Oleh: Diah Lucky Natalia – Volunter Chaplain
Berdasarkan data Ethnologue, Indonesia merupakan negara kedua dengan bahasa terbanyak setelah Papua Nugini. Hingga 2018, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian pendidikan dan Kebudayaan telah memetakan dan memverifikasi sebanyak 652 bahasa daerah di Indonesia. Jumlah tersebut belum termasuk dialek dan subdialek.
Selain bahasa daerah, sekitar 1.700-an suku bangsa di Indonesia memiliki bahasa kesatuan, yaitu bahasa Indonesia. Bahasa ini digunakan sebagai bahasa nasional yang mempermudah kita berkomunikasi dengan suku bangsa lainnya.
Bahasa daerah maupun bahasa Indonesia yang digunakan sebagai alat komunikasi sehari-hari di rumah inilah yang disebut sebagai bahasa ibu. Bahasa ini diperkenalkan oleh orang tua kepada anak-anaknya sejak dini dan akan berkembang menjadi bahasa pertama.
Mereka yang sudah lama tinggal di kota besar mungkin lebih nyaman menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa ibu bagi anak-anak mereka. Sementara itu, beberapa di antaranya masih mempergunakan bahasa daerah sambil mengajarkan bahasa Indonesia untuk kebutuhan pendidikan.
Memilih bahasa ibu bagi anak ini mungkin tidak pernah benar-benar didasarkan pada pengetahuan, tetapi hanya karena kebiasaan atau “agar tidak ketinggalan zaman”. Oleh karena itu, di tengah globalisasi, muncullah bahasa ibu ketiga, yaitu bahasa Inggris.
Banyak anak diperkenalkan dengan bahasa Inggris sejak dini dan tumbuh menjadi anak yang lebih fasih berbahasa asing ketimbang bahasa nasional dan bahasa daerahnya. Kondisi ini berangkat dari kekhawatiran orang tua bahwa anaknya akan tertinggal dalam pendidikan dan karier jika tidak menguasai bahasa asing.
Yang terjadi adalah anak memang memiliki kemampuan bahasa asing di atas rata-rata. Namun, di sisi lain, dia juga tumbuh dengan budaya Barat, mulai dari selera makan, musik, dan pola pikir. Globalisasi tidak hanya memajukan negara kita, tetapi juga mengubah karakter anak kita.
Bahasa dan identitas diri
Tidak banyak yang tahu bahwa bahasa merepresentasikan identitas seseorang. Di dalam sebuah bahasa tersemat ideologi dan nilai luhur sebuah bangsa. Dari bahasa muncullah corak peradaban suatu masyarakat. Terdapat perbedaan budaya antara suku Jawa, Batak, Manado, Toraja, dan Aceh karena bahasa yang digunakan berbeda. Begitu juga dari bahasa Indonesia terbentuklah sebuah identitas, yaitu budaya kebangsaan Indonesia.
Melalui bahasa Indonesia, kita dapat mempelajari budaya melalui karya-karya sastranya. Dongeng-dongeng kedaerahan yang kita baca waktu kecil membentuk identitas kita sebagai orang Indonesia, mulai dari cara bertutur, berperilaku kepada orang yang lebih tua, dan lain sebagainya. Inilah yang membedakan kita dengan bangsa lainnya di dunia ini.
Jika sejak kecil anak dibiasakan menggunakan bahasa asing, dia akan terpapar dengan budaya asing melalui tontonan dan bacaan yang dikonsumsi setiap hari. Tentu dalam bahasa Inggris tidak ada kisah tentang Timun Mas, Roro Jonggrang, dan Malin Kundang. Mari tengok kembali konten-konten yang ada di YouTube dan Netflix, itulah yang akan diinternalisasi oleh anak kita menjadi identitas dan karakternya.
Bahasa Ibu bahasa Indonesia
Pilihan sekolah begitu beragam. Yang menawarkan bilingual bahkan trilingual pun makin banyak. Sebagai orang tua, kita perlu celik memilih apakah anak-anak kita perlu berada di sekolah trilingual? Kembali kepada tujuan menyekolahkan anak: membentuk anak yang berkarakter dan berintegritas atau anak-anak yang menguasai banyak bahasa?
Penyampaian ilmu, ideologi, dan pengajaran agama akan lebih kontekstual jika disampaikan dalam bahasa ibu–dalam konteks ini adalah bahasa Indonesia. Jadi, anak-anak tidak hanya memahami konsep secara verbal, melainkan dapat menyerap substansinya melalui cerita, penerapan dalam kehidupan sehari-hari, dan interaksinya dengan keluarga dan teman.
Selain sebagai upaya pelestarian, penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa ibu dan bahasa pengantar di sekolah membangkitkan kepekaan perasaan. Anak jadi terhubung dengan akar budayanya, memahami tradisi, dan menghargai nilai yang dianut oleh bangsa ini.
Jadi, memilih bahasa sebagai bahasa ibu anak bukan berdasarkan rasa takut ketinggalan zaman. Namun, lebih kepada identitas apa yang ingin kita berikan kepada anak? Sungguh baik jika kita masih menguasai bahasa daerah asal dan mengajarkannya kepada anak. Dengan begitu, anak akan tumbuh memiliki identitas kuat kedaerahannya. Ke mana pun dia pergi dan merantau, dia akan tetap memegang teguh identitasnya dan tidak akan terbawa dampak negatif pergaulan modern saat ini.
Setiap 21 Februari, dunia memperingati Hari Bahasa Ibu Sedunia. Hari yang digagas oleh UNESCO ini bertujuan untuk menggiatkan kembali penggunaan bahasa ibu di seluruh dunia agar terhindar dari kepunahan. Dari sudut pandang lain, peringatan ini dapat kita jadikan bahan refleksi: sampai mana saya sudah mengajarkan nilai luhur dan budaya bangsa ini kepada anak?
Tak perlu khawatir anak akan tertinggal hanya karena “masih” menggunakan bahasa daerah dan bahasa Indonesia sebagai bahasa ibu. Dengan modernitas yang ada saat ini, anak dapat menjangkau ilmu pengetahuan tanpa batas, kapan pun dan di mana pun.
Hal lain yang juga penting, yaitu serahkan anak kita kepada Sang Empunya. Dialah yang merancangkan jalan hidup anak-anak kita sehingga biarlah Tuhan yang bekerja atas hidup mereka. Sebagai orang tua, tugas kita, yaitu membentuk anak ini memiliki identitas yang kuat, menginternalisasi karakter Kristus di dalam dirinya, dan menjadikan Tuhan sebagai satu-satunya sandaran hidup.