Pembinaan Karakter di Sekolah Athalia

Oleh: Bella Kumalasari – Plt. Kasie Karakter Sekolah Athalia

Pembinaan karakter di Sekolah Athalia dilakukan demi tercapainya visi Sekolah Athalia, yaitu “Siswa yang menjadi murid Tuhan”. Seorang murid mengikuti gurunya dan meniru apa yang dilakukan oleh guru tersebut. Dalam Yohanes 13:34-35, Tuhan Yesus memberikan perintah kepada para murid-Nya agar saling mengasihi sama seperti Tuhan telah mengasihi mereka. Dengan demikian, semua orang akan tahu kalau mereka adalah murid-murid-Nya. Oleh sebab itu, dasar dari semua karakter yang diajarkan di Sekolah Athalia adalah kasih. Kasih yang sempurna telah dianugerahkan melalui kematian Tuhan Yesus di kayu salib dan itulah yang mendorong setiap kita untuk juga mau mengasihi-Nya dengan hidup makin serupa dengan-Nya.

Gambar 1

Sekolah Athalia memberikan pembinaan karakter secara intensional kepada para murid. Ada kesinambungan yang diharapkan terjadi dari TK hingga SMA (gambar 1). Di TK, karakter mulai ditumbuhkan (growing) dan terus dibentuk di masa SD (shaping) sehingga mereka menjadi pribadi-pribadi yang kokoh (steadfast person). Di SMP dan SMA mereka mulai diajak untuk memperhatikan sekitar mereka. Karakter-karakter yang dipelajari mendorong mereka untuk peduli dan berbagi (caring and sharing) bahkan berdampak dan berkontribusi (influencing and contributing) bagi sekitar sehingga mereka menjadi pemimpin-pemimpin yang melayani (servant leader). Karakter yang dipelajari juga tidak hanya diajarkan pada 1 level saja tetapi ada yang diulang di level-level selanjutnya agar murid terus menghidupinya.

Dalam pembinaan karakter yang didasari oleh kasih kepada Tuhan, murid-murid tidak hanya diajar secara kognitif atau teoritis, tetapi juga diberikan contoh-contoh melalui kisah nyata, tokoh, ilustrasi, cerita dongeng, ataupun sharing langsung dari guru dan teman. Lebih dari itu, mereka juga diajak untuk menerapkan karakter yang dipelajari dalam kehidupan sehari-hari. Setiap murid memiliki “proyek karakter” yang harus dikerjakan baik di rumah maupun di sekolah. Proyek karakter diberikan sesuai dengan usia murid, misalnya: murid TK belajar karakter penuh perhatian dengan cara segera menjawab ketika dipanggil guru/orang tua, murid SD belajar karakter ketertiban dengan melakukan kegiatan sesuai jadwal, murid SMP belajar karakter tanggung jawab dengan membereskan kamar sendiri, murid SMA belajar karakter keberanian untuk menyampaikan kebenaran dengan cara yang baik.

Penerapan karakter dalam keseharian sangat membutuhkan keterlibatan orang tua. Apa saja yang dapat orang tua lakukan untuk mendukung perkembangan karakter anak?

  • Beri ruang untuk berproses.

Untuk dapat melatih karakternya, anak butuh ruang untuk mencoba dan kemungkinan melakukan kesalahan. Orang tua perlu mendukung dengan mengizinkan dan memaklumi hal tersebut.

  • Beri pujian dan respons yang meneguhkan.

Ketika anak melatih karakternya, orang tua dapat memberikan pujian dan peneguhan. Hindari respons yang menghakimi dan membuat anak tidak lagi berani mencoba. Apresiasi setiap perubahan kecil.

  • Beri teladan.

Salah satu cara anak belajar adalah dengan meniru. Orang tua perlu menjadi teladan bagi anak dalam praktik karakter sehari-hari. Dengan demikian, anak mengerti apa yang benar dan salah serta bagaimana melakukannya.

  • Berjalan bersama dalam proyek karakter anak.

Di TK dan SD, orang tua dapat mengingatkan dan memonitor proyek karakternya setiap hari. Di SMP dan SMA, orang tua dapat menjadi teman seperjalanan anak-anaknya dengan berdiskusi mengenai proyek yang sedang dikerjakan anaknya tanpa menghakimi dan menuntut.

Pembinaan karakter di Sekolah Athalia tidak dapat berjalan sendiri tanpa kerja sama dan keterlibatan orang tua. Mari bergandengan tangan membina karakter anak-anak kita agar mereka dapat bertumbuh makin serupa Kristus dan menjadi berkat bagi sekitarnya.

SOFT SKILL atau HARD SKILL?

