Tepat Waktu dan Waktu yang Tepat

karakter_tepat_waktu

Oleh: Netty Sianturi, guru Agama SD

 

“Ia menentukan waktu yang tepat untuk segala sesuatu.
Ia memberi kita keinginan untuk mengetahui hari depan,
tetapi kita tak sanggup mengerti perbuatan Allah dari awal sampai akhir”
– Pengkhotbah 3:11 (BIS) –

Era kita hidup sekarang adalah era di mana waktu sungguh dihargai dengan sebuah semboyan, “Waktu adalah Uang”, sehingga zaman ini manusia begitu cepat bergerak dan menghargai ketepatan waktu. Namun, ada kisah di mana Daniel, Gideon dan Samuel beserta 7 anggota keluarganya yang lain, terhindar dari kecelakaan pesawat AirAsia QZ 8501 dari Surabaya tujuan Singapura yang jatuh pada tanggal 28 Desember 2014, karena mereka sekeluarga terlambat datang ke bandara Juanda. Mereka selamat; mereka tidak tepat waktu, tetapi ada pada waktu yang tepat. Di sinilah perbedaan penting antara dua konsep waktu yaitu kronos dan kairos. Kronos berbicara tentang tepat waktu, sementara Kairos berbicara tentang waktu yang tepat.

Dalam konteks kehidupan spiritual, maka waktu yang tepat adalah anugerah Tuhan bagi kita, seperti dikatakan di atas: “Ia menentukan waktu yang tepat untuk segala sesuatu.” Tidak ada usaha manusia yang dapat merancang waktu yang tepat dalam peristiwa kehidupannya. Doa, pengharapan, iman dan hubungan intim dengan Tuhanlah yang dapat membantu manusia memiliki kepekaan untuk dapat berada pada waktu yang tepat.

Sementara itu, tepat waktu adalah usaha manusia untuk menghargai waktu yang Tuhan berikan dengan sebuah perencanaan dalam kehidupannya, karena dikatakan juga di atas: “Ia memberi kita keinginan untuk mengetahui hari depan, tetapi kita tak sanggup mengerti perbuatan Allah dari awal sampai akhir.” Manusia berkeinginan untuk mengetahui hari depan, tetapi hari depan adalah misteri Allah, sehingga yang bisa dibuat manusia adalah membuat perencanaan dalam hidupnya atau menjalankan rencana yang sudah dibuat dengan tepat waktu sebagai ekspresi dari keinginannya untuk mengetahui hari depan.

Kisah indah yang menggambarkan tepat waktu dan waktu yang tepat adalah kisah “Lazarus dibangkitkan” dalam Yohanes 11:1-43. Ada beberapa kalimat penting dalam ayat-ayat tersebut dalam konteks pembahasan tepat waktu dan waktu yang tepat, yaitu: “…Penyakit itu tidak akan membawa kematian, tetapi menyatakan kemuliaan Allah, sebab oleh penyakit itu Anak Allah akan dimuliakan…(4)” “…Ia sengaja tinggal dua hari lagi di tempat, di mana Ia berada…(6)”; “…tetapi syukurlah Aku tidak hadir pada waktu itu, sebab demikian lebih baik bagimu supaya kamu dapat belajar percaya…(15)”, “…Tuhan, sekiranya Engkau ada di sini, saudaraku pasti tidak mati..(21,32)”

Dalam pikiran dan perkataannya Maria dan Marta memandang bahwa Yesus tidak datang tepat waktu. Seharusnya Dia datang empat hari yang lalu, dan saat ini Yesus sudah terlambat, sehingga kematian terjadi pada Lazarus. Tetapi dalam rancangan Yesus, Ia “sengaja terlambat”, karena ada sesuatu yang lebih besar yang hendak dicapai yaitu: Kemuliaan Allah, dan pembelajaran akan kepercayaan.

Andai pada waktu itu Yesus datang tepat waktu dan Lazarus disembuhkan, tentu ini berkat ilahi, namun dampak dari peristiwa itu tidak begitu besar, tidak ada pembelajaran penting melaluinya. Syukurlah Yesus datang tidak tepat waktu, tetapi pada waktu yang tepat, sehingga kita bisa belajar arti percaya dan memuliakan Allah.

