Melanjutkan “Tongkat Estafet” Gary dan Anne Marie Ezzo

Oleh: Chandria Wening Krisnanda (Konselor Bina Karir Sekolah Athalia)

Perjalanan Gary dan Anne Marie Ezzo, sepasang suami istri penggagas kelas parenting GKGW dimulai pada tahun 1984. Mereka terpanggil untuk berbagi tentang hal-hal praktis dalam mendidik anak yang berfokus pada kemuliaan Tuhan. Keduanya mengawali pelayanan kelas parenting “Membesarkan Anak dengan Cara Allah” atau “Growing Kids God’s Way” kepada enam pasutri di Los Angles. Kini, konsep Growing Kids God’s Way (GKGW) telah dibagikan secara luas dan memberkati banyak pasangan, termasuk Komunitas Sekolah Athalia.

Sebenarnya, apa tujuan dari kelas parenting ini?

Membentuk anak untuk memuliakan Tuhan, bukan memuliakan manusia

Beberapa orang tua sering memosisikan anak sebagai objek yang sama sekali tidak memiliki hak. Orang tua cenderung sangat ingin dihormati dan dimuliakan oleh anak secara berlebihan dengan dalih pendisiplinan. Padahal, semua hormat dan kemuliaan sejatinya hanya untuk Tuhan.

Memberikan petunjuk praktis yang dapat menolong orang tua untuk memahami cara dan penerapan dalam mendidik anak secara alkitabiah

Setiap keluarga biasanya mempunyai cara untuk mendidik anak. Namun Gary dan Anne Marie Ezzo merumuskan dasar dan silabus yang terintegrasi sesuai dengan karakteristik iman Kristen, sehingga semua cara dan prinsip yang diterapkan di setiap keluarga tidak menjadi kesia-siaan di hadapan Allah Bapa.

Menumbuhkan rasa percaya diri orang tua

Apakah kita pernah ragu-ragu saat mendisiplin anak? Apakah kita gelisah ketika melihat anak menangis sambil meronta seolah-olah orang tua berada pada posisi yang salah? Apakah kita sulit mengucapkan kata “maaf”?

Banyak pasangan merasa ragu-ragu saat mendidik anak. Kelas parenting ini hadir untuk meneguhkan para orang tua dalam menjalani perannya. Gary dan Anne Marie Ezzo memberikan teladan dan membagikan pengalamannya untuk mendidik anak dengan percaya diri. Rasa percaya diri bersumber dari Firman Tuhan yang menyatakan kebenaran dan penerapannya secara memadai. Perasaan percaya diri akan membantu orang tua mengembangkan kemampuan berkualitas untuk menjalankan perannya saat ini!

Menolong orang tua untuk melihat masa remaja anak mereka dengan cara pandang yang positif

“Anakku sudah ABG dan mulai sulit diatur, nih…”

Keluhan tersebut mungkin sering kita dengar. Menginjak remaja, biasanya konflik dengan anak lebih sering terjadi. Namun jangan khawatir. Gary dan Anne Marie Ezzo meyakinkan para orang tua bahwa mendidik anak remaja dapat menjadi salah satu hal paling menyenangkan jika kita terus berpegang pada standar Tuhan.

Menjangkau hati dan pikiran generasi yang akan datang

Kita membutuhkan dua generasi untuk mewujudkan dampak dari suatu perubahan. Gary dan Anne Marie Ezzo rindu untuk membentuk cara pikir yang alkitabiah dalam diri setiap orang tua agar mereka dapat meneruskannya bagi generasi selanjutnya. Pola pikir generasi masa kini dapat dijangkau jika pola pikir orang tua diperbaharui terlebih dahulu.

Lima tujuan tersebut menjadi pendorong bagi Sekolah Athalia untuk menyelenggarakan kelas parenting GKGW beberapa tahun lalu. Banyak pasangan sangat terberkati dan belajar hal baru. Apa kata mereka setelah mengikuti kelas GKGW?

Kami mengikuti GKGW karena ingin mendidik anak dengan benar. Banyak prinsip baru yang kami pelajari di pertemuan GKGW. Kini, kami memiliki relasi yang hangat dengan anak yang sudah berusia remaja berkat penerapan nilai-nilai GKGW. Kami juga rindu kelas ini dapat memberkati keluarga besar, sehingga pola asuh yang benar dapat diterapkan di dalam keluarga besar dan orang-orang terdekat kami!

(Beryl & Anita)

Saat saya dan suami memutuskan untuk taat melakukan apa yang telah diajarkan dalam GKGW, kami sekeluarga dapat melihat perubahan dalam relasi kami sebagai orang tua dengan anak-anak. Tentu, semua ini butuh proses yang cukup lama: bertahun-tahun, bahkan sampai sekarang pun saat anak-anak sudah dewasa, kami terus menerapkan ajaran GKGW. Harapan kami, nantinya anak-anak juga mau belajar GKGW ketika mereka sudah berkeluarga.

(Djulia)

Semoga Komunitas Sekolah Athalia dapat melanjutkan “tongkat estafet” Gary dan Anne Marie Ezzo sehingga bisa melahirkan generasi masa depan yang benar sejak awal!

Sumber:

Ezzo, G., & Ezzo, A.M. (2001). Let The Children Come-Along The Virtuous Way: Membesarkan Anak dengan Cara Allah. Bogor: Yayasan Bina Keluarga Indonesia.

Icon Camp SMA Athalia 2022

Oleh: Bella Kumalasari, staf Pengembangan Karakter Sekolah Athalia

Pendidikan karakter di Sekolah Athalia dimulai sejak dini. Siswa dibentuk untuk menjadi pribadi yang bersukacita, bertanggung jawab atas kewajibannya, serta peduli dengan sekitar. Semua itu bertujuan mempersiapkan siswa agar dapat memberi dampak dan berkontribusi secara lebih luas bagi masyarakat, seiring mereka memasuki dunia perguruan tinggi. Oleh sebab itu, profil karakter siswa SMA Athalia adalah Influencing and Contributing.

ICON Camp (Influencing and Contributing Camp) menjadi salah satu sarana pembentukan karakter siswa SMA Athalia yang diadakan secara khusus di kelas 11. Melalui kamp ini, siswa diingatkan kembali mengenai karakter yang mereka pelajari selama di jenjang SMA. Mereka diberi ruang untuk mengevaluasi diri—sudah sejauh mana belajar dan menghidupi karakter-karakter yang dibinakan—dan mengembangkan karakter-karakter tersebut di masa mendatang dengan lebih baik.

