HIDDEN CURRICULUM dan NULL CURRICULUM

Oleh: Dra. Corrina Anggasurjana, MA – Staf Research & Development
SMA Athalia

Menurut KBBI kurikulum adalah perangkat mata pelajaran yang diajarkan pada lembaga pendidikan; cakupan kurikulum berisi uraian bidang studi yang terdiri atas beberapa macam mata pelajaran yang disajikan secara kait-berkait. Jadi, kurikulum adalah perangkat mata pelajaran yang diajarkan pada lembaga pendidikan atau semua kegiatan yang diberikan kepada peserta didik sebagai tanggung jawab sekolah.

Kenyataannya pem-belajaran yang berlangsung di sekolah tidak hanya tentang kurikulum formal yang diikuti peserta didik berupa pengetahuan dan keterampilan yang sengaja diajarkan pendidik kepada peserta didik. Ada yang disebut hidden curriculum, yaitu mengacu pada pelajaran, nilai, dan perspektif yang tidak tertulis, tidak resmi, dan seringkali tidak disengaja yang dipelajari peserta didik di sekolah. Contohnya bagaimana mereka seharusnya berinteraksi dengan teman, guru, dan orang-orang lainnya; bagaimana mereka seharusnya memandang perbedaan – ras, kelompok, atau bahkan kelas lain – atau ide dan perilaku apa yang dianggap dapat diterima atau tidak dapat diterima. Jadi, hidden curriculum menyiratkan seperangkat moral dan perilaku yang diserap siswa dari lingkungan sekolah.

Ada juga yang disebut null curriculum, yaitu kurikulum yang tidak diajarkan, topik yang dihilangkan, pengalaman yang tidak diberikan, dan pilihan yang tidak diberikan kepada peserta didik. Null curriculum bisa jadi sama pentingnya dengan kurikulum formal, karena dapat membentuk pengetahuan, keterampilan, dan sikap peserta didik secara signifikan. Namun, terkadang guru mengabaikan beberapa konten atau keterampilan, karena dianggap tidak penting atau karena kebijakan pemerintah. Contoh null curriculum di Inggris, pelajaran agama tidak dimasukkan dalam program pelajaran atau tidak ada kebijakan mengenai pendidikan seks di Iran. Ada dampak yang akan dirasakan peserta didik ketika menghadapi hal-hal yang berhubungan dengan topik-topik tersebut di masyarakat.

Kehidupan dalam keluarga pun ada semacam kurikulum yang secara sadar disusun orang tua bagi anak-anaknya tapi ada juga bentuk hidden curriculum dan null curriculum yang mungkin secara tidak sadar dijalankan. Contohnya ada yang disebut imitasi, yaitu proses ketika seorang anak melihat orang tuanya sebagai figur utama yang layak ditiru. Tentunya orang tua ingin anak-anaknya meniru hal-hal baik yang dilakukannya, tetapi seringkali secara tidak sadar justru melakukan hal-hal yang tidak ingin anak tiru, tetapi teramati dan terekam oleh anak-anak. Pernah terjadi, orang tua mengajukan beasiswa kepada pihak sekolah dengan alasan kesulitan ekonomi, tetapi ketika kunjungan ke rumahnya terlihat barang-barang branded dan berharga tinggi yang digunakan oleh keluarga tersebut. Nilai apa yang akan anak-anak miliki melihat kenyataan tersebut?

Ada kalanya orang tua tidak membicarakan atau membahas secara sengaja nilai-nilai yang perlu anak miliki, misalnya kesetiaan. Ketika anak disuruh rajin datang ke gereja, apakah anak tahu bahwa tujuannya adalah membangun nilai kesetiaan pada kepercayaan/imannya? Ketika anak diminta ikut dalam acara-acara keluarga, ingatkan mereka tentang kesetiaan pada keluarganya misalnya orang tuanya dan saudara-saudaranya. Adakah hal-hal yang dihindari atau dianggap tidak penting sehingga orang tua tidak memberikan pengajaran dan pendidikan pada anak padahal mungkin mereka akan menghadapi hal-hal tersebut di masyarakat sehingga mereka tidak tahu bagaimana menyikapi dan mengatasinya?

Apa yang telah engkau dengar dari padaku di depan banyak saksi, percayakanlah itu kepada orang-orang yang dapat dipercayai, yang juga cakap mengajar orang lain.
(2 Timotius 2:2)

Diatur Waktu atau Mengatur Waktu?

Oleh: Eliada Christara – Alumni SMA Athalia Angkatan IV

Hai semua pembaca setia ALC News Sekolah Athalia! Perkenalkan saya Eliada Christara, alumni SMA Athalia angkatan IV. Sebuah kesempatan yang baik untuk berbagi secuplik kisah tentang perjuangan mengatur waktu.

