Pengalaman Berkesan selama Live In

Oleh: Adelyn Alvincia, XII MIPA 3

Live in kelas 12 SMA tahun ini kembali dilaksanakan di Kopeng, Jawa Tengah, selama enam hari. Kami berangkat pada Minggu malam menggunakan kereta api dan baru sampai di Kopeng pagi keesokan harinya.

Kedatangan kami disambut dengan sangat hangat oleh warga setempat. Kami langsung dibagi ke dalam rumah-rumah penduduk dengan orang tua asuh masing-masing. Ada pekerjaannya sebagai petani, peternak sapi, usaha warung, dan lain sebagainya. Saya sendiri mendapat orang tua asuh yang bekerja sebagai petani. Mereka menanam jipang (labu). Mereka juga beternak sapi, ada tiga ekor sapi. Di Kopeng, sudah menjadi hal yang biasa tinggal bersama hewan peliharaan di dalam rumah. Di tempat tinggal saya, kandang sapi bahkan terhubung dengan dapur. Setiap hari, kami pergi beraktivitas sesuai pekerjaan orang tua asuh kami, membantu di ladang, menjaga warung, dan berjualan susu.

Selain mengikuti aktivitas penduduk setempat, kami juga membawa tugas community service. Sejak awal semester 1, kami sudah dibagi ke dalam kelompok-kelompok untuk melakukan kegiatan sosial di Kopeng. Ada kelompok karang taruna, perpustakaan, memasak, bimbel pelajaran dan seni, PAUD, panti asuhan dan jompo, serta parenting. Saya masuk ke dalam kelompok parenting yang bertugas untuk membuat acara seminar keluarga bagi pasangan suami-istri. Dalam setiap acara yang kami adakan, partisipan dari penduduk setempat berjumlah cukup banyak. Mereka juga memberi respons yang sangat positif. Pada malam terakhir kami di Kopeng, ada acara malam perpisahan yang diisi oleh berbagai penampilan dari anak-anak di Kopeng, persembahan tarian dari murid Athalia, kuis, dan pembagian doorprize.

Kopeng merupakan tempat yang menjunjung tinggi toleransi. Mereka terbiasa hidup berdampingan antaragama. Letak gereja dan masjid pun sangat dekat, saling berpunggungan. Para warga Muslim tidak sungkan jika perlu masuk ke gedung gereja. Tidak pernah ada bentrok antara pemeluk agama.

Di hari terakhir kami sebelum kembali ke Tangerang, beberapa dari kami dan orang tua asuh menangis karena akan berpisah. Kami dibawakan begitu banyak oleh-oleh untuk dibawa pulang sehingga kami harus menenteng banyak dus berisi sayuran. Sebelumnya, kami juga sempat mampir membeli oleh-oleh di Semarang dan singgah ke Lawang Sewu. Kami baru sampai kembali di sekolah sekitar pukul 11 malam.

Pengalaman live in di Kopeng menjadi pengalaman yang menyenangkan dan berkesan untuk kami. Hingga setelah live in pun, beberapa dari kami masih membangun komunikasi dengan orang tua asuh di Kopeng. Kegiatan ini membuat kami bisa keluar dari zona nyaman dan mengenal cara hidup di tempat yang baru, serta belajar dari nilai-nilai baik yang dimiliki penduduk setempat.

Cas Camp Kelas 8: Belajar Peduli dan Berbagi

Oleh: Beryl Sadewa, guru SMP

Pada 17–18 Januari, Sekolah Athalia mengadakan Caring and Sharing Camp yang diikuti siswa-siswi kelas 8. Kegiatan ini bertujuan untuk menumbuhkan kesadaran siswa-siswi kelas 8 untuk mengasihi sesama (caring), menerima mereka dan rela berkorban (sharing) bagi mereka, seperti Allah juga sudah mengasihi mereka dengan mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal menggantikan mereka sehingga mereka tidak binasa dan beroleh hidup kekal.

Melalui kegiatan ini mereka diharapkan dapat mengaplikasikan Caring and Sharing kepada teman-teman mereka, lingkungan sekolah, dan orang tua. Untuk itu, ada beberapa kegiatan yang dilakukan, meliputi permainan, seminar, group sharing, dan kerja bakti di lingkungan sekolah.

Kegiatan permainan di hari pertama dirancang untuk menarik minat siswa, sekaligus sebagai sarana mereka belajar, bahwa tiap orang memiliki peran masing-masing, yang harus dijalankan dengan baik. Permainan ini dilakukan dalam kelompok, dan tiap kelompok terdapat beberapa orang dengan peran yang berbeda-beda. Tiap kelompok kemudian harus menyelesaikan misi yang diberikan kepada mereka di tiap pos yang mereka kunjungi.

