Pemuridan di Masa Pandemi: Be With and Befriend

Oleh: Bella Kumalasari, staf Pengembangan Karakter Sekolah Athalia

”Salvation is free, but discipleship costs everything we have” – Billy Graham1

Kalimat pendeta Billy Graham sungguh keras, tetapi sejalan dengan firman Tuhan dalam 2 Timotius 4:2 yang berbunyi, “Beritakanlah firman, siap sedialah baik atau tidak baik waktunya….” Jujur, pesan-pesan semacam ini meneguhkan, sekaligus menggelisahkan kita yang melakukan pemuridan.

Pemuridan merupakan amanat agung dari Tuhan Yesus sendiri, yang Dia sampaikan sebelum naik ke surga. Bayangkan, jika seseorang memberikan pesan terakhir, tentu pesan itu bukanlah semacam “Jangan lupa matiin kompor, ya” atau “Ganti gorden ruang tamu”. Pesan terakhir tentu sangat penting: pemuridan adalah perintah. Artinya, ini merupakan sebuah keharusan bagi setiap orang percaya, bukan pilihan.

Namun, semudah itukah melakukannya? Mari kita mengingat aspek yang lain, yaitu bahwa pemuridan juga adalah sebuah privilege atau hak istimewa. Sejak penciptaan, kita dipercaya Allah menjadi kawan sekerja-Nya (Kejadian 1: 28). Apakah Allah membutuhkan bantuan kita? Tentu tidak. Oleh sebab itu, kita mengenalnya sebagai anugerah karena sesungguhnya siapakah kita sehingga dipercayakan hal sebesar itu?

Anugerah Allah tidak berhenti saat penciptaan. Anugerah terbesar dari Allah adalah Putra-Nya yang tunggal yang mengosongkan diri-Nya, berinkarnasi menjadi manusia, mengambil rupa seorang hamba, merendahkan diri-Nya, dan taat bahkan sampai mati di kayu salib (Filipi 2: 7–8). Ya, untuk Anda dan saya. Pelayanan yang kita lakukan diawali oleh pelayanan Tuhan Yesus kepada kita. Ketika kita pernah mencicipi anugerah-Nya, tentu kita ingin membawa orang lain untuk juga mencicipinya. Seperti kalimat D. T. Niles yang sangat terkenal, “Evangelism is just one beggar telling another beggar where to find bread2 atau jika diterjemahkan secara bebas dalam bahasa Indonesia: “Pemberitaan injil seperti seorang pengemis yang memberi tahu pengemis lainnya di mana mendapatkan roti”. Betul, Injil seharusnya benar-benar senikmat itu. Kasih karunia itu mengalir; kita bukan hanya menerimanya, melainkan juga membagikannya kepada orang lain. Kita tidak pernah diminta memberi kasih karunia lebih dari yang pernah kita terima.3

Baiklah, sekarang mari kita bahas secara praktis. Tidak disangkal bahwa masa pandemi ini begitu menguras kita, bak diterpa badai besar. Segala rencana dan acara seolah digagalkan. Tiba-tiba semuanya harus berhenti. Pertemuan tatap muka baik ibadah, persekutuan, kelompok kecil, semuanya harus dihentikan. Namun, tunggu, benarkah berhenti? Atau kita harus tetap maju dengan beradaptasi? Ya, kita tetap maju dengan beradaptasi, menyesuaikan diri dengan segala kondisi yang tidak pernah kita jumpai sebelumnya. Namun, harus diakui, adaptasi bukanlah hal yang mudah. Kehidupan bergereja di masa pandemi bukan sekadar memindahkan yang luring menjadi daring. Kebutuhan kita sebagai makhluk sosial untuk berinteraksi secara langsung rasanya sulit sekali digantikan dengan hal-hal yang serbavirtual. Namun, apa iya tidak mungkin? Saya pun awalnya berpikir demikian.

Komisi pemuda di gereja saya memiliki persekutuan per wilayah yang dinamakan “dobar”, alias “doa bareng”. Dahulu kami biasa berkumpul di salah satu rumah ataupun tempat makan atau tempat nongkrong. Namun, sejak pandemi, pertemuan kami dibatasi dengan layar dan koneksi internet. Kondisi ini membuat beberapa dobar merosot. Yang biasanya makan bersama, sekarang makan di rumah masing-masing. Yang biasanya bebas mengobrol dengan siapa saja, sekarang harus lebih tertib berbicara agar suara dapat terdengar dengan jelas. Belum lagi koneksi internet yang kurang stabil yang mengganggu komunikasi. Senda gurau serta percakapan ngalor ngidul dari yang penting hingga yang tidak penting sangat dirindukan.

Namun mengejutkan, dobar kami tetap berjalan baik dan bertumbuh secara kualitas maupun kuantitas. Rekan yang biasanya terbatas jam malam, habis waktu di jalan, sekarang bisa lebih leluasa karena tinggal “klik” sudah terhubung. Selama pandemi kita banyak di rumah saja, maka beberapa anggota yang tadinya jarang bisa bergabung, sekarang jadi bisa bergabung. Bahkan, kita tidak terbatas letak geografis, teman saya yang di Los Angeles pun ikut bersekutu dan malah menjadi fasilitator. Jadi, ternyata memungkinkan untuk melakukan pemuridan di tengah masa krisis seperti pandemi Covid-19 ini. Justru kita diajak untuk melihat hal yang esensial di dalam pemuridan yang selama ini kita kerjakan. Apakah haha-hihi-nya, makan barengnya saja, atau relasi dan persekutuannya di dalam Tuhan?

Sulit bukan berarti mustahil. Justru di saat seperti ini, ketika makin banyak orang yang membutuhkan pertolongan baik secara dukungan moral, ekonomi, spiritual, maupun kesehatan mental, kelompok persekutuan/pemuridan sangat dibutuhkan. Pandemi tidak hanya membawa dampak secara fisik, tetapi juga secara psikologis dan spiritual. Banyak orang mengalami gangguan kecemasan dan depresi.4 Semakin banyak orang yang mencari Tuhan dan membaca Alkitab untuk mendapatkan kekuatan, kedamaian, dan harapan.5 Di saat makin banyak orang yang tertekan dan mencari dukungan, janganlah kita lengah untuk hadir bagi mereka. Mungkin yang mereka butuhkan hanyalah kehadiran dan perhatian yang tulus, seperti kisah yang saya alami berikut ini.

Bagi sekolah, masa pandemi membawa tantangan bagi guru baik dalam menyiapkan materi pelajaran yang menarik, beradaptasi dengan teknologi, maupun berelasi dengan para siswa. Pun bagi siswa itu sendiri. Mereka yang biasanya begitu aktif dipaksa harus di rumah saja. Mungkin tidak terlalu masalah jika lingkungan rumah cukup kondusif dan mendukung kenyamanan dan keamanan anak. Namun, jika tidak, siapa lagi yang mereka harapkan di luar keluarga mereka? Apakah guru dan pembimbing sekolah minggu/remaja hanya bertugas memberikan informasi dan pengetahuan? Tentu tidak. Di sinilah peran guru sebagai gembala dibutuhkan.

Suatu hari di masa pembelajaran jarak jauh (PJJ), saya ikut masuk ke dalam salah satu kelas (virtual) di kelas 1 SD. Hari itu saatnya shepherding time. Seperti biasa, ibu guru menyapa muridnya di pagi hari. Seorang siswi tampak murung. Ibu guru bertanya apa yang terjadi kepadanya. Dengan malu-malu, anak itu menjawab, “Aku sedih, Bu.” Karena ada agenda dan materi yang harus disampaikan, ibu guru menunda untuk berbincang lebih lanjut dengannya. Di saat sesi sharing, anak ini ingin sekali berbicara, tetapi ibu guru masih harus menyelesaikan materinya dan mengobrol dengan siswa lainnya sehingga hanya berkata, “Nanti, ya, Nak, kita ngobrol.” Terlihat anak itu sedikit kecewa, tetapi tetap mengikuti pembelajaran dengan baik. Ada kalanya dia kembali meminta waktu untuk bercerita, tetapi ibu guru kembali bahwa dia boleh cerita setelah selesai kelas. Saya hanya bertanya-tanya di dalam hati sambil kasihan: ada apa dengan anak ini? Akhirnya, shepherding time selesai dan anak ini tetap tinggal di ruang virtual bersama ibu guru, beberapa asisten guru, juga saya.

“Kenapa kamu sedih?” tanya ibu guru.

“Aku sedih… Aku pengin sekolah…” katanya memelas.

Kami para pendidik mengeluarkan reaksi beragam. Di benak saya terpikir, ya ampun, karena pengin sekolah. Saya geli sekaligus iba. Namun, ibu guru segera merespons.

“Iya… Kamu berdoa, ya, supaya virus Corona cepat hilang.”

“Aku udah berdoa tiap hari, tapi virus Coronanya tetap ada,” jawabnya dengan polos.

“Iya.. virus Coronanya belum pergi, ya. Tapi kamu jangan sedih terus, ya. Harus semangat! Kan biasanya kamu selalu ceria dan semangat. Ya?” hibur ibu guru.

“Hm.. Iya, Bu. Aku mau semangat dan ceria!” jawabnya dengan segera. Nadanya langsung berubah. Dia menjadi antusias sambil memainkan origami kapal yang baru saja dibuatnya saat shepherding time. Topik pembicaraan pun beralih karena dengan gembira dia bercerita tentang sudah pernah membuat kapal origami sebelumnya.

