Cara Menyampaikan Batasan untuk Anak Remaja

Oleh: Erika Kristianingrum, orang tua siswa 8R dan 4E

“Bunda jahat… aku mau ganti orang tua aja, semua yang aku lakuin salah,” teriak putri pertamaku yang saat itu sudah beranjak remaja, ketika tiba-tiba kurebut HP-nya waktu dia sedang sibuk chat di WA dengan teman-temannya sementara ia sedang mengikuti pembelajaran online. “Ya… memang kamu salah karena tidak memperhatikan gurumu malah sibuk chatting,“ begitu sahutku. Namun setelah itu aku hanya mampu terdiam saat dia berteriak seperti itu, bagaikan sebuah tamparan keras. Aku sadar bahwa sebagai orang tua aku sering gagal dan aku harus berubah.

Aku harus berubah agar anakku pun juga bisa berubah. Sebagai orang tua, aku terkadang bingung tentang batasan yang benar untuk menghadapi anak remaja. Mereka tidak bisa terus diatur, karena itu akan membuat mereka jadi pemberontak dan semakin menjauh dari orang tua, di sisi lain, di usianya yang baru masuk pada masa peralihan, mereka juga harus memiliki otonomi sendiri agar dapat belajar mengambil keputusan untuk dirinya dan masa depannya, terkadang tidak sesuai dengan harapan kita sebagai orang tua.

Untuk menyelesaikan kebingungan tersebut maka kuputuskan untuk memulai dengan menerima keadaannya. Aku paham bahwa tidak mudah baginya untuk mengikuti sekolah secara online, pasti ini sangat membosankan. Di lain sisi HP adalah satu-satunya hal yang bisa menghiburnya walaupun itu akan mengganggu dan membuat konsentrasinya ambyar. Tapi aku pun harus membuat batasan.

Beberapa hal yang aku lakukan untuk membuat batasan supaya tidak menimbulkan konflik dengan anak remaja antara lain:

  • Berdiskusi tentang batasan-batasan dalam menggunakan HP. Aku mendengarkan apa kebutuhannya dan mengutarakan apa saja hal yang harus dia lakukan. Akhirnya dari diskusi ini kami memperoleh beberapa kesepakatan yang harus kami jalani bersama sebagai orang tua dan anak. Dia juga merasa senang karena dipahami perasaannya.
  • Aku mengubah caraku menegurnya dengan bahasa yang jauh lebih santai dan intonasi yang rendah. Aku tidak akan menegur jika sedang dalam keadaan capek, lapar, dan ngantuk karena jika itu dilakukan pasti akan menimbulkan konflik.

Ternyata setelah mengubah diriku dan berusaha untuk berkomunikasi dengan jauh lebih baik, batasan-batasan yang telah disepakati dapat berjalan tanpa konflik. Sekarang saat kutanya apakah masih mau ganti orang tua? Dengan mantap dia menjawab, “Tidak… bunda tetap yang terbaik,” dan kami pun tertawa bersama.

Profil Siswa SMA Athalia Peraih Juara 1 Atletik Lompat Jauh Putra KOSN 2022

Oleh: Chandria Wening Krisnanda– konselor bina karir

Pada tanggal 28 Maret 2022 menjadi hari yang paling berkesan bagi Jason Sander karena pertama kalinya dia berhasil mendapatkan juara 1 Atletik lompat jauh putra tingkat SMA yang diadakan oleh pemerintah kota Tangerang Selatan. KOSN singkatan dari Kompetisi Olahraga Siswa Nasional, yang setiap tahunnya menggelar kompetisi olahraga mulai dari level SD, SMP, dan SMA. KOSN tahun ini diadakan di SMAN 2 kota Tangerang Selatan.

Semua ini berawal saat Jason mendapatkan informasi dari temannya bahwa ada komunitas olahraga atletik yaitu, lari, lempar dan lompat. Namun sejak setahun yang lalu Jason lebih tertarik pada lompat jauh. Keberhasilan ini tidak mudah untuk diraih begitu saja, Jason harus mengikuti proses latihan kekuatan fisik yang teratur dan terjadwal hampir setiap hari dalam seminggu. Orang tua, teman, pelatih komunitas atletik, dan guru olahraga di SMA Athalia mendukung Jason untuk terus berlatih meningkatkan performa lompat jauh.

Saat di sekolah penampilan siswa kelas XI MIPA 1 yang juga hobi bermain basket ini begitu sederhana dan rendah hati, tapi saat berada di lapangan Jason begitu gesit dan lincah. Jason juga mengagumi sosok atlet profesional yaitu, Mike Powell, seorang atlet pemegang rekor dunia untuk lompat jauh.

Kedepannya Jason berharap dia dapat terus menekuni cabang olahraga atletik lompat jauh ini. Mari kita dukung dalam doa sehingga anugerah Tuhan terus tercurah bagi Jason Sander. Leap higher for the glory of God, Jason!

PIT (Parents in Touch)

Syukur kepada Tuhan atas penyertaan dan pertolongan-Nya bagi komunitas Athalia. Anugerah demi anugerah semata yang kita rasakan, sehingga kita mampu bertahan sampai saat ini.

Selama dua tahun masa pandemi yang berdampak besar di semua bidang kehidupan, baik itu ekonomi maupun pendidikan. Baik siswa maupun orang tua mengalami pergumulan yang tidak mudah.

Memasuki tahun ketiga pandemi Covid-19 ekonomi mulai bangkit dan dunia pendidikan pun memulai pembelajaran tatap muka 100%. Ada banyak penyesuaian yang perlu dilakukan untuk menuju pemulihan.

Saat ini kita menghadapi situasi dunia yang terus berubah dengan cepat dan tidak menentu. Selain itu juga makin marak paham-paham dunia yang tidak sejalan dengan wawasan dunia Kristen yang mengancam putra-putri kita. Sekolah Athalia menyadari betapa pentingnya membentengi putra-putri kita, supaya visi dan misi Athalia bisa tercapai. Visi Athalia yaitu “Menjadikan Siswa Murid Tuhan” dan misi Athalia “Mendidik siswa menghidupi rencana Tuhan bagi-Nya”.