Melalui seminar dan group sharing, mereka belajar untuk memahami diri sendiri dan teman-teman mereka sehingga mereka mulai belajar untuk memperhatikan kebutuhan teman-temannya, dan berusaha membantu mereka memenuhi kebutuhan tersebut. Sementara kegiatan kerja bakti di lingkungan sekolah mengajarkan mereka untuk peduli terhadap lingkungan.

Pada sesi group sharing, siswa membagikan pengalaman mereka selama mengikuti kegiatan di hari pertama. Mereka terlihat menikmati kegiatan ini, terutama saat permainan. Beberapa dari mereka terlihat terkejut ketika mereka melihat teman-teman mereka yang sehari-hari terlihat tidak terlalu menonjol dalam pergaulan, ternyata juga bisa menjalankan peran dalam kelompok dengan baik. Beberapa di antara mereka juga bahkan terkejut ketika mereka ternyata juga mampu mengerjakan tanggung jawab yang dipercayakan kepada mereka dengan baik. Mereka terlihat lebih percaya diri setelah menyadari hal tersebut.

Mereka juga membagikan pengalaman mereka, bahwa saat kegiatan, terutama saat permainan, mereka melihat banyak tindakan teman-teman mereka (terutama yang sekelompok) yang menunjukkan kepedulian kepada sesama anggota kelompok. Saat group sharing mereka juga belajar lebih memahami teman-teman mereka, kelebihan dan kekurangan mereka. Mereka juga membuat komitmen untuk lebih peduli kepada teman-temannya, terutama yang membutuhkan bantuan.

Memaknai arti keluarga
Pada hari Sabtu, anak-anak mendapatkan pengarahan mengenai makna keluarga bagi mereka. Dalam sesi seminar bersama Riggruben, mereka diajak untuk menggali alasan kenapa selama ini terjadi miskomunikasi antara mereka dan orang tua. Dengan mengetahui posisi orang tua dan berusaha memahami pola pikir orang tua, diharapkan anak-anak bisa memahami bahwa orang tua mereka pun masih terus belajar dan kasih orang tua untuk mereka tak akan pernah surut.

Di tempat lain, di saat yang bersamaan, para orang tua siswa kelas 8 dikumpulkan di Aula F untuk mendapatkan insight dari Ibu Charlotte.Orang tua diajak untuk merenungi: berapa harga anakku? Bagaimana aku memandang keberhargaan mereka?

Harga seorang anak bukan dari pencapaiannya, tetapi karena kasih Tuhan kepada mereka. Dalam sesi ini, orang tua juga diajak untuk memahami satu konsep penting, yaitu Tuhan menciptakan setiap manusia dengan tujuan tertentu—dan bersifat spesifik. Jadi, mengasihi anak perlu dilakukan secara penuh, tanpa melihat kepintaran, kemolekan wajah, dan lain sebagainya.

Di akhir sesi, anak dan orang tua dipertemukan. Mereka diharapkan melakukan rekonsiliasi, saling menyampaikan isi hati. Sesi pemberian hadiah oleh orang tua bisa dimaknai sebagai simbol kasih orang tua kepada anak—walau tidak melulu kasih dilambangkan dengan hadiah.

Harapannya, kegiatan kali ini mampu memberikan kesan mendalam untuk anak maupun orang tua, khususnya dalam hal memelihara relasi di antara mereka.

Keluarga yang Berdoa

Oleh: Ngatmiati, S.Th

Pada Senin–Selasa, 6 dan 7 Januari 2020, di Sekolah Athalia dilaksanakan retret bagi guru dan staf dengan tema “Tetaplah Berdoa” dengan dasar Firman Tuhan dari 1 Tesalonika 5:17. Tema ini dilatarbelakangi adanya kesadaran bahwa dunia pendidikan menghadapi banyak tantangan yang akan berdampak pada proses pembelajaran. Kadangkala, beratnya tantangan bisa melemahkan semangat. Oleh karena itu, dibutuhkan doa sebagai penopang dalam kehidupan pribadi dan pelayanan. Butuh kuasa Tuhan untuk terlibat karena banyak hal yang berada di luar batas kemampuan manusia. Melalui retret, guru dan staf Athalia merasa terberkati dan menikmati pengalaman baru dalam berdoa. Komitmen baru untuk lebih tekun dalam doa pun kembali diperbaharui.