Kejadian ini sederhana, tetapi membuat saya berefleksi. Kepolosan seorang anak membuat dia dengan mudah menceritakan kesedihannya dan dengan mudah pula dihiburkan. Yang dia butuhkan hanyalah hal sesederhana itu – kehadiran dan perhatian yang tulus.

Tidak hanya anak kecil, saya menjumpai hal yang sama pada beberapa remaja usia SMP yang baru saja mulai ber-KTB (Kelompok Tumbuh Bersama) dengan saya secara daring. Entah harus senang atau sedih ketika mendengar motivasi awal mereka ikut KTB karena kelihatannya seru, daripada gabut (gaji buta/tidak melakukan apa-apa), dan bisa punya teman ngobrol dan bermain. Namun, kembali saya menyadari bahwa yang mereka perlukan adalah kehadiran dan perhatian/persahabatan yang tulus. Begitu pula yang saya alami sendiri di dobar. Kehadiran dan perhatian tulus dari teman-teman sayalah yang menguatkan saya menghadapi masa pandemi ini. Saya dapat merasakan kasih Tuhan yang nyata melalui mereka.

Sering kali kita berpikir dengan rumit: apa yang harus kita lakukan dalam melakukan pemuridan di masa pandemi seperti ini: program, metode, teknologi, acara yang menarik, dan lain sebagainya. Alih-alih sukacita dan berpengharapan, kita justru digerakkan oleh kekhawatiran. Mari berhenti sejenak dan renungkan, sebenarnya apa esensi dari pelayanan ini? Seperti apa hati Tuhan bagi jiwa-jiwa yang kita layani?

Tuhan Yesus datang ke dunia memberikan diri-Nya sendiri. Dia memberikan kehadiran dan perhatian yang nyata kepada semua kaum. Demikian juga seharusnya kita. Meskipun pemuridan di masa pandemi bukanlah suatu hal yang mudah dan membutuhkan harga yang besar, ingatlah: kita tidak dapat memberikan apa yang tidak kita miliki, sebaliknya, kita hanya dapat memberikan apa yang sudah kita terima dari Tuhan. Be with and befriend! Bagikan kehadiran dan perhatian/persahabatan yang tulus kepada mereka yang kita muridkan, sebagaimana Allah telah hadir dan memperhatikan kita terlebih dahulu. [BEL]

DAFTAR PUSTAKA

  1. Billy Graham, “Billy Graham: What’s the Cost of Following Jesus Christ?,” Billy Graham Evangelistic Association, 2 Agustus 2017, https://billygraham.org/audio/billy-graham-whats-the-cost-of-following-jesus-christ/.
  2. Evangelism Coach, “Evangelism Quotes and Quotations,” Evangelism Coach, 20 April 2019, https://www.evangelismcoach.org/evangelism-quotes-and-quotations/.
  3. Kyle Idleman, Grace Is Greater, trans. Tim Literatur Perkantas Jatim (Grand Rapids: Baker Books, 2017), 66.
  4. Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia, “Masalah Psikologis di Era Pendemi Covid-19,” Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia, 14 Mei 2020, http://pdskji.org/home.
  5. Kate Shellnutt, “2020’s Most-Read Bible Verse: ‘Do Not Fear’,” Christianity Today, 3 Desember 2020, https://www.christianitytoday.com/news/2020/december/most-popular-verse-youversion-app-bible-gateway-fear-covid.html.

Bertumbuh di dalam Panggilan Sebagai Orang Tua

Tuhan memanggil tiap kita untuk melayani-Nya dengan berbagai cara. Ada yang dipanggil melayani di gereja sebagai Hamba Tuhan. Ada yang dipanggil melayani di dunia profesional, dan ada yang dipanggil untuk melayani keluarga di rumah. Setiap orang lahir di dunia dengan perannya masing-masing dan Tuhan sudah merancangkannya dengan indah bagi kita. 

Begitu juga dengan menjadi orang tua. Kita tidak pernah memilih untuk menjadi orang tua, melainkan Tuhanlah yang memanggil kita untuk menjadi orang tua. Sebagai orang percaya, kita mengimani bahwa rancangan Allah adalah yang paling baik. Kita memilih untuk mengikuti jalan Allah—yang tentu tak pernah mudah—dan menjadikan keimanan kita sebagai pelita untuk menerangi jalan kita. Begitu kita dipanggil untuk menjadi orang tua, Tuhan memastikan tidak akan membiarkan kita berproses sendirian dalam perjalanan panjang itu.

Lalu, apa misi Tuhan menitipkan seorang anak kepada kita? Apakah semata-mata hanya untuk mengasuh dan mendidik anak itu? Ternyata tidak hanya untuk itu. Ada rancangan yang lebih besar yang Tuhan mau kita lakukan, yaitu bertumbuh. 

Sebagai manusia, kita diminta untuk terus bertumbuh, berkembang, menjadi lebih baik dari waktu ke waktu. Anak menjadi salah satu prasarana bagi kita untuk menjadi versi yang lebih baik dari diri sendiri. Pernahkah Anda mengingat-ingat, siapakah Anda 10 tahun yang lalu dan saat ini? Apakah dulu Anda seorang yang impulsif dan pemarah? Ketika anak hadir dalam kehidupan, ada banyak hal yang membuat Anda tak bisa dengan mudahnya menumpahkan kekesalan. Ada banyak pertimbangan yang harus dipikirkan sebelum mengucapkan atau melakukan sesuatu. 

Anak membentuk kita menjadi orang yang lebih baik. Bersama anak, kita bertumbuh bersama mereka. Tidak hanya mereka yang belajar dari kita. Justru, kita “dididik” oleh anak dengan cara yang sudah Tuhan rancangkan!

Melalui anak, Tuhan mengajarkan kita untuk semakin mengenal karakter-karakter-Nya.

Kita diajar untuk taat dan berserah saat kehabisan kata-kata menghadapi tingkah anak yang menjengkelkan. Kita diajarkan untuk bersabar dan menggunakan kasih dalam mendidik anak. Kristus menjadi satu-satunya teladan kita dalam menjalani parenting. Kita “dipaksa” untuk bertumbuh di dalam Allah melalui kehadiran seorang anak.

Selamat bertumbuh dalam karakter melalui peran kita sebagai orang tua. Anak-anak bisa menjadi salah satu sarana Tuhan mendidik kita, tetapi di sisi lain juga merupakan bagian dari peran kita sebagai orang tua. Mari terus belajar, membiarkan Tuhan mendidik kita, sambil mendidik anak-anak kita. Semuanya demi kemuliaan Allah! [DLN]

Perjuangan Memenangi Hati Anak

Oleh: anonim, orang tua siswa

Sore itu, seperti biasa saya pulang kantor dengan menggunakan ojek. Beberapa rumah sudah saya lewati, rumah mertua saya sudah tampak. Di balik pagar rumah itu, berdiri manusia kecil kesayangan, yang antusias menunggu saya pulang.

Namun, seperti hari-hari lainnya, yang saya rasakan hanyalah ingin cepat-cepat sampai ke rumah yang berjarak hanya beberapa rumah dari rumah mertua. Saya ingin segera membereskan pekerjaan rumah, seperti mencuci, menyapu, dan lain-lain. Jadi, saya hanya melambaikan tangan kepada anak saya yang sudah menunggu di balik pagar rumah mertua, dan meneruskan perjalanan ke rumah saya sendiri.

Peristiwa itu membuat anak saya bersedih. Dia lari pulang ke rumah dengan terburu-buru, menyusul mamanya. Sampai di rumah, dia melihat mamanya mulai sibuk dengan urusan rumah dan mulai membentak-bentaknya tiap dia mulai mencari perhatian.

Saya tidak bisa menepis tingginya kebutuhan rumah tangga keluarga. Bersama suami, saya bekerja untuk menghidupi keluarga. Kebetulan, suami saya anak tunggal sehingga dia juga harus memenuhi kebutuhan ibunya. Hal itu membuat kami sering pulang kerja sampai malam sehingga putra kami satu-satunya dititipkan ke ibu mertua.

Peristiwa itu terus bergulir dari tahun ke tahun sejak anak saya berusia empat tahun sampai dia duduk di sekolah dasar.

Saya mulai merasakan kegelisahan yang besar ketika melihat anak mulai menunjukkan pemberontakan, suka memukul dan berkata kasar, serta mudah marah. Lebih mengkhawatirkannya lagi, saat dia duduk di kelas dua sekolah dasar, dia pernah berkata ingin pergi dari rumah dan ingin mati saja.

Dalam hal kehidupannya di sekolah, tak kalah membuat pusing kepala. Beberapa kali saya dan suami mendapatkan laporan dari guru bahwa anak ini berteriak, memukul teman, bahkan sampai menendang teman perempuannya. Karena peristiwa ini, anak kami harus didisiplin oleh sekolah.

Saya mulai memperhatikan anak ini…. Saya melihat perilakunya ini efek dari dimanja oleh neneknya. Dia sering dibela oleh neneknya walau melakukan hal yang salah. Akibatnya, dia menjadi besar kepala dan kurang ajar kepada orang tuanya.