ICON Camp SMA Athalia tahun ini mengangkat tema “Be You Till Full”. Para guru mencermati, pembelajaran di masa pandemi memang dilakukan secara terbatas, tetapi di sisi lain siswa memiliki ruang yang luas untuk mengeksplorasi minat dan bakatnya. Bukankah hal ini dapat menjadi kesempatan untuk mendorong siswa memaksimalkan minat dan bakatnya untuk berdampak dan berkontribusi secara lebih luas?

Sebelum pelaksanaan ICON Camp, siswa menjalani tes psikologi untuk mengenal bakat dan minatnya, kemudian dibagi ke dalam kelompok dengan anggota yang memiliki kecerdasan berbeda-beda. Mereka diminta untuk merancang sebuah proyek ICON yang akan disayembarakan pada hari H. Di sini, setiap siswa belajar untuk bekerja sama dan mengambil bagian dalam melakukan proyek ICON.

Ketika hari ICON Camp tiba, siswa mengikuti acara selama dua hari. Di hari pertama mereka dipandu untuk mengenal diri dan memaksimalkan kelebihan untuk menjadi berkat bagi orang lain melalui materi, permainan, dan diskusi. Di hari kedua, siswa diberi kesempatan untuk mendengarkan pemaparan dari beberapa narasumber yang sudah menunjukkan influencing and contributing dalam hidupnya, seperti mendirikan rumah baca di daerah terpencil serta membuka usaha pengolahan sampah.

Kisah ICON dari para narasumber ditutup dengan presentasi siswa mengenai proyek ICON yang sudah mereka rancang. Dari lima belas kelompok, terpilih tiga kelompok dengan rancangan proyek terbaik. Proyek terbaik pertama adalah Thrift It, yaitu penjualan baju bekas layak pakai ataupun baju-baju sisa ekspor sebagai salah satu cara mencari dana untuk nantinya didonasikan kepada orang yang membutuhkan. Proyek terbaik kedua adalah Ecomplex, yaitu pengolahan sampah dapur (sisa kulit buah dan sayuran busuk)  atau sampah organik menjadi produk daur ulang berupa pupuk cair. Proyek terbaik ketiga, Maskerin (masker kain), merupakan proyek mengampanyekan gerakan memakai masker kain daripada masker sekali pakai.

Kiranya melalui proyek-proyek yang akan direalisasikan ini, siswa dapat berlatih untuk merencanakan, mengelola, serta memperjuangkan sesuatu yang dapat membawa pengaruh dan dampak bagi sesama dan lingkungan. Proyek ICON menjadi miniatur proyek-proyek nyata yang dapat dilakukan oleh siswa di masa yang akan datang dalam lingkup yang lebih luas. Karena sesungguhnya setiap siswa dipanggil untuk menjadi murid Tuhan yang menjadi terang dan garam bagi dunia (Matius 5:13-16).

Tips Mendampingi Anak TK dan SD Kembali Sekolah Onsite

Oleh: Chandria Wening Krisnanda (Konselor Bina Karir Sekolah Athalia)

Belakangan, kasus harian orang yang terpapar COVID-19 tidak sebanyak dulu. Bahkan, per 17 Mei 2022 Jokowi mengumumkan bahwa masyarakat diperbolehkan tidak menggunakan masker ketika berkegiatan di luar ruangan atau di area terbuka yang tidak padat orang (Nugraheny, 2022). Kondisi ini mendorong sekolah-sekolah mulai memberlakukan sistem pembelajaran onsite di semester depan.

Bagi beberapa anak TK dan SD, kembali belajar di sekolah setelah lebih dari dua tahun menjalani PJJ (Pembelajaran Jarak Jauh) membutuhkan proses penyesuaian. Orang tua perlu membantu anak agar merasa nyaman ketika menjalani masa transisi ini. Bagaimana caranya? Dalam laman resminya, UNICEF menyebutkan beberapa tips yang dapat dilakukan orang tua.

1. Dengarkan anak

Dengarkan dengan saksama ketika anak bercerita tentang kekhawatirannya. Untuk anak yang berusia lebih kecil, kita dapat melakukan role play di rumah yang menggambarkan situasi “back to school”. Orang tua juga bisa mengajak anak menggambar bersama untuk setiap tahapan yang harus mereka lakukan nantinya saat kembali ke sekolah.

2. Membantu anak membuat persiapan

Dampingi anak untuk mempelajari aturan-aturan baru saat mereka kembali ke sekolah. Jangan lupa untuk mendiskusikan tentang apa yang mereka rasakan. Jika ada hal penting yang diceritakan anak, maka kita dapat mengomunikasikannya dengan guru mereka.

3. Tetap tenang

Ingatlah bila anak usia TK dan SD sangat mudah menyerap dan meniru respons orang tuanya terhadap suatu peristiwa. Kita perlu tetap bersikap tenang agar anak dapat merasa lebih nyaman dan aman.

4. Buatlah rencana perpisahan

Untuk anak yang berusia lebih besar, kita dapat mencoba beberapa cara berikut jika ia kesulitan menghadapi perpisahan dengan orang tua.

●        Berikan kesan perpisahan yang positif.

●        Beri tahu anak bahwa akan ada momen “perpisahan sementara”.

●        Ceritakan dengan kata-kata yang jelas dan mudah dipahami.

●        Ingatkan ke anak bahwa kita akan bertemu kembali dengan mereka.

●        Jangan terlihat ragu-ragu saat melakukan perpisahan.

●        Jemput mereka tepat waktu dan sesuai dengan rencana.

●        Lakukan kebiasaan yang sama setiap kali akan mengantar dan menjemput anak.

Kita bisa menjadikan momen kembali ke sekolah sebagai proses belajar bagi anak untuk lebih dewasa dalam menghadapi “perpisahan”. Yang perlu diperhatikan orang tua adalah cara berkomunikasi dengan anak sesuai dengan usianya. Jika anak berhasil melalui proses ini, maka ia akan belajar lebih mandiri dan cepat beradaptasi untuk hal atau kebiasaan baru lainnya.