Belakangan kaum “Gen Z” memberi sebuah istilah yang berkaitan dengan pemalas dengan frasa kaum rebahan, yaitu mereka yang memilih untuk memakai semaksimal mungkin waktu untuk bermalas-malasan bahkan mungkin menambah waktu bermalas-malasan karena menganggap “ah masih ada besok” atau “ah masih pagi, nanti siang aja”. Di dunia anak-anak pun terasa familier dengan inkonsistensi waktu bermain – dari 10 menit karena masih kalah, akhirnya extend menjadi 20 menit, 30 menit, 40 menit, dan seterusnya sampai menang. Di sisi ekstrem yang lain, ada yang terlalu strict dengan jadwalnya sampai tidak ada sebuah kelonggaran bagi hal-hal di luar kontrol yang mungkin tanpa disadari sama pentingnya. Namun, ada juga yang berprinsip, “pokoknya kalah menang, jam sekian aku sudah harus mengerjakan yang harus saya kerjakan”. Ada di antara kita yang menyusun jadwalnya sedemikian rupa agar kegiatannya hari itu terarah dan ada sebuah target pencapaian. Ia tidak akan menolak atau langsung menerima tawaran di luar jadwalnya tetapi akan mempertimbangkan dengan seksama. Pertanyaannya, kita termasuk yang mana? Yang diatur waktu atau mengatur waktu?

Saya rasa masalah mengatur waktu adalah pergumulan yang terjadi di setiap kalangan, baik yang masih bersekolah, kuliah, kerja, bahkan yang berumah tangga. Semakin besar tanggung jawab dan variabel kehidupan maka semakin butuh tenaga ekstra untuk bisa membagi waktu baik untuk diri sendiri, tanggung jawab tugas ataupun pekerjaan, pasangan, keluarga dan hal-hal lain. Banyak orang merasa bisa mengatur waktunya dengan baik, namun kenyataannya tidak sedikit dari kita pada akhirnya diatur oleh waktu. Kesulitan yang sama yang saya jumpai pada masa perkuliahan di STT SAAT sekaligus merupakan anugerah luar biasa dari Tuhan untuk banyak belajar, salah satunya mengenai waktu.

Seperti anak kuliah pada umumnya, saya juga mengalami culture shock dalam membagi waktu. Meskipun berada di lingkup asrama yang mostly keseluruhan hidupnya diatur dan terjadwal, nyatanya saya pun cukup struggle. Hal umum ketika dalam perkuliahan kita berhadapan dengan waktu pengumpulan tugas yang beruntun, jadwal kuliah yang padat, kegiatan lain di luar kuliah yang juga menyita waktu, tugas kelompok, bahkan kebutuhan pribadi untuk menikmati waktu bersama dengan Tuhan. Belum lagi jika berhadapan dengan kondisi tiba-tiba yang harus berjalan di luar jadwal. Sungguh rasanya berbeda dengan masa sekolah yang masih bisa longgar dan menunda-nunda. Saya cukup kelimpungan sehingga membuat saya terkena thypuss untuk pertama kalinya (penyakit anak kuliah pada umumnya selain penyakit lambung). Selanjutnya pengalaman saya semasa kuliah mulai dari tingkat 1-4, saya pernah merasakan 2 hal ekstrem – tidak mengatur waktu sama sekali (go with the flow) atau betul-betul mengatur hingga tidak mengizinkan hal lain mengintervensi waktu saya sepenting apapun itu. Namun, nampaknya keduanya kurang tepat.

Berbekal pendidikan karakter yang diberikan semasa sekolah, menolong saya untuk dimampukan mengatur waktu meskipun masih ‘jungkir-balik’. Saya baru mengerti tentang tanggung jawab dan pengendalian diri adalah satu kesatuan yang saling bergantung. Di dalamnya diajarkan memisahkan mana yang penting dan tidak terlalu penting, mana yang prioritas dan mana yang bisa dikerjakan setelahnya, mana yang menjadi tanggung jawab utama dan mana yang masih bisa ditoleransi. Jelas, bermain dan belajar untuk ujian harus lebih memprioritaskan belajar. Kegiatan kampus yang masih bisa kita kurangi mungkin akan jauh lebih baik daripada memaksa aktif, tetapi tanggung jawab utama kita untuk belajar akhirnya terbengkalai. Ketika ada teman yang mengajak keluar sejenak, mungkin kita bisa melihat seberapa jauh urgensinya dibandingkan dengan kebutuhan dan tanggung jawab kita yang lain.

Jika tidak pandai mengatur waktu, maka kita sedang membiarkan waktu yang mengatur kita dan akan menyulitkan kita dalam berbagai hal sehingga butuh perjuangan lebih, dalam mengaturnya. Namun, semua akan tampak sia-sia tanpa meminta pertolongan Tuhan. Kita lemah, mudah tergoda untuk malas dan menunda, mudah terlena untuk mengerjakan yang bukan prioritas, bahkan kita lupa meluangkan waktu untuk Tuhan dalam mendengarkan firman-Nya setiap hari. Memohon pertolongan Tuhan untuk dimampukan konsisten dan mengalahkan kemalasan adalah hal yang penting. Meminta pertolongan-Nya membuat kita terus tersadar bahwa kita dapat melakukan hal sederhana pun adalah pertolongan Tuhan.