Sekolah dan orang tua perlu bersinergi membentengi mereka demi tercapainya visi dan misi Athalia. Bersyukur kita memiliki Allah yang tidak terbatas yang mampu menjaga putra-putri kita dan komunitas Athalia. Kita perlu bergantung penuh kepada Allah yang tidak terbatas itu di dalam doa, karena kita penuh keterbatasan. Oleh karena itu, sekolah Athalia memiliki wadah untuk pihak sekolah dan orang tua bisa saling bersinergi, yaitu Parents in Touch (PIT).

Melalui PIT sekolah dan orang tua bersatu hati berdoa bagi para siswa dan komunitas Athalia. Di dalam PIT doa-doa dinaikkan berdasarkan pada atribut-atribut Allah, sehingga kita memiliki dasar yang kuat di dalam berdoa. Diharapkan pula para siswa mengenal dan memiliki karakter Allah. PIT juga merupakan salah satu support system di mana orang tua dapat saling berbagi dan mendoakan, sehingga mereka tidak bergumul sendirian.

PIT di tapel 2022/2023 akan dilakukan 100% tatap muka di aula E setiap Rabu pukul 07:30 WIB. Kami mengajak para orangtua untuk bergabung di dalam PIT sebagai bentuk kebergantungan kita kepada Tuhan yang Mahakuasa untuk membentengi putra-putri kita. Kita pun bisa menjadi saksi-saksi Tuhan bagaimana Tuhan berkarya melalui hidup kita di komunitas Athalia, sehingga sesuai dengan arti nama Athalia yaitu Allah ditinggikan.

Melalui PIT, komunitas Athalia juga bisa belajar saling melayani dan berbagi sebagaimana mestinya anggota tubuh Kristus untuk saling membangun dan menopang satu dengan yang lain. Jangan lewatkan PIT ini dan biarlah melalui PIT kita menjadi alat kemuliaan bagi Tuhan di komunitas Athalia.

Tuhan Yesus memberkati.

Awal Baru, Harapan Baru

Oleh: Yanny Kusumawaty – Orang tua siswa X MIPA 2

Sebuah kapal besar akan bersandar dengan baik di pelabuhan, jika memiliki jangkar yang kuat, yang akan membuat kapal tersebut aman, tidak terombang ambing karena memiliki pegangan yang kokoh. Kapal tersebut akan tetap aman bersandar selama terhubung dengan jangkarnya.

Dalam Ibrani 6:19 dikatakan “Pengharapan itu adalah sauh yang kuat dan aman bagi jiwa kita, yang telah dilabuhkan sampai ke belakang tabir.”

Ini adalah janji firman Tuhan buat kita semua, bahwa ketika kita memiliki pengharapan hanya pada Tuhan, maka sauh (jangkar) kita akan kuat dan aman buat jiwa kita, karena sudah dilabuhkan sampai ke belakang tabir, yaitu di tempat Allah Bapa kita.

Berawal dari suatu hal baru yang Tuhan letakkan di hati kami di tahun 2018, di mana kami merasa bahwa kami perlu renovasi rumah. Bukan untuk bergaya, namun kondisi bangunan rumah sudah di atas 10 tahun, banyak perbaikan yang harus dilakukan. Belum lagi kamar hanya ada 2 ruang, sedangkan anak saya ada 2 orang yang berbeda gender. Kami harus punya 1 kamar lagi untuk si bungsu. Setiap Jumat, rumah kami ada persekutuan komunitas sel group. Jadi rasanya alasan untuk kami merenovasi rumah, sangat kuat. Kami sekeluarga mulai doakan hal ini sambil menabung. Kami letakkan harapan kami pada Tuhan saja. 

Tahun 2020, kita semua memasuki suatu musim hidup baru, yaitu pandemi covid-19. Suatu kondisi yang sangat baru, yang sebelumnya tidak pernah ada. Namun suatu “keajaiban” terjadi. Rumah orang tua saya yang diwariskan kepada kami 4 bersaudara, tiba-tiba ada yang menawarnya. Padahal rumah ini sudah dipasarkan sejak tahun 2015 dan selama itu tidak pernah ada yang deal secara harga.  Pembeli mulai menawar sejak April, namun proses panjang terjadi, baik dokumentasi pembeli dan penjual, urusan pajak dan laporannya, proses KPR bank, urusan notaris dll, semua jadi suatu perjalanan buat kami. Pengharapan jadi suatu yang pasang surut, “aduh, bener bisa terjual kah?” Singkat cerita, proses penjualan rumah warisan berhasil dilakukan dengan harga yang kami inginkan, di akhir bulan Desember 2020, tepat di hari terakhir tahun tutup buku bank. Dari hasil pembagian dana penjualan rumah ditambah dengan tabungan yang kami miliki, kami mulai melangkah untuk mewujudkan harapan kami dalam merenovasi rumah. 

Kami dipertemukan dengan arsitek yang pintar dan mau mendengar apa kebutuhan renov rumah kami, dan dia menggandeng kontraktor yang baik. Meski proses renovasi rumah di tengah-tengah pandemic, tapi semua berjalan dengan sangat baik. Kami juga mendapatkan rumah sementara dengan harga yang terjangkau. 

Akhirnya proses renov selesai tepat waktu di akhir Oktober 2021, dana kami pun terbilang sangat cukup ( ada sedikit sekali pinjaman, yang saat ini juga sudah hampir selesai cicilannya). Saya boleh bertepuk tangan untuk perbuatan Tuhan bagi hidup saya, Dia bertanggung jawab penuh atas apa yang dimulaiNya dan tidak membiarkan saya terombang ambing tidak tentu arah, karena saya juga menaruhkan harapan saya padaNya dan saya menyaksikan betapa Dia memang kuat dan aman buat saya. Kami saat ini menikmati rumah yang baru dengan sangat nyaman. Dan kami bersyukur untuk itu.