Referensi:

Nugraheny. (2022). Jokowi Bolehkan Warga Lepas Masker di Area Terbuka. Diakses pada tanggal 19 Mei 2022, https://nasional.kompas.com/read/2022/05/17/17235791/jokowi-bolehkan-warga-lepas-masker-di-area-terbuka.

UNICEF.  (n.d.). How to Support Your Child through Reopening. Diakses pada tanggal 10 Mei 2022, https://www.unicef.org/coronavirus/support-child-covid-reopening.

Allah Tidak Berubah

Oleh: Ngatmiati, Staf Kerohanian Sekolah Athalia.

Semuanya itu akan binasa, tetapi Engkau tetap ada, dan semuanya itu akan menjadi usang seperti pakaian, seperti jubah Engkau akan mengubah mereka, dan mereka berubah; tetapi Engkau tetap sama, dan tahun-tahun-Mu tidak berkesudahan. Anak hamba-hamba-Mu akan diam dengan tenteram, dan anak cucu mereka akan tetap ada di hadapan-Mu. (Mazmur 102:26-28)

Tidak berubah adalah salah satu atribut Allah. Sifat, kuasa, dan otoritas-Nya tetap sama dari tahun ke tahun. Jika barang-barang di dunia ini akan menjadi usang seiring berjalannya waktu, tidaklah demikian dengan Allah. Ia tetap Allah yang sama! Bukankah kesadaran ini akan memberikan ketenteraman di hati orang percaya? Fakta ini juga yang akan memampukan manusia untuk bertahan dalam berbagai tantangan kehidupan.

            Tentang hal ini, ada sebuah refleksi yang saya dapatkan saat berlibur ke rumah keponakan akhir tahun lalu. Hari terakhir tahun itu—31 Desember 2021—saya menemani cucu (anak keponakan) bermain di pantai. Suasana pagi itu agak mendung. Benar saja, tidak lama kemudian, hujan turun. Saya sempat merasa dilema: mau tetap melanjutkan main di pantai sambil hujan-hujanan atau kembali ke rumah? Namun akhirnya, saya dan cucu keponakan memutuskan untuk tetap bermain di pantai. Ternyata, hujan tidak berlangsung lama. Sesaat kemudian, matahari kembali bersinar. Tiba-tiba, cucu saya berteriak, “Pelangi! Pelangi!”

Saya mendongak ke langit dan melihat pelangi. Rasanya, seperti mendapat sebuah pesan pribadi di akhir tahun, bahwa saya akan menjalani tahun 2022 bersama Allah yang setia pada janji-Nya. Hal ini memberikan rasa tenang di hati karena tahu bahwa kasih setia dan kuasa Allah tidak pernah berubah. Seperti Ia menyertai, mengasihi, dan menolong saya di tahun-tahun lalu, anugerah-Nya akan tetap sama di tahun yang baru.

Waktu itu saya sedang bersantai di pantai. Tiba-tiba, seekor anak kucing mendekat dan duduk di pangkuan saya. Tidak lama, dia tertidur dengan sangat nyaman. Bahkan, ketika saya berusaha mengangkat tangan, anak kucing itu menarik-narik tangan saya kembali, seolah takut kehilangan. Hal ini membuat saya berpikir, apakah saya pun seperti itu terhadap Allah? Apakah saya juga tidak ingin jauh dari Allah? Karena bersama dengan-Nya yang tidak berubah akan memampukan saya menghadapi setiap tantangan atau kesulitan yang terjadi di depan. Kasih setia dan kuasa Allah tidak akan lekang oleh waktu!

Allah Yang Mahakuasa

Susiana, Orang Tua Siswa.

Aku percaya Tuhanku Mahakuasa. Dia mampu melakukan apa pun yang kadang tidak terpikirkan oleh manusia.

Enam tahun lalu, anak sulungku—Ariel—yang waktu itu duduk di kelas 12, sakit DBD. Setelah beberapa hari dirawat di rumah sakit, kondisinya membaik. Dokter bilang, besok ia boleh pulang ke rumah. Namun, saat dokter melakukan pemeriksaan hari itu, ditemukan bahwa ada kuman yang menyerang separuh dari paru-parunya sehingga Ariel harus dirawat di HICU.

Selama empat hari pertama di HICU, ia berada dalam masa kritis. Empat hari itu pula, hatiku menangis melihat banyak selang di tubuh Ariel. Warna tubuhnya juga berubah menjadi kuning pekat sebagai efek dari sakit paru-paru yang sudah merembet ke hati. Sebagai ibu, aku terus memohon belas kasihan Tuhan karena hanya Dia yang sanggup menyembuhkan Ariel. Kiranya, dokter dan obat-obatan menjadi perpanjangan tangan-Nya untuk menolong Ariel kembali pulih.

Selama Ariel dirawat di HICU, ada sesuatu yang membuatku heran. Setiap kali makan, anakku minta disuapi oleh papanya. Padahal, selama ini dia hanya dekat denganku. Aku melihat mereka bisa mengobrol, bercanda, dan berdoa bersama meskipun Ariel masih kesulitan bicara karena sesak napas.

Di hari keenam Ariel dirawat di HICU, ia mengajak kami berdoa. Aku dan suamiku merasa kaget sekaligus senang karena biasanya kamilah yang mengajaknya berdoa. Kali ini, dia yang memimpin doa. Ariel memegang tanganku dan suami, kemudian menyatukannya. Dengan suara tersengal-sengal karena sesak napas, dia mulai berdoa.

“Tuhan, Ariel percaya bahwa sakit ini bukan untuk membuat Ariel menderita, tapi Tuhan mau membuat keluarga Ariel lebih baik lagi.”

Mendengar itu, aku dan suamiku kaget. Kami berdua menangis. Seketika itu pula, aku merasa Tuhan membukakan mata dan hatiku sambil berkata, “Inilah Aku yang penuh kuasa.” Aku tidak bisa berkata-kata selain mengucap syukur di dalam hati. Tuhan sudah menjamah hati anakku sedemikian rupa hingga dalam kondisi sakit pun dia bisa melihat rencana indah yang Tuhan siapkan untuk keluarga kami.

Selama sakit sampai harus dirawat di HICU, Ariel menjalani semua rangkaian pengobatan tanpa mengeluh. Namun, aku tidak pernah menyangka, anakku punya pemikiran seperti dalam doanya itu. Tuhan sungguh menjamah dia!