Tantangan bukan hanya dihadapi oleh para guru dan staf di sekolah. Keluarga juga pasti menghadapi tantangan-tantangan yang tidak mudah. Misalnya, berkembangnya budaya yang tidak sesuai kebenaran Firman Tuhan yang bisa berdampak pada bergesernya nilai-nilai moral keluarga; kegiatan tiap anggota keluarga yang padat seperti sekolah atau bekerja sehingga waktu, perhatian, kebersamaan untuk keluarga menjadi berkurang; teknologi (sosial media, game, dan lain sebagainya) mengalihkan perhatian dari keluarga. Belum lagi masalah ekonomi, komunikasi, dan relasi antaranggota keluarga, dan lain sebagainya. Hal-hal tersebut jika tidak disikapi dengan tepat bisa berakibat buruk bagi relasi antaranggota keluarga. Banyak relasi dalam keluarga yang akhirnya retak karena berbagai persoalan yang mendera mereka.

Ada beberapa keluarga yang mungkin sudah mengerahkan segala daya upaya untuk mengatasi setiap tantangan, tetapi hasilnya belum sesuai harapan. Dalam kondisi demikian, bisa saja keluarga menjadi apatis atau kehilangan pengharapan. Keluarga butuh penopang yang kokoh supaya dimampukan bertahan ketika diterpa badai kehidupan dan lebih lagi menjadi keluarga yang memuliakan nama Tuhan. Keluarga perlu bersatu hati untuk memiliki waktu doa bersama untuk saling menopang satu dengan yang lain. Dengan berdoa, keluarga menyadari bahwa mereka memiliki keterbatasan dan datang kepada Allah yang Mahakuasa untuk berserah.

1 Samuel 1:1-3 menceritakan tentang keluarga Hana yang dari tahun ke tahun ke Silo untuk sujud menyembah dan mempersembahkan korban kepada Tuhan semesta alam. Keluarga ini begitu setia dalam beribadah kepada Tuhan. Ketika menghadapi pergumulan, Hana membawanya dalam doa. Saat itu, Hana sedang terluka hatinya oleh Penina, yang mengejek Hana yang tidak kunjung punya anak. Hana berdoa kepada Tuhan semesta alam. Hana mengakui kuasa dan otoritas yang dimiliki Tuhan. Tuhan menyatakan kuasanya dengan membuat seorang perempuan mandul bisa punya anak, tidak hanya satu orang, tetapi enam orang anak termasuk Samuel (1 Sam. 2:21).

Keluarga perlu memiliki waktu-waktu khusus untuk berdoa bersama karena melalui doa bersama keluarga, ada beberapa manfaat yang didapatkan. 1

  • Doa bersama keluarga bisa melepaskan luka-luka emosi dan saling mengampuni dengan pertolongan Tuhan dan pada akhirnya berdampak pada penyembuhan.
  • Doa bersama keluarga dapat memperkuat komunikasi dan relasi antaranggota keluarga jika dilakukan dengan tulus dan terbuka, bukan sekadar formalitas.
  • Doa bisa memberikan perlindungan terhadap anggota keluarga dari keputusan-keputusan yang salah maupun serangan-serangan si jahat yang membawa kepada dosa.
  • Doa baik untuk kesehatan anggota keluarga karena doa bisa menurunkan stres, mendorong tiap anggota keluarga menjadi pribadi yang lebih baik sehingga keluarga akan menjadi lebih sehat.
  • Doa bersama keluarga mengajarkan anak-anak sejak dini untuk mencari Tuhan terlebih dahulu.
  • Doa membantu anggota keluarga mengembangkan sudut pandang Allah jika doa dilandasi dengan kebenaran firman Tuhan. Anggota keluarga melihat bagaimana Tuhan bekerja menolong umat-Nya seperti yang tertulis di Alkitab.
  • Doa bersama keluarga akan menjadi warisan yang berharga yaitu pengalaman iman bagi anak-anak. Kelak anak-anak akan mengingat keluarganya adalah keluarga pendoa sehingga ketika dia mengalami pergumulan dia akan berdoa.

Selamat berdoa bersama keluarga.

1 Disarikan dari https://www.beliefnet.com/love-family/galleries/6-benefits-of-praying-together-as-a-family.aspx; https://www.crosswalk.com/family/parenting/kids/10-benefits-of-family-prayer-time.html

Anak Saya Ternyata Mengidap Nomofobia…

“Bu… anak saya kalau sampai rumah, langsung masuk kamar, dan sibuk sama ponselnya. Dia sampai sering telat makan dan tidur karena hal itu. Bahkan, dia pernah seharian nggak mau bicara karena ponselnya rusak, kecemplung di toilet. Apa yang harus saya lakukan, ya?”

Perilaku seperti di atas tidak dialami oleh satu-dua anak. Semakin banyak anak yang menunjukkan kecenderungan terlalu lekat dengan ponsel mereka. Waktu mereka pun dihabiskan untuk berkelana di dunia maya. Ketika mereka berada di kondisi tak bisa mengakses ponsel, mereka menjadi marah, cemas, dan bingung. Gambarannya seperti orang yang sedang sakau.

