Victor Sumua Sanga, S.T., M.Div. (Wakasis dan Guru Agama SMA Athalia)
Pendahuluan
Di
tengah maraknya sosialisasi dan implementasi kurikulum merdeka oleh pemerintah,
kontribusi sekolah Kristen sebagai bagian dari institusi pendidikan di bawah
naungan Kementerian
Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi sangat dibutuhkan.
Penerapan kurikulum merdeka di sekolah Kristen harus diimbangi dan
mempertahankan keunikan dan panggilan sebagai lembaga pendidikan yang
mengetengahkan wawasan dunia Kristen. Salah satu hal penting yang perlu
diperhatikan adalah perspektif filsafat yang mendasarinya.
Ornstein & Hunkins (2009)
menyatakan, filsafat adalah sentral dari sebuah kurikulum. Oleh karena itu,
mempelajari filsafat di balik kurikulum akan membantu seseorang untuk memahami
dan menyesuaikan dengan pandangan atau keyakinannya. Berdasarkan beberapa kajian,
kurikulum merdeka didasari oleh beberapa filsafat, salah satunya progresivisme
(Mustaghfiroh, 2020).
Latar belakang
filsafat progresivisme pada kurikulum merdeka juga diakui oleh Suparlan (2015)
dalam artikelnya yang berjudul “Filsafat Pendidikan Ki Hadjar Dewantara
dan Sumbangannya bagi Pendidikan Indonesia”.
Pertanyaannya, bagaimanakah filsafat
progresivisme diterapkan dalam dunia pendidikan? Bagaimana pula sekolah Kristen
menyikapi filsafat tersebut berdasarkan natur pendidikan Kristen?
Filsafat
Progresivisme dalam Pendidikan
Progresivisme merupakan paham
tentang pedagogi, tujuan pendidikan, dan kurikulum yang dicirikan dengan
ketidakpercayaan terhadap otoritas dalam pendidikan dan siswa sebagai pusat
pedagogi. Salah satu tokoh kunci dalam filsafat ini adalah John Dewey
(1859-1952). Dewey menyebut, siswa adalah pusat pendidikan sehingga tujuan dan
masalah yang dihadapi siswa akan menjadi titik awal kegiatan pendidikan. Dewey
juga menekankan pentingnya sistem sekolah sebagai lingkungan pendidikan untuk
mendukung progres pertumbuhan komunitas yang terus berkelanjutan. Untuk
mencapai tujuan ini, diperlukan koneksi antar murid sehingga tidak ada individu
yang diabaikan dalam konteks sosial sekolah (Winch & Gingell, 2002).
Beberapa prinsip yang ditekankan oleh filsafatprogresivisme adalah (Saragih dkk., 2021):
- Peserta didik merupakan
awal sekaligus tujuan akhir dari proses pendidikan.
- Sekolah perlu membentuk
ekosistem yang demokratis dan kooperatif dalam mendukung pembelajaran sehingga
murid dapat berperan aktif dan guru sebagai fasilitator.
- Proses pembelajaran
difokuskan pada pemecahan masalah yang dihadapi murid.
Dalam
sumber lain, Winch & Gingell (2002) juga mengemukakan pendapatnya tentang
prinsip-prinsip filsafatprogresivisme.
- Siswa bisa memilih mata
pelajaran sesuai minatnya, karena materi pelajaran yang disajikan sekolah
merupakan pilihan dan keputusan murid.
- Sekolah perlu
menghindari metode pembelajaran yang dapat mengurangi otonomi murid, seperti
hafalan.
- Kurikulum tidak boleh
mengategorikan subjek pelajaran, tetapi menekankan pada integrasi subjek.
Sekalipun filsafat ini mengandung
banyak kekuatan, tetapi ada kritik terhadap progresivisme. Pertama, penolakan
terhadap otoritas. Padahal, otoritas adalah bagian penting dalam ajaran agama,
nilai moral, struktur politik, serta keilmuan itu sendiri (Anwar, 2015). Kedua,
keyakinan bahwa pertumbuhan (progres) adalah tujuan, juga dapat menimbulkan
ancaman karena pertumbuhan dapat terjadi ke arah yang salah, misalnya menjadi
seorang kriminal. Namun terkait kriminalitas, kaum progresivisme membantah dan
menyatakan bahwa kriminalitas tidak dapat disebut sebagai pertumbuhan atau
progres (Winch &
Gingell, 2002).
Natur
Pendidikan Kristen Menurut Wolterstorff
Nicholas
Paul Wolterstorff merupakan seorang tokoh pendidikan yang sangat berpengaruh
bagi perkembangan sekolah-sekolah Kristen dalam tradisi Reformed di Amerika
Utara, bahkan seluruh dunia. Wolterstorff menyuarakan beberapa hal yang harus
diperhatikan sekolah selain pengetahuan dan keterampilan (Wolterstorff, 2014).
Menurut Wolterstorff, pendidik perlu menyadari bahwa perubahan yang dialami
murid tidak hanya terjadi di ruang kelas, tetapi juga kehidupan di luar kelas.
