Pesta Siaga Kelas III dan IV

Kegiatan tahunan pramuka untuk siswa-siswi strata Siaga yaitu Pesta Siaga kali ini diselenggarakan pada Rabu, 9 Mei 2018. Tujuan dari kegiatan kepanduan Pramuka Pesta Siaga ini adalah:

1. Sebagai sarana pembinaan mental dan spiritual.
2. Membina dan mengembangkan penghayatan Dasadarma Pramuka.
3. Menumbuhkembangkan sifat kejujuran, keadilan, serta kerelaan berkorban.
4. Memupuk persaudaraan dan persatuan.

pesta_siagapesta_siagapesta_siagapesta_siagapesta_siagapesta_siagapesta_siagapesta_siagapesta_siagapesta_siagapesta_siagapesta_siagapesta_siagapesta_siagapesta_siagapesta_siagapesta_siagapesta_siagapesta_siaga pesta_siagapesta_siagapesta_siagapesta_siaga

Fieldtrip Kelas III SD Athalia ke Mekar Sari

Di hari Rabu, 28 Maret 2018, selain siswa kelas II SD Athalia yang melakukan field trip, siswa kelas III juga pergi field trip. Bedanya kalau kelas II tujuannya adalah Museum Layang-Layang sedangkan untuk kelas III, mereka belajar dan berkunjung ke taman buah Mekar Sari yang berlokasi di Jalan Raya Cileungsi, Jonggol KM. 3, Mekarsari, Cileungsi, Bogor, Jawa Barat. Tujuan dari kegiana field trip ke Mekar Sari ini adalah mengembangkan pengetahuan siswa dengan melihat dan mempraktekkan langsung cara menanam padi, menangkap ikan, mengembangkan keterampilan menari serta seni menggambar motif pada caping. Dengan kegiatan ini diharapkan siswa dapat membangun karakter jujur dengan berinteraksi dengan teman, guru, dan orang lain.

field_trip_mekar_sarifield_trip_mekar_sarifield_trip_mekar_sarifield_trip_mekar_sarifield_trip_mekar_sari field_trip_mekar_sarifield_trip_mekar_sarifield_trip_mekar_sari

Field trip Kelas II SD Athalia ke Museum Layang-layang

Rabu, 28 Maret 2018, adalah hari yang ditunggu oleh siswa-siswi kelas II SD Athalia, karena di hari itu mereka akan belajar di luar sekolah tepatnya ke Museum Layang-Layang. Di tempat yang berlokasi di Jl. H. Kamang No. 38, Pondok Labu, Jakarta Selatan tersebut mereka belajar banyak hal seputar kerajinan layang-layang. Program field trip ini diselenggarakan dengan tujuan untuk mengembangkan pengetahuan siswa tentang sejarah layang-layang dan mempraktekkan langsung membuat layang-layang. Selain itu mereka juga belajar caranya menyablon kaos. Melalui kegiatan ini diharapkan juga setiap siswa dapat membangun karakter rajin dalam berinteraksi dengan teman, guru, dan orang lain.

 filed_trip_museum_layang_layang filed_trip_museum_layang_layang filed_trip_museum_layang_layang filed_trip_museum_layang_layang filed_trip_museum_layang_layang filed_trip_museum_layang_layang filed_trip_museum_layang_layang

