Rendah Hati

Oleh: Nostalgia Pax Nikijuluw – Kasie Pengembangan Kerohanian, Karakter, dan Konseling Sekolah Athalia

“I am persuaded that love and humility are the highest attainments in the school of Christ and the brightest evidences that He is indeed our Master.”
John Newton (1725-1807)

Rendah Hati, sebuah kualitas hidup (karakter) yang cukup sering diperdengarkan tetapi sulit untuk dihidupi. John Newton seorang hamba Tuhan berkebangsaan Inggris menuliskan sebuah kalimat bijak yang memandang kerendahan hati dan kasih sebagai pencapaian tertinggi dalam sekolah Kristus dan kerendahan hati sebagai bukti yang sangat jelas bahwa benarlah Yesus adalah Tuan kita. Kerendahan hati dipandang sebagai kualitas hidup yang sangat penting dalam diri seseorang terlebih lagi bagi pengikut Kristus, karena rendah hati adalah salah satu karakter Allah yang sangat terllihat dalam diri Yesus Kristus. Bagi seseorang yang mengaku diri sebagai pengikut Kristus, maka kehidupannya adalah cerminan dari Kristus yang adalah Tuhan dan Tuan.

Pemazmur dalam Mazmur 113:5-6 menggambarkan kerendahan hati Allah dengan menuliskan, “Siapakah seperti Tuhan Allah kita yang diam di tempat yang tinggi yang merendahkan diri untuk melihat ke langit dan ke bumi? Ia menegakkan orang yang hina dari dalam debu dan mengangkat orang yang miskin dari lumpur.” Bahkan jika melihat kata asli yang digunakan untuk kata “rendah hati”, menggunakan kata yang artinya tertunduk. Allah menundukkan diri-Nya. Jika Allah Sang pencipta adalah Allah yang merendahkan diri-Nya terhadap ciptaan-Nya, maka kerendahan hati adalah sikap hidup yang juga dikehendaki-Nya untuk dihidupi oleh manusia sebagai ciptaan-Nya. Ia yang berada di tempat yang tinggi, mau merendahkan diri-Nya dengan datang ke dunia dan mengambil rupa seorang hamba (Filipi 2: 6-8). Yesus Kristus adalah teladan.Tidak ada pilihan bagi manusia terlebih pengikut-Nya selain untuk mengikuti kehendak-Nya. Amsal 3:34 menuliskan, “Orang yang rendah hati dikasihi-Nya.” Allah mengasihi orang yang rendah hati.

Kerendahan hati mencerminkan kesadaran diri manusia dihadapan Allah. Apapun yang ada pada manusia baik itu sesuatu yang melekat semenjak lahir, ataupun sesuatu yang menjadi “milik“ dalam perjalanan kehidupan didunia ini, semua itu berasal dari Allah. Orang yang rendah hati akan menyadari bahwa seluruh keberadaan dirinya tidak dapat lepas dari campur tangan Allah yang telah terlebih dahulu melayani. Penebusan Kristus di salib menjadi bukti pelayanan-Nya. Demikian juga dengan kesadaran akan kebebasan untuk bernafas, setiap denyut jantung yang masih ada, matahari terbit pagi hari, hujan yang membasahi bumi, menyediakan apa yang dibutuhkan manusia, Allah yang terlebih dulu melayani. Bahkan Allah Roh Kudus yang hadir dalam kehidupan manusia, menolong dalam setiap perjalanan hari demi hari orang percaya, bukankah itu semua bukti kerendahan hati Allah dalam mengasihi dan melayani manusia? Jika demikian adanya, bagaimana dengan respons kita?

Orang yang rendah hati akan menyadari kebergantungannya kepada Allah, di tengah berbagai tantangan dan persoalan yang dihadapi. Kerendahan hati akan memampukan orang yang rendah hati untuk tidak hidup berpusat pada diri yang hanya mengikuti kata hatinya, pemikirannya sendiri, melainkan rela melepaskan kehendak diri demi mengikuti kehendak Sang Tuan. Ketika kerendahan hati menjadi bagian dari hidupnya, maka orang lain akan dapat menilai dan merasakan kenyamanan dalam berelasi dengan orang yang rendah hati. Adakah manusia yang dapat mengatakan dirinya sudah rendah hati? Seharusnya tidak ada, kecuali Yesus. Kita semua sedang diproses untuk menjadi serupa dengan-Nya, serupa dengan kerendahan hati-Nya.