Tidak mudah dalam melabuhkan pengharapan pada Tuhan, karena natur kita sebagai manusia pastinya menggunakan hal yang bisa dipikirkan oleh logika dan akal kita.  Sedangkan bentuk pengharapan umumnya adalah abstrak, sesuatu yang tidak terlihat, tidak nampak, hanya BERHARAP… 

Namun kembali lagi, jika Tuhan yang menaruhkan suatu yang baru dalam hidup kita untuk kita menaruhkan harapan kita pada Tuhan, percayalah, Dialah jangkar yang kuat dan sempurna, yang sangat aman bagi jiwa kita. 

PERUBAHAN & PERTUMBUHAN

Board of Directors (BoD) menetapkan tema besar tahun pelajaran 2022/2023 adalah Back to School: The Year of Recovery. Selama pandemi COVID-19, pembelajaran berubah dari luring menjadi daring. Memasuki tahun ketiga pandemi, seiring menurunnya kasus COVID-19, maka pemerintah membuat kebijakan supaya pembelajaran kembali dilakukan secara luring. Tentunya akan ada banyak hal lagi penyesuaian atau perubahan-perubahan yang perlu dilakukan, supaya pemulihan bisa terjadi.

                Terlebih memasuki tapel 2022/2023 ada beberapa perubahan, yaitu: (1) persiapan menyambut kurikulum baru yaitu kurikulum Merdeka, (2) perubahan kurikulum karakter untuk lebih sistematis, dan (3) perubahan pembelajaran dari daring ke luring. Setiap perubahan perlu dikelola dengan baik, sehingga menghasilkan pertumbuhan iman di setiap individu dan organisasi. Oleh karena itu, pada kesempatan pembukaan tapel 2022/2023 Senin, 4 Juli 2022 sie kerohanian mengadakan pembinaan bertema “Perubahan & Pertumbuhan” yang dibawakan oleh Ev. Fini Chen dari SLH-SDH.

                Ev. Fini Chen mengawali pemaparan materinya dengan memperkenalkan sebuah buku berjudul “Thank You for Being Late” yang ditulis oleh Thomas L. Friedman. Buku ini ditulis dengan harapan menjadi panduan untuk bertahan di tengah dunia yang semakin cepat berakselerasi. Ada banyak perubahan di bidang teknologi yang semakin cepat yang berdampak pula terhadap globalisasi dan iklim. Perubahan-perubahan itu menimbulkan rasa sukacita menyambut sesuatu yang baru, tetapi juga membawa kepusingan tersendiri mempelajari hal-hal baru tersebut. Buku ini ingin menjawab pertanyaan, bagaimana hidup di masa akselerasi? Bagaimana menjaga agar langkah tetap selaras dengan perkembangan teknologi yang begitu cepat dan memusingkan?

                Dalam pembinaan ini bertujuan untuk menjawab pertanyaan: bagaimana hidup dan melayani secara ilahi di masa akselerasi? Ada dua prinsip yang perlu dilakukan, adalah:

  1. Pancang

Galatia 4:19, “Hai anak-anakku, karena kamu aku menderita sakit bersalin lagi, sampai rupa Kristus menjadi nyata di dalam kamu.”

Dulu yang menjadi agen budaya yaitu keluarga, sekolah, agama, media, kepemimpinan, dan hukum. Namun kini terjadi perubahan. Yang menjadi agen budaya yaitu media digital. Media digital menjadi penentu rasa, nilai, dan pemikiran (Vanhoozer, 2017).

Di tengah segala perubahan yang terjadi perlu diajukan pertanyaan yang tepat. Di dunia Pendidikan, pertanyaan tersebut harusnya terkait dengan humanitas, karena yang dididik adalah manusia. Mereka perlu dididik untuk mengenal Pencipta/Penebus dan hidup seturut gambar Pencipta-Nya sebagai manusia Allah. Pertanyaan-pertanyaan itu, adalah:

  • Manusia seperti apa saya-kamu-kita sebenarnya dan seharusnya?
  • Sudah berapa tepatkah saya-kamu-kita berubah?
  • Sudah berapa tepatkah saya-kamu-kita bertumbuh?

Setiap orang memiliki perspektif yang berbeda-beda. Namun, sebagai komunitas, saya-kamu-kita perlu memiliki satu titik fokus perhatian yang sama yaitu visi dan misi lembaga/sekolah. Visi sekolah Athalia yaitu “Siswa yang Menjadi Murid Tuhan” sedangkan misinya yaitu “Mendidik siswa menghidupi rencana Tuhan baginya”. Setiap pribadi, saya-kamu-kita perlu melihat perspektif orang lain dan mengacu pada visi dan misi. Dengan demikian setiap pribadi berproses, sehingga bertumbuh menjadi semakin serupa Kristus.

  • Pegang

Galatia 4:19, “Hai anak-anakku, karena kamu aku menderita sakit bersalin lagi, sampai rupa Kristus menjadi nyata di dalam kamu.”

Setelah komunitas memiliki fokus yang sama, yaitu visi dan misi, maka perlu saling berpegangan tangan untuk meraih tujuan, karena perubahan-perubahan bisa membuat gamang yang menimbulkan rasa seperti sakit bersalin, namun pada akhirnya akan melahirkan pertumbuhan.

Kurva perubahan Kubler-Ross menunjukkan bahwa, perubahan berpotensi adanya pengalaman baru, keputusan-keputusan baru, dan pembaharuan tiap individu karena adanya integrasi.

Namun, jika saya-kamu-kita tidak saling memahami perspektif masing-masing orang, maka hanya akan bertahan di fase depresi dan tidak menghasilkan pertumbuhan karena menghasilkan tingkah laku organisasi yang tidak sehat. Setiap pribadi perlu memahami posisi orang lain di kurva perubahan dan berhati-hati supaya setiap perkataan maupun tindakan tidak membuat orang lain stuck.

Untuk menuju permulaan yang baru ada hal-hal yang perlu diubah atau dihilangkan, apa yang perlu dipertahankan. Selain itu hal yang perlu dilakukan lainnya yaitu membangun jembatan dengan melakukan diskusi dan argumentasi yang bernalar. Saya-kamu-kita perlu berpegangan tangan untuk bersama-sama bertumbuh dengan mengakhiri hal-hal yang tidak baik dan menuju memulai yang baik.