Hal Kecil yang Berharga

Oleh: Galvin Farrel N. U. – Koordinator Bidang Pertandingan Athalia Cup 2023

Perkenalkan nama saya Galvin Farrel Nathanael Ulag. Saya diminta untuk menjadi Koordinator Bidang Pertandingan Athalia Cup 2023. Puji Tuhan, Athalia Cup akhirnya dapat dilaksanakan kembali setelah vakum kurang lebih 4 tahun. Sebenarnya, apa Athalia Cup itu? Athalia Cup adalah ajang perlombaan olahraga antar sekolah yang diselenggarakan oleh Sekolah Athalia. Tahun ini terdapat dua cabang olahraga yang diadakan, yaitu futsal dan basket. Tujuan dari Athalia Cup adalah untuk mengembangkan potensi diri secara khusus dalam bidang olahraga dan mempererat hubungan antar sekolah.

Tentunya banyak sekali pengalaman yang saya peroleh sebagai panitia Athalia Cup 2023. Posisi sebagai Koordinator Bidang Pertandingan adalah salah satu posisi yang sangat penting perannya dalam Athalia Cup. Namun, tidak ada keraguan dalam hati saya saat menerima tawaran posisi tersebut. Saya berkomitmen akan bekerja keras untuk kelancaran jalannya Athalia Cup. Berada di posisi ini memberi saya kesempatan untuk meningkatkan kemampuan dalam mengatur sebuah acara yang cukup besar dengan rapi dan memperhatikan detail-detail kecil supaya acara dapat berjalan dengan lancar. Ini tidak mudah bagi saya karena saya bukanlah orang yang rapi dalam bertugas dan memperhatikan detail-detail kecil.

Proses persiapan Athalia Cup benar-benar membentuk saya untuk memperhatikan detail-detail pekerjaan sekecil apapun. Jika ada detail yang terlewat pasti akan berdampak untuk saya sebagai Koordinator Bidang, bahkan berdampak untuk bidang lain yang bekerja sama dengan bidang pertandingan. Dari awal sampai akhir, guru pendamping selalu mengingatkan kami untuk membuat laporan pencatatan dengan detail. Pernah beberapa kali saya tidak mencatat dengan detail perlengkapan yang digunakan table Athalia Cup. Ketika saya ditanya guru pendamping, saya kesulitan untuk menjawab karena tidak mencatat dengan detail. Belajar dari pengalaman tersebut, saya membiasakan diri mencatat dengan detail setiap hasil pembahasan atau tugas bidang. Catatan yang detail ini membuat saya lebih siap ketika mendapat pertanyaan dari orang lain terkait dengan bidang pertandingan. Saya bisa menjawab dengan lancar karena apa yang saya tulis dengan detail, sangat membantu ketika ditanyakan mengenai bidang yang saya pegang.

Puji Tuhan, saya bersyukur bisa mendapatkan pengalaman ini karena pengalaman yang berharga ini sangat berguna untuk masa depan saya, saat bersekolah, kuliah, dan bekerja. Melalui penyertaan Tuhan, saya belajar menjadi seorang pemimpin yang detail sehingga dapat mengarahkan pertandingan selama satu minggu dengan baik dan terstruktur.

Apa itu Aksen?

Oleh: Joan Adalia Budiman – Koordinator Bidang Acara AKSEN 2023

Aksen atau Ajang Kreativitas dan Seni adalah kegiatan pentas seni tahunan yang diselenggarakan oleh SMA Athalia. Aksen juga merupakan kegiatan yang mewadahi seluruh siswa-siswi Sekolah Athalia untuk turut berkontribusi, baik sebagai panitia, pemeran atau penampil. Setelah dilanda pandemi COVID-19 selama dua tahun lamanya, Aksen kembali diadakan tahun lalu, tetapi tanpa Athalia Cup. Lalu tahun ini Sekolah Athalia kembali mengadakan Aksen bersamaan dengan Athalia Cup. Pada umumnya, di sekolah lain setelah kegiatan perlombaan olahraga antar sekolah, akan diadakan pentas seni di hari terakhir dengan cara mengundang musisi. Sekolah Athalia mengusung konsep yang berbeda karena setiap tahunnya Aksen menampilkan siswa-siswi sebagai bintang utamanya. Kami percaya bahwa siswa-siswi SMP dan SMA Athalia memiliki potensi yang sangat hebat. Selain itu, Aksen juga menyuguhkan Charity Night sebagai bentuk aplikasi karakter yang dibangun pada siswa-siswinya, yaitu Influencing and Contributing, memberikan dampak nyata kepada sekitar atau suatu komunitas.