Jika kerendahan hati adalah pencapaian tertinggi dalam sekolah Kristus seperti yang dikatakan oleh John Newton, dan jika kita adalah pengikut Kristus yang seharusnya menginginkan pencapaian tersebut, maka bagian kita adalah “mendaftarkan diri” kita dalam sekolah tersebut, dengan mempersilakan Tuhan melakukan setiap proses yang dikehendaki-Nya dalam hidup kita agar kita menjadi orang yang semakin serupa dengan-Nya.
Selamat berproses, Tuhan menyertai kita.

Sekilas tentang Retreat Kelas VII SMP Athalia 2017

Oleh: Loura Palyama, guru Agama SMP Athalia

Retreat adalah salah satu kegiatan kerohanian yang dilakukan di SMP Athalia. Biasanya kegiatan ini  dilakukan untuk siswa-siswi SMP Athalia kelas VII. Mengapa kelas VII..?? Karena melalui kegiatan ini siswa diharapkan memiliki keinginan untuk semakin hari semakin bertumbuh di dalam Kristus. Kegiatan ini merupakan awal dari berbagai kegiatan kerohanian yang lainnya. Setiap tahunnya, kegiatan ini dilakukan agar siswa dapat mengawali perjalanannya di SMP Athalia dengan kerinduan untuk senantiasa bertumbuh dan menjadi seperti Kristus.

Tahun ini, retreat di SMP Athalia mengambil tema “He Changes Me”. Dengan tema ini, diharapkan peserta yang ikut baik murid bahkan guru dapat semakin bertumbuh dalam pengenalan akan Tuhan dan dapat berubah semakin baik, dengan kesadaran dan keyakinan bahwa perubahan itu dimulai karena Kristus yang telah mengubahkan kita. Semua yang kita miliki di dunia ini, bahkan keselamatan yang kita miliki berasal daripada Kristus.

Retreat berjalan dengan baik. Ada suka, ada juga duka. Lho, kok duka..?? Iya duka, karena beberapa anak yang menangis merasa rindu dengan orang tuanya (tidak terbiasa jauh dari mama). Namun, anak ini belajar untuk lebih mandiri, di hari kedua penuh dengan tangisan air mata rindu, namun pada sore harinya, sang anak dengan diberi pengertian sudah mulai belajar mandiri. Ada juga beberapa peraturan yang berlaku selama di sana, dan tentunya ada konsekuensi juga.

Retreat kelas VII bukan hanya tempat untuk liburan bersama atau refreshing bersama, namun dalam retreat ini juga, anak-anak dibentuk untuk mandiri, untuk bertumbuh dalam Tuhan (itu yang paling penting) dan tidak ketinggalan untuk disiplin. Ya, guru-guru yang menjadi panitia retreat sepakat bahwa selain untuk membawa anak semakin mengenal Tuhan, kami juga berharap agar melalui retreat ini, anak-anak semakin disiplin dalam menjalani kehidupannya. Dimulai dari hal kecil, seperti makan dengan teratur, tidak boleh ada makanan yang terbuang hingga diwajibkan makan sayur. Dan semuanya kami lakukan, bahkan pembicara yang kami undang pun mengakui akan hal itu. Ev. Andrey Thunggal, seorang hamba Tuhan yang dipakai Allah untuk menyampaikan Firman-Nya kepada siswa-siswi kelas VII SMP Athalia.

Ev. Andrey Thunggal menyampaikan banyak hal dan memberikan kesan yang baik bagi Athalia. Pelayanannya pun diunggah dalam Youtube sehingga banyak yang terberkati melalui retreat ini. Unggahannya dapat dilihat di https://www.youtube.com/watch?v=4lxC2ev_uVo. Terima kasih untuk pelayanannya Ev. Andrey, Tuhan Yesus memberkati.