Berlibur Bersama

“happy times come and go, but the memories stays forever

“Aku butuh piknik, butuh refreshing” atau “Aku kurang piknik, kurang jalan-jalan”. Seringkali kalimat itu diucapkan ketika orang mulai merasa lelah dan jenuh dengan rutinitas yang dijalaninya. Hal lain yang juga dirasakan adalah merasa mudah lelah, mudah tersinggung, menjadi lebih sensitif terhadap orang lain, mulai tidak nyambung jika diajak bicara atau mulai sulit berpikir. Keinginan untuk piknik, refreshing, jalan-jalan adalah hal-hal yang mewakili pandangan kebanyakan orang yang berpendapat bahwa liburan itu dibutuhkan untuk penyeimbang hidup, dan untuk mencari kesegaran kembali. Adakah diantara orang yang tidak menyukai liburan? Mungkin ada, tetapi pada umumnya orang menyukai hal-hal yang mendatangkan hiburan baginya, orang mencari kesenangan, mencari kesegaran. Berlibur adalah salah satu jawabannya.
Apakah liburan bermanfaat? Tentu, selain kenyataan bahwa liburan juga memberi dampak. Salah satu kegiatan untuk mengisi liburan adalah berlibur bersama keluarga. Meluangkan waktu dan dana untuk berlibur bersama keluarga dapat menjadi sebuah sarana untuk menciptakan ikatan/bonding di antara anggota keluarga. Liburan keluarga adalah saat dimana tidak hanya orang tua tetapi juga anak, menyediakan waktu bersama, mengisinya dengan berbagai aktivitas yang disenangi bersama, dan membangun relasi yang telah terabaikan oleh karena berbagai kesibukan sehari-hari. Memori yang berkesan dan menyenangkan dalam relasi sebuah keluarga, adalah modal berharga dalam jiwa seseorang dan juga merupakan modal bagi terbangunnya sebuah kepuasan dalam relasi. Oleh karena itu, mengisi liburan khususnya liburan bersama keluarga perlu direncanakan dengan baik agar menjadi liburan yang bermanfaat, meninggalkan kesan di hati setiap anggota keluarga, dan penuh makna.
Membangun relasi di tengah keluarga, dapat diibaratkan seperti sebuah tanaman yang dalam pertumbuhannya membutuhkan air yang cukup, sinar matahari yang cukup, dan nutrisi yang baik. Demikian pula anggota keluarga, membutuhkan hal-hal baik yang menolongnya untuk dapat bertumbuh: aspek spiritual, karakter, moral, kognitif dan lain sebagainya perlu menjadi perhatian. Dan untuk dapat bertumbuh dengan baik, manusia membutuhkan lingkungan yang kondusif. Kondisi keluarga yang kondusif bagi pertumbuhan itu ternyata tidak terjadi begitu saja melainkan membutuhkan kesengajaan dan perlu dirancang. Memanfaatkan liburan adalah salah satu sarananya. Masa dimana masing-masing anggota keluarga dapat menikmati kehadiran anggota yang lain, masing-masing merasa dicintai dan mencintai atau dapat dikatakan bahwa tangki emosi setiap anggota keluarga terisi penuh, dipenuhi dengan perasaan-perasaan yang positif, dan membuat atmosfer di dalam keluarga menjadi kondusif, tercipta bonding/ ikatan yang dalam.
Untuk tujuan itulah, maka mengisi liburan perlu dibicarakan dan direncanakan. Liburan yang menyenangkan itu bukan tergantung jauhnya tempat liburan, serunya tempat liburan atau fasilitas di tempat liburan namun bagaimana cara kita dalam mengisinya. Destinasi liburan dapat disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi keuangan kita. Kita dapat memulainya dengan membicarakan rencana liburan bersama-sama seluruh anggota keluarga, melalui obrolan ini selain belajar bermusyawarah juga membuat kita mengenali selera dan kesukaan anggota yang lain, belajar empati karena masing-masing tidak hanya memikirkan kesenangannya sendiri dan lain sebagainya. Usahakanlah untuk merancang kegiatan yang dapat dilakukan bersama, kegiatan yang membutuhkan interaksi diantara anggota keluarga dan dapat dinikmati, misalnya bersepeda bersama, bermain di pantai bersama, memasak bersama, bermain “board game” seperti halma, ludo, monopoli, dan lain-lain, mengunjungi tempat wisata seperti gunung, air terjun, danau, pantai, dan sebagainya.
Bersama berlibur berbeda dengan berlibur bersama. Jika masing-masing hanya melakukan kesenangan masing-masing meskipun di tempat yang sama, hal ini tidak menumbuhkan sebuah ikatan relasi yang didambakan, misal sebuah keluarga liburan pergi ke mall bersama-sama, namun masing-masing melakukan kegiatan favoritnya sendiri seperti ayah duduk di kedai kopi, ibu shopping dan anak-anak bermain di arena bermain. Ini adalah bersama berlibur. Tetapi berlibur bersama, mendatangkan kepuasan yang dirasakan bersama, hasil dari relasi yang terbangun selama liburan, dan relasi itu akan melekat, bukan hanya menjadi sekedar memori namun menjadi sebuah modal bagi jiwa kita untuk bertumbuh. Selamat menikmati liburan. Tuhan menyertai kita.

Building The Nation By Building Your Children

artikel parenting
Oleh: Beryl Sadewa Lumenta, guru SMP

 

Negara adalah struktur sosial terbesar dalam suatu bangsa. Negara tersusun dari unit-unit sosial lain yang lebih kecil yang saling mempengaruhi dalam hubungan yang kompleks. Unit sosial terkecil itu adalah keluarga. Kalau negara digambarkan sebagai sebuah rumah, maka batu pondasinya, ubin pada lantainya, batu bata pada dindingnya, dan genteng pada atapnya adalah penggambaran dari kumpulan keluarga.

Peran keluarga yang sangat penting, dalam unit sosial terkecil inilah, generasi penerus bangsa muncul, tumbuh, dan berkembang. Kuat lemahnya mereka, sangat tergantung pada kondisi keluarga tempat mereka tumbuh dan berkembang. Masa depan bangsa tergantung pada generasi mudanya. Jika generasi muda kuat, maka akan kokoh pulalah bangsa itu, namun jika mereka lemah, akan rapuhlah bangsa itu. Dengan kata lain, keluarga yang sehat, akan menghasilkan generasi muda yang kuat, dan pada gilirannya akan menghasilkan bangsa yang kokoh.