Ada beberapa hal yang dapat kita pelajari lebih jauh dan kita praktekkan dari kisah tersebut dalam kaitan dengan tepat waktu:

Tepat waktu menandakan ketaatan kita kepada otoritas.
Bagi Yesus tentulah tidak ada istilah terlambat, karena Dia adalah Pencipta waktu; Ia melampaui waktu, Ia memiliki otoritas atas waktu. Namun, bagi kita yang terkurung oleh waktu, kita harus melihat bahwa kebiasaan tepat waktu adalah wujud ketaatan kita kepada otoritas yang ada.
Tepat waktu untuk memuliakan Allah.
Melampaui ketaatan kita kepada otoritas, maka ketika kita membangun kebiasaan tepat waktu, milikilah pandangan bahwa kita melakukannya sebagai bagian dari ekspresi kita dalam memuliakan Allah.
Tepat waktu merupakan ekspresi percaya.
Kita tahu bahwa kita tidak dapat mengendalikan kejadian-kejadian dalam kehidupan kita. Namun, kita tidak boleh pesismis. Karena, meski waktu yang tepat berada di luar kontrol kita, namun tepat waktu masih bisa berada dalam kontrol kita, sehingga kita dapat melakukan apa yang telah kita rancang dengan tepat waktu dan percaya bahwa Tuhan akan menjadikannya indah pada waktunya. Seperti Maria dan Marta yang segera mengirim kabar kepada Yesus “Tuhan, dia yang Engkau kasihi, sakit” (Yoh.11:3). Mereka melakukan apa yang dapat mereka lakukan, namun bahwa segala sesuatu menjadi indah pada waktunya tergantung pada kasih Allah kepada mereka, oleh karena itu dalam kabar itu ada kebergantungan kepada kasih Allah, sehingga dikatakan: “dia yang Engkau kasihi…”

Sementara itu pelajaran lain, yang dapat kita peroleh dari kisah kebangkitan Lazarus yang berkaitan dengan waktu yang tepat, adalah:
Tuhan merancang segalanya tepat pada waktunya.
Karena itu, senantiasalah bersyukur dan tidak bersungut-sungut atas segala peristiwa yang kita alami.
Berdoalah senantiasa agar semua boleh jadi indah pada waktunya.
Karena waktu yang tepat berada di luar kontrol kita, maka doa menjadi kunci bagi kita agar Tuhan senantiasa menyertai apa yang kita lakukan agar indah pada waktunya. Doa dalam kisah Lazarus tersebut digambarkan dengan perilaku Maria dan Marta yang segera mengirim kabar. Mengirim kabar kepada Yesus adalah sebuah doa.
Repson kita haruslah memuliakan Allah.
Memuliakan Tuhan berarti menyatakan hakekat Tuhan lewat peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam kehidupan kita. Sehingga, apapun yang terjadi dalam hidup kita, sedapat mungkin lihatlah bagaimana Allah dimuliakan melaluinya.
Allah mau kita belajar percaya dalam penantian kita akan waktu yang tepat.
Keingintahuan kita akan masa depan dan ketidaktahuan kita akan masa depan justru menjadi wadah bagi pengembangan iman kita. Bukankah iman adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat? (Ibr.11:1).
Tetaplah berharap.
Teruslah berharap sekalipun apa yang kita lihat dan alami  kita pikir sudah terlambat.

Tepat waktu mengandung sikap “menghargai”. Ketika kita tepat waktu, kita menghargai orang-orang yang menunggu kita, kita menghargai diri kita sebagai orang yang bertanggung jawab dan terlebih lagi kita menghargai Tuhan sang pemberi waktu. Waktu yang tepat mengandung anugerah Allah yang membuat kita terus belajar percaya, bersyukur dan memuliakan Tuhan.