Saya sering menghela napas kalau sudah membahas hal ini. Dulu, mertua saya tinggal di luar kota. Namun, sejak suaminya meninggal, dia memutuskan tinggal dekat dengan anak semata wayangnya. Karena hanya memiliki satu anak, mertua saya punya kecenderungan protektif dan selalu ingin ikut mengatur rumah tangga saya dan suami.

Masalah keluarga itu membuat saya bukannya menghadapinya, malah melarikan diri dengan menenggelamkan diri ke dalam pekerjaan. Dengan sengaja, saya menyibukkan diri agar anak lebih banyak menghabiskan waktu dengan omanya, agar mertua saya tidak mencampuri urusan rumah tangga saya.

Saya sadar bahwa langkah ini tidak benar. Saya mengorbankan anak demi bisa “lari” dari masalah rumah tangga. Saya pun mulai merasa putus asa…

Beberapa tahun kemudian, saya akhirnya memutuskan untuk pindah kerja ke Sekolah Athalia. Sistem kerja di Athalia berbeda dengan kantor lama. Di sini, pekerjaan saya lebih teratur dan jam kerjanya manusiawi. Saya bisa sampai rumah pada sore hari. Athalia memang mengutamakan hubungan antaranggota keluarga. Kami diajarkan untuk menjalin relasi yang baik dalam keluarga dan tidak mengorbankan mereka demi pekerjaan.

Di sini, saya juga belajar tentang cara mendidik anak yang baik. Saya juga belajar tentang tanggung jawab sebagai orang tua. Lewat komunitas ini, saya bertumbuh dalam iman dan punya kerinduan untuk menjadi orang tua yang lebih bertanggung jawab. Seorang rekan atasan menyadarkan saya bahwa Tuhan sudah memberikan saya dan suami tanggung jawab untuk mendidik dan membesarkan anak, bukannya dilempar kepada pihak lain.

Akhirnya, saya mulai membicarakan hal ini kepada suami. Kami sepakat untuk mulai mendidik anak sendiri, tanpa intervensi pihak lain. Saat itu, putra kami sudah kelas 4 SD.

Langkah awal yang kami lakukan adalah mengambil jarak dari orang tua. Kami memutuskan untuk mengontrak rumah tak jauh dari tempat kerja saya. Saat itulah saya menyadari bahwa mendidik anak adalah tugas yang sangat menantang. Bekerja sembari full mengurus anak memang tak mudah. Namun, saya mau terus belajar dengan kerendahan hati dan meminta pimpinan Tuhan. Ada kalanya saya kembali merasakan putus asa dan emosional saat melihat anak memberontak, memukul, bahkan menendang saya. Saya menyadari bahwa itu semua adalah buah dari kesalahan saya yang sudah mengabaikannya dan menorehkan luka di hatinya selama bertahun-tahun.

Semenjak punya waktu lebih banyak sepulang kerja, saya sering menemani anak, entah itu bermain bola, naik sepeda, berjalan-jalan di taman, makan es krim, dan lain sebagainya. Saya menikmati tiap waktu bersama dengannya. Dalam kesempatan itulah, saya mengatakan kepadanya bahwa saya mengasihinya, dia begitu berharga di mata saya. Saya pun meminta maaf kepadanya karena sempat mengabaikannya.

Perlahan, hati anak saya mulai tergerak. Perilakunya berubah. Dia menjadi lembut dan mudah dinasehati, serta tidak lagi suka memberontak. Saya melihat perlahan karakternya berubah. Dia jadi lebih peduli terhadap orang lain, punya belas kasihan, dan murah hati. Dia mulai menunjukkan kasih sayangnya terhadap orang tuanya.

Di saat relasi dalam keluarga kami membaik, kami tetap menjaga hubungan baik dengan mertua. Kami menyarankan anak untuk beberapa kali dalam seminggu menengok neneknya. Tak disangka, mertua pun perlahan berubah sikap. Beliau tidak lagi bersikap protektif. Dia akhirnya melepaskan saya dan suami untuk menentukan langkah terbaik bagi rumah tangga kami.

Mengizinkan Tuhan untuk hadir di tengah rumah tangga saya memberikan dampak yang sangat besar. Kalau bukan karena pertolongan Tuhan, entah apa jadinya hubungan saya dan suami dengan anak dan mertua.

Saat ini, anak saya sudah berada di kelas 9. Saya bersyukur tahun ini dia memutuskan untuk menyerahkan hatinya menerima Yesus sebagai Tuhan dan Juru Selamatnya untuk lalu dibaptis di gereja tempat kami bertumbuh.

Saat ini, setiap saya mengingat momen-momen ketika saya hampir kehilangan hati anak saya, saya tidak kuasa menahan air mata. Saya melihat Tuhan bekerja dalam dirinya, “membalikkan hatinya” untuk mau mengasihi orang tuanya dan Tuhan, sungguh suatu anugerah yang luar biasa.

Perjalanan saya dan suami masih panjang untuk mengantar dia ke jenjang kuliah. Saat ini, yang kami bisa kami lakukan adalah terus menabur firman Tuhan setiap hari melalui mezbah keluarga, berdoa, bergantian membaca firman Tuhan, dan menyembah Tuhan. Saya dan suami tidak pernah lupa untuk bertanggung jawab menjadi teladan dan berdoa terus untuk putra kami. Biarlah kehendak Tuhan sepenuhnya digenapi dalam hidupnya. Amin.

Bagiku tidak ada sukacita yang lebih besar dari pada mendengar, bahwa anak-anakku hidup dalam kebenaran.” (3 Yohanes 1: 4)

Webinar Covid-19 Update

Pada 7 Agustus 2021 lalu, Sekolah Athalia mengadakan webinar untuk memberikan informasi terkini terkait protokol kesehatan selama masa pandemi dan vaksinasi Covid-19. Berikut intisari dari webinar tersebut yang kami rangkum dalam bentuk infografis.

Download Pdf

Review Film. Like Arrows: Memiliki Kerendahan Hati dalam Mendidik “Anak-Anak Panah”

Sutradara: Kevin Peeples

Penulis naskah: Kevin Peeples, Bob Lepine, Alex Kendrick

Produksi: Pro-Family Films

Rilis: 1 Mei 2018

Durasi: 1 jam 40 menit

Gambar: https://usa.newonnetflix.info/

Like Arrows merupakan film Kristen yang mengangkat narasi tentang kehidupan keluarga, lebih spesifik tentang parenting. Film yang diproduksi oleh Pro-Family Films ini ditulis oleh pegiat film Kristen yang namanya sudah tidak asing lagi, yaitu Alex Kendrick. Alex Kendrick, bersama tim rumah produksi miliknya Kendrick brothers, telah memproduksi beberapa film Kristen, seperti Flywheel, Facing the Giants, Fireproof, Courageous, War Room, dan Overcomer. Melihat karya Kendrick sebelumnya, Courageous yang mengangkat tema fatherhood, menjadi keputusan yang tepat untuk menempatkan Kendrick sebagai penulis naskah di film kali ini.

“Parenting is a journey” merupakan tagline dari film ini. Narasi dalam film ini menggambarkan dengan jelas tagline tersebut. Starting point film ini dimulai dari sepasang kekasih yang masih berumur 20an tahun, Charlie dan Alice, yang mengambil keputusan untuk menikah. Kemudian, film ini juga mengambil latar waktu saat keduanya menjalani masa tua bersama, yang bukan saja menjadi orang tua bagi anak-anak mereka, tetapi juga menjadi kakek dan nenek bagi cucu-cucu mereka.

Parenting is a journey adalah term yang tepat. Layaknya menempuh perjalanan, tidak selamanya proses itu mulus dan menyenangkan. Begitu juga dengan kehidupan sebagai orang tua. Problem yang terjadi di dalam film ini terasa begitu dekat dengan kehidupan kita karena menampilkan kondisi nyata yang terjadi di dalam keluarga. Film ini juga menggambarkan variasi permasalahan yang dialami orang tua. Salah satu contohnya, saat masuk tahun ke-5 menjadi orang tua, Alice menghadapi kondisi harus mengurus dua orang anak sementara dia masih bergumul dengan trauma masa lalunya bersama orang tuanya. Belum lagi perasaan “sendirian” dan kurang mendapatkan dukungan dalam mengurus anak karena suaminya harus bekerja mencari nafkah.

Pergumulan hidup mereka terjadi silih berganti saat tahun ke-15, 18, 22, dan seterusnya. Saat tahun ke-49, anak-anak Charlie dan Alice menyadari dan bersyukur atas warisan iman yang ditinggalkan untuk mereka.

Mazmur 127:4 mencatat, “Seperti anak-anak panah di tangan pahlawan, demikianlah anak-anak pada masa muda (“Like arrows in the hand of a warrior, are the children[a] of one’s youth.” -Psalm 127:4 ESV) merupakan ayat yang mendasari pembuatan film ini sekaligus diambil menjadi judul film ini.

Alkitab menggambarkan anak sebagai anak panah dan orangtua merupakan “pahlawan” yang memegang anak panah itu untuk dapat tepat menuju sasaran. Hal ini juga mengingatkan kita pada salah satu 5 beliefs Sekolah Athalia, yaitu “anak diciptakan dengan tujuan khusus”. Tugas orangtua adalah mengarahkan anak untuk mencapai tujuan yang Tuhan tetapkan dalam hidup anak, bukan orangtua, seperti anak panah yang tepat ke papan sasaran. Hal ini baru disadari oleh Charlie dan Alice justru di tahun ke-19 pernikahan mereka ketika anak pertama “terhilang” dan menjadi atheis. Sementara itu, anak kedua, yang adalah seorang perempuan, hampir terjebak dalam pergaulan yang salah.