Sebagai Koordinator Bidang Acara, menjadi bagian dari Aksen 2023 merupakan pengalaman yang sangat luar biasa dan berharga bagi saya. Bergabung ke dalam kepanitiaan ini banyak membentuk pribadi dan kepemimpinan saya menjadi lebih baik lagi. Saat pertama kali bergabung dalam kepanitiaan ini, saya merasa sangat tidak percaya diri dengan tanggung jawab yang diberikan. Saat itu, saya merasa bahwa diri saya belum cukup mampu untuk memimpin dan merancang suatu konsep acara besar yang akan disaksikan oleh ratusan orang. Seiring berjalannya waktu, setelah menjalani prosesnya mulai dari rapat acara, rapat inti, pembuatan naskah drama, latihan pemeran-penampil, mempersiapkan properti, dan lainnya, ternyata muncul perasaan bahwa semuanya tidak terlalu menakutkan dan berat. Memang bukan berarti semua ini mudah, tetap ada “kerikil” dan “batu tajam” yang menghiasi proses panjang ini. Satu hal yang saya percaya, karena dukungan dan teguran orang-orang di sekitar, segala hal yang berkecamuk di otak saya, perlahan-lahan menghilang.

Seperti yang sudah saya sebutkan di awal, menjadi bagian dari kepanitiaan ini membentuk saya dari segi karakter. Pertama, dalam membenamkan diri saya saat saya salah sehingga saya lebih mampu mendengarkan orang lain. Kedua, dalam hal mengatur waktu belajar dan menyelesaikan tugas kepanitiaan dengan baik. Ketiga, saya belajar bahwa untuk menghasilkan sebuah karya yang besar, dibutuhkan juga pengorbanan tenaga dan waktu. Menjadi bagian dari Aksen adalah sesuatu yang patut saya banggakan dan syukur kepada Tuhan yang telah memampukan saya.

Liburan di Rumah Bebas ‘Drama’

Oleh: Hilda Davina S. – Staf Parenting PK3

Penilaian Akhir Semester (PAS) baru saja selesai. Hari libur menanti di depan mata. Anak-anak pun bersukacita menyambutnya. Liburan adalah waktu di mana anak-anak bisa rehat sejenak dari rutinitas belajar selama satu semester. Namun, di balik sukacita anak-anak, terdengar beberapa keluhan dari orang tua antara lain, “Anakku kalau liburan malah bangun siang,” atau “Anakku kalau di rumah, tiap hari main HP karena bingung mau main apa.”
Keluhan-keluhan tersebut sering terucap saat anak-anak menjalani masa liburan di rumah. Hal tersebut dapat terjadi disebabkan oleh rutinitas yang tidak sengaja terbentuk karena aktivitas anak di rumah turut ‘berlibur’ saat anak berada di rumah. Oleh sebab itu, orang tua perlu menciptakan rutinitas yang berkesinambungan untuk mengajarkan kedisiplinan pada anak.
Berikut ini ada beberapa hal yang dapat dilakukan orang tua untuk menerapkan disiplin di rumah:

Instruksi yang Jelas
Orang tua perlu mengomunikasikan dengan jelas perilaku yang diharapkan dari anak dan menetapkan batasan. Hal tersebut bisa dilakukan dengan menciptakan rutinitas yang teratur, stabil, dan nyaman. Rutinitas dapat membantu mengembangkan perilaku dan kontrol pribadi pada anak-anak. Agar anak dapat menikmati rutinitas mereka, ajak anak untuk terlibat dalam membuat jadwal dan aturan yang akan disepakati bersama. Di kegiatan tersebut, orang tua bisa berkreasi bersama anak untuk membuat poster dan menempelkannya di tempat yang gampang dilihat oleh seluruh anggota keluarga.

Berikan Pujian dan Semangat
Pujian dan dorongan semangat dapat memupuk rasa percaya diri dan harga diri anak. Berikan dorongan semangat atas upaya yang telah dilakukan oleh anak. Misalnya ketika anak mendapat nilai yang baik saat penilaian harian. Orang tua bisa berkata, “Kamu telah belajar dengan giat sehingga mendapatkan hasil yang baik.” Selain itu, pujian juga dapat diberikan ketika anak-anak menceritakan keberhasilan kecil yang mereka raih. Namun, tahukah Bapak Ibu, pujian paling efektif adalah pujian yang datangnya tanpa diharapkan anak. Contohnya, Orang tua memberi pujian ketika anak membereskan kamarnya tanpa diminta. Pujian tersebut akan lebih berarti bagi anak. Pujian yang tidak pernah diharapkan akan menjadi motivasi anak untuk mencapai keberhasilan.

Berikan Konsekuensi
Sebelum memberikan konsekuensi atas perilaku anak, jelaskan terlebih dahulu perilaku seperti apa yang orang tua harapkan dan konsekuensi apa yang akan mereka dapatkan jika mereka berbuat sebaliknya. Misalnya jika anak tidak mau merapikan mainannya, maka mainan tersebut akan disimpan di gudang dalam waktu tertentu.

Jadilah Teladan
Sikap orang tua memberi pengaruh yang besar pada anak. Anak perlu teladan orang tua yang selalu taat pada aturan, yang tentunya bersumber pada ketaatan kepada Tuhan. Contohnya, orang tua membuat aturan tidak ada gawai saat sedang makan di meja makan. Maka aturan tersebut seharusnya tidak hanya berlaku bagi anak tapi juga bagi orang tua. Dengan demikian, anak melihat orang tua sebagai orang yang adil dan berpegang pada aturan yang telah disepakati.