Setelah melalui berbagai proses, akhirnya kondisi Ariel membaik sehingga dipindahkan ke kamar biasa. Setelah dirawat selama hampir satu bulan di rumah sakit, akhirnya dia diizinkan pulang! Sejak saat itu, Ariel menjadi lebih dekat dengan kami, terlebih papanya. Lagi-lagi, aku diingatkan bahwa Allah yang Mahakuasa bisa memakai peristiwa apa pun untuk membuat hubungan ayah dan anak menjadi lebih dekat. Aku percaya, semua rancangan-Nya indah karena Ia sangat mengasihi kita.

Caring and Sharing

Caring and Sharing merupakan profil karakter SMP Athalia. Untuk menolong siswa semakin menghidupi karakter ini, Sekolah Athalia mengadakan CaS-Camp (Caring and Sharing Camp) untuk siswa kelas 8. Kegiatan ini dilaksanakan pada hari Jumat, 11 Maret 2022 yang lalu. Namun, beberapa hari sebelum acara puncak, para siswa sudah memulai rangkaian acara CaS-camp dengan melakukan beberapa challenge caring and sharing di rumah, misalnya dengan membantu anggota keluarga atau menunjukkan kepedulian kepada orang di sekitar. Saat acara puncak, siswa dibagi menjadi beberapa kelompok, masuk ke dalam break out room ZOOM, dan memainkan beberapa games untuk melatih karakter caring and sharing bersama teman sekelompok. Di akhir kegiatan, siswa diteguhkan dengan kebenaran Firman Tuhan yang menjadi landasan dalam menghidupi profil karakter caring and sharing. Sesi ini dibawakan oleh Lao Shi Wendy, seorang youth pastor.

Sebelum Firman disampaikan, para siswa diminta untuk berdiskusi tentang pandangan dan pemikirannya terhadap fenomena mengasihi diri dan mengasihi sesama. Dunia mengenal beberapa perilaku mengasihi diri yang salah, seperti operasi plastik, menikah dengan diri sendiri atau menunjukkan kekurangan fisik demi mendapatkan pengakuan. Belakangan juga semakin marak diberitakan cara mengasihi sesama yang keliru, misalnya menikah dengan sesama jenis atau hologram tokoh anime, bahkan mengadopsi boneka sebagai anak.

Setelah mendengarkan diskusi dari para siswa, Lao Shi Wendy membahas isu-isu tersebut dari sudut pandang Alkitab. Beliau mengupas dua prinsip caring and sharing berdasarkan ayat Alkitab yang terambil dalam Lukas 7: 36-47. Dalam Lukas 7: 36-47, diceritakan tentang seorang perempuan berdosa yang melayani Yesus: membasahi kaki-Nya dengan air mata lalu menyeka dengan rambutnya, meminyaki kaki Yesus, bahkan rela dipandang najis karena menyeka dan mencium kaki Yesus. Dia melakukan itu semua karena sadar betapa ia amat berdosa dan membutuhkan pengampunan. Dan ya, Yesus mengasihi dan mengampuninya! Inilah yang menjadi prinsip pertama dalam melakukan tindakan caring and sharing.

Prinsip kedua dijelaskan dengan kisah Simon yang mendapat teguran dari Yesus karena ia tidak melayani-Nya saat Yesus datang ke rumahnya. Yesus menanyakan tentang perumpamaan orang yang berutang 500 dan 50 dinar. Jika keduanya dibebaskan dari utang, siapakah yang lebih mengasihi si pembebas utang? Simon menjawab, yang berhutang lebih besar—500 dinar. Lewat kisah ini, Lao Shi Wendy ingin menekankan bahwa orang yang merasa sedikit diampuni, akan sedikit juga berbuat kasih. Semakin besar seseorang menyadari pengampunan yang diberikan baginya, ketidaklayakannya menerima pengampunan tersebut, maka akan semakin besar kasih yang ditunjukkan bagi Yesus, bahkan sesama!

Selanjutnya, Lao Shi Wendy juga mengingatkan bahwa CaS (Caring and Sharing) bukanlah:

  1. Keselamatan
  2. Penerimaan
  3. Pencitraan
  4. Kompromi.

Lebih dari itu, sebagai anak Tuhan yang sudah diselamatkan, kita harus melakukan tindakan caring and sharing dengan tulus karena Yesus telah lebih dulu mengasihi dan menerima kita apa adanya. Yang menjadi pertanyaan refleksi: sudahkan kita secara pribadi merasakan kasih Allah yang begitu besar? Bukan hanya sebagai bahan perenungan, tetapi para siswa juga didorong untuk terus mempraktikkan beberapa hal untuk menunjukkan caring and sharing, yaitu:

-Kasihilah sesamamu manusia; segala prioritas terhadap diri sendiri perlu diarahkan untuk kebutuhan orang lain.

Berikan perhatian; secara intentional, menghubungi teman-teman yang ada di sekitar, menanyakan kabar, dan mendoakan mereka.

Berikan pertolongan; mendiskusikan dengan orang tua untuk memberikan bantuan kepada orang di sekitar yang sedang membutuhkan.

Berikan kebenaran; jika ada orang di sekitar kita yang belum mengenal Tuhan, jangan mengosip, mencibir, atau mem-bully. Namun, kasihi mereka sebagai sesama manusia, perkenalkan kepada Kristus, dan ajak ke gereja. Share your life!

Kiranya melalui kegiatan CaS-Camp ini, para siswa kelas 8 dapat mengingat, mengevaluasi, serta semakin bertumbuh dalam karakter tanggung jawab dan berkontribusi lebih luas kepada sesama melalui tindakan caring and sharing. Tentu saja, pertumbuhan karakter membutuhkan waktu dan proses sepanjang hidup. Oleh karena itu, siswa membutuhkan dukungan dari orang-orang di sekitarnya, yaitu orang tua, guru, dan komunitas yang sehat untuk berjalan bersama! (MRT)

Allah Mahatinggi

Oleh: Welly Alfons Rossall

“Sesungguhnya, TUHAN, Allahmulah yang empunya langit, bahkan langit yang mengatasi segala langit, dan bumi dengan segala isinya; … Sebab TUHAN, Allahmulah Allah segala allah dan Tuhan segala tuhan, Allah yang besar, kuat dan dahsyat, yang tidak memandang bulu ataupun menerima suap; …”

(Ulangan 10:14, 17)

Jika kita berbicara tentang Allah yang Mahatinggi, maka kita sedang membahas mengenai Allah yang menciptakan manusia, langit, bumi, dan segala isinya. Dia adalah Allah yang memiliki otoritas begitu besar. Di Alkitab, kita tahu bahwa Allah mendemonstrasikan kuasa-Nya di Mesir melalui Musa, ketika Firaun mengeraskan hati dengan tidak mengizinkan bangsa Israel keluar dari Mesir. Allah pun mengirimkan tulah-tulah yang dahsyat! Kuasa-Nya melampaui para allah di Mesir dan mengatasi alam semesta, hingga akhirnya Firaun tunduk pada otoritas Allah dan mengizinkan bangsa Israel keluar dari Mesir.