 

Rajin

rajin

Oleh: Loura Palyama, guru Agama Kristen SMP

 

Mungkin kita pernah mendengar peribahasa, “Rajin pangkal pandai, hemat pangkal kaya.” Peribahasa ini sudah terbukti dari masa ke masa. Ketika masih sekolah maupun kuliah, barangkali seseorang  memiliki  IQ yang tinggi, namun orang itu malas. Pada gilirannya,  ia tidak berhasil. Sebaliknya orang yang waktu sekolah, barangkali nilainya pas-pasan, tetapi berhasil, karena kerajinannya.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, rajin berarti suka bekerja (belajar dsb); getol; sungguh-sungguh bekerja; selalu berusaha giat; kerapkali; terus-menerus; Suatu kegiatan yang terus dilakukan tanpa mudah menyerah. Dalam Yohanes 5:17 tertulis “Tetapi Ia berkata kepada mereka: “Bapa-Ku bekerja sampai sekarang, maka Aku pun bekerja juga.” Ayat ini menunjukkan bahwa Tuhan Yesus punya karakter rajin bekerja dan Tuhan juga menginginkan kita mempunyai karakter seperti Dia. Dalam Alkitab, kita tidak akan menemukan tulisan yang menjelaskan bahwa Tuhan Yesus sedang bersantai atau bermalas-malasan atau libur pelayanan mau jalan-jalan dulu. Tuhan Yesus menggunakan waktu yang diberikan Bapa dengan semaksimal mungkin. Ia tidak menyia-nyiakan waktu yang ada, sehingga dikatakan seandainya semua pelayanan Yesus dituliskan maka buku sedunia tidak akan cukup (Yoh. 21: 25).

Kalau kita perhatikan semua orang yang Yesus panggil untuk menjadi mitra kerja-Nya, baik orang terpelajar, maupun orang tidak terpelajar, rakyat biasa, orang kaya, laki-laki atau perempuan, maka kita akan mendapati bahwa mereka adalah orang yang rajin bekerja.

Seringkali banyak orang yang mengerjakan sesuatu namun tidak semangat, loyo-loyo. Dan pada akhirnya, hasilnya tidak maksimal. Untuk itu, perlu kita menyimak apa yang dikatakan seorang psikolog bernama Alan Fine. Ia  mengingatkan kita bahwa manusia normal mempunyai 3 unsur F yang sangat penting untuk terus berkembang. Tiga F itu adalah faith (keyakinan), focus dan fire (api semangat). Kita tidak boleh lupa akan kekuatan ketiga F itu, yang menciptakan dan memproduksi energi kita. Pencapaian tujuan itu tentu membutuhkan kerajinan yang luar biasa.

Dari hal di atas, kita melihat bahwa RAJIN adalah hal yang sangat penting. Sebelum dunia menunjukkannya dalam berbagai filsafat dan pandangan dunia, Tuhan sudah mengatakannya kepada kita. Bahkan dalam firman Tuhan banyak teguran pedas yang diberikan pada orang-orang yang malas. Firman Tuhan dalam Amsal 10:4-5 mengatakan “Tangan yang lamban membuat miskin, tetapi tangan orang rajin menjadikan kaya. Siapa mengumpulkan pada musim panas, ia berakal budi; siapa tidur pada waktu panen membuat malu.” Dan para pemalas diminta oleh Salomo untuk belajar kepada para semut, agar tidak terjadi kemalangan kepada diri mereka (Ams. 6:6-11).

Jika kita memperhatikan aktivitas semut, mereka tidak pernah berhenti bekerja. Mereka selalu mengumpulkan makanan yang mereka perlukan. Dan mereka tidak pernah kekurangan makanan, karena mereka selalu menjaga agar suplai makanan selalu tersedia. Demikianlah halnya kita dalam bekerja. Rajinlah bekerja seperti semut, sehingga berkat berkelimpahan akan mendatangi kehidupan kita. Tentunya dengan tidak melupakan persekutuan pribadi kita dengan Tuhan.