Banyak di antara kita para orang tua, yang mungkin kurang menyadari pengaruh keberadaan keluarga kita bagi perkembangan bangsa, khususnya bangsa Indonesia. Kita mengakui bahwa seorang duta besar yang bertugas di luar negeri dikatakan sedang menjalankan tugas negara. Begitu pula seorang tentara yang diutus ke perbatasan untuk memperkuat pertahanan. Demikian juga sama halnya dengan seorang dokter yang diutus ke pedalaman Papua untuk mengatasi masalah gizi buruk dan wabah campak. Bagaimana dengan peran kita sebagai orang tua? Kita mungkin bukan duta besar, tentara atau dokter, tapi kita juga sedang menjalankan tugas negara yang tidak kalah pentingnya dengan mereka, kita sedang mendidik generasi muda penerus bangsa.

Mungkin ada yang berpikir bahwa pendidikan anak adalah tanggung jawab guru dan sekolah. Kalau demikian adanya, saya terpaksa harus mengatakan bahwa pernyataan itu salah. Guru dan sekolah TIDAK pernah dimaksudkan untuk menggantikan peran orang tua dan keluarga. Guru dan sekolah adalah rekan sekerja orang tua dan keluarga dalam mendidik anak. Seperti yang tertulis dalam Ulangan 6, bahwa orang tua diberikan mandat untuk mendidik anak-anak mereka.

Ada tiga aspek dasar dalam pendidikan: aspek kognitif atau pengetahuan, aspek afektif atau sikap/karakter, dan aspek psikomotor atau keterampilan. Mungkin tidak semua orang tua memiliki pengetahuan atau keterampilan yang diperlukan oleh anak untuk dipelajari, dalam hal inilah guru dan institusi sekolah berperan. Dalam pembentukan karakter anak, orang tua dan guru sama-sama berperan dalam membentuk karakter anak. Meskipun demikian, Tuhan memberikan tanggung jawab pendidikan atau pembentukan karakter anak kepada orang tua.

Ulangan 6:7 mengatakan : “… haruslah engkau mengajarkannya berulang-ulang kepada anak-anakmu dan membicarakannya apabila engkau duduk di rumahmu, apabila engkau sedang dalam perjalanan, apabila engkau berbaring dan apabila engkau bangun.” Ada dua implikasi dari ayat tersebut. Yang pertama adalah bahwa pendidikan (karakter) tidak dapat dilakukan sesekali (apalagi hanya sekali saja) melainkan harus terus-menerus. Yang kedua, pendidikan karakter terhadap anak hanya efektif bila dilakukan dengan cara “bergaul akrab” dengan anak.
Cara terbaik dalam memberikan pendidikan karakter bagi anak adalah dengan menjadi teladan bagi mereka sebab telinga anak mungkin tertutup terhadap nasihat, tetapi matanya selalu terbuka melihat teladan. Dan cara apakah yang lebih baik bagi orang tua dalam memberikan teladan bagi anak-anaknya selain dengan bergaul akrab dengan mereka? Tuhan Yesus tinggal dengan murid-murid-Nya supaya Ia dapat bergaul akrab dengan mereka. Murid-murid Tuhan Yesus setiap hari selalu melihat teladan dari Sang Guru. Di sini tampak jelas bahwa peran orang tua tidak tergantikan oleh guru. Guru tidak mungkin bersama-sama dengan anak setiap hari, sedangkan orang tua tinggal bersama anak.

Walaupun demikian, ada perbedaan besar antara berada di tengah anak-anak, dengan hadir di tengah-tengah mereka. Kita bisa saja berada bersama-sama dengan anak-anak kita, namun mereka tidak merasakan kehadiran kita. Keberadaan kita bisa mereka rasakan kalau ada interaksi antara kita dengan mereka. Pelajaran-pelajaran paling berharga bisa anak-anak kita dapatkan pada saat kita sedang beraktivitas bersama mereka. Momen-momen penting dapat muncul tiba-tiba, kesempatan baik bagi kita untuk menyampaikan nilai-nilai moral kepada anak-anak kita.

Ketika kita membangun karakter anak-anak kita, kita sedang mempersiapkan anak-anak kita menghadapi masa depannya; dan masa depan anak-anak kita adalah masa depan bangsa dan negara kita. Kita sebagai orang tua mengambil bagian yang sangat penting dalam membangun bangsa kita. Bahkan mungkin kita mempunyai peran yang lebih besar dari yang kita bayangkan; karena pemimpin bangsa kita di masa depan bisa jadi salah satu dari anak-anak kita.