Oleh: Elisa Sri Indahati – Research & Development Unit SD

Kita mungkin pernah mendengar dan melihat seseorang yang kita kenal yang dahulu biasa saja nilai akademiknya tetapi memiliki karier yang baik bahkan bisa dikatakan sukses. Mungkin saja karena mereka memiliki hal lain selain nilai akademis. Nilai atau kemampuan akademik seseorang atau yang disebut dengan hard skill (keahlian yang bisa diukur dan bisa dinilai) tidak bisa begitu saja membuat seseorang berhasil atau sukses, diperlukan juga kemampuan yang disebut dengan soft skill. Apa itu soft skill? Soft skill adalah kemampuan yang tidak terlihat seperti berpikir kritis, mampu beradaptasi, percaya diri, pantang menyerah, daya juang tinggi, dan sikap baik lainnya. Lalu, apakah soft skill lebih unggul daripada hard skill atau justru sebaliknya? Tentu saja tidak, keduanya seharusnya memiliki porsi yang sama dalam diri seseorang. Hard skill dan soft skill sama-sama penting. Menurut Rhenald Kasali, sudah saatnya orang tua sadar untuk memperhatikan karakter anak sedari dini. Pendidikan bukan hanya sekadar kompetensi kognitif, anak juga memerlukan kemampuan lain seperti survival skills di lingkungan.

Dalam profesi apa pun saat ini dan di masa depan, hard skill sangat dibutuhkan tetapi soft skill juga menjadi pertimbangan yang sama pentingnya dalam menunjang karier atau keberhasilan seseorang. Jika berbicara tentang soft skill ini kita teringat pada pentingnya pendidikan karakter pada diri setiap orang termasuk anak-anak kita sedari mereka kecil. Sebagai orang tua kita bukan hanya dituntut untuk membimbing anak-anak kita untuk mengejar ilmu dan mendampingi mereka untuk mendapat nilai yang baik. Namun, sebagai orang tua kita juga perlu menolong mereka untuk mengembangkan soft skill dan karakter mereka sejak dini. Mengharapkan nilai rapor yang baik memang penting, tetapi menolong anak-anak kita untuk tetap memiliki daya juang dan tidak putus asa dalam mengerjakan semua tugas sekolah adalah tugas mulia kita sebagai orang tua.

Sekolah Athalia terus berusaha untuk mengajarkan ilmu tetapi juga tetap konsisten untuk membimbing anak-anak untuk memiliki karakter yang akan menolong mereka hidup di tengah masyarakat. Pendidikan karakter tidak saja diberikan dalam bentuk pemahaman tetapi juga dalam bentuk proyek nyata dalam setiap kegiatan seperti kamp karakter dan kelas shepherding. Ketika proyek karakter dalam kelas shepherding diberikan guru kepada siswa untuk dilakukan di rumah, salah satunya belajar mencuci piring sendiri setelah makan, tidak sedikit anak-anak menyampaikan kalau mereka dilarang mencuci piring. Atau saat anak diajak belajar merapikan tempat tidur sendiri, ternyata sudah ada asisten rumah tangga yang siap merapikan. Kemarin ketika Kamp Karakter siswa SD menginap di sekolah, ada aktivitas mencuci gelas dan sendok setelah makan malam, tiba-tiba ada anak yang menggerutu,”enakan tidur di rumah daripada tidur di sekolah. Kalau di rumah apa-apa sudah disiapin, diambilin, di sini semua disuruh lakuin sendiri, ambil sendiri, nyuci sendiri.”

Akhirnya orang tua yang ingin anak-anaknya berhasil sejak dini bisa mengambil peran dalam mendukung anak-anaknya melakukan proyek karakter di rumah sembari terus mengasah kemampuan soft skill mereka. Berikan dorongan agar anak-anak percaya diri dan berikan mereka kepercayaan bahwa mereka mampu melakukan setiap proyek karakter yang diberikan. Dorong anak-anak agar dapat bekerja sama dengan orang lain dan siapkan mereka memasuki dunia luar. Ini cukup mewadahi anak-anak untuk berlatih kemampuan soft skill dan mengembangkan karakter mereka. Berikan anak-anak kepercayaan untuk melakukan sesuatu khususnya tugas atau proyek yang diberikan sekolah. Jangan takut bila anak gagal, bersabar bila anak belajar mandiri dan menjadikan semua berantakan, tidak mengapa bila anak melakukan atau memakai sesuatu tetapi tidak bisa, dan bantu anak siap menerima konsekuensi bila melakukan kesalahan. Orang tua dapat terus mendampingi anak dan membiarkan mereka mengerjakan bagian mereka.

Kita Berharga di Mata Tuhan

Oleh: Sylvia Tiono Gunawan – Staf Kerohanian (PK3)

Yesaya 43:4
Oleh karena engkau berharga di mata-Ku dan mulia, dan Aku ini mengasihi Engkau, maka Aku memberikan manusia sebagai gantimu, dan bangsa-bangsa sebagai ganti nyawamu

Firman Tuhan ini disampaikan oleh Yesaya kepada orang Israel yang saat itu berada dalam pembuangan. Pembuangan adalah masa di mana Israel dihancurkan oleh Babel dan orang-orang Israel diangkut keluar dari negerinya untuk menjadi budak di Babel. Hal ini terjadi sebagai hukuman atas dosa yang Israel lakukan. Namun, di tengah hukuman yang mereka rasakan, Tuhan tetap baik dan mengasihi mereka.