Acara pembinaan diakhiri dengan kegiatan refleksi pribadi kemudian saling berbagi di dalam kelompok devosi. Peserta mengendapkan dan merenungkan materi yang disampaikan lalu mengambil langkah nyata untuk siap menghadapi perubahan dan bertumbuh dengan mengandalkan kekuatan Tuhan.

Setelah mengikuti pembinaan ini, diharapkan komunitas Athalia semakin siap menghadapi berbagai perubahan yang menanti di tapel 2022-2023 dengan terus belajar memahami perspektif yang berbeda-beda. Namun tetap fokus pada visi dan misi sekolah dan berpegangan tangan sebagai sebuah komunitas, bersedia menanggung benefit & risk dari setiap perubahan, dan bertumbuh bersama-sama menuju awal yang baru. Dengan tekun menanggung rasa sakit bersalin, maka rupa Kristus menjadi nyata di setiap pribadi dan komunitas.

Pembelajaran Karakter di Sekolah Athalia Tahun Pelajaran 2022-2023

Oleh: Ni Putu Mustika Dewi – staff pengembangan karakter Sekolah Athalia

Sekolah Athalia didirikan dengan sebuah visi “Siswa yang Menjadi Murid Tuhan”. Sesungguhnya visi ini bukan hanya ditujukan bagi siswa melainkan juga bagi seluruh anggota komunitas ini, yaitu orang tua, guru, staf, dan yayasan. Sebagaimana orang dapat saling mengenal melalui identitas atau karakteristik tertentu, demikian halnya dengan diri kita sebagai murid Tuhan. Dalam Yohanes 13:35 secara jelas Tuhan Yesus memaparkan bahwa semua orang akan tahu bahwa kita adalah murid Tuhan, kalau kita saling mengasihi. Dengan demikian, KASIH menjadi identitas hidup murid-murid-Nya.

Namun, kasih yang Kristus ajarkan sangat berbeda dengan kasih yang diajarkan oleh dunia ini. Berikut contoh kasih yang biasa kita temui, orang tua yang membesarkan anaknya dengan harapan nantinya sang anak bisa membalas budi. Seorang yang taat beribadah dan melakukan aturan-aturan agama memiliki tujuan mendapat berkat atau pahala. Seorang yang dengan murah hati memberi apa yang dimiliki kepada orang lain, didasarkan pada motif untuk mendapat kedamaian di hati. Masih banyak contoh lainnya yang membuktikan bahwa kasih manusia kepada sesama atau bahkan kepada Tuhan tidaklah tulus dan masih mengharapkan imbalan.

Lain halnya dengan kasih yang ditunjukkan dan diajarkan oleh Allah. Kasih ini adalah kasih tanpa pamrih dan tanpa syarat, yang sudah dibuktikan secara nyata di atas kayu salib, pada saat Ia menyerahkan diri-Nya untuk menebus hidup kita. Saat itu kita bukanlah manusia yang baik dan layak untuk dikasihi tetapi Tuhan Yesus mau mengorbankan diri-Nya bagi kita (Roma 5:8). Akibat dari karya penebusan yang diberikan-Nya, orang-orang pilihan-Nya dimampukan untuk mengasihi Tuhan dan sesama. Jadi, ada perbedaan besar antara kasih yang dilakukan oleh murid-murid Tuhan dengan yang bukan, yaitu pada motif atau alasan. Murid-murid Tuhan saling mengasihi didasarkan pada motif karena Kristus terlebih dahulu mengasihi kita, dan sebagai bentuk respons kita terhadap kasih Allah yang besar itu. Bukan didasarkan pada motif supaya mendapat imbalan, berkat, atau supaya hidup damai dan bahagia.

Selain kasih, ciri lain dari seorang murid Tuhan adalah hidup semakin serupa dengan-Nya yang ditampilkan melalui kualitas-kualitas karakter ilahi. Setiap pola pikir, sikap dan tindakan kita diarahkan atau ditujukan pada keserupaan dengan Kristus. Semakin hari kualitas-kualitas karakter Kristus semakin nyata terlihat melalui hidup kita. Berdasarkan pemaparan di atas, kita menyadari bahwa hidup menjadi seorang murid Tuhan bukanlah perkara yang mudah. Kita sangat membutuhkan pertolongan dari Allah Roh Kudus untuk memampukan, mengingatkan, menegur dan menuntun kita pada kebenaran. Layaknya dua sisi koin mata uang, selain ketergantungan akan pertolongan dari Allah Roh Kudus kita juga  harus berupaya dalam mendisiplinkan diri. Kita harus bersedia hidup taat pada kehendak-Nya. Jika kita tidak mau mendengarkan dan lebih memilih untuk mengikuti kedagingan, maka besar kemungkinan kita akan jatuh dalam dosa dan sulit untuk bertumbuh semakin serupa Kristus. Hal ini sependapat dengan Jerry Bridges, “Sebagaimana pesawat mustahil terbang dengan satu sayap, demikianlah kita pun mustahil berhasil mengejar kekudusan dengan bergantung saja atau disiplin saja. Kita mutlak harus memiliki keduanya.” (Disiplin Anugerah, hal.144)

Oleh sebab itu, ada sebuah upaya nyata yang dilakukan oleh Sekolah Athalia dalam mendidik siswa menjadi murid Tuhan yaitu dengan dirancangnya sebuah kurikulum karakter yang berkesinambungan dari TK hingga SMA. Bagi siswa yang berada pada masa kanak-kanak (usia 3-8 tahun) sampai pra-remaja (usia 8-12 tahun), diupayakan pembentukan pribadi yang kokoh (Steadfast Person), yang mampu berpikir, memilih, dan bertindak berdasarkan prinsip-prinsip yang benar. Selain itu, siswa juga didorong/dilatih untuk bertumbuh menjadi pengikut yang baik (Followership). Khusus bagi siswa TK tahapan yang akan diajarkan dalam kelas adalah pertumbuhan dalam karakter dasar (Growing), sedangkan bagi siswa SD difokuskan pada pembentukan karakternya (Shaping). Bagi siswa yang berada pada masa remaja (13-18 tahun) diupayakan pengembangan lebih lanjut untuk menjadi seorang pemimpin yang memiliki prinsip melayani (Servant Leader). Dengan berbagai karakter yang dibudayakan sampai kelas 6 SD, diharapkan sifat kepemimpinan (Leadership) akan relatif mudah ditanamkan dan dibentuk dalam pribadi siswa. Khusus bagi siswa SMP tahapan dalam proses pembelajaran mereka adalah peduli dan berbagi (Caring & Sharing). Selanjutnya, pada masa SMA siswa didorong untuk berkontribusi atau memiliki dampak positif (Influencing & Contributing).

