Oleh: Sinsi dan Aegis, Orang Tua Siswa
Kami mengingat kembali saat anak kami duduk di bangku TKB dan harus mengikuti tes kematangan sebagai salah satu syarat masuk SD Athalia. Masa itu merupakan pengalaman iman luar biasa buat kami dalam hal tumbuh kembang anak…
Aegis dan Sinsi memiliki latar belakang keluarga yang berbeda. Aegis bertumbuh dalam keluarga yang seperti broken home, tetapi orang tuanya tidak bercerai. Sementara itu, Sinsi tumbuh dalam keluarga yang penuh kasih, harmonis, dan sangat kekeluargaan. Orang tua Sinsi biasa menunjukkan kasih dengan cara memanjakan anak-anaknya. Bisa dibilang level memanjakan kebanyakan orang kepada cucunya sudah diterapkan kepada anak-anaknya.
Begitu Sinsi hamil hingga melahirkan, keluarganya sangat bersukacita. Kami diminta tinggal di rumah Sinsi. Anak kami mendapatkan curahan perhatian dan kasih sayang dari kakek dan neneknya. Apa pun yang diminta selalu dituruti bahkan ditawari segala hal karena itulah bahasa kasih mereka dan mereka ingin cucunya senang. Ada beberapa kebiasaan yang tumbuh dalam diri anak kami, yang kalau menurut pandangan orang mungkin terlalu berlebihan. Begitulah cara orang tua Sinsi menunjukkan kasih sayang mereka terhadap cucunya.
Sayangnya, pola asuh orang tua Sinsi ini membuat kami sebagai suami istri sering bertengkar. Aegis tidak setuju dengan perlakuan yang diterima anak kami. Sinsi, sebagai anak, merasa tidak berdaya melawan orang tuanya yang sangat mengasihi cucu mereka. Sinsi sempat bertanya-tanya, apakah benar memanjakan cucu akan sampai “merusak” anak itu? Bukankah anak itu akan berubah dengan sendirinya kalau sudah beranjak besar (bisa mandiri dan lain sebagainya)?
Pertengkaran kami semakin intens dan kami jarang merasakan damai dan sukacita. Akhirnya, kami memutuskan untuk pindah rumah, memisahkan diri dari keluarga Sinsi. Dalam proses ini, terjadi perdebatan yang cukup intens dengan orang tua Sinsi. Namun, kami sudah sepakat untuk menyelamatkan rumah tangga kami.
Ternyata, pindah rumah tidak menyelesaikan masalah. Orang tua Sinsi tetap ingin dekat dengan cucunya dan datang ke rumah hampir tiap hari. Puncak dari isu di keluarga kami muncul ketika kami dipanggil Kepala TK Athalia. Pada pertemuan tersebut, Bu Risna dan Bu Elita menyampaikan bahwa anak kami tidak lulus tes kematangan. Mereka juga menceritakan, ketika menjalani tes tersebut, anak kami berperilaku sangat buruk. Dia tidak mau mengikuti instruksi yang diberikan, bahkan sampai memarahi guru yang sedang mengobservasinya.
Mendengar informasi tersebut, kami kaget sekali. Di rumah, anak ini tidak pernah berkata kasar. Namun, ternyata dia bisa sampai marah-marah dan berucap kasar kepada guru di sekolah. Hati kami hancur. Namun, di titik ini, Sinsi menyadari bahwa efek pola asuh yang salah sangat memengaruhi perkembangan seorang anak. Sejak saat itu, kami kembali bersatu, bertekad mengubah pola asuh selama ini dan memperbaiki perilaku dan karakternya.
Kami bersyukur Athalia masih memberikan kesempatan kepada anak kami untuk mengikuti tes kematangan kedua. Tak mau buang waktu, kami melakukan langkah nyata. Kami berbicara kepada orang tua Sinsi mengenai kondisi anak kami dan meminta pengertian mereka tentang beberapa hal yang sudah kami sepakati. Memang tidak mudah menyampaikan ini kepada orang tua, tetapi kami harus melakukannya demi kebaikan anak kami.
Kami membuat aturan yang jelas dan memberlakukan rutinitas harian yang harus diikuti. Kami juga memberikan konsekuensi jika anak kami menunjukkan ketidaktaatan. Kami juga mengajak anak untuk berbicara dari hati ke hati. Kami sampaikan bahwa selama ini kami melakukan cara yang salah dalam mendidiknya. Kami memberikan pengertian kepadanya: sesuai firman Tuhan, kita tidak bisa hidup semaunya. Kita harus berusaha menjadi berkat untuk orang lain, dimulai dengan belajar taat dan bersikap baik.
Proses itu kami jalani, tetapi harus diakui sangat tidak mudah. Sekalipun sekolah dan kami sudah berusaha keras untuk memperbaiki karakter anak kami, kemajuannya sangat lambat karena sisa-sisa pola asuh terdahulu.
Kemudian, Tuhan menunjukkan kasih-Nya yang begitu besar kepada keluarga kami dengan membukakan jalan lain yang tidak pernah kami duga. Waktu itu, pandemi Covid-19 masuk ke Indonesia. Kami pun bisa fokus mendidik anak berdua saja. Anak kami dapat menghabiskan waktu lebih banyak bersama orang tuanya dan jarang berinteraksi dengan kakek-neneknya. Kesempatan ini kami pakai semaksimal mungkin untuk menanamkan nilai-nilai baru kepadanya. Pada saat itu, kami merasakan belas kasihan Tuhan karena anak kami mampu mengerti dan memahami didikan dan teguran yang kami berikan kepadanya.
Proses yang kami alami masih berlangsung hingga saat ini. Ada kalanya kami masih menghadapi riak-riak kecil dalam perjalanan ini. Namun, kami bersyukur karena Tuhan tidak pernah meninggalkan kami sendirian menjalani ini semua.
Tuhan memperkenalkan kami kepada Sekolah Athalia. Kami merasakan perhatian yang begitu besar dari pihak sekolah melalui diskusi dan percakapan dengan kami. Juga, dengan perhatian yang mereka berikan kepada anak kami.
Saat ini, anak kami sudah duduk di kelas 2 SD dan mulai memahami tugas dan tanggung jawabnya. Perilakunya sudah jauh lebih baik dibandingkan dua tahun lalu. Kami sekeluarga masih terus berproses bersama Tuhan dan Sekolah Athalia. Kiranya kisah kami dapat menjadi berkat bagi kemuliaan Tuhan. Amin.