Kondisi tersebut dikenal dengan “nomofobia”, yang menurut The National Center for Biotechnology Information AS, yaitu sebuah istilah yang biasa digunakan untuk mendeskripsikan kondisi psikologis seseorang yang punya ketakutan atau kecemasan ketika “terputus” dari ponselnya. Kondisi ini berkaitan erat dengan kecanduan gadget, yang sudah dikategorikan sebagai adiksi klinis. Perbedaanya, hingga saat ini, nomofobia belum dimasukkan ke dalam DSM-V (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders) edisi ke-5.

Nomofobia disebabkan oleh kecemasan yang sudah ada sebelumnya pada diri anak. Biasanya, berkaitan erat dengan image diri, self security, dan relasi dengan keluarga. Berikut beberapa hal yang bisa menyebabkan seorang anak mengalami nomofobia.

  • Tidak percaya diri. Anak-anak yang punya citra diri yang rendah tak mampu menghadapi dunia nyatanya sehingga dia mencari kenyamanan di dunia maya (misalnya, mencari teman baru di dunia maya). Hal ini biasanya dialami anak-anak yang memiliki kemampuan sosial yang rendah, yang pada umumnya terjadi pada anak-anak introvert. Anak-anak ini nyaman dengan dunia barunya sehingga akan begitu terganggu jika terputus dari dunia tersebut.
  • Kecemasan sosial. Dikenal juga dengan istilah “FOMO” (Fear of Missing Out). Anak-anak ini merasa cemas ketika mereka ketinggalan update terbaru di media sosial. Mereka ingin menjadi orang pertama yang mengetahui update terkini. Ketidakmampuan mengakses berita terbaru bisa membuat orang merasa cemas, takut dianggap tidak up to date.
  • Kekosongan. Ketika anak merasa kesepian, dia menemukan ponsel sebagai penghibur hati. Hal ini mengingatkan kita pada teori kelekatan, di mana seorang anak akan bergantung pada sosok/benda yang membuatnya nyaman. Ketika hanya ponsel yang membuatnya nyaman, tentu dia akan terganggu ketika ia tidak bisa mengakses ponselnya.

Di Sekolah Athalia sendiri, menurut survei kecil-kecilan yang dilakukan oleh para konselor dan guru agama oleh siswa SMP dan SMA pada 2019 lalu, beberapa anak secara sadar mengetahui bahwa mereka mengalami nomofobia. Anda bisa melihatnya pada gambar berikut.

Hasil di atas, kita sadar bahwa ada lebih dari 35 persen siswa SMA dan 28 persen siswa SMP mengaku mereka mengalami kecemasan jika jauh dari ponselnya. Jumlah yang memang tidak besar, tetapi tetap harus kita tangani sesegera mungkin.

Orang tua harus membantu!

Sebagai orang tua, apa yang bisa kita lakukan? Anak dengan nomofobia biasanya memang mengalami ketergantungan pada ponselnya (adiksi). Nah, memarahi anak dan mempersalahkan adiksinya justru akan semakin menciptakan jurang besar. Anda bisa membantu anak menghilangkan ketergantungannya pada gadget dengan cara-cara berikut:

  • Mengalihkan perhatian. Mengajak anak untuk keluar makan bersama atau beraktivitas bersama untuk membuatnya lupa sejenak dengan ponselnya, misalnya rekreasi ke taman hiburan.
  • Menyodorkan hobi baru. Perhatikan minat dan bakat anak, kemudian dukung dia untuk mendalaminya. Buatlah dia sibuk dengan hal-hal yang disukainya.
  • Lakukan interaksi intens. Anak-anak yang kecanduan gadget mungkin saja merasa kesepian di rumah. Saatnya menghabiskan waktu lebih banyak untuk mengobrol dengan anak.
  • Terapi. Jika anak sudah dalam tahap kecanduan gadget sampai mengganggu rutinitas hariannya, Anda bisa mengajaknya untuk konsultasi ke psikolog agar nomofobia-nya bisa ditangani dengan tepat. Dukung anak dalam menjalani terapinya dengan memberikan contoh terlebih dahulu mengenai cara bijak menggunakan gadget.

Kiranya kita diberi hikmat dalam mendampingi anak-anak. [DLN]


Character Excellence, Jilid 2, Mengembangkan Karakter Anak, Siswa, dan Karyawan

Judul: Character Excellence
Penulis: Rizal Badudu
Penerbit: Kompas
Tahun terbit: 2019
Jumlah halaman: 308 halaman

Edisi lalu, kami merekomendasikan buku Character Excellence Jilid 1. Edisi ini, mari kita belajar lebih banyak melalui buku Character Excellence Jilid 2, Mengembangkan Karakter Anak, Siswa, dan Karyawan. Seperti buku jilid 1, penulis juga memberikan panduan membaca agar pembaca memeroleh manfaat yang efektif dari buku ini. Ada tiga bagian dalam buku ini, berisi dua bab untuk masing-masing bagian. Di bagian akhir, ditutup dengan Penutup Sua. Penulis menyarankan beberapa hal.