Peringatan Hari Kartini SD Athalia

Setiap tahun, peringatan Hari Kartini dirayakan oleh siswa dan siswi SD Athalia. Tahun ini perayaan diselenggarakan pada hari Jumat, 20 April 2018 bertempat di lapangan belakang SD Athalia dan berlanjut dengan lomba fashion show yang diadakan di aula gedung A Sekolah Athalia. Tujuan diselenggarakannya acara ini adalah untuk memupuk rasa kebangsaan dan rasa cinta tanah air dengan menggunakan pakaian daerah dan pakaian profesi serta mengembangkan potensi siswa dalam lomba Fashion Show.

perayaan Hari Kartiniperayaan Hari Kartiniperayaan Hari Kartiniperayaan Hari Kartiniperayaan Hari Kartiniperayaan Hari Kartiniperayaan Hari Kartiniperayaan Hari Kartiniperayaan Hari Kartiniperayaan Hari Kartiniperayaan Hari Kartiniperayaan Hari Kartiniperayaan Hari Kartiniperayaan Hari Kartiniperayaan Hari Kartiniperayaan Hari Kartiniperayaan Hari Kartiniperayaan Hari Kartiniperayaan Hari Kartiniperayaan Hari Kartiniperayaan Hari Kartiniperayaan Hari Kartiniperayaan Hari Kartini

 

Beda Tapi Berguna

beda tp berguna
Oleh: Corrina Anggasurjana, koordinator bidang studi IPS

 

Pada 21 April 1879 di Jepara lahirlah Raden Ajeng (Ayu) Kartini dari pasangan seorang bangsawan Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, bupati Jepara dan seorang rakyat biasa Mas Ajeng Ngasirah. Aturan masa itu mengharuskan seorang bangsawan mempunyai isteri bangsawan pula, sehingga Kartini memiliki ibu tiri, seorang bangsawan keturunan Raja Madura, yaitu Raden Adjeng Woerjan. Sebagai seorang bangsawan, Kartini berhak memperoleh pendidikan di ELS (Europeesche Lagere School), walau hanya sampai usia 12 tahun karena menurut adat kebiasaan saat itu, anak perempuan harus tinggal di rumah untuk dipingit. Dimulailah masa-masa yang penuh penderitaan karena seakan terputus dengan dunia luar … penjara saya adalah rumah dan halaman kami, namun bila kami harus selalu tinggal di situ, sesak juga rasanya. Saya teringat karena putus asa yang tidak terhingga berulang kali saya mengempaskan badan pada pintu yang selalu tertutup dan pada dinding batu dingin itu …. Walau demikian, masih ada manfaat yang dapat diperolehnya, yaitu kemampuan berbahasa Belandanya semakin berkembang karena Kartini aktif mengadakan surat menyurat dengan beberapa sahabat pena di Belanda.

Masa pingitan semakin menggelorakan semangat Kartini untuk membaca … berpengetahuan … kehausan akan pendidikan seperti tak terpuaskan. Rupanya sudah jadi warisan keluarga semangat untuk berpendidikan karena kakek Kartini, Pangeran Ario Tjondronegoro IV, yang menjadi bupati Demak pada masanya sudah memberikan pendidikan kepada anak-anaknya dengan mendatangkan guru ke rumah, tindakan yang tidak mudah dipahami karena tidak biasa. … Hanya orang yang mempunyai wawasan cukup dapat memilih seorang guru yang tepat, karena di masa itu orang-orang Belanda yang menawarkan diri menjadi guru rumah kebanyakan hanyalah sampah-sampah sosial yang terbuang dari Nederland …. Beberapa tahun sebelum meninggal, kakeknya memberi wejangan kepada putera-puterinya: “Anak-anak, tanpa pengajaran kelak tuan-tuan tiada akan merasai kebahagiaan, tanpa pengajaran tuan-tuan akan semakin memundurkan keturunan kita; ingat-ingat kata-kataku ini.” Hasil pendidikan, kemampuan menulis, dan keberanian menyatakan pendapat dicontohkan juga oleh paman-pamannya. Pangeran Ario Hadiningrat, paman Kartini, menulis tentang Sebab-sebab Kemunduran Prestise Amtenar Pribumi serta Bagaimana Jalan untuk Meningkatkannya Kembali. Paman lainnya, Raden Mas Adipati Ario Tjondronegoro, menerbitkan buku tentang Kesalahan-kesalahan dalam Mengarang dalam Basa Jawa, Pengelanaan di Jawa, serta beberapa tulisannya dalam bahasa Belanda diterbitkan juga oleh majalah Bijdragen voor het Koninklijk Instituut voor de Taal, Land-en Volkenkunde voor Nederlandsch Indië. Bahkan ayahnya pun, menulis dalam bahasa Belanda tentang protes kepada pemerintah Hindia Belanda atas diskriminasi pendidikan.

Kartini sendiri dikenal sebagai seorang penulis yang tulisan-tulisannya dimuat dalam De Hollandsche Lelie, majalah perempuan berpendidikan tinggi di Belanda dan didukung dengan terbitnya sebuah foto di surat kabar De Warheid tentang kongres Women’s International Democratic Federation yang menunjukkan wajah Kartini terpasang di belakang podium. Keterkenalannya itu dimanfaatkan oleh kelompok Gerwani yang mengangkat Kartini tidak hanya sebagai pejuang hak perempuan di bidang pendidikan, tapi juga pejuang anti-feodalisme dan anti-kolonialisme, juga pada edisi 25 April 1964 koran Harian Rakyat, yang dipimpin oleh Njoto, memberitakan perayaan Hari Kartini di Moskow, Bukares, Praha, dan Kuba.