Secara khusus pada tahun pelajaran 2022-2023 ini, kurikulum karakter diwujudkan dalam berbagai kegiatan dan proses pembelajaran baik di dalam maupun luar kelas. Salah satunya adalah disediakan sebuah ruang perjumpaan antara guru (Wali Kelas dan Pendamping Wali Kelas) bersama dengan siswa yang diberi nama “kelas Shepherding”. Kelas ini dirancang khusus untuk memperkenalkan dan membudayakan karakter ilahi. Adapun strategi yang digunakan dalam kelas ini agar pembelajaran karakter tidak berujung hanya pada ranah kognitif semata adalah dengan adanya sharing life guru (WK dan PWK) sebagai gembala serta sharing life siswa sebagai pribadi yang digembalakan. Kiranya melalui sharing life yang akan dibagikan itu baik guru maupun siswa dapat memaknai bahwa perjalanan menjadi murid Tuhan, yang berujung pada keserupaan dengan Kristus adalah perjalanan yang dilalui bersama. Meski prosesnya panjang dan tidak mudah, guru dan siswa dapat saling mengingatkan bahwa ada kasih Tuhan yang menyelamatkan dan yang menjadi dasar dari segala tindakan.

Sumber:

Bridges, J. 2009. Disiplin Anugerah: Peran Allah dan Peran Kita dalam Mengejar Kekudusan. Bandung: Pionir Jaya.

Badudu, R, dkk. 2021 (Versi 1). Manual Kurikulum Karakter Sekolah Athalia. Jakarta.

Apa yang berkesan pada acara wisuda PAUD dan SD PINUS tahun ini?

Oleh: Nita Tri Yuliana – Kepala PAUD dan SD PINUS

Pada Jumat, 10 Juni 2022 merupakan hari bersejarah bagi seluruh siswa Kelas VI SD PINUS. Di mana pada hari tersebut mereka secara resmi dinyatakan lulus jenjang pendidikan SD. Sehari setelah acara tersebut, PAUD PINUS pun mengadakan acara wisuda pada hari Sabtu, 11 Juni 2022. Yuk, kita simak hal yang berkesan pada acara wisuda PAUD dan SD PINUS tahun ini.

Kehadiran PINUS di tengah-tengah komunitas Sekolah Athalia sungguh menjadi oase bagi masyarakat sekitar, hal ini terbukti dengan dukungan mereka pada sekolah PINUS dengan tetap melanjutkan pendidikan untuk jenjang selanjutnya tetap di sekolah PINUS. Pada tahun pelajaran 2021-2022 SD PINUS berhasil meluluskan 16 siswa, sedangkan PAUD PINUS meluluskan 19 siswa. Sekitar 84% lulusan PAUD PINUS melanjutkan ke SD PINUS dan sekitar 75% lulusan SD PINUS melanjutkan ke PKBM PINUS.

Alasan kenapa acara wisuda PAUD dan SD PINUS tahun ini sangat mengesankan? Tahun ini acara wisuda diadakan secara on site, setelah dua tahun acara kelulusan ini dilakukan dengan hanya menatap layar laptop atau gawai saja. Siswa juga bersemangat saat menghadiri acara ini. Persiapan yang dilakukan oleh siswa begitu maksimal. Dengan antusias mereka berlatih prosesi wisuda dalam waktu singkat meskipun dengan keterbatasan mobilitas karena masih dalam masa pandemi.

Selain sukacita ada juga haru yang terasa pada acara wisuda tahun ini, yaitu ada siswa yang tidak didampingi oleh sosok seorang ayah yang sudah meninggal dunia. Momen mengharukan juga terjadi saat siswa mengungkapkan rasa kasih terhadap orang tua mereka yang telah mendampingi mereka selama ini. Tangis bahagia menyeruak di antara siswa, orang tua, bahkan juga beberapa guru. Begitu juga saat orang tua mempersembahkan lagu untuk anak-anak mereka sebagai tanda kasih mereka terhadap putra-putrinya, air mata kembali terlihat membasahi mata mereka.

Sebagai kepala sekolah, saya melihat acara wisuda bukan sekedar sukacita dan kegembiraan karena para siswa sudah berhasil melewati jenjang pendidikan di level masing-masing, tetapi lebih kepada ucapan syukur atas keberhasilan yang telah mereka raih dengan pertolongan Tuhan.

Harapan saya semoga pandemi segera berakhir, sehingga di tahun-tahun mendatang acara wisuda dapat dilakukan terus secara on site. Para siswa dan orang tua dapat mengekspresikan rasa syukur mereka dengan leluasa dan tidak hanya sebatas layar laptop.

“MEMBAPTIS” KURIKULUM MERDEKA

Victor Sumua Sanga, S.T., M.Div. (Wakasis dan Guru Agama SMA Athalia)

Pendahuluan

Di tengah maraknya sosialisasi dan implementasi kurikulum merdeka oleh pemerintah, kontribusi sekolah Kristen sebagai bagian dari institusi pendidikan di bawah naungan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi sangat dibutuhkan. Penerapan kurikulum merdeka di sekolah Kristen harus diimbangi dan mempertahankan keunikan dan panggilan sebagai lembaga pendidikan yang mengetengahkan wawasan dunia Kristen. Salah satu hal penting yang perlu diperhatikan adalah perspektif filsafat yang mendasarinya.