Sekalipun saat itu Israel belum bertobat, Ia tetap menjanjikan keselamatan kepada umat-Nya. Ia berjanji akan melepaskan mereka dari Babel dan mengembalikan mereka ke negerinya. Keselamatan Tuhan berikan kepada umat-Nya bukan karena Israel baik atau sempurna melainkan karena anugerah Tuhan semata. Tuhan memberikan keselamatan kepada umat-Nya karena di mata-Nya mereka berharga, mulia, dan Ia mengasihi umat-Nya.

Kiranya pengalaman Israel bersama Tuhan menjadi pengingat bahwa saat ini kita pun dikasihi-Nya. Tuhan memandang setiap anak-Nya berharga dan mulia sehingga memberikan yang paling berharga untuk menyelamatkan kita, yaitu nyawa Putra Tunggal-Nya, Yesus Kristus. Meskipun kita lemah dan terbatas, Ia tidak membuang kita. Sebaliknya, Ia mau terus merangkul dan menopang kita karena Ia mengasihi kita dengan anugerah-Nya. Percayalah dan bersyukurlah untuk kasih-Nya. Lebih daripada itu, Ia pun rindu, kita memiliki cara pandang dan sikap yang sama kepada sesama kita terutama pasangan dan anak-anak kita. Mari belajar menghargai kehadiran mereka, menerima dan mengasihi mereka dengan segala keunikannya sebagaimana Tuhan memandang kita berharga dan mengasihi kita.

Partnership Programme SMP Athalia 2023

Oleh: Beryl Sadewa – Wakasek Kesiswaan SMP Athalia

Belum lama ini, SMP Athalia menyelenggarakan kegiatan Partnership Programme yang berlangsung dalam dua gelombang. Gelombang pertama 29 Agustus 2023 dan gelombang kedua pada 12 September 2023. Kegiatan ini bertujuan memperkenalkan murid-nurid  kelas VI SD Athalia kepada kegiatan belajar mengajar di SMP pada umumnya dan SMP Athalia pada khususnya. Setelah mengikuti kegiatan ini, diharapkan mereka memiliki sedikit gambaran mengenai proses belajar mengajar di jenjang pendidikan yang lebih tinggi, yaitu SMP.
 
Dalam kegiatan Partnership Programme ini, peserta diperkenalkan kepada SMP Athalia, khususnya  melalui perpustakaan dan kegiatan pembelajaran. Di perpustakaan, mereka dijelaskan prosedur  peminjaman buku maupun pemakaian fasilitas lain yang ada di perpustakaan. Mereka juga berkesempatan mengikuti kegiatan pembelajaran bersama guru-guru SMP Athalia, seperti mata pelajaran IPA, Matematika, Bahasa Inggris, Seni Tari, Seni Lukis, dan Olahraga. 
 
Selain kegiatan pembelajaran, hal yang cukup berbeda di SMP adalah belajar berorganisasi. SMP Athalia memiliki dua wadah untuk memfasilitasi murid-murid untuk berorganisasi, yaitu OSIS dan Boys’ Brigade (BB). Sepintas, peserta mendapat informasi berkaitan dengan kegiatan-kegiatan OSIS dan BB yang dapat mereka ikuti nantinya. Mereka juga dapat berinteraksi langsung dengan pengurus OSIS dan NCO*) dalam kelompok kecil.
 
Kegiatan  ini dikemas sedemikian rupa menyerupai konsep Amazing Race. Hal ini dilakukan untuk menambah minat dan semangat peserta. Misalnya, peserta diharapkan mampu bekerja sama untuk menemukan petunjuk-petunjuk tersembunyi yang dipersiapkan sebelumnya agar mereka dapat masuk ke aktivitas berikutnya. 
 
Jumlah murid yang mengikuti kegiatan ini sebanyak 110 murid yang didampingi oleh guru-guru SD. Selain itu, kegiatan ini juga melibatkan guru-guru SMP yang kreatif, 12 orang pengurus OSIS, dan 8 orang NCO.
 
 
 

*) NCO (Non Commisioned Officer) adalah anggota BB yang telah mengikuti latihan kepemimpinan dan diangkat menjadi pemimpin bagi anggota-anggota BB lainnya. Pada dasarnya mereka adalah kepanjangan tangan para officer (Pembina BB) dalam menjalankan kegiatan BB di cabangnya.