Oleh karena itu, pendidikan harus mengarah pada cara hidup di dunia (di kelas
maupun luar kelas), hari ini dan masa depan. Pendidikan merupakan medan
pertempuran karena dalam pengarahan kepada cara hidup di dunia, kita menyentuh
isu religius dalam masyarakat yang pluralis, sedangkan kita tidak sependapat
dalam isu-isu religius tersebut.
Berkaitan dengan hal tersebut, ada
dua ideologi utama yang dominan dalam pendidikan: maturasi dan sosialisasi.
Maturasi menekankan pada kebebasan individu, berpusat pada siswa, dan minat
anak akan menentukan pelajarannya. Sosialisasi menitikberatkan pada disiplin
dan tanggung jawab sosial untuk mempersiapkan anak memahami peran sosialnya,
sehingga masyarakat yang menentukan pelajaran sekolah. Jadi, kaum maturasionis
berfokus pada siswa, sosialisasionis berpusat pada masyarakat, sedangkan orang
Kristen mengusulkan pendidikan yang bersumber pada Allah. Sasaran tertinggi
pendidikan yang berakar pada Allah adalah membimbing anak untuk hidup dengan
memelihara iman kepada Allah (Wolterstorff, 2014).
Jika dicermati, kaum maturasionis
menganggap diri mereka mengasuh anak, kaum sosialisasionis merasa sedang
membentuk anak. Pendidikan Kristen lebih dari itu: memimpin anak (mengasuh dan membentuk
hanyalah unsurnya) untuk menuju cara hidup Kristen di dunia. Memimpin adalah
suatu tindakan etis yang berlandaskan perhatian, kepedulian dan kasih kepada
anak.
Dari beragam tipe tersebut,
pendidikan tidak menjamin akan membentuk tindakan tertentu dari para murid,
tetapi pendidikan mempunyai pengaruh atas mereka. Menurut Wolterstorff (2014),
cara yang efektif dan bertanggung jawab untuk membentuk kecenderungan anak
untuk bertindak adalah:
- Disiplin, yaitu
mengaitkan tindakan dengan konsekuensi yang menyenangkan atau tidak
menyenangkan.
- Memberikan teladan. Anak
cenderung meniru
perilaku orang yang dikasihinya, sehingga kita perlu
bertindak benar secara konsisten. Perbuatan
“berbicara” lebih lantang daripada perkataan.
- Pemberian alasan atas
tindakan yang diharapkan juga akan memperbesar peluang suatu tindakan
dilakukan, terutama alasan “pedulikan orang lain.”
Selain itu, terdapat tiga hal
fundamental yang harus ada dalam kurikulum sekolah Kristen (Wolterstorff,
2014):
- Sekolah perlu
membangkitkan kesadaran murid tentang ciri-ciri kehidupan dalam shalom Allah
(sebagai tujuan/visi).
- Sekolah menolong siswa
memahami struktur sosial masyarakat dan melakukan analisis sosial untuk
menemukan tempat dalam mengerjakan panggilannya (realitas).
- Sekolah harus
membandingkan realitas masyarakat dan ciri shalom Allah untuk menemukan
panggilan unik murid dengan tujuan memperbaiki hal yang perlu diperbaiki.
Kesimpulan
Jadi,
dapatkah sekolah Kristen menerapkan kurikulum merdeka yang didasari oleh
filsafat progresivisme? Tentu saja bisa, tetapi perlu terlebih dahulu
memurnikannya (baca: “membaptisnya”) dari konsep yang tidak sesuai dengan iman
Kristen. Pendidikan Kristen adalah pendidikan yang berpusat pada Allah dan
membimbing murid untuk memelihara iman kepada-Nya. Guru berperan sebagai
pemimpin (otoritatif, bukan otoriter atau sekadar fasilitator) untuk menolong
para murid hidup dengan cara Kristen di dunia ini. Anak dilatih untuk bertindak
dengan cara yang efektif dan bertanggung jawab melalui tiga hal, yaitu:
disiplin, teladan, dan pemberian alasan. Selain itu, pendidikan Kristen memberi
ruang bagi pembelajaran yang memfasilitasi kondisi dan minat anak yang
berbeda-beda, sebagai upaya menemukan panggilan unik mereka dalam menjalani cara
hidup Kristen.
Referensi
Anwar, M. (2015). Filsafat
Pendidikan. Jakarta: Kencana.
Mustaghfiroh, S.
(2020). Konsep “Merdeka Belajar” Perspektif Aliran Progresivisme
John Dewey. Jurnal Studi Guru Dan
Pembelajaran, 3 (1), 141-147.
Ornstein, A.C., & Hunkins, F.P. (2009). Curriculum Foundations, Principles, and
Issues. USA: Pearson Education.
Saragih, H., dkk.
(2021). Filsafat Pendidikan. Medan:
Yayasan Kita Menulis.
Suparlan, H. (2015). Filsafat Pendidikan Ki Hadjar Dewantara
dan Sumbangannya bagi Pendidikan Indonesia. Jurnal
Filsafat, 25 (1), 56-74.
Winch, C., &
Gingell, J. (2002). Philosophy of
Education: The Key Concepts. New York: Routledge.
Wolterstorff, N.P. (2014). Mendidik untuk Kehidupan: Refleksi mengenai Pengajaran dan Pembelajaran
Kristen. Surabaya: Momentum.