Melihat hal itu, mereka terpikirkan dua anak lainnya yang bisa saja mengikuti jejak kakak-kakaknya. Inilah akhirnya yang membuat kedua orangtua itu menyadari bahwa mereka butuh pertolongan. Allah membuka jalan sehingga mereka dapat belajar melalui kelas parenting di gereja mereka dan menjadi titik balik sebagai orang tua karena diingatkan akan firman Tuhan dalam Mazmur 127: 4.

Dari film ini, ada karakter yang bisa kita pelajari, yaitu kerendahan hati (humility). Kata rendah hati menurut KBBI berarti hal (sifat) tidak sombong atau tidak angkuh. Dalam perjalanannya menjadi orang tua, Alice dan Charlie menyadari miskinnya mereka di hadapan Tuhan. Mereka mencari Tuhan, meminta pimpinan-Nya untuk menjalankan peran sebagai orangtua. Dari pasangan ini, kita bisa berefleksi bahwa, sebagai orang tua, kita tak selayaknya bersikap “know it all” dan terus bersandar kepada Tuhan, Sang Empunya kehidupan.

Sebuah artikel dari diakonia.org menuliskan ada 5 ciri rendah hati menurut Alkitab, yaitu terus mau belajar (Mazmur 25:9), mau mendengarkan orang lain (Amsal 23:9), memercayai kehendak dan rencana Allah (Mazmur 131:1-3), menyadari adanya campur tangan Tuhan dalam kesuksesan kita (Lukas 18:9-14), dan bersabar (1 Petrus 5:6). Kelima ciri ini terlihat sejak Charlie dan Alice mengambil keputusan untuk mencari Tuhan. Meskipun sudah puluhan tahun, mereka tetap mau belajar menjadi orangtua yang benar di mata Tuhan lewat kelas parenting di gereja. Mereka belajar dan mau mendengar nasihat dari komunitas orang percaya tentang parenting. Mereka juga mau belajar mendengarkan anak-anak mereka, bahkan dengan rendah hati bersedia meminta maaf atas kesalahan mereka.

Memercayai kehendak dan rencana Allah tentu tidak dapat terwujud jika kita tidak mengenal Allah. Keputusan Charlie dan Alice untuk mengambil waktu membaca Alkitab bersama seluruh anggota keluarga merupakan keputusan yang tepat. Orangtua yang rendah hati mengenal Tuhan yang rendah hati sehingga mau belajar dari-Nya, “Pikullah kuk yang Kupasang dan belajarlah pada-Ku, karena Aku lemah lembut dan rendah hati dan jiwamu akan mendapat ketenangan” (Matius 11:29).

Tentu ini bukan sesuatu yang mudah. Meskipun sudah taat kepada Tuhan, anak pertama tetap terhilang selama 30 tahun. Namun, Charlie dan Alice tetap sabar menunggu Tuhan menemukan dan membawa anak terkasih mereka kembali percaya pada Tuhan. Mereka juga menyadari adanya campur tangan Tuhan dalam kesuksesan mereka. Charlie dan Alice terus membawa pergumulan mereka dalam doa bersama bahkan mereka menuliskan setiap jawaban dari doa yang mereka naikkan kepada Tuhan sebagai pengingat bahwa ada campur tangan Tuhan di dalam kehidupan mereka.

Film ini sangat direkomendasikan untuk ditonton oleh orang tua dari berbagai angkatan usia. Film ini dapat menjadi inspirasi tentang penerapan karakter rendah hati di dalam mendidik anak. Kita diingatkan kembali untuk terus bergumul bersama Tuhan, menyadari kelemahan kita dan terus bergantung kepada-Nya. Inilah kerendahan hati. [MRT]

Menjadi Tua Bersama

Oleh: Simon Mangatur Tampubolon

“Ya TUHAN, Engkaulah Allahku; aku mau meninggikan Engkau, mau menyanyikan syukur bagi nama-Mu; sebab dengan kesetiaan yang teguh Engkau telah melaksanakan rancangan-Mu yang ajaib yang telah ada sejak dahulu. (Yesaya 25:1)

            “…panjang umurnya, panjang umurnya, panjang umurnya serta mulia, serta mulia, serta mulia…” demikianlah bagian lirik lagu yang kerap dinyanyikan di saat seseorang berulang tahun. Ada harapan di dalamnya untuk lanjut usia dan mulia. Lanjut usia, menjadi tua, dan memiliki rambut putih adalah harapan setiap orang. Harapan itu akan terwujud indah bila dijalani bersama pasangan dan anggota keluarga yang lain karena menjadi tua akan penuh tantangan yang bila dihadapi sendiri akan membuat seseorang berpikir ulang untuk menyanyikan lirik lagu “panjang umurnya.”

            Dalam pesannya kepada anak muda untuk menikmati hidup yang kelak akan dibawa ke pengadilan Allah, Pengkhotbah pada pasal 12 memberikan gambaran tantangan menjadi tua: tak ada kesenangan (ay.1); tua, lemah dan tertekan (ay.2); tubuh mulai gemetar, gigi ompong dan mata kabur (ay.3); pendengaran berkurang (ay.4); takut ketinggian, jalan susah dan impoten (ay.5). Semua itu merupakan gambaran kehidupan yang tentunya sulit bila tidak dilalui bersama keluarga yang saling melayani didasari karena “cinta”.

            Saling melayani karena mencintai syarat utama untuk menjadi tua bersama. Itulah inti dari keluarga. Ingat kata “family” dalam bahasa Inggris berasal dari bahasa Latin “famulus”, yang artinya “servant” (dalam bahasa Indonesia diwakilkan dalam kata “pelayan”). Dalam dinamika untuk tua bersama, keluarga sebagai pelayan harus memiliki dua warisan ilahi yang dituliskan dalam Yesaya 25:1, yaitu kesetiaan yang teguh dan iman akan rancangan Allah yang ajaib.

            Kebersamaan, apalagi di saat-saat sulit, hanya bisa dilalui dengan kesetiaan yang berlandaskan kasih. Setia berarti berpegang teguh pada janji, suatu wujud tanggung jawab iman sebagai seorang pelayan. Kasih dan setia harus selalu bersama karena kasih tanpa kesetiaan hanya meninggalkan luka dan kesetiaan tanpa kasih adalah sebuah perbudakan. Untuk menjadi setia (Inggris: faithful), kita butuh “iman”. Iman inilah yang meyakini bahwa Allah melaksanakan rancangan-Nya yang ajaib.

            Menjadi tua bersama keluarga tidak sekadar dihiasi masalah kesehatan fisik, tetapi juga masalah ekonomi, dan pergumulan kehidupan yang lain dapat saja mengikutinya. Untuk dapat melalui itu bersama, harus ada keyakinan iman bahwa Allah sedang mengerjakan rancangan-Nya yang ajaib sehingga ketabahan dan kekuatan akan selalu ada. Tidak mudah melihat dan memahami keajaiban rancangan Allah tersebut. Oleh karena itu, kita perlu belajar untuk selalu menjadi penemu hal yang baik.

            Kidung Agung mengajarkan bagaimana menjadi penemu barang yang baik itu. Lihat Kidung 4: 1–4, di dalamnya ada tujuh hal yang dipuji di malam pertama: mata, rambut, gigi, bibir, pelipis, leher, buah dada. Bandingkan dengan pujian dalam Kidung Agung 7: 1–5, ada sepuluh hal yang dipuji: langkah, pinggang, pusar, perut, buah dada, leher, mata, hidung, kepala, dan rambut. Seiring bertambahnya waktu, bertambah pula pujian. Ini menandakan bertambahnya pengenalan dan bertambahnya kemampuan melihat yang baik.

            Ketika semua anggota keluarga meyakini bahwa di balik apa pun yang terjadi ada rancangan Allah yang baik dan menjadikan kasih setia sebagai wujud nyata iman, menjadi tua akan dapat dilalui bersama dengan sukacita dan semangat saling melayani. Katakan, “TUA: Tuhan Untuk-Mu Aku Ada.” Amin!

Siapakah Athalia Parent Community?

Oleh: Pengurus APC

Athalia Parent Community (APC) merupakan komunitas orang tua siswa Athalia dari Batita–SMA. Seluruh orang tua siswa merupakan anggota APC. Dibentuk pada 2002, APC digagas oleh para orang tua yang rutin mengikuti kelas parenting yang dibawakan oleh Ibu Charlotte Priatna. Fungsi utama APC, yaitu menjembatani komunikasi antara orang tua dengan sekolah sehingga terjalin kemitraan yang baik.

Berikut adalah struktur BPH (Badan Pengurus Harian) APC periode 2020-2022.

APC memiliki struktur organisasi yang terdiri atas BPH, CPR (Coordinator Parents Relation), CC (Class Coordinator), dan orang tua. BPH, CPR, dan CC merupakan pengurus sukarela yang memiliki hati melayani demi kepentingan siswa dan orang tua. CPR, bersama para CC, melakukan fungsi-fungsi konkret untuk mempererat relasi di antara orang tua siswa, serta relasi dengan sekolah.