Kita juga bisa melihat kuasa Allah yang Mahatinggi dari kisah patung sembahan bangsa Filistin—Dagon yang jatuh di hadapan tabut perjanjian, sebagai lambang kehadiran Allah yang saat itu direbut oleh bangsa Filistin dan ditempatkan di kuil mereka. Hal ini menunjukkan bahwa Ia adalah Allah segala allah dan Tuhan segala tuhan.

Ada banyak kisah lain di Alkitab yang membuat kita mengenal sosok-Nya sebagai Allah yang Mahatinggi. Namun, tidak hanya melalui cerita Alkitab, saya pun mengalaminya sendiri. Bulan Agustus 2021, istri saya—Jessica—berpulang ke rumah Bapa. Hal itu membuat saya sangat berduka. Beberapa kali di dalam doa, saya mengungkapkan kepada Tuhan bahwa sosok yang sangat ingin saya jumpai pertama kali saat meninggal nanti adalah Jessica. Suatu saat, Tuhan seolah bertanya, “Siapakah yang lebih engkau kasihi—Aku atau Jessica?”

Hal itu sungguh menyadarkan saya tentang siapa yang seharusnya menjadi sosok paling utama dalam hidup. Sejak saat itu, doa saya adalah agar dapat mengenal Tuhan lebih lagi, sehingga nanti saat tiba waktunya saya berjumpa dengan Tuhan, Dia adalah sosok pertama yang saya rindukan. Saya ingin memeluk-Nya!

Sekarang, saya belajar untuk taat dan bergantung penuh pada-Nya. Saya ingin berjalan bersama-Nya dengan kerendahan hati dan terus meninggikan Dia. Biarkan Allah yang Mahatinggi memimpin kehidupan saya!

Bijak Menggunakan Media Sosial

Oleh: Ni Putu Dewi, staf Pengembangan Karakter Sekolah Athalia.

Metamorphosis Camp (MetCamp) merupakan kegiatan tahunan SMP Athalia yang ditujukan bagi para siswa kelas 7. Kegiatan ini bertujuan sebagai jembatan pembelajaran karakter bagi siswa yang baru lulus dari jenjang SD dan masuk ke SMP. Pada tahun pelajaran ini, profil karakter siswa SD Athalia adalah Tanggung Jawab, sedangkan profil karakter siswa SMP adalah Caring & Sharing. Sesuai dengan namanya, “metamorphosis” berarti perubahan. Kami berharap, para siswa semakin menyadari bahwa mereka akan mengalami beberapa perubahan di usia remaja—tidak hanya secara fisik, tetapi juga dalam hal tanggung jawab. Kini, tanggung jawabnya bukan hanya memikirkan kebutuhan diri sendiri, melainkan juga kebutuhan orang lain, yang merupakan wujud nyata dari caring & sharing.

Para siswa SMP Athalia tahun ini termasuk dalam Gen Z sehingga kehidupan mereka sangat dekat dengan gadget dan media sosial. Kondisi pandemi Covid-19 juga membuat keseharian mereka terus terkoneksi dengan internet. Hal inilah yang mendasari bahasan salah satu sesi berjudul “Tanggung Jawab Remaja dalam Penggunaan Media Sosial dan Internet”. Sesi ini dibawakan oleh Pak Christian Naa dengan sangat interaktif dan dibuka dengan pertanyaan, “Apa kata firman Tuhan mengenai media sosial dan teknologi? Apakah ada hukum Taurat yang secara rinci mengatakan tentang penggunaan handphone dan Instagram?” Jawabannya: tidak ada! Namun, bukan berarti Alkitab tidak memberikan prinsip tentang cara hidup yang benar di zaman ini. Di dalam 1 Korintus 10: 23-24 & 31, Paulus memaparkan secara jelas tentang prinsip hidup yang tidak akan tergerus oleh zaman.

“Segala sesuatu diperbolehkan.” Benar, tetapi bukan segala sesuatu berguna. “Segala sesuatu diperbolehkan.” Benar, tetapi bukan segala sesuatu membangun. Jangan seorang pun yang mencari keuntungan sendiri, tetapi hendaklah tiap-tiap orang mencari keuntungan orang lain. … Aku menjawab: jika engkau makan atau jika engkau minum, atau jika engkau melakukan sesuatu yang lain, lakukanlah semuanya itu untuk kemuliaan Allah.

Artinya, kita sebagai orang yang telah ditebus oleh Kristus di atas kayu salib diperbolehkan melakukan “segala sesuatu”. Namun, sebelum memutuskan melakukan “sesuatu”, ada empat hal yang perlu kita pikirkan.

  1.  Apakah “sesuatu” itu berguna?
  2. Apakah “sesuatu” itu membangun orang lain?
  3. Apakah “sesuatu” itu untuk keuntungan/kepentingan orang lain, bukan hanya tentang diri saya?
  4. Apakah “sesuatu” itu untuk kemuliaan nama Tuhan?

Empat poin tersebut akan menjadi motif/dasar/alasan atas segala hal yang kita lakukan, termasuk konten di akun media sosial. Untuk mempermudah para siswa memahami sesi ini, Pak Christian Naa memberikan sebuah ilustrasi. Misalnya, saat kita liburan ke Swiss dan melihat gunung yang besar di sana. Kita memfoto dan mengunggahnya di Instagram dengan captionHow Great Thou Art”. Di sini, kita dapat memilih motif: ingin menyombongkan diri bahwa saya sedang pergi ke Swiss atau menunjukkan kepada orang lain betapa hebatnya Allah yang menciptakan gunung ini.