Banyak juga umat Tuhan yang mengaku sudah rajin beribadah dan bahkan aktif dalam pelayanan tetapi mereka mengeluh karena tidak pernah berhasil dalam pekerjaan atau usaha yang mereka jalani. Mereka beranggapan bahwa hanya dengan rajin bersekutu dengan Tuhan, maka berkat akan tercurah bagi mereka. Padahal selain hubungan intim dengan Tuhan, Tuhan ingin agar kita juga tetap bekerja dengan giat seperti untuk Tuhan, bukan untuk manusia, sebagaimana yang Paulus katakan dalam Kolose 3:23-24 menuliskan, “Apapun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia. Kamu tahu, bahwa dari Tuhanlah kamu akan menerima bagian yang ditentukan bagimu sebagai upah. Kristus adalah tuan dan kamu hamba-Nya”.

Salah satu tokoh Alkitab yang dapat diteladani dalam hal kerajinannya yaitu Paulus. Rasul Paulus tidak hanya giat dalam pelayanan saja, tetapi dia juga giat dalam bekerja agar tidak menyusahkan orang lain. Dia menjadikan dirinya teladan tidak hanya dalam pelayanan, tetapi juga dalam bekerja untuk menghidupi kebutuhannya. Keseimbangan antara pelayanan dan pekerjaan juga harus diperhatikan, jangan sampai kita hanya mengutamakan satu hal saja tetapi menelantarkan hal yang lainnya. Dengan menjaga keseimbangan antara pekerjaan dan pelayanan, maka kita dapat menjadi terang bagi setiap orang yang ada di sekeliling kita dan menjadi saksi di dalam lingkungan sekuler, di mana banyak orang-orang yang tidak mengenal Tuhan akan melihat kebesaran Tuhan terjadi dalam hidup kita.

Bekerjalah dengan rajin agar kita dapat menjadi saluran berkat untuk banyak orang, bekerja juga dalam memberitakan Injil Tuhan, agar banyak orang yang mendengar tentang keselamatan dan mendapatkan keselamatan itu. Giatlah selalu, rajin dalam bekerja dan rajin dalam memuliakan Tuhan, maka hidupmu akan dipenuhi dengan rasa sukacita.

Tetap Bersyukur dalam Keadaan Apapun

Bersyukur

Apakah alasan kita mengucap syukur kepada Tuhan? Mungkin seribu alasan dapat kita ucapkan: “Dipromosikan naik jabatan; omsetnya bertambah, sembuh dari penyakit, anak naik kelas, menang undian berhadiah, dan lain-lain”. Coba perhatikan alasan-alasan yang kita ucapkan. Semua alasan didasarkan hanya pada kondisi baik yang kita alami. Dapatkah kita mengucap syukur di kala hidup kita sedang berada di titik terbawah kehidupan? Dapatkah kita berterima kasih ketika semuanya sedang meninggalkan kita?  Sanggupkah kita bersyukur untuk setiap ujian hidup yang kita alami?
Kepada jemaat di Tesalonika, Paulus mengingatkan agar mereka selalu mengucap syukur. I Tesalonika 5:18 berkata, “Mengucap syukurlah dalam segala hal, sebab itulah yang dikehendaki Allah di dalam Kristus Yesus bagi kamu”.  Menariknya, kondisi jemaat di Tesalonika waktu itu bukanlah dalam keadaan baik. Jemaat Tesalonika tidak dalam keadaan berlimpah, maupun aman. Banyak tantangan yang dialami oleh jemaat di Tesalonika sebagai jemaat yang mula-mula. Penganiayaan, curiga, tentangan dari orang-orang Yahudi akan keberadaan mereka dialami secara nyata oleh jemaat di Tesalonika.
Jika melihat keadaan lahiriah mereka pada waktu itu, maka sangatlah lumrah jika jemaat di Tesalonika mengeluh,  bersungut-sungut, maupun menutup diri. Namun, kenyataannya sungguh berbeda dimana jemaat di Tesalonika tetap hidup dalam pengharapan dan sukacita di dalam Tuhan. Dan Paulus menegaskan bahwa melalui ucapan syukur jemaat di Tesalonika semakin dikuatkan imannya menghadapi tantangan yang ada.
Melalui I Tesalonika 5:18, “Mengucap syukurlah dalam segala hal, sebab itulah yang dikehendaki Allah di dalam Kristus Yesus bagi kamu”,  kita belajar tentang tiga hal:

  • Pertama, perhatikan frasa “dalam segala hal”. Paulus ingin menegaskan bahwa baik kondisi pribadi maupun keadaan sekitar kita tidak boleh menjadi acuan dalam mengucapkan syukur. Jika keadaan saya baik, tidak ada masalah dan bahkan diberkati, barulah saya mengucap syukur. Paulus ingin memperluas cara berpikir kita mengenai alasan bersyukur. Paulus mengganggap penderitaan, penganiayaan, penolakan, dan bahkan kematian sekalipun dapat menjadi alasan bagi setiap orang Kristen untuk bersyukur. Bagi Paulus, justru dalam hal-hal yang buruk sekalipun kuasa Allah bekerja menopang kita.
  • Kedua, perhatikan frasa “dikehendaki Allah … bagi kamu”. Rupa-rupanya, kehidupan yang bersyukur bukan hanya sekedar ciri atau karakteristik hidup Kristiani. Namun, hidup bersyukur merupakan sebuah kehidupan yang diinginkan Allah bagi umat-Nya. Pada dasarnya, Allah selalu menghendaki hidup yang baik bagi umat-Nya. Namun, hidup dikatakan baik oleh Allah tidak selalu ditandai oleh keadaan jasmani/fisik yang baik pula. Yang menjadi kunci dalam hidup bersyukur adalah kondisi hati yang dapat menerima apapun. Kondisi hati inilah yang menjadi fokus bagaimana Allah mendidik kita. Keadaan yang kurang baik, ataupun buruk tidak boleh mempengaruhi kondisi hati kita yang harus selalu tertuju kepada Allah; menerima yang baik maupun yang kurang baik terjadi dalam hidup kita.
  • Ketiga, perhatikan frasa “di dalam Kristus Yesus”. Konsep mengucap syukur  haruslah berdasar pada diri Tuhan Yesus. Tidak ada berkat yang lebih besar dari apa yang telah dilakukan Tuhan Yesus di kayu salib: pengorbanan yang sempurna. Sehingga jika kita mencari-cari alasan untuk bersyukur, maka alasan yang paling utama dalam kita bersyukur adalah mensyukuri karya keselamatan dalam Tuhan Yesus. Berkat lainnya sebenarnya hanyalah tambahan belaka karena yang terutama telah dianugerahkan oleh Allah melalui Tuhan Yesus.

Jadi apakah alasan kita memiliki hidup bersyukur? Yang terutama bukanlah materi dan berkat, namun keselamatan yang Allah kerjakan melalui Tuhan kita Yesus Kristus. Mari kita selalu hidup bersyukur. Tuhan memberkati.

(Oleh: Daniel Santoso Ma, Bagian Kerohanian Sekolah Athalia)

Peran Ayah Dalam Keluarga

(Mazmur 128)

 

Dalam zaman modern saat ini, banyak keluarga Kristen yang kehilangan fungsi dan perannya. Berbagai kesibukan kerja dan aktifitas yang padat membuat banyak keluarga tidak bisa menikmati kebersamaan satu dengan yang lain. Rumah cuma tempat istirahat setelah melakukan aktifitas dan pekerjaan. Tidak ada altar keluarga, tidak ada acara kumpul bersama untuk saling bicara, makan bersama, nonton bersama, saling sharing. Semuanya sibuk, sibuk dan sibuk. Tetapi itulah realita hidup yang harus kita lihat dan mungkin kita ada di dalam situasi yang seperti itu.

Seorang ayah yang seharusnya menjadi imam, kepala keluarga, suami dan ayah bagi anak-anaknya ternyata tidak punya waktu untuk keluarganya. Seorang ayah karena kesibukannnya, tidak hadir dan berperan dalam mendidik, mengajar, membangun dan mengasihi di dalam keluarganya. Sehingga apa yang terjadi? Banyak anak yang kehilangan figur seorang ayah yang mempengaruhi mereka dalam membangun self image (gambar diri) serta menentukan bagaimana mereka berelasi dengan pria lain. Pada saat mereka tidak menemukan perhatian dan kasih sayang dari ayah mereka, mereka akan mencarinya di luar dan di sana dengan begitu mudah pula mereka akan jatuh dalam pergaulan bebas.