Jika Anda orang muda, masih sekolah/kuliah, belum menikah, belum bekerja, cukup membaca empat bab awal dan bab 5 secara parsial di buku jilid 1. Namun, jika Anda sudah menikah dan memiliki anak yang belum bersekolah, Anda disarankan melanjutkan membaca buku jilid 2 di Bagian III, yaitu bab 6 dan 7. Silakan pilih dan baca dua kualitas karakter dalam dua bab tersebut. Selanjutnya, bila Anda sudah memiliki anak yang telah bersekolah, silakan melanjutkan membaca ke Bagian IV, yaitu bab 8 dan 9. Apabila Anda bekerja di lingkungan sekolah/kampus, tetap tekuni Bagian IV, yaitu bab 8 dan 9. Yang terakhir, jika Anda sudah bekerja—apa pun profesinya—silakan baca Bagian V yaitu bab 10 dan 11.

Hampir setiap bab membahas beberapa karakter yang sama dalam seting dan sudut pandang berbeda. Jika Anda dianjurkan untuk memilih dua kualitas karakter, penulis menyarankan untuk tetap membaca karakter yang sama di bab-bab selanjutnya. Setelah itu, bagian terakhir—”Penutup Sua”—wajib dibaca.

Jika buku jilid 1 membahas pengembangan karakter pribadi, jilid 2 ini berfokus pada pengembangan area yang lebih luas—anak, siswa, dan karyawan dengan sepuluh kualitas karakter yang masing-masing pembahasan karakter diurai menjadi bagian definisi, ilustrasi, penerapan, pujian, sikap dan tindakan orangtua, dan yang paling menarik ditutup dengan kisah inspirasi yang membuat para pembaca meresapi sungguh pembahasan karakter tersebut. Sepuluh karakter yang dibahas adalah antusiasme, daya tahan, kerajinan, kerendahan hati, ketulusan, keberanian, ketaatan, ketepatan waktu, perhatian penuh, dan tanggung jawab.

Semoga, setiap karakter dalam buku ini membantu kita terus berproses untuk perkembangan pribadi, serta mengembangkan anak, siswa, rekan kerja, dan komunitas kita. Tuhan memberkati! [SO]

“Excellent Servant, History Maker “

Oleh: Accoladea Wijaya, XI MIPA 1 , Ketua OSIS 2020

Latihan Dasar Kepemimpinan (LDK) adalah sebuah kegiatan yang wajib diikuti setiap calon pengurus OSIS dengan tujuan membekali mereka dengan kemampuan dasar memimpin. Pertama kali saya mengikuti LDK 2019, dapat dibilang kekuatan fisik dan mental saya “dihajar”. Banyak peraturan yang harus ditaati, setiap tindakan harus dipertanggungjawabkan dengan konsekuensi yang cukup melatih fisik, juga pelatihan kepemimpinan yang memperkuat mental. Dengan pengalaman ini, jujur saya sudah cemas duluan sebelum mengikuti LDK tahun ini. Saya cemas dengan berbagai pertanyaan seperti, “Seberapa tegas ya komandannya nanti?”, “Konsekuensinya seberat tahun lalu tidak, ya?”, “Apakah saya bisa melewatinya?”.

Sehari sebelum LDK, kami mengikuti briefing, dan saya ingat dengan sebuah pernyataan dari pembina bahwa ketika kita memaknai LDK bukan sebagai ajang kita dimarah-marahi, tetapi lebih ke persiapan diri untuk melayani Tuhan. Jadi, LDK tidak akan terasa berat dan kita bisa menikmatinya. Betul saja, LDK tahun ini berbeda. Bertemakan “Excellent Servant, History Maker”, garis besar LDK lebih memfokuskan pada pengembangan spiritual kami masing-masing. Perbaikan gambar diri, rekonsiliasi dengan orang-orang di sekitar kami, juga pemurnian moral.