Ornstein & Hunkins (2009) menyatakan, filsafat adalah sentral dari sebuah kurikulum. Oleh karena itu, mempelajari filsafat di balik kurikulum akan membantu seseorang untuk memahami dan menyesuaikan dengan pandangan atau keyakinannya. Berdasarkan beberapa kajian, kurikulum merdeka didasari oleh beberapa filsafat, salah satunya progresivisme (Mustaghfiroh, 2020). Latar belakang filsafat progresivisme pada kurikulum merdeka juga diakui oleh Suparlan (2015) dalam artikelnya yang berjudul “Filsafat Pendidikan Ki Hadjar Dewantara dan Sumbangannya bagi Pendidikan Indonesia”.

Pertanyaannya, bagaimanakah filsafat progresivisme diterapkan dalam dunia pendidikan? Bagaimana pula sekolah Kristen menyikapi filsafat tersebut berdasarkan natur pendidikan Kristen?

Filsafat Progresivisme dalam Pendidikan

Progresivisme merupakan paham tentang pedagogi, tujuan pendidikan, dan kurikulum yang dicirikan dengan ketidakpercayaan terhadap otoritas dalam pendidikan dan siswa sebagai pusat pedagogi. Salah satu tokoh kunci dalam filsafat ini adalah John Dewey (1859-1952). Dewey menyebut, siswa adalah pusat pendidikan sehingga tujuan dan masalah yang dihadapi siswa akan menjadi titik awal kegiatan pendidikan. Dewey juga menekankan pentingnya sistem sekolah sebagai lingkungan pendidikan untuk mendukung progres pertumbuhan komunitas yang terus berkelanjutan. Untuk mencapai tujuan ini, diperlukan koneksi antar murid sehingga tidak ada individu yang diabaikan dalam konteks sosial sekolah (Winch & Gingell, 2002).

Beberapa prinsip yang ditekankan oleh filsafatprogresivisme adalah (Saragih dkk., 2021):

  1. Peserta didik merupakan awal sekaligus tujuan akhir dari proses pendidikan.
  2. Sekolah perlu membentuk ekosistem yang demokratis dan kooperatif dalam mendukung pembelajaran sehingga murid dapat berperan aktif dan guru sebagai fasilitator.
  3. Proses pembelajaran difokuskan pada pemecahan masalah yang dihadapi murid.

Dalam sumber lain, Winch & Gingell (2002) juga mengemukakan pendapatnya tentang prinsip-prinsip filsafatprogresivisme.

  1. Siswa bisa memilih mata pelajaran sesuai minatnya, karena materi pelajaran yang disajikan sekolah merupakan pilihan dan keputusan murid.
  2. Sekolah perlu menghindari metode pembelajaran yang dapat mengurangi otonomi murid, seperti hafalan.
  3. Kurikulum tidak boleh mengategorikan subjek pelajaran, tetapi menekankan pada integrasi subjek.

Sekalipun filsafat ini mengandung banyak kekuatan, tetapi ada kritik terhadap progresivisme. Pertama, penolakan terhadap otoritas. Padahal, otoritas adalah bagian penting dalam ajaran agama, nilai moral, struktur politik, serta keilmuan itu sendiri (Anwar, 2015). Kedua, keyakinan bahwa pertumbuhan (progres) adalah tujuan, juga dapat menimbulkan ancaman karena pertumbuhan dapat terjadi ke arah yang salah, misalnya menjadi seorang kriminal. Namun terkait kriminalitas, kaum progresivisme membantah dan menyatakan bahwa kriminalitas tidak dapat disebut sebagai pertumbuhan atau progres (Winch & Gingell, 2002).

Natur Pendidikan Kristen Menurut Wolterstorff

            Nicholas Paul Wolterstorff merupakan seorang tokoh pendidikan yang sangat berpengaruh bagi perkembangan sekolah-sekolah Kristen dalam tradisi Reformed di Amerika Utara, bahkan seluruh dunia. Wolterstorff menyuarakan beberapa hal yang harus diperhatikan sekolah selain pengetahuan dan keterampilan (Wolterstorff, 2014). Menurut Wolterstorff, pendidik perlu menyadari bahwa perubahan yang dialami murid tidak hanya terjadi di ruang kelas, tetapi juga kehidupan di luar kelas. Oleh karena itu, pendidikan harus mengarah pada cara hidup di dunia (di kelas maupun luar kelas), hari ini dan masa depan. Pendidikan merupakan medan pertempuran karena dalam pengarahan kepada cara hidup di dunia, kita menyentuh isu religius dalam masyarakat yang pluralis, sedangkan kita tidak sependapat dalam isu-isu religius tersebut.

Berkaitan dengan hal tersebut, ada dua ideologi utama yang dominan dalam pendidikan: maturasi dan sosialisasi. Maturasi menekankan pada kebebasan individu, berpusat pada siswa, dan minat anak akan menentukan pelajarannya. Sosialisasi menitikberatkan pada disiplin dan tanggung jawab sosial untuk mempersiapkan anak memahami peran sosialnya, sehingga masyarakat yang menentukan pelajaran sekolah. Jadi, kaum maturasionis berfokus pada siswa, sosialisasionis berpusat pada masyarakat, sedangkan orang Kristen mengusulkan pendidikan yang bersumber pada Allah. Sasaran tertinggi pendidikan yang berakar pada Allah adalah membimbing anak untuk hidup dengan memelihara iman kepada Allah (Wolterstorff, 2014).

Jika dicermati, kaum maturasionis menganggap diri mereka mengasuh anak, kaum sosialisasionis merasa sedang membentuk anak. Pendidikan Kristen lebih dari itu: memimpin anak (mengasuh dan membentuk hanyalah unsurnya) untuk menuju cara hidup Kristen di dunia. Memimpin adalah suatu tindakan etis yang berlandaskan perhatian, kepedulian dan kasih kepada anak.

Dari beragam tipe tersebut, pendidikan tidak menjamin akan membentuk tindakan tertentu dari para murid, tetapi pendidikan mempunyai pengaruh atas mereka. Menurut Wolterstorff (2014), cara yang efektif dan bertanggung jawab untuk membentuk kecenderungan anak untuk bertindak adalah:

  1. Disiplin, yaitu mengaitkan tindakan dengan konsekuensi yang menyenangkan atau tidak menyenangkan.
  2. Memberikan teladan. Anak cenderung meniru perilaku orang yang dikasihinya, sehingga kita perlu bertindak benar secara konsisten. Perbuatan “berbicara” lebih lantang daripada perkataan.
  3. Pemberian alasan atas tindakan yang diharapkan juga akan memperbesar peluang suatu tindakan dilakukan, terutama alasan “pedulikan orang lain.”