Kartini bahkan menjadi alat politisasi pemerintah Belanda yang ingin menunjukkan pada Inggris bahwa Belanda pun memperhatikan kesejahteraan dan pendidikan kaum bumi putera. Surat-suratnya yang setelah diseleksi oleh J.H. Abendanon, dibukukan dengan judul “Door Duisternis Tot Licht” lalu diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa sehingga menginspirasi perjuangan kaum perempuan di berbagai negara. Salah satu hasilnya adalah di Belanda dibentuk Fonds Kartini (Yayasan Kartini), yang mengumpulkan dana untuk membangun sekolah-sekolah di Nusantara. Bahkan Ratu Belanda ikut berdonasi ke yayasan tersebut, walau sekolah-sekolah Kartini baru terwujud setelah diurus oleh Van Deventer.

Jadi, mengapa Hari Kartini terus diperingati dan dihubungkan dengan emansipasi kaum perempuan? Emansipasi yang dimaksud Kartini tercermin dalam suratnya: Kami memohon dengan sangat supaya di sini diusahakan pengajaran dan pendidikan bagi anak-anak perempuan. Bukanlah karena kami hendak menjadikan anak-anak perempuan menjadi saingan orang laki-laki, melainkan karena kami yakin akan pengaruh besar yang mungkin datang dari kaum perempuan. Kami hendak menjadikan perempuan menjadi lebih cakap dalam melakukan tugas besar yang diletakkan oleh ibu Alam sendiri ke dalam tangannya agar menjadi ibu yang menjadi pendidik anak-anak mereka. Bukankah pada mulanya dari kaum perempuan juga manusia memperoleh pendidikannya. (Surat kepada Prof. Dr. G.K. Anton dan Nyonya – 4 Oktober 1902). Ternyata, Hari Kartini layak diperingati karena menjadi pengingat pada perjuangan untuk mempersiapkan perempuan-perempuan yang siap menjadi pengajar yang cakap bagi generasi berikutnya. Kesadaran ini bukan hanya untuk para perempuan tapi kaum laki-laki juga karena ikut berperan dalam menyiapkan perempuan-perempuan seperti yang dimaksud, entah sebagai ayah, kakak, teman, atau pun guru.

Nilai-nilai yang dapat dipelajari:
a. Keluarga berperan besar menumbuhkan semangat belajar dan berpengetahuan pada anak-anak.
b. Mengapa hanya Kartini – di antara anak-anak ayahnya, bahkan di antara ratusan perempuan masa itu – yang tergugah untuk “memberontak” pada tekanan adat masa itu? Keunikan itu bisa jadi anugerah yang harus dikembangkan untuk berperan bagi masyarakat – membuka pikiran/wawasan tentang sesuatu. Jadi, kalau punya suatu keistimewaan, kembangkan! Pasti ada maksudnya ketika TUhan mengaruniakan keunikan atau keistimewaan itu (bandingkan kisah Ratu Ester).

