salah satu motivasi terbesar untuk menjaga hati karena kita mencintai Tuhan. Mengasihi Tuhan dan memelihara persekutuan yang erat dengan-Nya harus menjadi landasan utama dalam menjaga hati.

Sebelum pandemi, tugas dan pelayanan mengharuskan saya dan suami bepergian ke luar kota. Kami sudah sepakat walau melayani Tuhan, kami ingin selalu bersama dengan anak-anak. Akhirnya, kami memilih jadwal saat anak-anak libur sekolah agar mereka bisa ikut. Ini bukan keterpaksaan, tetapi hal yang dilakukan dengan sukacita. Kami memilih untuk melakukannya karena rasa sayang. Kami saling mengasihi sehingga kami menempatkan perlindungan untuk hati kami dengan cara seperti ini.

  • Rencana Tuhan

Ketika semua yang kita lakukan mengalir dari hati, mungkin saja rencana Tuhan sedang terjadi dalam hidup kita.

Tidak ada yang lebih memuaskan di bumi ini selain melakukan kehendak Tuhan.

  • Menyelesaikannya dengan baik

Banyak di antara kita yang memulai dengan baik, tetapi mengakhiri dengan buruk. Amsal mengingatkan agar kita memulai dan mengakhiri dengan baik pula.

Menjalani pekerjaan yang harus sering keluar kota, mewartakan kabar baik, dan melayani bersama-sama keluarga tentu tidak mudah. Namun, kami ingin menyelesaikannya dengan baik. Suatu kali, kami melayani di Desa Pulutan, Wonosari, Gunungkidul. Kami tidak memberi tahu anak-anak tentang kegiatan hari itu. Sesampainya di lokasi, anak kami yang besar bertanya, “Kenapa kita disambut seperti presiden?” Dia bingung karena kehadiran kami disambut meriah. Singkat cerita, kami beramah tamah. Anak kami yang besar waktu itu masih kelas 4 SD, ditanya oleh salah seorang murid lokal tentang bahasa yang dikuasai. Lalu anak kami berkata, “Aku bisa bahasa Mandarin. Wo jiào Nathanael. Nǐ jiào shénme míngzì?” Semua orang yang ada di ruangan itu tertawa. Kemudian, anak kami berkata, “Kamu juga bisa, makanya kamu harus rajin belajar.” Lalu, semua orang di sana bertepuk tangan.

Hari itu, kami pulang dengan hati bersyukur karena yang kami mengalami liburan yang luar biasa. Anak-anak mengerti tentang menjaga sekaligus memberi hati untuk orang lain. Kami sekeluarga pun menyelesaikan misi/tujuan Tuhan dalam hidup kami, walau dengan cara yang sederhana.

Menjaga hati bahkan juga dialami tokoh misionaris terhebat sepanjang masa dalam Filipi 3: 12–14. Paulus menyadari bahwa pekerjaannya belum selesai dan dia ingin memastikan bisa menyelesaikannya dengan kuat.

Saya yakin Paulus pun menjaga hatinya. Saya dan kita semua harus melakukan hal yang sama.

Sebagai penutup, saya bagikan satu ayat yang merangkum cara menjaga hati: “Jadi akhirnya, saudara-saudara, semua yang benar, semua yang mulia, semua yang adil, semua yang suci, semua yang manis, semua yang sedap didengar, semua yang disebut kebajikan dan patut dipuji, pikirkanlah semuanya itu.”– Filipi 4: 8

Selamat merenung. Tuhan Yesus memberkati.

Pantang Menyerah

Oleh: Dwi Handayani, Orang Tua Siswa.

Anak adalah titipan Tuhan yang sangat berharga. Sebagai orang tua, kita pasti ingin menanamkan nilai-nilai kebaikan di hidupnya agar menjadi generasi yang tangguh dan mandiri di masa depannya.

Saya ingin berbagi cerita tentang putri pertama kami. Dia termasuk anak yang patuh, penyayang, tetapi dia anak yang pemalu dan manja. Ketika ada anak sebaya yang mengajaknya bermain, dia malah lari pulang ke rumah dan mau main jika saya temani. Daya juangnya juga masih kurang ketika ingin sesuatu, misalnya membuat benda dari origami. Saat hasilnya tidak bagus atau gagal, dia langsung menyerah dan tidak mau mencoba lagi.

Kami selalu membimbing dan menyemangati dia agar lebih percaya diri serta mau berusaha. Kami selalu mengingatkan dia bahwa tidak semua yang dia inginkan dapat terwujud. Ada saatnya dia harus berusaha keras untuk mendapatkan sesuatu yang diinginkannya. Kami juga mengingatkan pentingnya rasa syukur atas nikmat yang sudah Tuhan berikan. Apa yang sudah tersedia dan sudah dia miliki harus disyukuri dan tidak meminta lebih karena masih banyak orang lain di luar sana yang kekurangan.

Suatu hari, saat usia anak kami lima tahun, dia minta dibelikan mainan yang cukup mahal bagi kami, yaitu satu set mainan Plants vs Zombies. Kami pun tidak membelikannya karena mainannya sudah cukup banyak di rumah. 