Dalam situasi seperti ini, kita harus kembali kepada Alkitab. Dalam Mazmur 128, kita belajar beberapa hal bagaimana seorang ayah menjalankan perannya dalam keluarga.

 

1. Seorang ayah harus punya hati yang takut akan Tuhan

Mazmur 128:1 menyatakan bahwa berbahagialah orang yang takut akan Tuhan. Dalam ayat 4, kembali dinyatakan bahwa Tuhan memberkati seorang laki-laki yang takut akan Tuhan. Hal ini menunjukkan bahwa seorang ayah haruslah jadi ayah yang takut akan Tuhan. Ayah yang menjalankan fungsi dan perannya sebagai seorang imam dalam keluarga. Ayah yang mengajarkan anak-anaknya di dalam pengenalan akan Tuhan. Mengajak keluarganya untuk beribadah melalui altar keluarga, membaca alkitab, berdoa bersama. Sehingga anak-anak akan melihat langsung figur seorang ayah yang memberikan teladan iman kepada mereka.

Mengapa banyak orang merokok? Karena ayah mereka juga perokok. Mengapa ada orang peminum? Karena ayah mereka juga seorang peminum. Jadi kita bisa melihat bahwa seorang ayah yang baik adalah ayah yang mendidik hidup anak-anaknya seturut dengan firman Tuhan. Ayah yang dalam seluruh hidupnya, pekerjaannya, aktifitasnya, kasihnya, pengajarannya membawa seluruh keluarganya takut akan Tuhan.

 

2. Seorang ayah harus menjadi suami yang mengasihi isterinya (Mazmur 128:3a)

Seorang pria harus menjadi seorang suami sekaligus ayah yang bijaksana dalam keluarganya. Efesus 5 : 25 menuliskan “Hai suami, kasihilah isterimu sebagaimana Kristus telah mengasihi jemaatNya dan telah menyerahkan diri-Nya baginya”. Sebuah kata bijak mengatakan: “Salah satu hadiah terindah yang dapat diberikan seorang ayah kepada anak-anaknya adalah dengan mengasihi ibunya”. Saat seorang ayah mengasihi isterinya maka ia sudah memberikan teladan kasih kepada anak-anaknya bagaimana mereka bersikap hormat kepada ibu mereka, teman lawan jenis mereka dan pasangan hidup mereka kelak.

 

3. Seorang ayah harus menjadi ayah yang bijaksana bagi anak-anaknya.


Ayah yang bijaksana terlibat dalam kehidupan anak-anaknya
Seorang ayah berjanji pada anaknya untuk berjalan-jalan dan pergi makan bersama pada hari ulang tahunnya yang ke-11. Anaknya begitu gembira dan mulai menghitung hari, namun menjelang hari ulang tahunnya, sang ayah menerima undangan untuk menghadiri sebuah seminar penting di luar kota tepat pada hari ulang tahun anaknya. Ia akan menerima $1,000 untuk menjadi pembicara selama 1 jam. Seminar ini begitu penting bagi karirnya dan akan dihadiri oleh orang-orang penting juga. Ia mencoba berbicara dan bernegosiasi dengan anaknya untuk membatalkan rencana jalan-jalan bersama dan menawarkan $1,000 kepada anaknya. Apa jawab sang anak? Setelah berpikir sejenak, sang anak menjawab, ”No, that’s Ok Dad, I’d rather spend time with you”. Anak tersebut menolak uang $1,000 dan lebih memilih untuk menghabiskan waktu bersama-sama dengan ayahnya. Inilah contoh cerita betapa pentingnya waktu dan kehadiran seorang ayah dalam hidup anak-anaknya.