Mengenali “Panggilan” Anak

Oleh: Tri Ananda, Kabag SDM Sekolah Athalia

parenting, mengenali panggilan anak

“Apa sih yang kau tahu?”, sebuah kalimat yang mungkin pernah kita sebagai orang tua atau guru perkatakan kepada anak atau siswa kita. Kalimat yang dikatakan bisa secara langsung ataupun hanya dalam hati. Perkataan tersebut biasanya muncul karena sebuah pemahaman bahwa sebagai orang yang lebih dewasa, orang tua atau guru sudah mempunyai “banyak” pengalaman hidup. Pengalaman hidup yang membuat orang dewasa dapat merasa sudah banyak tahu, dan mempunyai pra-anggapan bahwa anak atau siswa tidak “banyak” mengerti atau kurang berpengalaman.
Saat anak atau siswa kita masih kecil, pra-anggapan itu diterima oleh anak tanpa perlawanan. Tetapi ketika anak beranjak remaja, maka ada tuntutan adanya pembuktian atas pra-anggapan tersebut. Jika orang tua tidak mampu membuktikan pra-anggapannya maka yang terjadi adalah pertentangan bahkan mungkin pemberontakan. Apakah pertentangan atau pemberontakan ini harus terjadi? Hal tersebut bisa tidak terjadi. Dengan cara menghilangkan pra-anggapan atau sikap “underestimate” terhadap anak. Sebaliknya, mengembangkan sikap “trust” kepada anak. Bukankah akan lebih tentram apabila relasi kita sebagai orang tua/guru dengan anak bisa berjalan dengan baik? Bagaimana caranya?
Rasul Paulus memberikan nasihatnya dalam bentuk “penguatan” dan “kepercayaan” kepada Timotius sebagai generasi yang lebih muda dalam melakukan tugas panggilannya, untuk: “Beritakanlah dan ajarkanlah semuanya itu. Jangan seorang pun menganggap engkau rendah karena engkau muda…” (1 Timotius 4: 11 – 12). Dalam lanjutan dari pasal ini, diungkapkan faktor-faktor yang mendukung keberhasilan dalam menjalankan tugas panggilan bukan faktor usia melainkan berkenaan dengan faktor keteladanan dalam perkataan, tingkah laku, kasih, kesetiaan dan kesucian. Keteladanan inilah yang membuat orang meskipun dia masih muda bisa dipercaya dan mampu menjalankan tugas-tugas yang diembannya. Ini juga yang seharusnya dilakukan orang tua kepada anak/anak didiknya.
Orang tua terlebih dahulu memberikan teladan baik dalam perkataan, tingkah laku, kasih, kesetiaan dan kesucian kepada anaknya. Sehingga anak/siswa bersedia melakukan dengan senang hati hal-hal yang sudah diteladankan oleh orang tuanya. Orang tua harus memberikan kepercayaan kepada anak/siswanya mulai dari tanggung jawab dalam perkara yang kecil, sampai mereka siap untuk melakukan tanggung jawab dalam perkara-perkara yang besar (Matius 25: 23).
Oleh karena itu ketika orang tua/guru ingin mengenali “panggilan” anak, maka sebagai landasannya adalah membangun kepercayaan. Orang tua atau guru mulai belajar memberikan kepercayaan kepada anak-anak, dan hal ini akan menolong anak untuk mengenali panggilannya sendiri. Bimbingan orang tua, tanpa adanya pemaksaan kehendak orang tua kepada anak sangat dibutuhkan. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah hindari pemenuhan semua keinginan anak atau memanjakan anak tanpa ada “tali kekang” sedikit pun. Hal ini akan membuat anak/siswa lepas kendali dan terlanjur menjadi susah untuk dikendalikan.
Dalam kitab Hosea 11:4 dituliskan, “Aku menarik mereka dengan tali kesetiaan, dengan ikatan kasih”. Jadi “tali kekang” yang harus dikenakan kepada anak/siswa kita adalah tali kesetiaan dengan ikatan kasih, bukan tali yang membelenggu mereka sehingga mereka memberontak untuk melepaskan diri dari tali itu dan apabila terlepas menjadi “liar” tak terkendali.
Jadi langkah-langkah praktis yang bisa kita pikirkan dan lakukan dalam upaya untuk mengenali “panggilan” anak/siswa kita, adalah:

  1. Dengarkan apa yang menjadi mimpi-mimpi/keinginan mereka.
  2. Ujilah mimpi-mimpi/keinginan mereka dengan pertanyaan-pertanyaan reflektif, misalnya: Apakah sudah dipikirkan konsekuensinya bagi diri anak, keluarga, teman, dan masyarakat? Apakah anak/siswa mampu dan tahan dalam menjalankan semua konsekuensi itu?
  3. Apabila anak/siswa sudah firm dengan dirinya sendiri , bahwa ia akan mampu/tahan menjalankan dan menghadapi konsekuensinya, maka kita dapat mempersilahkan anak/siswa untuk menjalani “panggilan” yang menjadi pilihannya.
  4. Terus lakukan monitoring bila dalam prosesnya anak/siswa memerlukan dukungan, coaching ataupun counseling. Bahkan, pantau terus untuk mendapati bilamana ada kebutuhan mereka melakukan redefinisi terhadap “panggilan” yang dipilihnya.

Apabila ada kebutuhan untuk redefinisi, maka kita akan mulai lagi dengan langkah pertama, sehingga dalam prakteknya akan terus terjadi siklus aksi – refleksi – aksi.
Tulisan ini adalah sebuah tawaran, buah pemikiran dalam rangka menolong anak/siswa untuk mengenali “panggilan”nya. Perihal penerapannya, hal ini sangat bergantung pada sikap yang diambil. Pemaparan ini juga bukan merupakan formula yang kaku, tetapi bisa disesuaikan dengan konteks yang kita hadapi. Selamat mencoba.

How to Create and Enjoy Art?

Oleh: Ni Putu Mustika Dewi, Staf Pengembangan Karakter

enjoy art

Seni atau art berasal dari kata Latin, ars yang memiliki arti keahlian atau hasil karya seseorang. Hal senada dipaparkan dalam KBBI, seni diartikan 1) keahlian membuat karya yang bermutu, 2) karya yang diciptakan dengan keahlian luar biasa, seperti tari, ukiran, lukisan, 3) kesanggupan akal untuk menciptakan sesuatu yang bernilai tinggi (luar biasa). Dapat disimpulkan bahwa seni adalah kesanggupan akal atau keahlian untuk membuat karya yang bermutu; bernilai tinggi.