Di balik segala suka-duka mengikuti LDK, saya merasa sangat terberkati. Segala latihan mental dan fisik yang pernah saya alami dulu sangat membantu saya menjadi seseorang yang lebih sabar dan lebih kuat. Ibaratnya seperti besi yang harus ditempa dan dipanaskan dulu supaya bisa dibentuk menjadi pedang. Untuk LDK kali ini pun, saya merasa didamaikan. Gambar diri saya, yang awalnya merasa tidak percaya diri dan terlalu peduli dengan kata orang lain, diperbaiki. Saya diajarkan untuk bisa memaafkan orang lain, memperbaiki hubungan dengan orang-orang yang mungkin telah menyakiti saya. Saya diajarkan untuk merendahkan hati saya, lewat simulasi pembasuhan kaki seperti yang dilakukan Yesus kepada murid-murid-Nya. Saya diajak untuk aktif dalam melayani sesama, seperti pada saat kelompok saya ditugaskan untuk melayani saat makan siang.

LDK ini mengajarkan kami semua maksud sebenarnya dari seorang servant leader. Dengan tingkah laku seorang pemimpin yang disiplin dan tegas, bersama dengan kerendahan hati seorang pelayan. Kami telah dipersiapkan untuk menjadi pemimpin diri kami sendiri, pemimpin teman-teman kami, sebagai hamba Tuhan, untuk melayani-Nya dan sesama. Sebagai seorang excellent servant, menjadi history maker.


Bahasa Ibu, Jendela Bangsa

Oleh: Lidia Kurniasari, Guru Bahasa Indonesia SMA

Sebagai makhluk sosial yang selalu hidup berdampingan satu dengan yang lain, manusia membutuhkan kemampuan untuk berinteraksi dan bersosialisasi. Kemampuan ini perlu dikuasai untuk memperkecil kesalahpahaman antarpelaku percakapan. Instrumen yang bisa membantu manusia untuk berinteraksi, yaitu bahasa. Sebagai alat komunikasi, bahasa memiliki peranan yang sangat penting. Kemampuan berbahasa yang baik dapat semakin meningkatkan kualitas interaksi seseorang.

Konsep komunikasi dapat dilakukan di lingkungan seseorang dilahirkan, tempat utama dan pertamanya adalah keluarga. Keluarga atau orang tua sangat berperan penting dalam proses pemerolehan bahasa pada anak, yang biasanya disebut bahasa ibu. Mother tongue atau first language adalah bahasa pertama yang dikuasai oleh manusia sejak lahir melalui interaksi sesama anggota masyarakat tempatnya dilahirkan. Proses pembentukan bahasa pertama pada anak terjadi dengan cara mendengar komunikasi yang terjadi antara orang tuanya dan orang sekitarnya. Bahasa-bahasa itu akan masuk ke dalam “gudang bahasa” seorang anak, kemudian seiring dengan berjalannya waktu akan dipahami dan diterbitkan menjadi kalimat-kalimat.

Kepandaian seseorang dalam menguasai bahasa ibu sangat penting untuk proses belajar berikutnya karena bahasa dianggap sebagai dasar cara berpikir. Orang tua perlu menyadari pentingnya pemakaian bahasa ibu dalam pembentukan karakter anak saat memasuki lingkungan masyarakat yang lebih luas. Beberapa hal yang perlu diperhatikan, yaitu orang yang berbicara dan diajak bicara, tempat terjadinya proses interaksi, waktu berlangsungnya proses interaksi, topik pembicaraan, dan bahasa yang digunakan. Oleh karena itu, orang tua diharapkan dapat mengambil peran penting dalam memperkenalkan bahasa ibu kepada anaknya.
Anak zaman sekarang lebih banyak menghabiskan waktu bersama dengan teman sebaya atau “hidup” di dunia media sosial. Anak lebih tertarik belajar bahasa asing karena stigma yang terbentuk bahwa menguasai bahasa asing dapat mempermudah mereka memiliki koneksi yang lebih luas dan karier yang lebih menjanjikan. Orang tua atau pendidik tidak bisa menyalahkan konsep tersebut, tetapi hal yang perlu ditanamkan kepada mereka adalah tanggung jawab mempertahankan atau melestarikan bahasa ibu. Bahasa adalah jendela untuk memandang realitas kehidupan. Setiap bangsa memiliki cara pandangnya sendiri dalam menyikapi realitas. Hilangnya bahasa dapat menghilangkan cara pandang, etika bangsa, nilai, dan norma. Orang tua memiliki peran besar untuk memberi anak-anaknya hak mempelajari beragam bahasa, tetapi dengan tetap memberikan tanggung jawab untuk memaknai nilai, norma, dan budaya Indonesia melalui bahasa ibu.

Sekolah Athalia sebagai sekolah Kristen yang ingin membentuk karakter siswa agar lebih baik, dapat menjadi wadah yang tepat untuk melestarikan bahasa ibu. Kesadaran orang tua dan guru sangat diperlukan untuk memulai pemaksimalan penggunaan bahasa ibu di lingkungan rumah dan sekolah. Mari kita memberikan contoh yang baik bagi anak-anak dan membukakan pintu cara pandang bangsa.