Butuh proses yang panjang untuk belajar disiplin. Kunci keberhasilannya adalah konsistensi dan kesabaran. Melalui proses ini, orang tua akan dibentuk menjadi pribadi yang lebih tegas tapi tetap penuh kasih dan sabar dalam mendidik anak-anak. Buah dari kedisiplinan ini juga akan membentuk anak menjadi pribadi yang lebih rajin dan taat.

Catatan: poin-poin tentang disiplin disadur dari beberapa sumber:
Ezzo, G. & Ezzo, A. M. 2001. Membesarkan Anak dengan Cara Allah.
Family routines: how and why they work. Diambil dari https://raisingchildren.net.au/pre-teens/behaviour/behaviour-management-ideas/family-routines

Kasih Karunia dari Allah

Oleh: Sylvia Tiono Gunawan – Staf Kerohanian PK3

Lukas 1:30-31
Kata malaikat itu kepadanya: “Jangan takut, hai Maria, sebab engkau beroleh kasih karunia di hadapan Allah. Sesungguhnya engkau akan mengandung dan akan melahirkan seorang anak laki-laki dan hendaklah engkau menamai Dia Yesus.

Maria mendapat kasih karunia di hadapan Allah. Kasih karunia yang dimaksud oleh malaikat adalah mengandung dan melahirkan seorang anak laki-laki yang akan menjadi Juru Selamat dunia. Di satu sisi, ini adalah sebuah hak istimewa yang luar biasa, rahim manusia berdosa dipakai untuk hadir-Nya Yesus, Putra Allah. Namun, di sisi lain tentu ini merupakan tugas yang berat karena Maria masih perawan. Saat itu di Israel, jika seorang wanita yang belum menikah mengandung seorang anak maka ia akan mendapatkan hukuman mati. Karena itu, kasih karunia yang diterima Maria adalah sebuah tanggung jawab mulia dari Allah. Ia menjadi rekan sekerja Allah untuk mewujudkan rencana Allah yang mulia yaitu menyelamatkan manusia yang berdosa.
Apa yang kita pikirkan ketika berbicara mengenai kasih karunia? Apakah kasih karunia yang kita pikirkan adalah berkat-berkat jasmani, kemudahan hidup dan kesenangan dunia ini? Kasih karunia Allah jauh melampaui keindahan dan kenikmatan dunia ini. Kasih karunia Allah adalah ketika kita bisa menjadi bagian dari penggenapan rencana Allah yang mulia. Kasih Karunia adalah ketika kita bersedia dipakai menjadi hamba-Nya, melakukan kehendak-Nya seperti Maria (Lukas 1:38). Dan dalam prosesnya, Allah tidak meninggalkan umat-Nya.
Salah satu kasih karunia Allah bagi kita adalah dengan menjadi orang tua. Tidak semua orang punya kesempatan ini, namun jika kita memilikinya, bersyukurlah. Sebab anak adalah hak istimewa sekaligus tanggung jawab yang mulia dari Allah. Adakalanya tanggung jawab ini terasa berat sebab orang tua dan juga anak-anak sama-sama manusia yang terbatas. Namun, itu bukan berarti orang tua di dalam Tuhan tidak akan mampu mengemban tanggung jawab ini. Sebab kasih karunia Allah juga berarti adanya penyertaan Allah bagi mereka yang dipilih Allah untuk melakukan misi-Nya.
The story of Christmas is the story of God’s relentless love for us – Kisah Natal adalah kisah kasih Tuhan yang tiada henti bagi kita (Max Lucado). Oleh karena itu, biarlah momen Natal mengingatkan kita bahwa kasih karunia Allah telah dinyatakan bagi kita dengan kehadiran Kristus yang mengasihi dan menyelamatkan kita. Dan kiranya teladan kasih Allah itu mendorong kita untuk menjadi orang tua yang menyatakan kasih Kristus kepada anak-anak yang Tuhan percayakan kepada kita.

PARADIGMA KURIKULUM MERDEKA

Oleh: Elisabeth Lili Herlianah – Research & Development Unit SMP

Tahun Ajaran 2023-2024, SMP Athalia mulai menerapkan Kurikulum Merdeka. Penerapan ini dilaksanakan secara bertahap, tahun ini diawali di kelas VII. Tentunya sebelum menerapkan kurikulum ini, semua pihak harus menyiapkan banyak hal, baik pihak sekolah, murid, dan orang tua murid. Pihak sekolah telah memberikan pembekalan kepada pendidik dan tenaga kependidikan berupa pelatihan maupun workshop mengenai Kurikulum Merdeka. Hal yang terpenting untuk dapat memahami dan melaksanakan Kurikulum Merdeka, semua pihak harus menyadari akan perubahan paradigma dari paradigma lama ke paradigma baru. Paradigma Kurikulum Merdeka menekankan pada pengembangan kemampuan adaptasi dan pembelajaran sepanjang hayat. Berikut adalah beberapa poin penting dalam paradigma ini:

1. Pembelajaran berpusat pada siswa

Kurikulum Merdeka menekankan pada pembelajaran yang berpusat pada murid. Setiap murid aktif terlibat dalam proses pembelajaran. Murid diberi kesempatan untuk menggali minat dan bakat mereka sendiri, mengembangkan kekuatan mereka, dan mengatasi kelemahan mereka.