 

Ayah yang bijaksana adalah ayah yang selalu konsisten

Seorang ayah berjanji akan makan siang bersama dengan anaknya dan kemudian akan main basket bersama. Sang anak menunggu dengan antusias. Beberapa jam sebelum makan siang, ia sudah siap dengan bola basketnya berikut baju basketnya dan menunggu sang ayah tiba di rumah siang itu. Tunggu punya tunggu ayahnya belum datang juga. Jam 1 siang ayahnya menelepon dan mengatakan bahwa ia sangat sibuk karena banyak pekerjaan, ia mengatakan bahwa ia belum lupa janjinya dan akan pulang sekitar jam 3 siang sehingga masih ada waktu untuk main basket bersama. Tunggu lagi hingga jam 4 sore, ayahnya kembali menelepon bahwa ia tidak bisa pulang, akhirnya ayahnya pulang sekitar jam 10-an malam dan menemukan anaknya sudah tertidur dengan baju basketnya. Dia mengendong anaknya ke tempat tidur dengan berbisik, ”I’m sorry my son.” Sang anak dengan setengah terbangun menjawab, ”It’s Ok Dad, I had fun thinking about it.”
Seorang ayah harus konsisten dalam segala hal terutama di dalam menjaga nilai-nilai yang kita pegang khususnya dalam hal iman.

 

Ayah yang bijaksana akan mengenal secara mendalam karakter anak-anaknya

Setiap anak mempunyai karakter yang berbeda-beda satu dengan yang lain. Untuk itu seorang ayah harus mengenal anaknya, masuk ke dalam jiwa mereka. Mengenal setiap kebutuhan mereka, kekuatiran mereka, apa yang sedang dialami, perasaan mereka dan cara berpikir mereka. Hal itu akan membangun hubungan ayah dengan anaknya secara lebih mendalam.

 

Kiranya Tuhan menolong setiap para ayah untuk menjalankan perannya sebagai ayah yang takut akan Tuhan, mengasihi istrinya dan ayah yang bijaksana bagi anak-anaknya. God bless us.
(by: DRZ)

Sindroma Tanah Amblas

Natal tahun kemarin, saya mendapatkan hadiah sebuah buku terjemahan dengan judul asli “Ordering Your Private World”, karangan Gordon MacDonald yang berisi pengalaman penulisnya tentang sindroma tanah amblas yang dialaminya. Menurut buku tersebut sindroma tanah amblas itu seperti sebuah fenomena yang dialami oleh lapisan tanah di bumi. Diceritakan di dalam buku itu tentang penghuni sebuah bangunan apartemen di Florida yang terbangun melihat pemandangan mengerikan di luar jendela apartemen mereka. Tanah di seberang jalan di muka bangunan mereka benar-benar amblas, menciptakan sebuah lubang besar yang mereka sebut tanah amblas (sinkhole). Mobil, trotoar, pembatas jalan, dan benda-benda di sekitarnya berjatuhan ke dalam lubang yang semakin lama semakin dalam dan aparteman itu juga sedang menunggu gilirannya untuk juga jatuh dan amblas. Menurut para ilmuwan, tanah amblas itu terjadi karena aliran air bawah tanah mengering selama musim kering. Hal itu menyebabkan tanah di permukaan kehilangan dasar penopangnya dan dengan tiba-tiba segala sesuatu amblas begitu saja, runtuh dan masuk ke dalam lubang yang sangat dalam seperti tak berujung. Banyak orang yang hidupnya seperti tanah amblas di Florida itu. Bisa jadi di antara kita telah mengalami seakan-akan berada di tepian tanah amblas itu. Hal yang muncul bisa dalam bentuk perasaan lelah yang mematikan rasa, mungkin juga perasaan gagal, atau kekecewaan, kehabisan tenaga, patah semangat, perasaan tertekan, depresi, atau meledak. Kita seolah merasa ada sesuatu dalam diri kita yang sedang terjadi. Kita merasa sekejap lagi akan tumbang, dan seluruh dunia kita terancam masuk ke dalam lubang tak berdasar.