“Utamakan Bahasa Indonesia, Lestarikan Bahasa Daerah, Pelajari Bahasa Asing.”

Slogan yang diungkapkan oleh Pemerintah tersebut memberikan penguatan pengertian bahwa bahasa Indonesia dan bahasa daerah sebagai bahasa ibu harus diutamakan dan dilestarikan. Memberikan ruang bagi siswa untuk mengenal jati diri bangsa melalui pemakaian bahasa ibu.


Character Excellence, Jilid 1, Mengembangkan Karakter Pribadi

Judul : Character Excellence
Penulis : Rizal Badudu
Penerbit : Penerbit Buku Kompas
Tahun terbit : 2019
Jumlah halaman: 228 halaman

Rizal Badudu, seorang konsultan di bidang peningkatan kualitas pelayanan dan pengembangan karakter, menerbitkan dua buku bertema karakter. Buku ini merupakan salah satu dari trilogi “Excellence”. Buku ini hadir dengan bundle manis dengan buku lainnya, yaitu Character Excellence, Mengembangkan Karakter Anak, Siswa, dan Karyawan.

Kali ini, kami akan membahas salah satu bukunya, yaitu Character Excellence, Mengembangkan Karakter Pribadi, dari judulnya terlihat jelas bahwa buku ini menekankan pada pengembangan karakter pribadi.

Rizal Badudu menyertakan panduan istimewa untuk para pembaca yang ingin mengembangkan beberapa karakter untuk self development. Karakter yang menjadi fokus di buku ini, yaitu antusiasme, daya tahan, kerajinan, kerendahan hati, ketulusan, keberanian, ketaatan, ketepatan waktu, perhatian penuh, dan tanggung jawab.

Dalam buku ini, Rizal Badudu juga memberikan penekanan pada korelasi antara mengelola diri dengan mengelola relasi. Menurutnya, ada hubungan timbal balik antara kedua hal tersebut. Jika kita mampu mengelola diri dengan baik, dengan sendirinya relasi kita dengan orang lain akan terjalin dengan baik. Begitu juga sebaliknya, jika kita bisa mengelola relasi dengan baik, akan berpengaruh positif pada pribadi kita.

Buku ini bisa menjadi bacaan bermakna bagi siapa saja yang ingin mengenal diri lebih baik lagi dan mengembangkan karakter-karakter positif sebagai bekal mengasuh anak (orang tua) dan mendidik siswa (guru). (SO)

Anak (Bukanlah) Sumber Kebanggaan!

Beberapa orang tua dikumpulkan. Masing-masing ditanyai: “Berapa nilai anak Anda?”

Ada yang menilai anaknya 6, 7, 8. Namun, tak ada yang merasa anaknya pantas mendapatkan nilai 10. Alasannya, beragam. Ada yang karena susah makan, tidak suka sayur, cengeng, jorok, tidak mau mendengarkan orang tua, dan lain sebagainya. Tanpa sadar, kita menilai anak bukan karena dirinya, tetapi karena harapan-harapan kita terhadap mereka tak terpenuhi.

Ketika anak kita lahir ke dunia, Tuhan sudah menetapkan rencana-Nya atas anak kita. Pada perkembangannya, anak kita akan menunjukkan kelebihan dan kelemahannya. Ada anak yang sangat aktif dan kerap bergerak ke sana-kemari. Ada anak yang lebih suka duduk tenang berjam-jam membaca buku favoritnya. Ada anak yang selalu ingin tahu dan memegang barang apa pun yang menarik perhatiannya. Anak-anak ini memiliki keunikannya sendiri, yang sudah “dilukiskan” Tuhan sesuai rencana-Nya untuk tiap anak.

Inilah yang sering dilupakan oleh orang tua. Sejak anak di dalam kandungan, orang tua mulai membangun harapan-harapan. Ketika anak lahir dan bertumbuh, harapan orang tua semakin besar. Pencapaian anak harus sesuai standar orang tua. Prestasi anak menjadi kebanggaan orang tua. Lalu, bagaimana jika anak tak pernah mencapai prestasi? Apakah orang tuanya akan tetap bangga kepadanya?

Dalam seminar parenting yang diadakan untuk orang tua siswa Athalia kelas kecil (1–3), Ibu Charlotte kembali menegaskan bahwa orang tua boleh memiliki ekspektasi, tetapi harus sesuai dengan kemampuan anak. Orang tua perlu memahami bahwa sangat perlu menerima anak apa adanya, bukan ada apanya. Sangat perlu mengetahui potensi anak dan mengembangkan potensi-potensi tersebut, dan menerima dengan lapang dada segala kelemahan-kelemahan anak.