2. Peningkatan keterampilan abad ke-21

Kurikulum Merdeka fokus pada pengembangan keterampilan abad ke-21, seperti keterampilan berpikir kritis, kreativitas, kolaborasi, komunikasi, pemecahan masalah, dan literasi digital. Murid diajarkan bagaimana menerapkan keterampilan ini dalam berbagai konteks baik dalam pembelajaran maupun kehidupan sehari-hari.

3. Integrasi teknologi

Paradigma ini mengakui pentingnya teknologi dalam kehidupan siswa saat ini. Oleh karena itu, teknologi digunakan sebagai alat untuk memfasilitasi pembelajaran yang aktif, kolaboratif dan kreatif. Murid diajarkan tentang penggunaan teknologi dengan bijak dan bertanggung jawab.

4. Pembelajaran lintas disiplin

Kurikulum Merdeka mendorong pembelajaran lintas disiplin, setiap murid dapat mempelajari berbagai bidang pengetahuan dan mengintegrasikan konsep-konsep yang diajarkan bukan untuk satu disiplin ilmu saja melainkan dapat dihubungkan lebih holistik.

5. Pengembangan karakter dan etika

Selain pengetahuan akademik, Kurikulum Merdeka juga menekankan pada pengembangan karakter dan etika murid. Murid diajarkan nilai-nilai seperti integritas, empati, keadilan, dan tanggung jawab sosial. Paradigma ini berusaha menciptakan individu yang tidak hanya pintar secara akademik tetapi juga berkepribadian baik.

6. Keterlibatan komunitas

Paradigma Kurikulum Merdeka mendorong keterlibatan komunitas dalam pembelajaran. Murid diajak untuk terlibat dalam proyek-proyek yang relevan dengan komunitas mereka sehingga mereka dapat mengaplikasikan pengetahuan dan keterampilan mereka dalam konteks yang nyata.

Kurikulum Merdeka bertujuan untuk mempersiapkan murid menjadi individu yang siap menghadapi dunia yang terus berubah. Paradigma ini memberikan siswa kebebasan untuk mengembangkan potensi mereka sendiri dan mengambil peran aktif dalam proses pembelajaran. Namun, di usia remaja ini mereka masih sangat membutuhkan dukungan terutama dari pihak orang tua. Dukungan dari orang tua bisa dilakukan secara langsung maupun tidak langsung. Dukungan secara langsung misalnya orang tua dapat mendampingi saat putra-putrinya sedang belajar di rumah ataupun saat membuat proyek yang sedang mereka kerjakan. Dukungan secara tidak langsung misalnya orang tua memberikan kesempatan kepada putra-putrinya untuk mencari informasi yang dibutuhkan dalam menyelesaikan tugasnya dengan memberikan fasilitas yang diperlukan dalam pencarian informasi. Dukungan yang tidak kalah pentingnya adalah orang tua terus mendoakan dan memberikan semangat untuk putra-putrinya agar menjadi pribadi yang berkarakter dan mandiri. Demikianlah sekilas informasi mengenai paradigma Kurikulum Merdeka. Tetap semangat untuk pendidik, tenaga kependidikan, murid, dan orangtua dalam menerapkan Kurikulum Merdeka. Kerja sama yang harmonis dari semua pihak sangat diperlukan, terutama orangtua dan pihak sekolah demi generasi muda menyongsong masa depan yang lebih gemilang.

Catatan:
Poin-poin tentang paradigma Kurikulum Merdeka diambil dari sumber di bawah ini dengan beberapa perubahan redaksi kalimat.
https://dikbudbanggai.id/read/183/paradigma-baru-kurikulum-merdeka-menghadapi-abad-21

Perbedaan yang Indah

Oleh: Erika Kristianingrum – Orang tua murid kelas IXEr dan VW

Sebagian dari kita pasti pernah mendengar salah satu tes kepribadian yang disebut MBTI. MBTI sendiri adalah kepanjangan dari (Myers–Briggs Type Indicator). Tes ini untuk menilai kecenderungan kepribadian seseorang. “MBTI (Myers-Brigg Type Indicator) adalah tes kepribadian yang dikembangkan oleh ibu dan anak Katharine Cook Briggs dan Isabel Briggs Myers untuk mengukur bagaimana seseorang melihat dunia dan membuat keputusan” (sumber: https://id.wikipedia.org/wiki/Myers-Briggs_Type_Indicator).