Mundur Selangkah untuk Maju Lima Langkah

Oleh: Join Silaban – Guru Bahasa Indonesia SMA

Setiap orang pasti tidak siap mengalami kemunduran. Apa yang direncanakan hendaknya berjalan sesuai realita. Kalau realita tidak sesuai dengan ekspektasi, kekecewaan kerap menghampiri bahkan menguasai emosi kita. Akhirnya, situasi yang tidak sesuai ekspektasi itu mungkin akan mencuri damai sejahtera kita dan bisa berakibat fatal hingga depresi. Namun, kali ini saya harus belajar menerima situasi yang tidak seperti saya rencanakan, mencoba untuk mundur selangkah mengevaluasi hal-hal yang perlu diperbaiki, memberanikan diri untuk berinovasi meski serta-merta ada risiko yang ditanggung, dengan tujuan untuk bisa maju lima atau sepuluh langkah ke depan. Hal ini saya alami ketika berhadapan dengan situasi pandemi dan harus beradaptasi dengan sistem belajar online di kelas 10 IPA dan IPS TA 2021/2022.
Kala itu tepat hari Rabu, saya akan mengajar di kelas 10 IPS 1. Rata-rata semua guru mengeluh menghadapi anak-anak yang sulit untuk ON Camera juga merespons saat pembelajaran berlangsung, tak terkecuali dengan saya. Hal ini menjadi pembicaraan yang hangat setiap harinya di ruang guru.
“Selamat pagi, Nak! Silakan ON Camera!” Saya menyapa kelas dengan penuh semangat. Namun, semangat saya berbanding terbalik dengan suasana kelas online saat itu. Saya seperti berada di kuburan. Dari 24 siswa yang terdaftar di kolom partisipan, hanya ada lima orang yang mengaktifkan kamera, itu pun harus menunggu sekitar lima menit. Lalu satu-satu menyusul sampai akhirnya ada delapan orang.
Sekali lagi, saya sapa mereka. Sahutan “Selamat pagi, Bu!” sayup-sayup terdengar dari salah seorang yang mengaktifkan kamera. Namanya Lola. Lola ini saya percayakan sebagai PIC atau penanggung jawab mata pelajaran di kelas tersebut. Sejenak timbul di pikiran, “Apa mungkin Lola enggan tidak menjawab sapaan saya karena Lola adalah PIC saya?” Sepertinya saya mati gaya.
Sepertinya, saya tidak siap melanjutkan pembelajaran. Ada prinsip bagi saya, “lebih baik mundur satu langkah untuk mencapai lima langkah ke depan”. Saya memilih berdiam satu menit untuk memikirkan ide bagaimana supaya kelas antusias dan merasa merdeka dalam belajar. Sejenak, saya merasa empati melihat wajah-wajah mereka di layar laptop yang hanya berada di ruangan berukuran kurang lebih 3×4 m2 tersebut hampir setiap hari dan tidak bisa keluar rumah. Soalnya, PPKM darurat level 4 masih berlaku. Mungkinkah mereka sedang jenuh? Lelah? Atau ada beban keluarga?
Dengan begitu, saya mengubah strategi. Saya mencoba mengerem instruksi untuk bisa ON CAM. Kali ini, saya meminta mereka untuk mengambil barang yang paling mereka sukai di ruangan itu serta mengambil benda berbentuk segitiga dan lingkaran dari luar ruangan lalu menunjukkannya di layar kamera. Saya beri mereka waktu lima menit. Ini bermaksud supaya mereka sedikit bergerak dari tempat duduk ataupun ruangan mereka. Setidaknya menepis sedikit gelar untuk anak-anak zaman pandemi, “Para kaum rebahan”. Alhasil, mereka refleks mengaktifkan kameranya dan beradu untuk memencet tombol reaksi “raise hand” di fitur google meet yang sedang kami gunakan. Semuanya mengaktifkan kamera.
“Ini, Bu. Saya suka bantal, saya suka HP, saya suka biola, saya suka gitar.” Antusiasme mereka dalam merespons seketika memecahkan keheningan yang ada. Mereka beradu-adu sambil memandangi apa yang dipegang teman-temannya. Hmmm, ternyata seni memberi instruksi juga sangat diperlukan.
Setelah saya menyaksikan api semangat itu ada di wajah mereka, saya berani menyampaikan kegiatan pembelajaran. Mereka akan melaporkan secara live informasi selama PPKM darurat yang telah berlangsung sejak 3 Juli kemarin sampai sekarang. Pertemuan kali ini saya rencanakan untuk mengambil penilaian. Namun, setelah melihat suasana kelas, saya tiba-tiba ada ide untuk mengubah strategi tersebut. Saya sampaikan ke mereka perubahan rencana itu. Awalnya laporan hasil observasi ditampilkan dengan satu tipe, kini bervariatif, berdiferensiasi. Ada yang menampilkan dalam bentuk pantun, talk show, lagu, presenter, infografis, bermain peran, pun musikalisasi puisi.
Alhasil, performa mereka di luar ekspektasi saya. Sebelum waktu yang ditentukan, raise hand bertubi-tubi dan teman-teman sekelas menyaksikan penampilan mereka dengan haru dan penuh apresiasi. Emotikon tepuk tangan di layar menandakan mereka sangat menikmati penampilan temannya. Kami sama-sama bahagia. Inikah yang dinamakan merdeka belajar?
Dari mereka saya belajar untuk lebih fleksibel, perlu memperkaya seni berbicara, berani keluar dari zona nyaman, terlebih belajar tunduk untuk pengendalian Tuhan bahwa semuanya tidak harus berjalan sesuai rencana kita.

Catatan: Tulisan ini sudah dimuat dalam buku yang berjudul “Mundur Selangkah Maju Lima Langkah, Sebuah Seni Mengubah Mindset Pecundang Menjadi Pemenang”. Penyunting, J. Sumardianta. Maret 2023. Hal. 96.