Beberapa hari kemudian, saat sedang sekolah daring, dia memanggil saya dan menunjuk ke arah layar laptop. Ternyata ada teman laki-lakinya yang sedang memegang salah satu mainan yang dia suka. Saat itu dia mengeluh lagi dan berkata ingin dibelikan mainan tersebut. Namun, tetap saya katakan tidak dengan memberi penjelasan yang sama.

Beberapa minggu setelahnya, terjadi peristiwa yang cukup membekas di hati saya. Di suatu siang yang panas, anak saya bilang bahwa dia mau jualan. Saya mengiyakan saja karena dia suka mainan jual-jualan dan mama papanya disuruh menjadi pembeli. Namun, ternyata kali ini berbeda. Dia meminta tolong kepada saya agar membawakan meja belajar kecilnya ke teras depan rumah. Lalu, saya lihat dia juga membawa kertas HVS yang bertuliskan “Mainan ini dijual, ya!” dengan disertai hiasan spidol warna-warni. Saya bertanya, “Memang kamu mau ngapain?” Dia menjawab sembari menempelkan kertas HVS di pinggir meja bagian depan, “Aku mau jualan karena aku mau dapet duit biar bisa beli mainan Zombie.”

Dia masuk ke dalam rumah sebentar kemudian kembali keluar sambil membawa sekantong mainan dan segenggam cemilan yang diambil dari rak makanan. Dia letakkan berbagai cemilan tersebut, kemudian dia mengambil kertas, gunting, dan selotip. Dia menuliskan harga dan menempelkannya ke bungkus cemilan. Saat dia meletakkan cemilan ke meja, saya lihat harga satu Beng-Beng Rp1.000.000 dan Nyam-Nyam Rp1.000.000.000. Hampir semua cemilan dia kasih harga fantastis. Saya hanya tertawa dalam hati. Ya… tentunya dia belum paham arti nol sebanyak itu. Walau geli melihat hal itu, saya terharu sekali. Saya tidak menyangka dia akan seniat itu untuk berjualan demi mendapatkan mainan yang dia mau. Entah dari mana asal ide itu, yang pasti saya dan suami cukup kaget melihatnya.

Saat itu, saya mengelus rambutnya sambil berkata, “Jadi kamu mau jualan beneran, ya??”

Dia pun menjawab dengan semangat, “Iyaa… nih aku udah tulis harga makanannya, terus aku juga mau jualin mainan yang di kantong yang udah nggak aku suka.”

“Ya sudah. Mama bantuin yah, tapi ini kan masih siang dan panas. Mana ada yang mau beli mainan. Nanti sore aja. Sekarang masuk dulu, istirahat.”

Dia pun bersikeras tetap tidak mau masuk ke dalam rumah. Dia membuka pagar rumah selebar-lebarnya dan meja pun digeser ke depan. Alhasil sebagian makanan terkena sinar matahari panas. Dia pun sudah beratribut lengkap dengan memakai topi sambil membawa waist bag dikalungkan ke leher dan satu pundaknya. Dia duduk menunggu pembeli datang. Beberapa kali saya bujuk agar masuk ke dalam rumah sambil menunggu pembeli datang, tetapi dia tetap tidak mau. Saya hanya mengawasi dari dalam rumah dan tidak mau mengganggunya walau sebenarnya kasihan melihatnya kepanasan.

Setelah 15 menit berlalu, belum juga ada yang beli. Dia tetap duduk diam. Entah apa yang dipikirkannya: sedih karena tidak ada yang beli atau semangat menunggu pembeli. Setelah 20 menit lebih, akhirnya saya bujuk baik-baik dan dia mau masuk ke dalam dan kembali berjualan sore nanti.

Sore hari pun tiba. Sekitar pukul 4 sore dia semangat untuk kembali berjualan. Sebelumnya, kami sudah berdiskusi tentang harga makanan yang dijual dan memilih mainan apa saja yang layak dijual. Mainan ada yang dijual dengan harga seribu dan dua ribu karena ukurannya yang imut dan sengaja diberi harga murah agar ada yang mau beli. Kebetulan dekat rumah ada musala dan sore hari biasanya ramai anak-anak yang mengaji. Jadi, kami berharap ada 1–2 anak yang mampir ke “lapak” kami saat perjalanan pulang.

Setelah mencoba berjualan selama tiga hari, uang yang terkumpul sebanyak 22 ribu rupiah. Dia senang bukan main. Kami berniat mau menambahkan uang untuk membelikan mainan yang dia mau.

Saya pun bertanya, “Kamu jadi mau beli mainan Plants vs Zombies?”

Secara mengejutkan, dia menjawab, “Enggak jadi. Aku mau beli mainan makeup-makeupan aja!” sambil menunjukkan gambarnya di Tokopedia.

Apa pun akhirnya, kami salut atas usahanya, kami pun bersyukur karena anak kami akhirnya dapat memahami jika ingin mendapatkan sesuatu harus berusaha dan tidak mudah menyerah. Oiya ternyata dari hasil usaha berjualannya itu pula dia akhirnya belajar bersosialisasi dan lebih percaya diri, bahkan akhirnya mendapatkan teman baru untuk bermain setiap sore hari. Terima kasih.