Tidak hanya soal motif, media sosial juga memberi banyak pengaruh lain dalam kehidupan. Contohnya, beberapa orang yang terlalu fokus di media sosial jadi tidak memperhatikan relasi dengan orang lain di dunia nyata, keinginan untuk menunjukkan hanya sisi baik dan keren di media sosial, menyebarkan berita bohong, bahkan menjadi pelaku cyber bullying. Pertanyaannya, bagaimana cara agar kita bijak dalam menggunakan media sosial? Berikut adalah beberapa tips dari sesi ini.

  1. Bagikan hal baik yang kita lihat dan dengar.
  2. Jangan memberikan Like atau Comment pada toxic content karena cara kerja fasilitas search di media sosial (contohnya Instagram) tergantung pada konten-konten yang sering kita lihat atau cari. Instagram tetaplah aplikasi yang tidak bisa membedakan antara baik dan buruk, sehingga frekuensi kemunculan konten-konten tertentu tergantung pada postingan yang sering kita beri perhatian melalui like dan comment.
  3. Mencari tahu kebenaran suatu informasi dari beberapa sumber terpercaya sebelum membagikannya di media sosial.
  4. Berhati-hatilah dalam melakukan obrolan melalui Direct Message dengan orang yang tidak dikenal.

Sesi ini juga menekankan bahwa apa yang kita bagikan di media sosial menunjukkan siapa diri kita, sehingga perlu berhikmat dalam mengunggah sesuatu di media sosial. Sebelum mengakhiri sesi ini, Pak Christian Naa juga mengajak para siswa kelas 7 untuk melakukan social media check up dengan menjawab beberapa pertanyaan berikut secara pribadi.

  1. Apa yang ingin saya tunjukkan melalui media sosial?
  2. Apakah saya menampilkan sosok pribadi yang sama, baik di media sosial maupun dunia nyata?
  3. Siapa saja yang saya follow sehingga memengaruhi cara pikir dan perilaku saya?

Kami berharap sesi ini membantu para siswa kelas 7 SMP Athalia semakin bertanggung jawab dalam menggunakan media sosial!

Allah yang Berdaulat

Oleh: Yanny Kusumawaty

2 Tawarikh 20: 6

“… dan berkata: ‘Ya TUHAN, Allah nenek moyang kami, bukankah Engkau Allah di dalam sorga? Bukankah Engkau memerintah atas segenap kerajaan bangsa? Kuasa dan keperkasaan ada di dalam tangan-Mu, sehingga tidak ada orang yang dapat bertahan melawan Engkau.”

Di Alkitab, 2 Tawarikh 20 mengisahkan tentang Yosafat yang menerima kabar bahwa bani Moab dan bani Amon datang untuk berperang melawannya. Singkat cerita, Yosafat mengalami kemenangan dalam peperangan karena ada kedaulatan Allah atas kemenangan tersebut! Lewat kisah tersebut, kita jadi tahu bahwa pernyataan tentang kedaulatan Allah tidak berarti menggambarkan kehidupan seseorang selalu lancar dan baik-baik saja. Justru, kedaulatan Allah akan semakin nyata ketika kita berada dalam kondisi yang kurang nyaman, seperti mengalami kekalahan atau sakit.

Tentang kedaulatan Allah, saya ingin sharing sesuatu. Beberapa bulan yang lalu, tepatnya tanggal 30 September 2021, saya menerima kabar bahwa kakak mengalami pendarahan otak dan dalam kondisi koma. Saya sangat terkejut karena tidak pernah mendengar cerita kalau Cece—panggilan saya untuk kakak—mengidap penyakit apa pun.

Singkat cerita, saya berangkat ke Surabaya untuk menengok Cece yang dirawat di HCU. Saat itu, saya menyerahkan seluruh harapan untuk kesembuhan Cece kepada Tuhan sambil memohon belas kasih-Nya. Selama 11 hari Cece dalam keadaan koma, hingga akhirnya pada hari Senin, 11 Oktober 2021, Tuhan memanggil Cece pulang ke rumah Bapa.

Saya dilanda kesedihan yang luar biasa, melebihi ketika kehilangan papa dan mama. Harapan saya untuk kesembuhan Cece tidak terwujud. Pikiran saya mulai dipenuhi oleh pertanyaan: mengapa Cece harus pulang ke rumah Bapa secepat ini? Apakah saya tidak tahu tentang kedaulatan Tuhan? Saya sangat tahu, tetapi secara manusia, saya terus meronta dan mempertanyakan kenapa, kenapa, dan kenapa. Rasanya, saya tidak terima Cece pergi begitu cepat!

Sampai akhirnya, saya memutuskan untuk berhenti mempertanyakan hal tersebut karena sadar, ketika membiarkan pertanyaan itu terus menguasai diri, lama-kelamaan saya bisa jadi tidak mengakui kedaulatan Tuhan. Saya mulai mengganti pertanyaan-pertanyaan yang muncul itu dengan mengingat janji Tuhan di Mazmur 23: 4—Tuhan berjanji selalu menyertai, bahkan ketika kita berada di lembah kekelaman sekalipun!

Saya juga disadarkan bahwa kepergian Cece membuat saya merasakan kehadiran banyak orang yang begitu peduli dan menjadi perpanjangan tangan Tuhan untuk menguatkan dan menghibur saya. Mereka melakukannya tanpa kata-kata penghiburan yang klise, tetapi tindakan nyata, yang saya maknai sebagai bagian dari penyertaan Tuhan. Saya tidak sendirian! Bukankah itu hal yang luar biasa? Imanuel!

Apakah setelah itu kesedihan di dalam hati menjadi hilang? Tidak, tetapi saya diingatkan bahwa selalu ada penyertaan Tuhan dalam hidup kita! Kedaulatan-Nya bukan digunakan secara semena-mena dan kejam terhadap manusia, karena semua yang ada di dalam hati dan pikiran Allah adalah kasih. Dalam keterbatasan manusia untuk memahami kedaulatan-Nya, yang kadang tidak menyenangkan dan tidak nyaman buat kita, mari berhenti untuk bertanya “mengapa” dan cobalah melihat lebih dalam tentang penyertaan-Nya di setiap musim kehidupan. Dengan demikian, kita akan dimampukan melewati dan menerima kejadian-kejadian tertentu, serta mengerti bahwa Tuhan selalu memegang kendali atas segala situasi yang kita hadapi!