Kemerdekaan Sejati

Oleh: Elisa Christanto, Orang tua siswa SMA Kelas XII dan SD Kelas II

Merdeka! Ketika membaca atau mendengar kata ini, yang terpikirkan adalah pekik kemenangan rakyat Indonesia ketika melawan penjajahan. Namun, untuk saya pribadi, “merdeka” memiliki arti yang mendalam. Merdeka adalah momentum ketika saya memutuskan cinta dengan kesenangan duniawi dan kembali merajut kasih mesra dengan Tuhan. Di bawah adalah sepenggal cerita perjalanan hidup saya yang menggambarkan bahwa kemerdekaan sejati akan kita dapatkan saat kita berpihak kepada Tuhan Yesus dan bukan yang lain.
Saya baru menyadari bahwa keluarga saya adalah keluarga sederhana saat akhir masa SMA, ketika suatu masa gelombang kehidupan terjadi, berupa tersendatnya urusan biaya kuliah. Tak pernah terbayangkan sebelumnya, selama empat semester di awal sebagai seorang mahasiswa, dengan berat hati saya melewatkan banyak mata kuliah. Hanya kebingungan yang saya rasakan. Di masa itulah, penjajahan iblis atas hidup saya dimulai, ketika saya melihat seorang teman nampak santai menikmati waktu sendiri sambil merokok.
“Kok kayaknya asik, ya?” Akhirnya saya mencoba satu batang dan tersedak-sedak. Tetapi, lusa bertemu lagi dengan seorang teman yang merokok, saya putuskan untuk mencoba satu batang lagi. Sampai pada akhirnya secara diam-diam membeli sendiri.
Selama satu bulan terjadilah peperangan dahsyat di dalam hati dan pikiran saya. Itu nggak baik! Tidak boleh! Di sisi lain mengatakan, “Ah sudahlah! Toh, mau jadi anak baik pun hidup tetap sulit.” Pada akhirnya, saat malam hari mata enggan terpejam, saya berbicara kepada Tuhan dalam doa. Esok paginya, muncul tekad untuk menjauhkan diri dari rokok. Sejak hari itu, setiap pulang kuliah saya pergi ke gereja untuk berbicara dan menikmati relasi yang intim dengan Tuhan dalam doa. Sepekan kemudian Tuhan menjawab doa saya.
Dalam satu masa, ketika hendak pulang kuliah, staf akademik kampus memanggil dan menawarkan tugas sebagai volunteer penerimaan mahasiswa baru. Tak perlu berpikir panjang, saya menjawab, “Ya. Saya bersedia.” Esoknya, saya mulai bertugas sebagai volunteer penerimaan mahasiswa baru selama empat bulan. Merdeka! Saya lepas dari penjajahan rokok. Bonusnya, Tuhan berikan jatah makan siang dan uang saku untuk tambahan bayar kuliah.
Tak berhenti di sana, selepas menjadi volunteer, saya dipanggil bekerja part time di kampus selama setahun. Selesai masa bekerja di kampus, Tuhan terus berkarya – dengan memberikan pekerjaan baru sebagai operator warnet (tempat yang menyewakan jasa peminjaman komputer dan jaringan internet). Akhirnya pendapatan setiap bulannya pun berhasil membiayai kuliah saya dan adik hingga lulus. Merdeka!
Satu firman Tuhan yang meneguhkan hati saya waktu itu adalah “Barangsiapa setia dalam perkara-perkara kecil, ia setia juga dalam perkara-perkara besar. Dan barangsiapa tidak benar dalam perkara-perkara kecil, ia tidak benar juga dalam perkara-perkara besar.” (Lukas 16:10).
Sungguh pengampunan-Nya nyata. Setitik harapan tidak ada yang luput dari pandangan mata-Nya.

Merdeka dari Dosa VS Merdeka Berbuat Dosa

Oleh: Sylvia Tiono Gunawan – Staf Kerohanian (PK3)

Galatia 5:13
Saudara-saudara, memang kamu telah dipanggil untuk merdeka. Tetapi janganlah kamu mempergunakan kemerdekaan itu sebagai kesempatan untuk kehidupan dalam dosa, melainkan layanilah seorang akan yang lain oleh kasih.

Ajaran Yudaisme yang berkembang di Galatia mengajarkan bahwa untuk mendapat keselamatan, seseorang harus menaati hukum Taurat. Hal ini jelas bertentangan dengan apa yang Yesus ajarkan. Oleh sebab itu, Rasul Paulus menegaskan bahwa keselamatan itu adalah anugerah Allah, bukan usaha atau perbuatan baik manusia. Orang percaya telah dibebaskan dari kutuk dosa dan menerima hidup yang kekal karena anugerah Allah. Orang percaya adalah orang-orang yang merdeka dari dosa dan tidak berada di bawah hukum Taurat melainkan di dalam kasih karunia Allah.
Jika kita tidak memerlukan perbuatan baik untuk mendapat keselamatan, apakah itu berarti kita boleh hidup semau kita termasuk berbuat dosa? Tentu tidak. Paulus menuliskan bahwa memang orang percaya telah dimerdekakan dari dosa tetapi jangan menggunakan kemerdekaan itu untuk hidup dalam dosa. Kita sudah dibebaskan dari kutuk dosa dan diselamatkan dengan darah Kristus, mengapa kita mau kembali hidup di dalam dosa lagi? Merdeka dari dosa bukan berarti merdeka berbuat dosa. Sebaliknya, hal ini berarti tidak lagi berbuat dosa sebagai wujud syukur serta kasih kita kepada Allah dan agar nama-Nya dimuliakan melalui kesaksian hidup kita.
Mari kita menyaksikan Tuhan melalui kehidupan yang merdeka dari dosa, hidup yang menjadi terang dan garam di mana pun kita berada. Salah satunya adalah dengan menjadi terang di tengah bangsa Indonesia, di mana kita tinggal. Dalam rangka memperingati kemerdekaan RI yang ke-78, mari kita nyatakan kasih kita kepada Tuhan dengan mengasihi bangsa ini, terus membawa bangsa ini dalam doa kita, menjadi saksi Tuhan di tengah bangsa ini dengan menjalani hidup yang merdeka dari dosa. Kiranya Tuhan menolong setiap kita dan memberkati bangsa Indonesia.