Bila kita memandang warna-warni bunga di taman, beragam serangga atau burung yang hinggap di dahan, birunya langit yang membentang, bintang yang bertaburan, maka bukan hanya keindahan dari beberapa pemandangan itu yang akan kita dapatkan melainkan juga keindahan dan keagungan dari Pribadi yang Mencipta; Sang Seniman Agung. Persis dengan yang dinyatakan Daud dalam mazmurnya “langit menceritakan kemuliaan Allah, dan cakrawala memberitakan kemuliaan-Nya,” keagungan dari seluruh ciptaan Allah pada dasarnya bukan untuk menceritakan ciptaan itu sendiri, tetapi menceritakan Allah yang menciptakannya.

Manusia dapat menghasilkan karya tulisan, lukisan, ukiran, tarian dan beragam hasil seni lainnya yang bernilai tinggi adalah bukti bahwa manusia segambar dan serupa dengan Allah. Seni adalah suatu karunia yang diberikan Allah. Oleh karena itu, salah satu bentuk ketaatan kita terhadap panggilan-Nya adalah mengembangkan daya seni tersebut dengan tujuan untuk menceritakan dan memberitakan kemuliaan Allah melalui hidup dan karya kita.

Namun ada hal penting yang patut kita sadari dan waspadai terus-menerus saat menjalani kehidupan ini, yakni kita adalah manusia yang keberadaannya sudah jatuh ke dalam dosa dan hidup di dalam dunia yang penuh dosa. Meski hal ini tidak mengakibatkan potensi seni di dalam diri manusia menjadi hilang, arah dan tujuan hakiki dari karya seni yang dilakukan oleh manusialah yang menjadi hilang. Kini seni seakan memiliki kekuatan untuk menjadi berhala. Sejarah pun pernah membuktikannya! Sebuah mahakarya yang dengan sengaja dicipta manusia dengan tujuan untuk memegahkan diri dan menyatakan pemberontakan kepada TUHAN yaitu pembangunan Menara Babel (Kej 11:1-9).

Di dalam hidup Kekristenan, melalui darah Kristus yang menyelamatkan, kini kita dimampukan untuk hidup sesuai dengan tujuan awal Allah menciptakan. Dengan demikian, kita sebagai umat pilihan-Nya memiliki peran dan tanggung jawab kepada dunia untuk mengarahkan seni kepada tujuan yang hakiki yaitu menceritakan kemuliaan TUHAN.

Dalam menjalankan peran dan tanggung jawab tersebut dibutuhkan karakter tahu berterima kasih. Kejatuhan manusia ke dalam dosa membawa manusia pada kecenderungan alami untuk bersungut-sungut, sehingga seni dipakai untuk memuaskan diri sendiri. Contoh nyata makin maraknya lirik lagu, film dan karya seni yang beredar di pasaran berisi pemujaan hawa nafsu kedagingan manusia. Bagaimana dengan kita? Sudahkah kita “menyatakan penghargaan yang tulus kepada Allah dan orang lain atas segala yang telah Allah atau orang lain berikan di dalam hidup ini,*(hal.101) melalui seni yang dihasilkan dan dinikmati?

Kreativitas menjadi salah satu bahan dasar untuk mencipta karya seni. “Karena kita ini buatan Allah, diciptakan dalam Kristus Yesus untuk melakukan pekerjaan baik, yang dipersiapkan Allah sebelumnya. Ia mau supaya kita hidup di dalamnya.” (Ef 2:10). Melalui ayat ini jelas menyatakan bahwa Allah yang kreatif memberikan kapasitas kepada manusia untuk secara kreatif melakukan pekerjaan-pekerjaan baik yang hendak dilakukan-Nya melalui kita. Dengan kata lain, kreativitas diperlukan untuk melakukan pekerjaan baik tersebut secara efektif.

Di sisi lain, kita sadari bahwa kreativitas tidak muncul begitu saja. Kreativitas dapat diaktifkan melalui sebuah pemikiran. Jadi apabila pemikiran kita didasarkan pada Firman Allah, maka kreativitas akan digunakan untuk tujuan baik; memuliakan Allah. Namun, apabila pemikiran kita tidak didasarkan pada Firman Allah, kreativitas kita ditujukan untuk hal yang berpusat pada diri sendiri, sesuatu yang egois atau jahat.
Bagaimana dengan kita? Sudahkah Firman Tuhan mendasari pemikiran kita dalam mengaktifkan kreativitas?

Selain itu, seni dapat menjadi wadah bagi manusia untuk bebas berekspresi. Namun bebas bukan berarti tidak ada aturan, atau pun batasan. Oleh sebab itu dalam mengejawantahkan seni memerlukan karakter taat, yang memiliki pengertian “kebebasan berkreasi di bawah perlindungan otoritas yang Allah tetapkan,”*(hal.134). Dengan menyadari bahwa kita adalah manusia ciptaan sudah semestinya segala yang kita lakukan berada di bawah otoritas Allah Sang Pencipta. “Apapun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia,” (Kolose 3:23) sehingga karya seni yang kita hasilkan atau nikmati tidak melanggar batas atau nilai-nilai kebenaran Ilahi.
Bagaimana dengan kita? Apakah kita bebas berkreasi di bawah otoritas yang Allah tetapkan?