Kebanggaan kepada anak sudah selayaknya ada di hati tiap orang tua, bagaimana pun kondisi anak kita. Layaknya kasih yang kita berikan adalah kasih yang tanpa syara agar dalam perjalanan hidupnya, anak bisa jujur kepada diri sendiri dan tumbuh menjadi seorang dewasa yang memiliki jati diri yang kuat. (dln)

Di Balik Layar Perayaan Teacher’s Day 2019

Sylvia Radjawane (orang tua siswa)

Perayaan Teacher’s Day Sekolah Athalia dilaksanakan pada 11 Desember 2019. Tema yang diusung kali ini adalah Your Sacrifices Don’t Go Unnoticed, Pengorbananmu Tak Akan Terlupakan. Melalui acara tahunan ini, komunitas orang tua dan siswa ingin menyampaikan rasa hormat, terima kasih, dan penghargaan tertinggi bagi guru dan staf Sekolah Athalia. Ada dua catatan menarik dari persiapan acara ini.

Rundown acara yang mengalir
Saat memikirkan konsep acara, yang teringat adalah sosok guru sebagai pahlawan yang identik dengan pengorbanan, sesuatu yang dengan sadar dilakukan untuk kepentingan banyak orang.

Berangkat dari pengertian itu, panitia mencoba meramu konsep tentang pengorbanan seorang guru dalam balutan acara tiga segmen, yaitu Movie, Narration and Role-playing, Flash Mob, diakhiri segmen Gratitude.

Sosok “pahlawan” yang bisa mewakili konsep acara yang panitia inginkan ternyata ada pada sosok Prajurit Desmond Doss yang kisah heroiknya diangkat dalam film Hacksaw Ridge (dirilis pada 2016). Kutipan doanya yang luar biasa, “Tuhan, kumohon, bantu aku menolong satu orang lagi” mengilhami kami yang segera mengasosiasikannya dengan figur seorang guru.

Flash Mob menjadi ajang bergembira bersama guru, staf Athalia, dan para undangan lewat gerakan ritmik bersama yang menghibur. Rangkaian acara diakhiri dengan segmen Gratitude, kesempatan untuk menyampaikan terima kasih secara langsung kepada para guru dan staf lintas angkatan di sekolah Athalia.

Panitia juga sengaja mempersiapkan sambutan standing ovation untuk para undangan istimewa yang memasuki Aula F, dengan berdiri dan bertepuk tangan sebagai tanda “We welcome you with honor and respect”. Kami ingin menunjukkan penghargaan kami secara harfiah kepada mereka.

Konsep acara mengalir ini diharapkan dapat menghemat durasi acara sekaligus tidak menghilangkan atmosfer atas rangkaian pesan yang ingin disampaikan.

Indahnya berkolaborasi
Dengan konsep acara trilogi seperti itu, panitia membutuhkan banyak sumber daya manusia untuk mewujudkannya. Tidak saja dari segi jumlah, tetapi juga jenis potensi dan keterampilan tersendiri untuk berkontribusi dalam melaksanakan konsep ini.

Mobilisasi para calon pengisi acara di tengah kesibukan Penilaian Akhir Sekolah (PAS) bukanlah hal yang mudah. Bersyukur pada akhirnya panitia mendapatkan kolaborasi yang terbentuk dengan apik.

Para murid SMP Athalia berkutat dengan konsep dan pembuatan dekorasi. Mereka bahkan menggunakan waktu liburnya untuk berada di sekolah mengerjakan agenda ini. Para murid SMA Athalia melakukan pendekatan yang teratur untuk mengumpulkan siswa-siswi yang akan banyak berperan di acara utama. Di tengah padatnya kegiatan di sekolah, mereka rela berlatih acting layaknya untuk film perang.

Komunitas orang tua juga ikut berperan dalam persiapan acara. Para orang tua yang terbiasa berlatih line dance, bersama dengan CPR dan CC, terlibat aktif dalam Flash Mob. Konsep narasi yang mengiringi pemutaran film multimedia dan segmen Gratitude disusun oleh Athalia Book Club.

Pada akhirnya, kami bersyukur karena ada kesempatan sangat baik untuk bisa berterima kasih kepada para guru dan staf Athalia melalui persembahan acara spesial untuk mereka.

Seperti yang diungkapkan oleh Wakil Ketua APC dalam sambutannya, “Sesering apa pun kami mengucapkannya, tidak akan pernah cukup rasa terima kasih kami. Tapi kami pun tidak akan lewatkan untuk mengutarakannya setiap kali ada kesempatan”. Acara Teacher’s Day inilah salah satu kesempatan itu.

Selamat Hari Guru, Pelita Bangsa Sekolah Athalia!

Your sacrifices don’t go unnoticed, for sure

Panitia TD 2019