Di balik Kemeriahan Lomba 17 Agustus 2023 di Unit TK

Oleh: Lita Desiana, guru TK B1

Kali ini redaksi mewawancarai salah satu guru TK terkait kemeriahan perayaan HUT ke-78 RI di KB-TK Athalia. Manfaat apa saja yang akan didapat oleh setiap murid saat mereka ikut serta pada kegiatan tersebut. Mari kita simak penjelasan dari Ibu Lita.

Redaksi: Pembelajaran apa yang didapat saat bermain dan ikut lomba perayaan Hari Kemerdekaan Indonesia?

Bu Lita: Pembelajaran yang didapat oleh para murid saat bermain dan mengikuti lomba perayaan HUT ke-78 RI yang setiap tahun dirayakan, adalah

  • Menumbuhkan semangat juang dan pantang menyerah, karena untuk meraih sebuah kemenangan, murid harus mau berusaha dan bekerja keras. Hal ini terlihat ketika para murid memiliki semangat dalam memberikan usaha terbaiknya dengan segenap kemampuan dalam setiap lomba, misalnya: saat murid mengikuti lomba memasukkan ring (simpai kecil) ke cone dengan menggunakan kaki, pasti perlu semangat untuk berusaha dan tekun melakukannya sampai semua ring (simpai kecil) masuk ke cone dengan cepat.
  • Murid dapat menerima kekalahan dengan lapang dada saat mengikuti lomba dan tidak membenci yang menang. Walaupun mereka mungkin merasa sedih karena kalah, mereka diajak untuk tidak marah-marah. Murid belajar untuk tetap memiliki karakter sukacita, yaitu bersikap benar termasuk di situasi yang tidak nyaman. Saat murid menang, mereka juga belajar untuk tidak sombong tetapi tetap memberikan semangat buat teman yang kalah.
  • Melatih para murid untuk belajar mengambil keputusan ketika ingin memenangkan lomba, dengan memiliki sikap yang fokus dalam perlombaan dan menjunjung tinggi sportivitas.
  • Membantu merangsang kecerdasan dan tumbuh kembang kemampuan motorik murid, misalnya: dalam lomba makan kerupuk, memindahkan bendera, balap karung, dan lain-lain. Lomba-lomba ini memerlukan koordinasi mata, kaki, dan tangan, sehingga pada saat yang sama menstimulasi kemampuan motoriknya.
  • Murid belajar untuk mampu menerima tantangan yang ada, misalnya: lomba memindahkan belut dari satu ember ke ember yang lain, pasti memerlukan keberanian untuk melakukannya.
  • Belajar bekerja sama untuk memupuk persahabatan dan kekompakan di antara rekan-rekan satu tim, misalnya: tarik tambang dan lari estafet memerlukan kerja sama dan komunikasi dalam tim untuk mendengarkan pendapat dari orang lain ataupun menerima instruksi supaya dapat melakukannya dengan tepat dan bisa memperoleh kemenangan.
  • Murid belajar mendengarkan dengan penuh perhatian aturan dan instruksi dalam perlombaan.
  • Meningkatkan rasa percaya diri sehingga murid menjadi berani ketika harus tampil di depan umum.
  • Yang terpenting adalah menumbuhkan semangat cinta tanah air Indonesia. Guru bisa menceritakan makna di balik lomba-lomba, misalnya: lomba makan kerupuk, yang mewakili susahnya makan dalam masa penjajahan, semangat gotong-royong dan persatuan saat lomba tarik tambang.

Redaksi: Bagaimana cara menentukan lomba yang tepat untuk unit KB (Batita dan Pra-TK) dan TK (TK A dan TK B)?
Bu Lita:

  • Memilih lomba sesuai dengan usia dan tingkat pencapaian murid, misalnya: lomba memasukkan bola sesuai dengan pola, untuk KB hanya pola AB-AB, sedangkan untuk TK pola AB-AB,ABC-ABC, atau ABCD-ABCD. Contoh lainnya, pada lomba memindahkan bendera untuk usia KB (2 atau 3 bendera) dan TK (4 bendera) dalam jarak yang lebih pendek untuk usia Batita, dan TK dalam jarak yang lebih jauh.
  • Memperhatikan durasi lomba dan disesuaikan dengan usia murid karena kemampuan murid KB-TK dalam menyelesaikan lomba berbeda-beda, misalnya usia KB memerlukan waktu yang sedikit lebih lama dibanding usia TK.
  • Menumbuhkan dan menstimulasi kematangan emosi, keterampilan sosial, kematangan kognitif yang cukup untuk berkonsentrasi saat bermain dan belajar, dan mengembangkan keterampilan motorik.