Perjalanan Panjang Mendampingi Anak Bertumbuh

Oleh: anonim

Keluarga kami terdiri dari enam orang, yaitu kami sebagai orang tua dengan empat anak. Awalnya, kami hanya berpikir untuk mempunyai dua orang anak laki-laki dengan selisih umur satu tahun. Selisih umur yang dekat ini membuat kami tercengang. Ketika anak pertama kami baru berusia enam bulan, saya kembali hamil. Bila anak pertama kami sambut dengan bahagia dan antusias, anak kedua ini kami sambut dengan sukacita bercampur kaget.

Saat tiba harus memilih sekolah, kami punya beberapa pertimbangan. Yang paling mendasar, yaitu dekat dengan rumah, berbahasa pengantar bahasa Inggris, dan menerapkan batas usia yang tidak terlalu ketat. Sepertinya waktu itu sedang populer pemikiran kalau anak bisa lancar berbahasa Inggris, sehari-hari bicaranya menggunakan bahasa Inggris, kelihatannya hebat sekali. Sungguh pemikiran yang sangat dangkal, yang pernah kami yakini sebagai orang tua muda.

Kami menyekolahkan anak pertama saat berusia dua tahun. Saat itu, kami memilih sekolah dekat rumah, dengan saya melakukan pendampingan selama di kelas. Ketika kami mendengar ada sekolah lain yang baru buka di daerah Serpong, kami—seperti orang tua yang lain—langsung memindahkan anak ke sekolah tersebut karena sepertinya sekolah tersebut mempunyai nilai-nilai pendidikan yang kurang lebih sama, tetapi dengan biaya yang lebih murah.

Perpindahan sekolah untuk anak kami yang pertama (di jenjang TK) menyebabkan pemilihan sekolah untuk adiknya juga mengikuti “yang dekat” dengan sekolah anak pertama. Sekolah untuk si adik adalah sekolah kecil yang menerapkan sistem montessori dan berbahasa pengantar Inggris. Beberapa nilai yang menjadi pertimbangan menyekolahkan anak-anak kami tersebut ternyata menimbulkan “kecelakaan besar” dalam pertumbuhan anak kedua kami. Dia sering tidak mau sekolah karena tidak menikmati lingkungannya. Sikap tersebut dipandang tidak apa-apa karena sepertinya sekolah juga mengikuti kemauan anak (anak-anak tidak boleh dipaksa).

Pada tahap berikutnya, kami memindahkan kembali anak pertama kami ke sekolah di dekat rumah sehingga otomatis adiknya pun ngikut. Kami menyangka semua upaya coba-coba ini sudah selesai dengan kembali bersekolah di sekolah dekat rumah, plus ini merupakan sekolah favorit.

Untuk anak pertama, proses belajar berjalan lancar. Kebetulan anak ini memang rajin dan mudah diarahkan. Selain itu, dia mengikuti jenjang TK B sebanyak dua kali di mana di sekolah keduanya sudah diajarkan membaca dan menulis. Jadi, saat kembali ke sekolah pertama, dia tidak mengalami hambatan belajar.

Masalah justru muncul pada anak kedua. Di sekolah, dia tidak diajari baca tulis di jenjang TK B, tetapi saat di SD 1 sudah harus lancar baca tulis. Kami tidak menyadari hal ini karena tidak ada masalah di anak pertama. Selain itu, komunikasi antara guru kelas dengan orang tua sangat kurang, khususnya mengenai ketidakmampuan anak ini. Ini menjadi isu yang cukup panjang sampai-sampai kami berkali-kali dipanggil oleh sekolah. Walau begitu, kami tidak pernah menemukan akar masalah dan solusinya. Kesan yang kami terima justru sekolah menganggap anak kami malas mengikuti pelajaran.

Sesungguhnya, kami berharap sekolah bisa bekerja sama dengan orang tua untuk menemukan akar masalah anak kami. Kami berpikir bimbingan konseling bisa membantu. Namun, saat bertemu konselor sekolah, beliau menyarankan anak kami untuk pindah sekolah karena dianggap tidak cocok bersekolah di sana. Kami tidak langsung percaya dengan saran itu. Kami tetap meyakini kalau anak kedua kami bisa terus bersekolah di sana—walau dalam hati tetap ada kekhawatiran.

Karena merasa tidak terbantu dengan saran sekolah, kami membawa anak untuk konseling ke Konselor Kristen. Seperti yang sudah-sudah, selagi anak menjalani konseling, kami sebagai orang tua juga harus menjalani sesi konseling. Menyatukan dua pribadi dengan latar belakang berbeda memang selalu ada pasang surutnya. Namun, kami sungguh bersyukur Tuhan bekerja melalui masalah anak kedua ini sehingga saat menjalani konseling, kami juga memulai masa pendewasaan dan pemulihan. Kami terus dibangun untuk memahami, menerima, dan menyeimbangkan perbedaan yang ada di dalam rencana Allah bagi keluarga kami.

Melalui konseling ini, diketahui bahwa anak kami mengalami keterlambatan motorik di dalam menulis yang tidak ditangani sejak dia masuk SD 1. Ini menjadi isu yang pelik ketika baru ditangani di SD 3. Proses yang kami lewati sungguh panjang. Kami terus menghadapi panggilan demi panggilan dari sekolah dengan keluhan yang hampir sama: anak kami malas menulis. Padahal, semua ujian diberikan secara tertulis yang berarti bila tidak dikerjakan, dia gagal ujian. Anak kami selalu menghitung angka kecukupan untuk dia bisa naik secara pas-pasan sehingga tidak perlu mengeluarkan usaha maksimal untuk naik kelas. Puji Tuhan dengan berbagai kesulitan yang ada, setiap tahun dia tetap naik kelas dengan nilai secukupnya. Semua guru di setiap jenjang selalu berkomentar anak ini pintar, tetapi tidak mau berusaha maksimal.

Saat dia duduk di SD 5, kami diberi Tuhan anugerah tambahan, yaitu kehamilan anak ketiga. Tentu saja kehadiran anak ketiga ini sangat mengubah ritme hidup kami. Hal ini juga mengubah banyak hal dalam diri kedua anak kami. Anak pertama, karena memang posisinya sebagai anak sulung, semakin mandiri apalagi memang sudah memasuki jenjang SMP. Namun, kondisinya berbeda bagi anak kedua kami, yang sebelumnya sempat menjadi anak bungsu dalam waktu lama. Dia yang tadinya masih sangat manja, tiba-tiba harus menjadi kakak dan menjadi lebih bertanggung jawab atas dirinya sendiri, tidak bisa mengandalkan mamanya terus-menerus. Kehadiran anak ketiga juga mengubah kondisi ekonomi keluarga sehingga kami perlu menyesuaikan berbagai hal mengingat penambahan kebutuhan dengan kehadiran anak ketiga. Hal ini sangat memengaruhi ritme hidup anak kedua karena segala fasilitas yang tadinya bisa diberikan kepadanya—privilege sebagai anak bungsu—tak lagi dirasakan: dia harus berbagi dengan adiknya.