Program APC

  • PIT (Parent in Touch). Ini merupakan kegiatan persekutuan doa mingguan yang dihadiri orang tua, guru, dan staf. Saat ini, karena kondisi pandemi, PIT diadakan secara daring setiap Rabu pukul 14.00-15.00.
  • GBK (Gerakan Berbagi Kasih). Ini merupakan gerakan berbagi yang dilakukan dengan sukacita dan sukarela oleh siswa, orang tua, guru, staf, bahkan Yayasan, kepada siswa yang orang tuanya sedang mengalami kesulitan keuangan agar bisa tetap bersekolah. Laporan rutin GBK bisa disimak di ALC News yang terbit setiap bulan.
  • Teacher’s Day. Ini merupakan kegiatan tahunan yang dipersiapkan oleh siswa dan orang tua bagi para guru dan staf.
  • Seminar. Berbagai kegiatan seminar bagi orang tua dilakukan untuk meningkatkan awareness, baik dalam hal parenting maupun relasi dengan pasangan (seminar pasangan, seminar parenting).
  • ABC (Athalia Book Club)*. Kegiatan bulanan yang diadakan oleh para orang tua yang memiliki kegemaran membaca. 
  • Family day. Kegiatan kebersamaan yang diadakan tahunan bagi siswa dan orang tua, serta melibatkan guru dan staf*. 
  • Kegiatan sosial. Pada umumnya, APC mengadakan kegiatan buka puasa bersama atau halal bihalal untuk para OB, CS, dan security.*

*Untuk sementara tidak ada kegiatan.

Kami menyambut para orang tua yang baru bergabung ke dalam Komunitas Athalia. Selamat datang di APC! Kami berharap semakin banyak orang tua yang terpanggil untuk melayani dalam wadah APC ini, membuat komunitas ini semakin solid sehingga kemitraan dengan sekolah senantiasa berjalan dengan baik.

Parents in Touch: KELUARGA YANG BERPUSAT PADA KRISTUS

Oleh: Benny Dewanto, Kepala Bagian PK3 Sekolah Athalia

Gary Thomas, penulis buku-buku pernikahan, mengutarakan pandangan yang jarang dipikirkan oleh banyak orang, yaitu makna keluarga adalah tentang kekudusan, bukan semata kebahagiaan. Thomas berkata bahwa keluarga Kristen perlu memikirkan dan mengarahkan tujuan perjalanan bahteranya pada tujuan kekudusan. Bagi Thomas, makna kekudusan memiliki nilai keutamaan ketimbang kebahagiaan. Sekalipun pandangan ini tidak populer di telinga banyak pasangan, sebagai keluarga yang perlu memikirkan warisan iman bagi setiap anak-anak, pandangan ini penting untuk direnungi. 

Mari kita ikuti pemikiran Gary Thomas yang mendorong bahwa setiap keluarga Kristen seharusnya mengutamakan kekudusan ketimbang “kebahagiaan saja”. Dimulai dari pendalaman 1Korintus 7:1 yang berkata: “Dan sekarang tentang hal-hal yang kamu tuliskan kepadaku. Adalah baik bagi laki-laki, kalau ia tidak kawin.” Kutipan ayat ini mendorong kita untuk mengetahui mengapa Paulus menyarankan laki-laki tidak kawin. Bukankah nasihat ini terkesan bertentangan dengan pemeo pria bahwa mereka adalah mahluk yang memiliki hasrat besar untuk kawin? Rupanya Paulus hendak menyampaikan pesan tentang hasrat yang terkelola melalui kekudusan, bukan hasrat liar percabulan. Bila tidak mampu hidup dalam konsep kudus, lebih baik tidak kawin atau tidak menikah. Di luar konsep kudus, perkawinan menjadi perjalanan hasrat yang nyaris sama dengan percabulan. Kekudusanlah yang membedakan perkawinan yang benar dan dengan yang tidak benar. 

Dari sisi inilah Gary Thomas memberikan perenungan bahwa sasaran kekudusan menjadi hal yang penting dalam kehidupan keluarga Kristen. Kudus adalah berbeda. Kudus adalah kekhususan, tidak serupa dengan dunia, tetapi serupa dengan Kristus. Keluarga Kristen yang berpusat pada Kristus seharusnya menjadi keluarga yang mengutamakan pertumbuhan melalui nilai-nilai Kristus. Keluarga Kristen adalah pelaku penuh hasrat tentang nilai-nilai Kristus. Sedemikian besar hasrat tersebut sehingga sekalipun harus berhadapan dengan kesulitan, sasaran kekudusan tetap dikejar ketimbang sekadar merasa bahagia. Membangun keluarga yang berpusat pada Kristus adalah keluarga yang hidup setia di dalam kuk bersama Kristus dan itulah sasaran nilai kebahagiaannya!


BERDUKA DAN BERIMAN

Oleh: Agape Ndraha, staf Sekolah Athalia

 “Jangan sedih, dia sudah bahagia di surga…” adalah kalimat penghiburan yang sering terucap. Apakah orang percaya tidak seharusnya bersedih ketika menghadapi kematian orang yang dikasihi? Bagaimanakah seorang beriman seharusnya menghadapi dukacita?

Sejak masa Perjanjian Lama sebenarnya sudah dikenal tradisi ratapan ketika seseorang meninggal. “Kemudian matilah Sara…lalu Abraham datang meratapi dan menangisinya (Kejadian 23:2). Penelitian empiris dalam dunia psikologi menemukan bahwa seorang yang mengalami kehilangan akan lebih mampu mengatasi dukacitanya bila kepedihan hati diberi ruang dan dibiarkan berproses (baca artikel berjudul “Memahami Dukacita”). Kehilangan bukanlah peristiwa sehari-hari yang bisa dihadapi dengan hati ringan,  karena hidup tidak lagi sama. Maka wajar bila kita berduka.

Dalam Roma 12:15, Rasul Paulus menulis, “Bersukacitalah dengan orang yang bersukacita, dan menangislah dengan orang yang menangis!” Paulus mengetahui bahwa dalam kondisi tertentu dukacita tidak bisa dihindari dan menangis adalah respons natural. Orang percaya diperbolehkan menangis. Orang percaya juga diminta untuk menopang mereka yang berduka, dengan cara menangis bersama mereka.

Di sisi lain, Paulus mengingatkan bahwa dukacita orang beriman berbeda karena orang Kristen memiliki harapan. “Selanjutnya kami tidak mau saudara-saudara bahwa kamu tidak mengetahui mengenai mereka yang meninggal, supaya kamu tidak berdukacita seperti orang-orang lain yang tidak mempunyai pengharapan” (1 Tesalonika 4:13). Dalam teks asli Alkitab, Paulus menggunakan kata yang bermakna “tertidur” untuk menggambarkan seseorang yang telah meninggal. Paulus ingin menekankan bahwa orang percaya hidup dalam penantian akan kedatangan Yesus yang kedua kali. Mereka yang meninggal tidak hilang begitu saja, melainkan akan dibangkitkan kembali saat Yesus datang, bagai orang yang sedang tertidur kemudian akan bangun kembali. Bila saat itu tiba, kita akan bergabung bersama mereka dan tinggal selamanya bersama Tuhan dalam kemuliaan-Nya.

Paulus tidak mengabaikan atau menyangkal kebutuhan akan ruang untuk emosi negatif. Paulus menekankan bahwa kematian bagi orang Kristen bersifat sementara. Tak seharusnya orang Kristen berduka tanpa batas. Dukacita orang Kristen adalah duka yang diwarnai oleh harapan. Ketika orang Kristen memahami bahwa kematian orang percaya berarti dia pulang kepada Bapa, maka di tengah dukacita tetap terpancar harapan yang memberi penghiburan sejati.

Yang sering kali menjadi persoalan adalah cara kita memandang kehidupan ini. Di manakah fokus kita? Bagi Paulus, hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan. Namun, jika dia harus hidup di dunia ini, itu berarti bekerja memberi buah (Filipi 1:21). Paulus menjalani hidupnya sebagai sesuatu yang bersifat sementara dan harus diisi dengan bekerja bagi Kristus. Dia menyadari bahwa hidupnya bukanlah miliknya, melainkan milik Kristus. Oleh karena itu, pulang ke rumah Bapa dan berada bersama-sama Dia dalam kekekalan adalah hal yang dirindukannya.

Dalam buku Grief Obeserved, C.S. Lewis melukiskan bahwa seseorang bisa dengan santai terlibat dalam permainan menyusun kartu bridge hingga setinggi mungkin… satu demi satu kartu disusun ke atas diselingi tawa dan canda di antara yang bermain bersama. Suasana akan berubah drastis ketika seseorang harus bermain dengan mempertaruhkan nyawanya atau nyawa orang yang dikasihinya. Setiap kesalahan kecil yang dibuat akan menyebabkan tumpukan kartu jatuh dan konsekuensi fatal terjadi.

Demikian juga kita sering kali tidak sungguh-sungguh serius menghadapi hidup. Lewis menuliskan bahwa seseorang memang kadang harus mengalami kejatuhan fatal agar bisa menemukan akal sehatnya. Jadi, bila saat ini kita menghadapi dukacita atau bergumul bersama mereka yang sedang berduka, mungkin ini momen yang dianugerahkan bagi kita untuk berhenti sejenak dan merenung… “Apa sebenarnya hakekat hidup ini?”