Redaksi: Apa saja lomba yang diadakan dari KB (Batita-Pra TK) dan TK (TK A dan TK B)?
Bu Lita: Lomba yang diadakan untuk KB dan TK adalah

Batita
Lomba memindahkan bendera, mengelompokkan benda sesuai warna, menyusun balok.
Tujuannya: Untuk melatih koordinasi mata, tangan, dan melatih fokus, menumbuhkan keberanian murid, interaksi dengan teman, dan merangsang kemampuan motorik kasar murid.

Pra-TK
Lomba meronce dan memindahkan bendera.
Tujuannya: Untuk melatih rasa percaya diri anak, menumbuhkan rasa cinta tanah air melalui perayaan dan perlombaan, menumbuhkan sikap penuh semangat, sportif saat berkompetisi mengikuti lomba bersama teman sebaya serta melatih kemampuan kognitif, fokus, dan meningkatkan kemampuan motorik kasar murid.

TK A
Lomba menyusun gelas warna putih dan bentuk geometri warna merah dengan pola AB-AB, dan lomba menyusun bola sesuai warna (merah, kuning, biru, hijau).
Tujuannya: Murid dapat bersyukur dan bangga menjadi anak Indonesia lewat lomba perayaan hari Kemerdekaan Indonesia, bersikap sportif dalam permainan kompetitif, percaya diri, mengenal warna bendera merah-putih dan warna-warna dasar, seperti merah, hijau, biru, dan kuning, dan mengembangkan motorik kasar dan halus murid.

TK B
Lomba membalikkan gelas dan mengisi bola sesuai pola ABC-ABC dan memasukkan ring (simpai kecil) ke dalam cone menggunakan kaki.
Tujuannya: Untuk menumbuhkan sikap percaya diri, menstimulasi kemampuan motorik murid, melatih kecerdasan kognitif, dan menumbuhkan daya juang. Saat murid mengikuti aturan lomba, mereka akan berlatih memecahkan masalah sederhana berdasarkan prioritas atau urutan.

Ternyata melalui wawancara ini kita mendapatkan gambaran yang lebih jelas tentang manfaat yang didapat oleh para murid saat mengikuti perlombaan dari segi sosial emosional, sensorik motorik, dan juga melatih perkembangan kognitif murid. Jadi mereka tak sekadar bermain tetapi juga sambil belajar dengan penuh sukacita. Terlebih KB-TK Athalia tidak asal pilih kegiatan lomba tetapi benar-benar disesuaikan dengan kondisi dan tahapan tumbuh kembang murid.

Kurikulum Merdeka

Oleh: Presno Saragih, Kepala Bidang Pendidikan Sekolah Athalia

Kurikulum nasional tiap periode tertentu diubah oleh para pembuat kebijakan. Ada yang perubahannya signifikan, ada yang tidak. Sejauh ini, kurikulum nasional kita bersifat sangat mengikat dan menjadi acuan minimal bagi sekolah/satuan penyelenggara pendidikan. Namun, jika ada penambahan/improvisasi yang akan dilakukan oleh satuan pendidikan berdasarkan kebutuhan sekolah itu sendiri pun tidak bisa serta-merta diterapkan. Pengawas sekolah belum tentu menyetujui penambahan/improvisasi yang dirancang oleh sekolah.
Kurikulum Merdeka adalah kabar gembira bagi satuan pendidikan dari TK sampai SMA. Kehadiran kurikulum ini diharap dapat memberi keleluasaan kepada tiap sekolah (pendidik dan tenaga kependidikan) untuk dapat menciptakan pembelajaran berkualitas yang sesuai dengan kebutuhan dan lingkungan belajar siswanya. Pendidikan di dalam Kurikulum Merdeka berorientasi kepada kebutuhan para siswa (student-centered). Berbagai upaya akan dilakukan oleh pemangku kepentingan dalam sistem pendidikan untuk menjadikan siswa sebagai pelajar yang memiliki kompetensi sesuai dengan bidangnya dan berkarakter baik demi terwujudnya tujuan pendidikan nasional.
Dalam Kurikulum Merdeka, ada yang menarik untuk kita perhatikan bersama, yaitu Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila atau bisa disebut dengan P5. Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila memiliki porsi yang cukup besar dalam proses pembelajaran selama 1 tahun ajaran yaitu 20-25%. Melalui proyek ini, para siswa akan dibentuk menjadi pelajar yang bukan saja memiliki pengetahuan yang komprehensif tentang ke-Pancasila-an tetapi juga belajar menghidupi nilai-nilai Pancasila di tengah kehidupan masyarakat yang beraneka ragam dimanapun mereka berada. Di perguruan tinggi “upaya sengaja” yang sama juga akan diterapkan. Maka diharapkan lahirlah manusia Indonesia yang Pancasilais dalam arti sesungguhnya yang akan membangun bangsa ini.
Merdeka? Apakah artinya Kurikulum Merdeka lebih mudah disusun dan diterapkan? Jawabannya justru jauh lebih sulit karena sekolah/satuan pendidikan tidak terbiasa merancang kurikulumnya sendiri. Semua sekolah (termasuk Sekolah Athalia) harus berjuang keras dalam mempersiapkan diri untuk melaksanakan Kurikulum Merdeka ini. Dibutuhkan bantuan dan doa dari para orang tua/wali siswa untuk mendukung penerapan kurikulum ini. Ada sejumlah perbedaan yang akan diterapkan dalam Kurikulum ini. Contoh: tidak ada KKM (Kriteria Ketuntasan Minimal) dan tidak ada penjurusan/peminatan, ada penerapan pembelajaran diferensiasi, rapor yang berbeda, dan masih banyak yang lain.
Sekolah Athalia akan menerapkan Kurikulum Merdeka pada tahun ajaran 2023/2024 dimulai dengan kelas KB-TK, SD kelas 1, 7, dan kelas 10. Sebagai praktisi pendidikan yang sudah bergelut di dunia pendidikan selama 37 tahun, saya optimis bahwa Kurikulum Merdeka akan berdampak optimal bagi siswa Athalia (secara khusus dan secara holistik baik dalam bidang intelektual, spiritual, dan karakter) ketika sekolah dan orang tua siswa saling mendukung.
Coram Deo (hidup dalam hadirat Tuhan). Tuhan Yesus memberkati.