Sudahkah kita mencerminkan dan menceritakan kemuliaan Allah melalui karya seni yang kita hasilkan dan nikmati?

Jika Anda mengalami kesulitan, janganlah ragu minta kepada Allah untuk menolong Anda menumbuhkan karakter-karakter Ilahi saat Anda menghasilkan dan menikmati karya seni!

“Christians have deeper and better foundations for serious art than anybody.”

–John Piper-

 

* Sumber: Buku Kuasa Menuju Sukses Sejati: Bagaimana Membangun Karakter dalam Hidup Anda (Jakarta: Yayasan Bangun Karakter Bangsa)

Hatiku Tertuju Pada-Mu

Oleh: Noverman S. Gea, guru SMP

warung teologi

Mazmur 71:8
“Mulutku penuh dengan puji-pujian kepada-Mu, dengan penghormatan kepada-Mu sepanjang hari.”

 

Karya seni merupakan ekspresi yang bisa dihasilkan seseorang untuk mengaplikasikan diri di dalam kehidupan ini. Bagian ini merupakan tanggung jawab setiap insan untuk melakukannya karena setiap orang sudah diberi potensi oleh Tuhan untuk berkarya. Kegiatan untuk mengekspresikan diri inilah yang mendorong semua orang untuk menghasilkan sebuah karya. Namun kegiatan mengekspresikan diri ini kadang tidak didasari dengan tujuan yang tepat melainkan digantikan dengan tujuan-tujuan yang sebenarnya hanya bersifat sekunder.

Berbicara mengenai sejarah karya seni baik itu seni musik, seni rupa, seni tari dan seni teater, sudah terjadi sejak dunia ini diciptakan oleh Tuhan. Ini berarti bahwa Tuhan yang menciptakan dunia ini beserta segala isinya merupakan creator seni yang luar biasa. Hal ini mengingatkan kita bagaimana Allah yang adalah creator seni yang luar biasa itu harus disembah oleh bangsa Israel. Musa disuruh mendirikan mezbah dan Musa berkata “Tuhanlah panji-panjiku” (Keluaran 17:15). Kemudian di masanya, raja Daud menyatakan kekagumannya kepada Tuhan dengan cara menari di hadapan Tuhan (2 Sam. 6:21) diiringi berbagai macam alat musik, sambil bernyanyi kepada Tuhan (2 Sam. 6:5). Dan di masa Salomo, Tuhan memerintahkan untuk mendirikan rumah bagi Tuhan dengan segala persiapan mulai dari para seniman yang akan mengerjakan berbagai macam pahatan, sampai kepada persediaan bahan untuk mendirikan rumah bagi Tuhan (Bait Allah).

Ketika bangsa Israel dikeluarkan Tuhan dari perbudakan di tanah Mesir, tujuan utama Tuhan hanyalah satu, yakni “…, supaya mereka beribadah kepada-Ku;…” (Keluaran 8:1). Ini merupakan sebuah dorongan yang disampaikan kepada kita sebagai orang-orang yang telah ditebus oleh Tuhan Yesus Kristus, dari ‘kegelapan’ kepada terang Kristus, yakni bahwa tujuan hidup kita hanyalah untuk beribadah kepada-Nya. Namun, ketika manusia diberikan banyak potensi untuk berkarya maka tujuan manusia melakukannya lebih mengarah kepada pengakuan diri (harga diri), pencarian nafkah (harta), menyenangkan diri (keinginan), dan lainnya yang selalu mengarah pada diri sendiri. Bagian ini pulalah yang sering mendorong manusia untuk berkarya “tanpa batas”.

Dalam buku Modul 4 Pelajaran Musik SMP yang disusun oleh KILANG Orchestra Music School hal. 19, ditulis bahwa Istilah Musik zaman Baroque (berarti ‘sangat dekoratif’) terinspirasi dari gaya arsitektur Jerman dan Austria antara abad 17 dan 18. Pada zaman ini perkembangan musik sangat dipengaruhi oleh gaya arsitektur pada zaman itu sehingga komposisi musik pada umumnya berbentuk “polifoni”. Pengaruh arsitektur ini sangat terasa pada bagian-bagian dinamika, tempo, dan ekspresi sebuah karya musik. Pada zaman ini pulalah musik masih sangat berorientasi pada penyembahan kepada keagungan Sang Pencipta. Namun pergeseran zaman musik memulai pergeseran makna karya musik: zaman Klasik ke zaman Romantik dan saat ini sudah berada pada zaman Modern.

Semua karya seni (dalam sudut pandang seni) pasti berharga dan penting. Tetapi tidak semua karya seni memiliki makna yang baik dan memberi pengaruh yang baik juga. Oleh sebab itu, kita sebagai pelaku dan atau penikmat seni harus berhati-hati untuk memberi input yang baik agar output atau karya yang kita hasilkan berkenan di hadapan Tuhan sebagai satu-satunya tujuan dari karya setiap manusia yakni memuliakan Dia.