Selain itu, terdapat tiga hal fundamental yang harus ada dalam kurikulum sekolah Kristen (Wolterstorff, 2014):

  1. Sekolah perlu membangkitkan kesadaran murid tentang ciri-ciri kehidupan dalam shalom Allah (sebagai tujuan/visi).
  2. Sekolah menolong siswa memahami struktur sosial masyarakat dan melakukan analisis sosial untuk menemukan tempat dalam mengerjakan panggilannya (realitas).
  3. Sekolah harus membandingkan realitas masyarakat dan ciri shalom Allah untuk menemukan panggilan unik murid dengan tujuan memperbaiki hal yang perlu diperbaiki.

Kesimpulan

            Jadi, dapatkah sekolah Kristen menerapkan kurikulum merdeka yang didasari oleh filsafat progresivisme? Tentu saja bisa, tetapi perlu terlebih dahulu memurnikannya (baca: “membaptisnya”) dari konsep yang tidak sesuai dengan iman Kristen. Pendidikan Kristen adalah pendidikan yang berpusat pada Allah dan membimbing murid untuk memelihara iman kepada-Nya. Guru berperan sebagai pemimpin (otoritatif, bukan otoriter atau sekadar fasilitator) untuk menolong para murid hidup dengan cara Kristen di dunia ini. Anak dilatih untuk bertindak dengan cara yang efektif dan bertanggung jawab melalui tiga hal, yaitu: disiplin, teladan, dan pemberian alasan. Selain itu, pendidikan Kristen memberi ruang bagi pembelajaran yang memfasilitasi kondisi dan minat anak yang berbeda-beda, sebagai upaya menemukan panggilan unik mereka dalam menjalani cara hidup Kristen.

Referensi

Anwar, M. (2015). Filsafat Pendidikan. Jakarta: Kencana.

Mustaghfiroh, S. (2020). Konsep “Merdeka Belajar” Perspektif Aliran Progresivisme John Dewey. Jurnal Studi Guru Dan Pembelajaran, 3 (1), 141-147.

Ornstein, A.C., & Hunkins, F.P. (2009). Curriculum Foundations, Principles, and Issues. USA: Pearson Education.

Saragih, H., dkk. (2021). Filsafat Pendidikan. Medan: Yayasan Kita Menulis.

Suparlan, H. (2015). Filsafat Pendidikan Ki Hadjar Dewantara dan Sumbangannya bagi Pendidikan Indonesia. Jurnal Filsafat, 25 (1), 56-74.

Winch, C., & Gingell, J. (2002). Philosophy of Education: The Key Concepts. New York: Routledge.

Wolterstorff, N.P. (2014). Mendidik untuk Kehidupan: Refleksi mengenai Pengajaran dan Pembelajaran Kristen. Surabaya: Momentum.

Allah Mahatahu

Oleh: Sylvia Tiono Gunawan (orang tua siswa)

… masakan Allah tidak akan menyelidikinya? Karena Ia mengetahui rahasia hati! ((Mazmur 44: 21)

Bapa kita adalah Allah yang Mahatahu. Sejak semula, Ia telah merencanakan kehadiran, menetapkan tujuan, dan mengenal setiap manusia ciptaan-Nya. Karakter Mahatahu-Nya juga tentang mengetahui yang terbaik bagi kita, sekalipun kadang kala cara-Nya tidak seperti yang diharapkan atau dipikirkan manusia. Terkait hal ini, saya ingin membagikan pengalaman pribadi.

Beberapa waktu lalu, saya dihubungi dan diminta untuk memimpin PIT (Parents in Touch) onsite. PIT adalah persekutuan doa orang tua dan guru Sekolah Athalia. Saat itu, saya tidak memiliki ART dan punya tiga anak. Kedua anak sudah sekolah online, sedangkan si bungsu masih berusia empat tahun. Saya pun berdiskusi ke koordinator PIT: kemungkinan saya akan terlambat tiba di sekolah untuk latihan karena harus menemani anak hingga selesai sekolah, dan datang ke PIT dengan membawa si bungsu. Saya menyampaikan permohonan maaf terkait kondisi tersebut.

Beberapa minggu sebelum hari pelayanan, saya terus berdoa kepada Tuhan. “Tuhan, Engkau tahu isi hati saya. Saya mau melayani, tetapi kalau Tuhan belum izinkan karena situasi saat ini, maka saya akan menerimanya. Atau kalau boleh, Tuhan tolong supaya nantinya ketika saya melayani dengan membawa anak, kiranya anak saya bisa tenang, sehingga pelayanan tidak terganggu.”

Waktu itu bahkan sempat terpikir untuk mengundurkan diri saja. Namun ternyata, cara Tuhan di luar dugaan manusia. Hari-hari itu angka positif COVID-19 kembali meningkat sehingga PIT diadakan secara online. Kondisi itu membuat saya tetap bisa melayani dari rumah sembari menjaga anak-anak. Tentu saja, bukan berarti saya senang atas kasus COVID-19 yang kembali meningkat. Namun yang ingin saya sampaikan adalah Tuhan sungguh Mahatahu. Ia kenal kita satu per satu, termasuk pergumulan dan solusi terbaik bagi umat-Nya.

Melalui pengalaman ini saya belajar untuk terbuka di hadapan Allah, apa pun dan bagaimanapun kondisi kita. Mungkin di depan orang lain, kita bisa bilang, “I’m okay”, tetapi Tuhan selalu tahu kondisi kita yang sebenarnya—apakah memang benar sedang baik-baik saja atau tidak. Ia tahu sampai jauh ke kedalaman hati kita!