Dalam kehidupan kita, kita menjalani dua dunia, yaitu dunia publik dan dunia pribadi. Dunia publik adalah dunia yang tampak dari luar, yang kelihatan, terukur, dan dapat ditingkatkan, yang terdiri dari pekerjaan, kepemilikan, kehidupan sosial. Ini adalah bagian keberadaan kita yang lebih mudah dievaluasi dalam ukuran keberhasilan, popularitas, kekayaan, dan kecantikan. Sedangkan dunia pribadi lebih bersifat spiritual, yang merupakan pusat tempat pilihan dan nilai ditentukan, tempat keheningan dan perenungan. Dunia pribadi merupakan tempat untuk melakukan ibadah dan pengakuan dosa, sebuah titik tempat polusi moral dan spiritual zaman ini tidak dapat menerobos. (MacDonald, 2012).

Kebanyakan orang terlalu sibuk menata dunia publik dengan baik, tetapi cenderung mengabaikan dunia pribadinya. Menata kehidupan pribadi itu sangat penting. Menyiapkan waktu khusus untuk mendekatkan diri pada Tuhan. Itu akan mengembalikan energi dan menyejukkan hati serta pikiran. Dengan senantiasa menata dunia pribadi, terutama kehidupan pribadi dalam hubungannya dengan Allah akan memperkuat fondasi kehidupan kita, dan keeratan hubungan dengan Allah adalah pengisi kekosongan di dalam jiwa yang tidak dapat digantikan dengan apa pun juga. Dunia pribadi adalah fondasi untuk dunia publik, seperti fondasi sebuah gedung pencakar langit. Semakin tinggi sebuah gedung seharusnya semakin kuat juga fondasinya. Semakin sibuk kita dengan dunia publik kita, semestinya dunia pribadi harus lebih diperhatikan dan tidak diabaikan. Jika dunia pribadi diabaikan, maka pada akhirnya dunia pribadi ini tidak akan sanggup lagi menopang berbagai peristiwa dan tekanan dalam kehidupan yang kita alami bahkan yang sekecil dan seremeh apa pun tekanan itu.

Buku ini juga mengajak kita untuk menilik kembali ruang bilik dalam dunia pribadi kita. Apakah dalam kehidupan kita sehari-hari, kita sebagai orang yang “terdorong” atau orang yang “terpanggil”. Ketika kita berprestasi di sekolah, apa motivasi di balik itu? Apakah karena kita terdorong untuk membuktikan sesuatu, terdorong oleh keinginan untuk terkenal, mendapatkan pengakuan, pujian? atau merasa terpanggil untuk melakukan yang terbaik dalam kehidupan kita tanpa peduli apakah pada akhirnya kita akan mendapatkan penghargaan, sanjungan, dijadikan teladan dan panutan, atau tidak? Ketika sebagai karyawan, saat karir begitu melejit, apakah yang mendasarinya? apakah terdorong oleh keinginan untuk berkuasa, menjadi terkenal, kaya raya, dianggap sukses dan berhasil? atau terpanggil melakukannya karena tujuan-tujuan yang lebih bersifat imaterial, kepuasan batin, semangat pelayanan? Demikian juga ketika menjadi pelayan Tuhan, gembala, pekerja sosial, atau profesi yang lainnya, apa alasan dan motivasi yang mendasari setiap tindakan kita? Ketika keterdorongan yang menjadi dasar tindakan kita, maka fondasinya tidak akan kuat. Kita akan mudah runtuh seperti analogi tanah amblas tadi. Berbeda ketika keterpanggilanlah yang menjadi dasarnya. Seorang yang terpanggil, ia telah menempatkan sebuah fondasi yang kokoh dalam menjalani kehidupannya, ia tidak akan mudah runtuh dan amblas dalam perasaan kecewa yang sangat dalam, perasaan gagal, patah semangat, putus asa, dan sebagainya, karena ia menjalaninya dengan penuh ketulusan, dan kerelaan. Dengan demikian, dunia pribadi yang berupa motivasi perlu untuk ditata agar keterpanggilanlah yang seharusnya menjadi pijakan yang kokoh dalam kita melangkah dan berkarya dalam dunia publik yang kita jalani.

(Ind, sumber: Menata Dunia Pribadi Meniti Sukses Sejati, karangan Gordon MacDonald).