Dalam jurnal yang berjudul “Saint Paul’s Approach to Grief: Clarifying the Ambiguity”, R. Scott Sullender, seorang psikolog, penulis buku, sekaligus profesor di sebuah seminari, menuliskan bahwa dalam konteks dukacita, tiap orang membutuhkan ruang untuk mengekspresikan emosinya. Namun, dalam proses itu kita membutuhkan struktur sehingga bisa mendapatkan jeda dan penghiburan yang kita butuhkan. Struktur itu bisa kita temukan misalnya dalam ritual ibadah dan pemahaman doktrin agama. Sebagai contoh, iman akan menimbulkan kebutuhan untuk berelasi dengan Tuhan walau mungkin hanya dengan berdiam diri dan menangis dalam doa. Pemahaman doktrinal akan membuat seseorang mulai mampu berdialog dengan diri sendiri atau mungkin mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada Tuhan untuk mendapatkan peneguhan iman. Ritual ibadah juga akan memberi struktur yang serupa sehingga seseorang tertuntun dalam mengelola dukacitanya (lihat five stages of grief dalam “Memahami Dukacita”).

Kisah Ayub adalah contoh penggambaran keterpurukan seseorang akibat dukacita yang mendalam. Bahkan, Ayub berkata lebih baik dia tidak pernah dilahirkan ke dunia ini (Ayub 3:10-11). Dalam kepedihan hati dan kesakitan fisik, Ayub meneriakkan begitu banyak pertanyaan, bahkan menggugat Allah karena dia tidak paham alasan Tuhan menimpakan banyak musibah kepadanya. Dengan jujur Ayub mengungkapkan emosinya dan Allah membiarkannya. Namun dalam ayat-ayat yang begitu panjang dengan keluh kesah terlihat bagaimana Ayub tidak lari dari imannya pada Tuhan. Iman yang tak meredup membuat dia mengejar Tuhan untuk menemukan jawaban. Di akhir kisah Ayub, kita tahu bahwa Allah tidak menjawab pertanyaan Ayub, tetapi memberi respons yang sesungguhnya dibutuhkan Ayub. Dia membuka pengertian Ayub dan memberi diri-Nya dikenal hingga Ayub pun berkata, “Hanya dari kata orang saja aku mendengar tentang Engkau, tetapi sekarang mataku sendiri memandang Engkau.”

Ayub bertumbuh melalui penderitaan karena iman. Bukan ketika kondisinya dipulihkan Tuhan, melainkan ketika dia bisa memandang Tuhan dengan pemahaman yang sejati. Iman menjadi mitigasi yang menghibur dan menguatkan dalam dukacita dan memberi jeda yang melegakan saat kita mengalami naik turun badai emosi. Sungguh sebuah eureka rohani ketika akhirnya kita bisa klik dengan apa yang Tuhan ingin ajarkan melalui berbagai misteri kehidupan.

Dalam pelayanannya, Paulus beberapa kali menunjukkan pentingnya penghiburan di antara sesama orang percaya. Hal itu dilakukan dengan beberapa cara.

1. Paulus memberi dasar pengertian yang benar mengenai natur dukacita, yaitu bahwa dukacita orang Kristen adalah sementara dan ada harapan akan sukacita mendatang.
2. Paulus mendorong agar sesama orang percaya menghibur dengan kata-kata yang memberi pengharapan dalam pengetahuan tentang kebenaran.
3. Paulus menekankan pentingnya interaksi langsung antarsesama orang percaya dalam memberi penghiburan. Ketika sedang berbeban berat, Paulus sendiri merasakan bagaimana kunjungan Titus dan Timotius sangat menguatkan dirinya. Dia pun sebisa mungkin berupaya mengunjungi jemaatnya untuk menghibur dan menunjukkan kasihnya yang besar kepada mereka.

Sekiranya tauratMu tidak menjadi kegemaranku maka aku telah binasa dalam sengsaraku (Mazmur 119:92)

Memahami Dukacita

Oleh: Agape Ndraha, staf Sekolah Athalia

“Andaikan aku memintanya untuk tetap di rumah saja…”

“Ini RS pasti gak menangani dengan benar…”

“Aku gagal… aku ga mampu menyelamatkan nyawanya… mestinya aku lebih cepat membawanya ke RS…”

Kehilangan seseorang yang dikasihi, apalagi yang selama ini menjadi belahan jiwa, akan menimbulkan dukacita yang mendalam. Ini adalah emosi yang bisa sangat menguasai seseorang dan tidak mudah untuk dihadapi, apalagi bila terjadi secara mendadak. Respons yang muncul umumnya adalah penyesalan, kegundahan yang besar karena meyakini bahwa seharusnya kehilangan ini bisa dihindari, andai saja…

Elizabeth Kübler-Ross dan David Kessler dalam bukunya On Grief and Grieving menuliskan bahwa seseorang yang mengalami grief atau dukacita umumnya akan masuk dalam lima tahap. Tahapan ini tidaklah baku karena manusia adalah individu yang unik. Duka yang dialami atas peristiwa yang sama bisa menimbulkan respons emosi yang berbeda antara satu individu dengan yang lain. Grief bersifat individual sehingga tidak semua orang menjalani pola yang sama dan dalam jangka waktu yang sama. Teori mengenai Five Stages of Grief ini diberikan sebagai upaya menolong seseorang yang mengalami dukacita untuk setidaknya memiliki gambaran tentang apa yang akan dilaluinya, dan untuk mengenali emosi-emosi yang mungkin akan dialami saat berduka.

Denial (Penyangkalan)

 “Rasanya gak percaya dia tidak akan pernah duduk di kursi itu lagi…”

“Dia seperti hanya sedang melakukan perjalanan bisnis ke luar kota seperti biasa, dan sebentar lagi akan menelepon saya…”

Tahap pertama ini tidak berarti seseorang sengaja mengingkari realitas yang ada. Namun kabar yang begitu tiba-tiba bisa membuatnya diserang shock yang hebat dan tak mampu lagi merasa. Bagai terputus dari ruang dan waktu. Respons seperti ini sering kali muncul karena realitas itu terlalu berat untuk ditanggung oleh jiwa. Berita kematian terasa tidak nyata, seperti mimpi, karena otak tidak mampu memrosesnya. Dalam tahap ini, tanpa disadari denial sedang menolong seseorang yang berduka untuk mengelola perasaan, memberinya waktu untuk sedikit berjarak dengan dukacitanya. Tahap ini membawa anugerah tersendiri karena secara natural seseorang akan mampu menerima tekanan hanya sebatas kekuatannya saja. Bila tahap ini tidak hadir, munculnya emosi yang membludak dengan begitu tiba-tiba bisa sangat mengguncangkan.

Di tahap ini mereka yang berduka akan banyak bercerita tentang orang yang dikasihi tersebut, tentang masa akhir hidupnya, rencana yang belum tercapai, dan cerita lain. Ini adalah cara pikiran beradaptasi dengan realitas. Dengan melakukan hal ini, penyangkalan perlahan mulai hilang dan realitas muncul dengan jelas di depan mata, membawa orang masuk ke tahap berikutnya: mencari jawaban. “Mengapa ini semua terjadi, apakah sebenarnya bisa dicegah?”, atau “Apa salahku sehingga pantas menerima ini?” Pada akhirnya, dengan banyaknya pertanyaan yang mulai bermunculan, makin menguat kesadaran bahwa kehilangan itu nyata. Penyangkalan mulai reda seiring dengan proses ini. Berbagai emosi mulai muncul ke permukaan.

Anger (Amarah)

Setelah melewati tahap denial, timbul kesadaran dalam diri. “Ternyata aku cukup kuat untuk menanggung semua ini…ternyata aku masih hidup sampai sekarang…” Namun, seiring dengan itu, emosi lain mulai menyengat… rasa marah, sedih, panik, terluka, sepi… “Aku tidak pantas menerima semua ini… Aku tidak siap! Mengapa? Apa salahku??” Amarah bisa mengarah kepada siapa saja. “Mengapa kamu tega meninggalkan aku?? Mengapa kamu tidak menjaga diri baik-baik??” Kemarahan bisa tertuju pada diri sendiri yang tak berdaya mencegah musibah yang datang, atau pada situasi, atau tentu saja pada Tuhan. “Di mana Tuhan ketika kesulitan ini datang? Bila Dia Tuhan yang Mahakuasa, mengapa Dia tidak berkuasa mencegah kematian suamiku?”

Dalam buku Grief Observed, C.S. Lewis menggambarkan perasaan hatinya dengan kalimat-kalimat yang begitu jujur, saat kehilangan istri yang dicintainya.

Mengapa ketika kita penuh sukacita dan tak membutuhkan Tuhan Dia terasa selalu hadir? Namun, justru ketika kepedihan begitu pekat dan kita berteriak-teriak menggedor pintu-Nya, berharap Dia datang memberi jawab, kenapa Dia membisu? Pintu bukan saja tetap tertutup rapat, bahkan terdengar dentang palang besi terpasang, dan suara nyaring gembok besar terkunci!”

Anger adalah tahap yang dibutuhkan mereka yang sedang berdukacita. Terimalah rasa marah itu. Izinkan diri untuk marah. Berteriaklah jika perlu. Temukan tempat yang tepat dan biarkan amarah keluar. Bicara pada orang terdekat atau konselor, ungkapkan betapa marahnya diri Anda. Cobalah berolahraga seperti berlari atau berenang atau habiskan waktu untuk berkebun. Lakukan apa saja untuk mengeksplor rasa marah tanpa menyakiti orang lain. Makin kita bersedia merasakannya, makin cepat amarah itu pudar. Amarah seperti ini bukan hal buruk karena menunjukkan betapa dalam kasih yang kita miliki pada orang yang telah tiada. Amarah juga adalah reaksi yang wajar ketika seseorang merasa hidupnya tidak adil. Apalagi ketika orang terkasih “direnggut” dari hidup kita, bagaimana kita bisa melihat bahwa hidup ini adil?