  • Dari sisi seseorang mendapat energi maka ada extrovert (E) dan introvert (I)
  • Dari sisi bagaimana seseorang mengolah informasi ada sensing (S) dan intuition (N)
  • Dari sisi bagaimana seseorang mengambil keputusan ada thinking (T) dan feeling (F)
  • Dari sisi bagaimana seseorang mengelola hidup ada Judging (J) dan Perceiving (P) (Chahyadi, 2019)

Setiap pribadi memiliki 4 kombinasi ini di dalam diri mereka. Setiap kombinasi masing-masing memiliki kekurangan dan kelebihannya.
Demikian juga dengan saya, suami, dan anak-anak. Saya dan anak pertama memiliki kepribadian yang extrovert, kami memperoleh energi kami dengan berbicara dan mengobrol dengan orang lain. Sementara itu, suami dan anak kedua saya memiliki kepribadian yang introvert yang justru mendapat energinya dengan berdiam menyendiri. Bagi orang introvert melelahkan berada di kerumunan orang yang banyak bicara. Perbedaan ini membuat saya sering sekali uring-uringan dengan suami dan anak saya. Saat suami pulang kerja, saya yang merasa lelah harus mendapatkan energi dengan menceritakan keseharian saya dengan tak berhenti bercerita. Mendapatkan tanggapan dengan jawaban seadanya dari suami sering membuat saya jengkel. Padahal saat itu suami saya juga lelah karena teman satu timnya sebagian besar adalah orang extrovert sehingga dia membutuhkan waktu untuk me-recharge energinya dengan berdiam sebentar. Setelah saya sadar bahwa kami berbeda, saya mengajak suami berdiskusi tentang perbedaan sifat kami. Akhirnya, saya mengerti ketika saya mulai berdiam diri sejenak, saya dapat merefleksikan makna hidup ini.


Perbedaan lain yang cukup mencolok adalah dalam hal gaya hidup. Saya adalah tipe judging. Tipe judging memiliki gaya hidup yang teratur, rapi, dan terencana. Pernyataan yang khas dari orang judging adalah “nanti bagaimana.” Sedangkan suami dan kedua anak saya adalah tipe perceiving yang lebih fleksibel, pernyataan yang khas dari tipe perceiving adalah “gimana nanti.” Contoh perbedaan sikap yang pernah terjadi adalah saat kami melakukan perjalanan liburan. Saya terbiasa merencanakan hal-hal yang akan kami lakukan untuk memastikan liburan kami berjalan dengan baik dan berkesan. Sayangnya, suami dan anak-anak seringkali tidak mengindahkan jadwal yang sudah saya buat dengan susah payah. Hal itu menjengkelkan bagi saya. Sifat santai mereka pernah membuat kami berangkat melebihi waktu yang sudah saya rencanakan. Namun, keterlambatan itu justru membuat kami terhindar dari kemacetan luar biasa karena sebelumnya terjadi kecelakaan di jalan yang akan kami lewati. Setelah kejadian itu saya menyadari bahwa sesekali menjadi fleksibel itu menyenangkan. Saya mulai belajar untuk menerima hal-hal yang tidak prinsip dan anak-anak serta suami belajar untuk teratur terhadap hal-hal yang prinsip.


Tentu tidak mudah menyikapi perbedaan, kadang menimbulkan luka dan air mata. Namun, Tuhan mengijinkan perbedaan itu ada supaya saya belajar untuk bisa menerima diri sendiri dan menerima suami serta anak-anak saya apa adanya, agar kami bisa berjalan bersama dengan perbedaan itu. Perbedaan itu tetap ada hingga saat ini tetapi cara merespon yang berbeda membuat perbedaan itu menjadi sebuah harmoni yang indah sehingga menjadikan saya pribadi yang semakin baik.

Seni Berkomunikasi dengan Anak

Oleh: Marcelina Denise Lahenda – Staf Konselor SD

Bulan Bahasa diperingati setiap bulan Oktober di Sekolah Athalia. Kegiatan ini bertujuan sebagai pengingat akan fungsi utama bahasa yaitu sebagai alat komunikasi antar individu dan juga alat berinteraksi dengan sesama manusia. Misalnya, anak bertumbuh dan belajar banyak melalui percakapan secara khusus dengan orangtua dan anggota keluarga lainnya. Hal ini bukan hanya membantu mereka mengembangkan keterampilan berbahasa. Namun, membangun hubungan yang kuat dengan keterampilan sosial yang diperlukan untuk berinteraksi dengan orang lain. Selain itu, komunikasi yang efektif dengan anak merupakan fondasi penting dalam membentuk hubungan yang sehat dan keterikatan emosi antara orangtua dan anak.
Komunikasi yang efektif akan menolong anak untuk merasa dipahami, dimengerti perasaannya, dan dipahami kebutuhannya. Hal ini juga akan menolong anak mengembangkan rasa percaya, perasaan aman dan nyaman sehingga secara tidak langsung juga menolong perkembangan sosial emosinya. Komunikasi yang baik dengan anak bukan hanya tentang berbicara, tetapi juga tentang mendengarkan, memahami, dan merespons dengan tepat. Komunikasi antara orangtua dengan anak sebenarnya bukan hal yang sulit. Namun, membutuhkan keterampilan, memberikan diri, dan juga waktu.