Mazmur 44: 21 mencatat, “… masakan Allah tidak akan menyelidikinya? Karena Ia mengetahui rahasia hati!” Oleh sebab itu mari kita belajar senantiasa jujur di hadapan Tuhan, seperti pemazmur yang jujur kepada-Nya ketika merasa senang, bersukacita, dan bersyukur. Ketika dalam keadaan kurang baik, merasa kehilangan atau khawatir, mari kita sampaikan dengan jujur di hadapan Tuhan dan menutupnya dengan permohonan, “Tuhan tolong saya yang lemah ini supaya tidak tenggelam dalam perasaan-perasaan itu, tetapi kembali memandang-Mu dan percaya sepenuhnya pada pengaturan rencana-Mu!” Allah yang Mahatahu akan mendengar, memahami, dan menyediakan hal terbaik sesuai kehendak-Nya, bukan keinginan kita!

Melanjutkan “Tongkat Estafet” Gary dan Anne Marie Ezzo

Oleh: Chandria Wening Krisnanda (Konselor Bina Karir Sekolah Athalia)

Perjalanan Gary dan Anne Marie Ezzo, sepasang suami istri penggagas kelas parenting GKGW dimulai pada tahun 1984. Mereka terpanggil untuk berbagi tentang hal-hal praktis dalam mendidik anak yang berfokus pada kemuliaan Tuhan. Keduanya mengawali pelayanan kelas parenting “Membesarkan Anak dengan Cara Allah” atau “Growing Kids God’s Way” kepada enam pasutri di Los Angles. Kini, konsep Growing Kids God’s Way (GKGW) telah dibagikan secara luas dan memberkati banyak pasangan, termasuk Komunitas Sekolah Athalia.

Sebenarnya, apa tujuan dari kelas parenting ini?

Membentuk anak untuk memuliakan Tuhan, bukan memuliakan manusia

Beberapa orang tua sering memosisikan anak sebagai objek yang sama sekali tidak memiliki hak. Orang tua cenderung sangat ingin dihormati dan dimuliakan oleh anak secara berlebihan dengan dalih pendisiplinan. Padahal, semua hormat dan kemuliaan sejatinya hanya untuk Tuhan.

Memberikan petunjuk praktis yang dapat menolong orang tua untuk memahami cara dan penerapan dalam mendidik anak secara alkitabiah

Setiap keluarga biasanya mempunyai cara untuk mendidik anak. Namun Gary dan Anne Marie Ezzo merumuskan dasar dan silabus yang terintegrasi sesuai dengan karakteristik iman Kristen, sehingga semua cara dan prinsip yang diterapkan di setiap keluarga tidak menjadi kesia-siaan di hadapan Allah Bapa.

Menumbuhkan rasa percaya diri orang tua

Apakah kita pernah ragu-ragu saat mendisiplin anak? Apakah kita gelisah ketika melihat anak menangis sambil meronta seolah-olah orang tua berada pada posisi yang salah? Apakah kita sulit mengucapkan kata “maaf”?

Banyak pasangan merasa ragu-ragu saat mendidik anak. Kelas parenting ini hadir untuk meneguhkan para orang tua dalam menjalani perannya. Gary dan Anne Marie Ezzo memberikan teladan dan membagikan pengalamannya untuk mendidik anak dengan percaya diri. Rasa percaya diri bersumber dari Firman Tuhan yang menyatakan kebenaran dan penerapannya secara memadai. Perasaan percaya diri akan membantu orang tua mengembangkan kemampuan berkualitas untuk menjalankan perannya saat ini!

Menolong orang tua untuk melihat masa remaja anak mereka dengan cara pandang yang positif

“Anakku sudah ABG dan mulai sulit diatur, nih…”

Keluhan tersebut mungkin sering kita dengar. Menginjak remaja, biasanya konflik dengan anak lebih sering terjadi. Namun jangan khawatir. Gary dan Anne Marie Ezzo meyakinkan para orang tua bahwa mendidik anak remaja dapat menjadi salah satu hal paling menyenangkan jika kita terus berpegang pada standar Tuhan.

Menjangkau hati dan pikiran generasi yang akan datang

Kita membutuhkan dua generasi untuk mewujudkan dampak dari suatu perubahan. Gary dan Anne Marie Ezzo rindu untuk membentuk cara pikir yang alkitabiah dalam diri setiap orang tua agar mereka dapat meneruskannya bagi generasi selanjutnya. Pola pikir generasi masa kini dapat dijangkau jika pola pikir orang tua diperbaharui terlebih dahulu.

Lima tujuan tersebut menjadi pendorong bagi Sekolah Athalia untuk menyelenggarakan kelas parenting GKGW beberapa tahun lalu. Banyak pasangan sangat terberkati dan belajar hal baru. Apa kata mereka setelah mengikuti kelas GKGW?

Kami mengikuti GKGW karena ingin mendidik anak dengan benar. Banyak prinsip baru yang kami pelajari di pertemuan GKGW. Kini, kami memiliki relasi yang hangat dengan anak yang sudah berusia remaja berkat penerapan nilai-nilai GKGW. Kami juga rindu kelas ini dapat memberkati keluarga besar, sehingga pola asuh yang benar dapat diterapkan di dalam keluarga besar dan orang-orang terdekat kami!

(Beryl & Anita)

Saat saya dan suami memutuskan untuk taat melakukan apa yang telah diajarkan dalam GKGW, kami sekeluarga dapat melihat perubahan dalam relasi kami sebagai orang tua dengan anak-anak. Tentu, semua ini butuh proses yang cukup lama: bertahun-tahun, bahkan sampai sekarang pun saat anak-anak sudah dewasa, kami terus menerapkan ajaran GKGW. Harapan kami, nantinya anak-anak juga mau belajar GKGW ketika mereka sudah berkeluarga.

(Djulia)

Semoga Komunitas Sekolah Athalia dapat melanjutkan “tongkat estafet” Gary dan Anne Marie Ezzo sehingga bisa melahirkan generasi masa depan yang benar sejak awal!

Sumber:

Ezzo, G., & Ezzo, A.M. (2001). Let The Children Come-Along The Virtuous Way: Membesarkan Anak dengan Cara Allah. Bogor: Yayasan Bina Keluarga Indonesia.