Penelitian Dr. Jill Bolte Taylor, seorang neuroanatomist dari Harvard Medical School, menemukan bahwa sesungguhnya ketika peristiwa yang memicu emosi terjadi di lingkungan kita, akan terjadi proses kimiawi di otak sebagai responsnya. Namun, diperlukan hanya 90 detik untuk membuat seluruh reaksi kimiawi itu tersapu keluar dari sistem tubuh kita. Dr. Taylor menyimpulkan bahwa emosi akan selalu datang dan pergi dengan cepat. Namun, bisa saja seseorang tetap merasa marah atau sedih berkepanjangan karena dipicu oleh pikiran-pikiran yang terus menstimulasi munculnya emosi tersebut. Artinya, bila emosi dikelola dengan baik, ini akan berlalu seiring berjalannya waktu. Amarah tidak akan terus menetap dan membawa dampak berkepanjangan. Ketika emosi terus menguasai seseorang, hal itu disebabkan emosi yang tidak dikelola atau memang dia memilih untuk terus berada di dalamnya, secara sadar maupun tidak.

Setelah amarah mereda, kita lebih mampu melihat banyak emosi lain di balik itu. Mungkin rasa pedih, frustrasi, kecewa, iri kepada yang tak mengalaminya. Rasanya seperti tersisih… Kadang, kita terlalu lelah untuk mencoba mengenali emosi ini. Namun, kesediaan untuk menghadapi emosi itu satu per satu, seperti kita menghadapi amarah, akan menolong kita untuk sembuh.

Bargaining (Tawar-menawar)

Fase berikutnya yang umum terjadi adalah pikiran yang terus melayang ke masa sebelum dukacita… “Kalau aku lebih banyak berbuat baik, akankah semua ini berubah jadi sekadar sebuah mimpi buruk?” atau “Kalau saja aku lebih memahami dirinya, mungkinkah dia akan lebih sehat danlebih kuat bertahan…?” Rasa bersalah adalah emosi yang umumnya mendasari fase ini. Kalimat seperti “Tuhan, tolonglah…aku akan lakukan apa pun agar dia kembali…” merupakan respons khas yang dapat muncul juga di fase ini. Seperti telah dijelaskan sebelumnya, Kübler-Ross dan Kessler menuliskan bahwa tahap demi tahap tidak selalu bersifat linear. Seseorang yang berdukacita dapat kembali lagi ke fase sebelumnya, atau bahkan melewati salah satu fase.

Sama seperti pada fase yang lain, penting untuk menerima emosi yang muncul. Rasa bersalah dan tawar-menawar yang dilakukan adalah bagian upaya untuk keluar dari rasa sakit akibat kehilangan, upaya mengalihkan diri dari kepedihan yang sebenarnya. Mereka yang berduka tahu bahwa tawar-menawar tak akan mengembalikan orang yang dikasihinya, tetapi tetap melakukannya selama beberapa waktu karena dapat memberi kelegaan walau sesaat. “Tuhan, bagaimana bila aku saja yang mati dan jangan dia?”  Pikiran-pikiran semacam ini akan terus muncul. Seiring pikiran memproses seluruh tawar-menawar itu, akan muncul kesadaran mengenai realitas yang sesungguhnya: orang terkasih sudah benar-benar pergi selamanya!

Depression (Depresi)

            Perasaan kosong mulai muncul dan dukacita mulai terasa makin dalam. Namun, penting untuk dipahami bahwa depresi yang muncul tidak berhubungan dengan penyakit mental. Ini adalah respons wajar atas rasa kehilangan yang begitu dalam. Ada rasa enggan menghadapi hari. Rasanya ingin terus berada dalam kegelapan dan kesedihan. “Apa gunanya melanjutkan hidup? Apa artinya semua ini bila hanya dihadapi sendiri? Tidak ada alasan untuk bangkit dari tempat tidur. Mengapa harus makan? Untuk apa peduli?”

Dalam situasi ini, banyak yang terdorong untuk menolong agar yang berduka tidak jatuh dalam depresi. Hal itu dianggap sebagai kondisi yang menyedihkan, tidak wajar, dan perlu diperbaiki. Padahal, ini merupakan fase yang dihadapi setiap orang yang berduka. Justru tidak wajar bila kepedihan semacam ini tidak menimbulkan depresi.

Dalam konteks grief, depresi adalah mekanisme yang menjaga diri kita dengan cara menutup sistem saraf sedemikian rupa sehingga kita terlindungi dari perasaan yang belum sanggup kita tangani saat ini. Bila kita mendampingi seseorang yang sedang depresi, berhati-hatilah untuk tidak memintanya segera keluar dari situasi tersebut. Ibaratnya, saat itu badai besar sedang mengamuk di sekelilingnya. Dengan meminta dia segera menyelesaikan kedukaannya, kita bagai memintanya untuk masuk ke dalam perahu dan pergi di tengah badai!

Depresi memang bukan perasaan yang menyenangkan. Namun, cara terbaik menanganinya adalah dengan menyambutnya bagai tamu yang tidak kita inginkan, tetapi tak bisa kita tolak kehadirannya. Beri tempat baginya, biarkan rasa sedih dan kosong itu menyapu diri kita. Sebaliknya, menghambat kehadirannya hanya akan membuat kita terus- menerus diganggu oleh “gedorannya di depan pintu kita”. Depresi akan berlalu begitu kita membiarkan diri mengalaminya. Kemudian, seiring waktu kita menjadi lebih kuat, mulai kembali menjalani hidup. Namun, dari waktu ke waktu tamu tak diundang itu akan hadir kembali, membawa rasa kosong dan pedih yang mendalam ketika kita mengingat sosok terkasih yang telah tiada. Pengalaman melewati depresi sebelumnya akan memberi keyakinan bahwa kali ini kita akan bisa melaluinya. “Sudah setahun sejak anak saya meninggal… Saya sudah lebih baik… Saya mengira seluruh dukacita ini sudah berlalu. Namun, depresi itu datang kembali, seperti berteriak keras menghantam saya dan meninggalkan rasa kosong yang begitu dalam. Saya tahu saya harus menghadapinya lagi seperti dulu… Saya sudah belajar bahwa cara menghadapi badai hanyalah dengan melaluinya.”

Acceptance (Penerimaan)

Banyak yang mengira acceptance terjadi ketika kita bisa menerima kehilangan dan menganggapnya sebagai peristiwa yang biasa saja. Namun, acceptance bukanlah seperti itu. Tahap ini adalah tentang menerima kenyataan bahwa dia yang kita kasihi telah meninggalkan kita selamanya. Kita tak akan pernah menyukai realitas ini atau merasa baik-baik saja. Namun, pada akhirnya kita akan menerimanya dan belajar untuk hidup berdampingan dengan rasa kehilangan ini. Kita mungkin akan berhenti marah kepada Tuhan, berhenti mencari jawaban, dan menerima bahwa memang sudah waktunya kekasih hati kita pergi. Sementara bagi kita, inilah waktunya untuk sembuh.

Dengan berjalannya waktu, ketika kita sedikit demi sedikit belajar hidup berdampingan dengan realitas, kita akan melihat bahwa ada hal-hal yang perlu diselaraskan karena hidup telah berubah selamanya. Kita perlu mengatur ulang peran kita, melepaskan tanggung jawab yang tak bisa kita pikul, dan melakukan penyesuaian lainnya. Acceptance adalah proses yang membutuhkan waktu. Griefing antara satu orang dengan yang lainnya berbeda karena sifatnya yang sangat personal.

Sedikit demi sedikit, energi yang kita curahkan pada kepedihan akan teralih pada hidup yang ada di hadapan kita. Kita mulai membangun perspektif baru, menemukan cara untuk mengenang dia yang telah pergi, dan menyelaraskan diri. Dalam proses ini, kita semakin mengenal diri. Anehnya, seiring dengan proses melewati dukacita ini, kita merasa makin dekat dengan kekasih yang telah pergi. Berbagai kenangan tentangnya mulai memberi kehangatan dan bukan lagi luka. Kita mulai belajar menyatukan lagi pecahan-pecahan hidup kita. Kita memulai relasi dan kisah baru, memberi perhatian kepada apa yang kita butuhkan. Kita bergerak, berubah, bertumbuh. Kita mulai hidup lagi…

Itu semua akan terjadi bila kita memberi waktu pada diri kita untuk berduka.

TIPS. Bagaimana mendukung seseorang yang sedang mengalami dukacita?

1. Pahami tahap-tahap yang umumnya terjadi pada seseorang yang sedang mengalami kedukaan.

2. Kedukaan bersifat personal. Oleh karena itu, penanganannya bisa berbeda antara satu individu dengan yang lain. Bersabarlah bersama mereka untuk melalui tahap demi tahap sesuai kondisi masing-masing.