Tips berkomunikasi dengan anak:

  1. Active listening
    Mendengarkan secara aktif membantu anak-anak merasa didengar dan dipahami. Kita perlu mengalihkan perhatian dari ponsel atau pekerjaan lainnya saat berbicara dengan anak. Mereka perlu merasa dirinya penting dan didengarkan. Mendengarkan bukan saja dengan telinga, tetapi dengan hati sehingga kita dapat menangkap bukan hanya tentang apa yang dikatakannya, melainkan perasaan dibalik kata-katanya tersebut.
  2. Reflective listening
    Salah satu cara untuk menunjukkan bahwa kita memperhatikan dan menangkap apa yang mereka katakan adalah dengan mengulangi apa yang mereka katakan dengan menggunakan frase yang berbeda. Misalnya, jika anak berkata, “Saya tidak mau bermain dengan Tono lagi.” Kita dapat merespons dengan, “Kamu sedang tidak mau main ya. Kelihatannya kamu sedang kesal.” Ini akan membuat anak merasa dimengerti dan tidak dihakimi, sehingga anak dapat mengekspresikan emosi mereka tanpa penilaian.
  3. Speaking clearly
    Gunakan bahasa yang dapat dimengerti untuk anak dan sesuai dengan usia mereka. Pemilihan kata harus jelas, spesifik, dan tidak menggunakan kata-kata yang kasar atau menghina. Menggunakan bahasa yang baik akan membantu memberikan contoh positif bagi anak-anak. Kita harus ingat bahwa percakapan harus membuat anak merasa dihargai dan dicintai.
  4. Explaining feelings
    Untuk membantu anak mengembangkan kecerdasan emosional, penting bagi mereka untuk belajar bagaimana memberi nama perasaan mereka. Ketika anak mengekspresikan perasaan mereka secara verbal, dengarkan apa yang mereka katakan dengan empati dan tanpa penilaian. Jika anak mengekspresikan perasaan mereka dengan cara nonverbal – misalnya melalui amarah atau tertawa dan bersenang-senang melakukan aktivitas yang mereka sukai, kita perlu membahasakan bagaimana perasaan mereka, seperti bahagia, sedih, santai, terluka, takut, lapar, bangga, mengantuk, marah, tidak berdaya, jengkel, malu atau gembira, dll.

Komunikasi yang baik dengan anak bukanlah hal yang instan, tetapi merupakan proses yang perlu dengan sengaja diciptakan dan dibangun karena sangat mempengaruhi hubungan orangtua dengan anak. Dengan memberikan waktu, perhatian, dan mendengarkan dengan baik, kita dapat membantu anak tumbuh dan berkembang secara positif. Semua ini membantu mereka merasa dicintai dan diperhatikan sebagai dasar yang kuat untuk setiap tahap perkembangan di masa depan.

Sumber: https://www.unicef.org/parenting/child-care/9-tips-for-better-communication

Keharmonisan dalam Perbedaan

Oleh: Sylvia Tiono Gunawan – Staf Kerohanian (PK3)

Mazmur 133:1,3a
Nyanyian ziarah Daud. Sungguh, alangkah baiknya dan indahnya, apabila saudara-saudara diam bersama dengan rukun! Seperti embun gunung Hermon yang turun ke atas gunung-gunung Sion.

Gunung Hermon adalah pegunungan yang diliputi salju, sedangkan tanah di sekitarnya cenderung tandus. Karena itu, kesuburan tanah di sekitar Gunung Hermon bergantung pada embun dan lelehan es dari Gunung Hermon. Sungai es Gunung Hermon juga menjadi sumber utama air Sungai Yordan dan airnya mengalir ke Laut Mati. Daud mengumpamakan kerukunan seperti embun Gunung Hermon. Kerukunan di antara orang percaya dapat menjadi berkat dan sukacita bagi komunitas di mana kita berada, seperti embun Hermon yang memberikan keuntungan bagi daerah sekitarnya.
Sayangnya, kerukunan tidak mudah terjadi dalam sebuah komunitas. Mengapa? Charles Swindoll menulis renungan dalam https://insight.org/resources/daily-devotional/individual/ unity-and-humility, “Do you realize how closely unity and humility are tied together? One breeds the other; neither can exist without the other.” Kerukunan tidak bisa dilepaskan dari kerendahan hati. Sebaliknya, musuh kerukunan adalah kesombongan. Hal ini berlaku bukan hanya dalam komunitas yang besar, tetapi juga dalam setiap keluarga. Tanpa kerendahan hati, kita akan cenderung menghakimi daripada memahami. Tanpa memiliki kesadaran bahwa kita adalah manusia yang lemah dan rapuh, kita cenderung akan cepat marah dan mengeluh daripada menerima dan menolong sesama. Akibatnya, kita terus bertengkar bukan hidup rukun.
Perbedaan tentu akan selalu kita temukan di mana saja. Namun, sikap hati kita dalam merespon akan sangat menentukan apakah kerukunan itu dapat terjadi atau tidak. Karena itu, pilihlah untuk tetap rendah hati, buanglah kesombongan, belajarlah saling menerima, dan menolong. Dengan demikian, kehidupan kita akan seperti Gunung Hermon yang membawa berkat bagi sekitarnya, menghadirkan kerukunan beserta damai sejahtera dan sukacita dalam setiap komunitas di mana pun kita ditempatkan.