Kondisi kehamilan ketiga ini membuat anak pertama harus bersekolah di SMP dekat rumah agar saya tidak repot mengantar-jemput. Setahun kemudian, saat anak kedua masuk SMP, kami menyekolahkannya ke sekolah yang berbeda dengan kakaknya—mengingat pergumulannya di SD. Kami berpikir untuk memindahkannya ke Athalia. Namun, tiga kali kami mencoba mengontak sekolah ini, tidak pernah berhasil bertemu dengan bagian pendaftaran karena berbagai alasan. Saat itu, yang tebersit di pikiran kami, yaitu Tuhan tidak mengizinkan anak ini bersekolah di sini (sebuah pola pikir yang belakangan kami sadari kalau salah). Jadilah anak saya mendaftar ke sekolah lain.

Singkat cerita, di sekolah yang baru, konselor dan guru-guru sangat perhatian dan mencoba membantu kesulitan anak kami. Namun, cara belajar di sana berbeda dengan sekolah sebelumnya. Jadilah anak saya semakin malas, bukannya semangat. Dia terus menyalahkan kami karena sudah memindahkannya ke sana, bukan ke sekolah yang dia mau (sekolah lain dengan biaya yang jauh lebih mahal dan jarak yang lebih jauh).

Ketika anak-anak ini siap memasuki jenjang SMA, kami mengarahkan, tetapi juga memberikan mereka beberapa opsi, supaya tidak ada lagi cerita “dipaksa sekolah di sekolah pilihan orang tua”. Apakah masalah selesai? Ternyata tidak karena begitu mulai sekolah, mereka harus mengalami pembelajaran jarak jauh (PJJ) karena pandemi. Anak pertama sempat bersekolah tatap muka, tetapi anak kedua memulai masa SMA-nya dengan PJJ penuh. Masa SMA, yang menuntut anak untuk bisa mandiri mengatur waktu dan menyelesaikan tugas tepat waktu, ternyata sulit dipenuhi oleh anak kedua kami. Lagi-lagi kami menghadapi panggilan guru dan nilai rapor yang tidak memuaskan yang membuat anak kami yang kedua ini hampir tinggal kelas.

Sepanjang proses ini, sebagai orang tua, kami jatuh bangun menghadapi setiap kondisi yang ada. Kami terus berpengharapan bahwa hanya Tuhanlah yang mampu mengubahkan anak kami. Kami juga terus memohon agar diberi hikmat untuk bisa mengembalikan anak kami ke “jalan yang benar”. Tuhan memang Mahapengasih, tetapi kami juga menyadari segala rencana Tuhan akan berjalan sesuai dengan waktu-Nya.

Akhirnya perubahan terjadi. Selama liburan sekolah, ketika kami banyak berbincang dengan kakaknya mengenai kelanjutan sekolah di universitas, rupa-rupanya sang adik ikut mendengarkan. Keinginan sang kakak untuk bersekolah di PTN membuat sang adik menyadari bahwa untuk masuk PTN membutuhkan nilai rapor yang bagus. Di sinilah kebangkitannya. Dia mulai rajin belajar dan mengumpulkan tugas tepat waktu. Yang tadinya jarang masuk kelas atau masuk kelas dengan mematikan kamera, sekarang sudah tidak lagi. Dia mulai mau ikut klub ekskul dengan kemauan sendiri.

Berdasarkan pengalaman dengan anak pertama dan kedua, kami tidak mau mengulang kesalahan yang sama dengan anak ketiga dan keempat. Bahasa utama yang harus dipelajari adalah bahasa ibu. Dengan demikian, anak kami akan jauh lebih mudah berkomunikasi dengan siapa pun sehingga perkembangannya juga lebih berkualitas. Anak ketiga dan keempat kemajuan berbahasanya lebih baik. Mereka mudah berbicara dan bercerita tentang apa saja. Sungguh kami bersyukur Tuhan membuka pikiran dan mengubah konsep berpikir kami. Sungguh semuanya hanya karena anugerah-Nya.

Saat tiba waktunya bagi anak ketiga dan keempat bersekolah, kami sudah memiliki prioritas yang berbeda dari sebelumnya. Kami mencari sekolah yang bisa mengajarkan anak untuk takut dan hormat akan Tuhan, mengenal Tuhan Allah, dan mempunyai karakter Kristus. Motto Athalia, yaitu right from the start, menarik perhatian kami. Maknanya sungguh dalam, membuat kami mengingat kembali kasus yang terjadi kepada anak kedua. Ketika langkah awalnya keliru, segala jalan ke depannya menjadi sangat-sangat terjal.

Saat ini, kami masih terus berproses dalam mendidik anak-anak. Yang pertama dan kedua sudah remaja dan akan mulai kuliah. Segalanya terus berjalan, naik turun. Ada masa-masa di mana muncul masalah di dalam komunikasi sehari-hari. Terjadi pergesekan antara anak kedua dan anak ketiga sehingga kami harus terus mengawasi dan menjaga agar kondisi dan relasi mereka tetap terjaga. Namun, satu hal yang pasti, kami percaya bahwa Tuhan terus berbelas kasihan dan memimpin perjalanan kami. Saat liburan Natal 2021 lalu, kami melihat komunikasi anak kedua dan ketiga terus membaik. Pekerjaan rumah kami masih banyak, seperti membawa anak-anak berjalan bersama Tuhan, kembali kepada Tuhan, dan mau ke gereja untuk beribadah setiap Minggu. Kami terus belajar dan mengalami jatuh bangun. Hanya dengan mengandalkan Tuhan, menyandarkan diri kepada-Nya, dan terus-menerus memohon kepada Tuhan agar Tuhan beranugerah membentuk dan keempat anak kami untuk dipakai seturut dengan rencana dan kehendak-Nya. Soli Deo Gloria.