3. Seorang yang berduka perlu diberi kesempatan untuk berproses dan mengalami kesedihannya. Umumnya kita ingin menolong agar dia kembali bahagia, tetap melihat sisi positif, dan fokus pada berbagai hal baik yang hadir di sekelilingnya. Namun, sikap seperti itu bila terlalu cepat dikomunikasikan hanya akan membuat yang berduka makin terluka karena merasa kesedihannya dianggap tidak penting.

4. Tawarkan bantuan. Kita bisa menemani, memberi informasi, memberi dukungan dana, memberi bantuan transportasi, membelikan kebutuhan sehari-hari, membelikan mainan untuk anak, dan lain-lain.

BERDUKA DAN BERIMAN

 “Jangan sedih, dia sudah bahagia di surga…” adalah kalimat penghiburan yang sering terucap. Apakah orang percaya tidak seharusnya bersedih ketika menghadapi kematian orang yang dikasihi? Bagaimanakah seorang beriman seharusnya menghadapi dukacita?

Berdasarkan penelitian empiris, psikolog menemukan bahwa seorang yang mengalami kehilangan akan lebih mampu mengatasi dukacitanya bila kepedihan hati diberi ruang dan dibiarkan berproses (baca artikel berjudul “Memahami Dukacita”). Kehilangan bukanlah peristiwa sehari-hari yang bisa dihadapi dengan hati ringan. Setelah mengalami kematian orang terkasih, hidup tidak akan pernah sama. Oleh karena itu, sangat wajar apabila kita berduka setelah kepergian orang terkasih.

Dalam Roma 12:15, Rasul Paulus menulis, “Bersukacitalah dengan orang yang bersukacita, dan menangislah dengan orang yang menangis!” Paulus mengetahui bahwa dalam kondisi tertentu dukacita tidak bisa dihindari dan menangis adalah respons natural. Orang percaya diperbolehkan menangis. Orang percaya juga diminta untuk menopang mereka yang berduka, dengan cara menangis bersama.

Di sisi lain, Paulus mengingatkan bahwa dukacita orang beriman berbeda karena orang Kristen memiliki harapan. “Selanjutnya kami tidak mau saudara-saudara bahwa kamu tidak mengetahui mengenai mereka yang meninggal, supaya kamu tidak berdukacita seperti orang-orang lain yang tidak mempunyai pengharapan” (1 Tesalonika 4:13). Dalam teks asli Alkitab, Paulus menggunakan kata yang bermakna “tertidur” untuk menggambarkan seseorang yang telah meninggal. Paulus ingin menekankan bahwa orang percaya hidup dalam penantian akan kedatangan Yesus yang kedua kali. Mereka yang meninggal tidak hilang begitu saja, melainkan akan dibangkitkan kembali saat Yesus datang, bagai orang yang sedang tertidur kemudian akan bangun kembali. Bila saat itu tiba, kita pun akan bergabung bersama mereka dan tinggal selamanya bersama Tuhan dalam kemuliaan-Nya.

Paulus tidak mengabaikan atau menyangkal kebutuhan akan ruang untuk emosi negatif. Paulus menekankan bahwa kematian bagi orang Kristen bersifat sementara. Tak seharusnya orang Kristen berduka tanpa batas. Dukacita orang Kristen adalah duka yang diwarnai oleh harapan. Ketika orang Kristen memahami bahwa kematian adalah kepulangan ke rumah Bapa, di tengah dukacita dia tetap bisa memancarkan harapan yang memberinya penghiburan sejati.

Yang sering kali menjadi persoalan adalah cara kita memandang kehidupan ini. Di manakah fokus kita? Bagi Paulus, hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan. Namun, jika dia harus hidup di dunia ini, itu berarti bekerja memberi buah (Filipi 1:21). Paulus menjalani hidupnya sebagai sesuatu yang bersifat sementara dan harus diisi dengan bekerja bagi Kristus. Dia menyadari bahwa hidupnya bukanlah miliknya, melainkan milik Kristus. Oleh karena itu, pulang ke rumah Bapa dan berada bersama-sama Dia dalam kekekalan adalah hal yang dirindukannya.

Dalam buku Grief Obeserved, C.S. Lewis melukiskan bahwa seseorang bisa dengan santai terlibat dalam permainan menyusun kartu bridge hingga setinggi mungkin… satu demi satu kartu disusun ke atas diselingi tawa dan canda di antara yang bermain bersama. Suasana akan berubah drastis ketika seseorang harus bermain dengan mempertaruhkan nyawanya atau nyawa orang yang dikasihinya. Setiap kesalahan kecil yang dibuat akan menyebabkan tumpukan kartu jatuh dan konsekuensi fatal terjadi.

Demikian juga kita sering kali tidak sungguh-sungguh serius menghadapi hidup. Lewis menuliskan bahwa seseorang memang kadang harus mengalami kejatuhan fatal agar bisa menemukan akal sehatnya. Jadi, bila saat ini kita menghadapi dukacita atau bergumul bersama mereka yang sedang berduka, mungkin ini momen yang dianugerahkan bagi kita untuk berhenti sejenak dan merenung… “Apa sebenarnya hakekat hidup ini?”

Dalam jurnal yang berjudul “Saint Paul’s Approach to Grief: Clarifying the Ambiguity”, R. Scott Sullender, seorang psikolog, penulis buku, sekaligus profesor di sebuah seminari, menuliskan bahwa dalam konteks berdukacita, tiap orang membutuhkan ruang untuk mengekspresikan emosinya. Namun, kenyataannya, banyak orang yang berusaha menekan kedukaannya dan mengalihkannya kepada hal lain. Dia tidak memberikan kesempatan kepada dirinya untuk griefing dan melewati lima fase berduka.

Sebuah studi yang dipublikasikan Cambridge University menemukan bahwa dukacita yang sehat akan mencapai puncaknya dalam 4-6 bulan, kemudian sedikit demi sedikit mereda, seiring dengan tahapan grief yang dilewati. Sullender menuliskan bahwa dalam mengekspresikan kepedihan, kita membutuhkan struktur, jeda, dan penghiburan. Itu bisa kita temukan dalam ritual ibadah serta pemahaman doktrin agama. Keimanan seseorang akan memberinya struktur dalam menghadapi dukacita. Sebagai contoh, iman akan menimbulkan kebutuhan untuk berelasi dengan Tuhan walau mungkin hanya dengan berdiam diri dan menangis dalam doa. Pemahaman doktrinal akan membuat seseorang mulai mampu berdialog dengan diri sendiri dan mengelola emosinya. Ritual ibadah juga akan memberi struktur yang serupa sehingga seseorang tertuntun dalam mengelola dukacitanya (lihat five stages of grief dalam “Memahami Dukacita”).

Kisah Ayub adalah contoh penggambaran keterpurukan seseorang akibat dukacita yang mendalam. Bahkan, Ayub berkata lebih baik dia tidak pernah dilahirkan ke dunia ini (Ayub 3:10-11). Dalam kepedihan hati dan kesakitan fisik, Ayub meneriakkan begitu banyak pertanyaan, bahkan menggugat Allah karena dia tidak paham alasan Tuhan menimpakan banyak musibah kepadanya. Dengan jujur, Ayub mengungkapkan emosinya dan Allah membiarkannya. Namun, dalam ayat-ayat yang begitu panjang yang berisi keluh kesah, tergambar dengan jelas bahwa tidak sedikit pun keimanan Ayub goyah. Iman yang sebelumnya membuat dia selalu hidup beribadah pada Tuhan tetap hidup dan membuatnya mengejar Tuhan untuk menemukan jawaban. Di akhir kisah Ayub kita tahu bahwa Allah tidak menjawab pertanyaan Ayub, tetapi memberi respons yang sesungguhnya dibutuhkan Ayub. Dia membuka pengertian Ayub dan memberi diri-Nya dikenal oleh Ayub hingga Ayub pun berkata, “Hanya dari kata orang saja aku mendengar tentang Engkau, tetapi sekarang mataku sendiri memandang Engkau.”

Ayub bertumbuh melalui penderitaan karena iman. Bukan ketika kondisinya dipulihkan Tuhan, melainkan ketika dia bisa memandang Tuhan dengan pemahaman yang sejati. Iman menjadi mitigasi yang menghibur dan menguatkan dalam dukacita, dan memberi jeda yang melegakan saat kita mengalami naik turun badai emosi. Sungguh sebuah eureka rohani ketika akhirnya kita bisa klik dengan apa yang Tuhan ingin ajarkan melalui berbagai misteri kehidupan.

Dalam pelayanannya, Paulus beberapa kali menunjukkan pentingnya penghiburan di antara sesama orang percaya. Hal itu dilakukan dengan beberapa cara.

1. Paulus memberi dasar pengertian yang benar mengenai natur dukacita, yaitu bahwa dukacita orang Kristen adalah sementara dan ada harapan akan sukacita mendatang.
2. Paulus mendorong agar sesama orang percaya menghibur dengan kata-kata yang memberi pengharapan dalam pengetahuan tentang kebenaran.
3. Paulus menekankan pentingnya interaksi langsung antarsesama orang percaya dalam memberi penghiburan. Ketika sedang berbeban berat, Paulus sendiri merasakan bagaimana kunjungan Titus dan Timotius sangat menguatkan dirinya. Dia pun sebisa mungkin berupaya mengunjungi jemaatnya untuk menghibur dan menunjukkan kasihnya yang besar kepada mereka.

Sekiranya tauratMu tidak menjadi kegemaranku maka aku telah binasa dalam sengsaraku (Mazmur 119:92)