Pembinaan Karyawan YPK Athalia Kilang Being Firmly Rooted, Being Build Up In Christ

Oleh: Sie Kerohanian (PK3)

Pembinaan karyawan YPK Athalia Kilang tahun ini mengundang Ev. Hellen Pratama untuk menolong peserta kembali mengevaluasi kehidupan pribadi-Nya dengan Tuhan. Kolose 2:6-7 mengingatkan peserta bahwa perjalanan sebagai murid Kristus adalah sebuah perjalanan yang progresif dan harus didasari oleh pengenalan yang benar tentang Tuhan serta adanya relasi yang intim dengan Tuhan. Perjalanan spiritualitas atau pembentukan spiritualitas (spiritual formation) yang demikian, bukanlah hal yang bisa terjadi secara alami melainkan harus dilakukan secara sengaja dan dalam sebuah komunitas dengan pertolongan Roh Kudus, sehingga pada akhirnya orang percaya dapat menjadi makin serupa Kristus, memuliakan Tuhan dan menjadi berkat buat sesama.


Formasi spiritual terjadi dalam keseharian orang percaya. Setiap hari orang percaya diperhadapkan pada pilihan dan pilihan-pilihan yang dibuat menentukan apakah seseorang akan makin mendekat kepada Tuhan atau menjauh dari Tuhan. Hal yang ingin dicapai dalam formasi spiritualitas adalah seseorang yang mengasihi Tuhan, diri dan sesama dengan benar, bertumbuh menjadi seorang yang makin utuh dan kudus, hidup dengan jati diri yang sejati dalam Kristus (David Benner).


Berikut empat krisis dalam kerohanian:

  • Narsisisme (lebih mencintai diri sendiri daripada Tuhan),
  • Pragmatisme (mengutamakan hasil yang menguntungkan daripada apa yang benar di mata Tuhan),
  • Konsumerisme (mendorong kita untuk membeli apa yang tidak perlu dan menuntut situasi untuk selalu memuaskan diri)
  • Burn-out (kelelahan, terus melakukan aktivitas dan tidak beristirahat dengan benar).


Hal yang mendorong munculnya krisis kerohanian adalah hidup dalam manusia lama yang dibentuk oleh dunia ini. Dunia melihat manusia dari apa yang saya punya, apa yang saya lakukan dan apa kata orang sehingga manusia berusaha tampil seperti yang dunia inginkan.


Cara mengatasi krisis rohani adalah dengan sengaja menanggalkan manusia lama dan mengenakan manusia baru (Efesus 4:22,24). Untuk itu peserta perlu belajar lebih mengenal diri dan mengenal Tuhan sebab makin seseorang mengenal Tuhan, ia akan mampu makin mengenal diri, demikian sebaliknya. Peserta juga harus mendisiplin diri dan terus berlatih hidup sebagai manusia baru. Peserta perlu terus mengevaluasi diri, jujur di hadapan Tuhan dan izinkan Tuhan memproses kehidupannya.


Demikianlah pembinaan kali ini menolong setiap karyawan Athalia melihat relasinya dengan Tuhan lebih penting dari hanya sekadar menjadi pengikut saja. Relasi yang makin dekat dengan Tuhan menolong setiap karyawan untuk hidup terus diubahkan oleh Roh Kudus dan makin hari makin menjadi murid Kristus yang menyerupai Dia dalam setiap aspek kehidupan, sehingga nama Tuhan dimuliakan dan setiap karyawan hidupnya bertumbuh dan menjadi berkat. Soli Deo Gloria. Segala kemuliaan hanya bagi Tuhan.