Setelah kegiatan retreat ini banyak anak yang memberi kesaksian, bagaimana mereka belajar untuk mandiri, semakin berserah pada Tuhan dan lebih disiplin dalam menjalani sesuatu. Selain itu, ada juga beberapa anak yang belajar untuk meminta maaf dan mengampuni sesama. Bagaimana mereka belajar untuk lebih menghormati orang yang lebih tua terutama orang tua mereka dan menghargai sesama mereka.

retreat_kelas_7retreat_kelas_7retreat_kelas_7retreat_kelas_7retreat_kelas_7retreat_kelas_7retreat_kelas_7retreat_kelas_7retreat_kelas_7retreat_kelas_7retreat_kelas_7retreat_kelas_7retreat_kelas_7

Belas Kasihan

Oleh: Bapak Presno Saragih, Kabid. Pendidikan
belas kasihan

 

Dalam Markus 6:30 kita membaca bahwa para murid melaporkan apa yang sudah mereka kerjakan dan ajarkan kepada orang-orang yang mereka jumpai. Pasti terjadi diskusi yang menarik antara mereka dengan Tuhan Yesus. Mungkin ada pujian, koreksi, dan lain-lain yang diberikan Tuhan Yesus kepada murid-murid-Nya. Pendek kata ada evaluasi yang Tuhan Yesus sampaikan kepada mereka. Lalu pada ayat 31 kita membaca adanya ajakan Tuhan Yesus kepada mereka untuk pergi ke tempat yang sunyi untuk beristirahat di sana karena mereka baru saja melakukan pelayanan yang sangat melelahkan. Namun ketika Tuhan Yesus melihat orang banyak yang mencari-cari (membutuhkan) Dia, niat-Nya untuk beristirahat diurungkan-Nya (Markus 6:33,34). Ayat 34 mencatat bahwa hati-Nya tergerak oleh “belas kasihan” kepada mereka.

Belas kasihan adalah perasaan kasih yang ditunjukkan lewat perbuatan nyata. Markus 6:34b mencatat bahwa Ia mengajarkan banyak hal kepada mereka. Mereka membutuhkan pengajaran Tuhan Yesus karena mereka seperti domba yang tidak mempunyai gembala (Markus 6:34a). Perasaan belas kasihan-Nya tidak berhenti pada perasaan simpati dan atau empati saja tapi dilanjutkan dengan perbuatan memberi pengajaran kepada orang banyak yang terlantar tersebut. Bahkan ketika hari mulai malam Tuhan Yesus meminta murid-murid-Nya untuk memberi makanan kepada orang banyak yang baru menerima pengajaran-Nya. Orang banyak membutuhkan makanan jasmani setelah mereka menerima makanan rohani dari Tuhan Yesus. Perasaan belas kasihan-nya kembali mewujud nyata dalam bentuk perbuatan yaitu memberi orang banyak makanan yang mereka butuhkan.

Ada banyak hal yang sangat menarik berkaitan dengan mujizat 5 ketul roti dan 2 ekor ikan. Ketika diberitahukan kepada Tuhan Yesus bahwa “modal” makanan yang mereka miliki hanyalah 5 ketul roti dan 2 ekor ikan, Tuhan Yesus tidak berkomentar negatif melihat perbandingan yang sangat tidak seimbang antara jumlah makanan dan jumlah orang yang butuh makanan. Yang membutuhkan makanan ada lebih dari 5.000 orang (Markus 6:44). Alkitab mencatat ada 5.000 orang laki-laki yang mendengarkan khotbah Tuhan Yesus pada waktu itu. Jumlah perempuan dan anak-anak yang hadir tidak ditulis. Mungkin ada 5.000 perempuan dan 5.000 anak-anak yang juga hadir menerima pengajaran Tuhan Yesus. Berarti totalnya ada +/- 15.000 orang yang membutuhkan makanan. Lalu Tuhan Yesus mengucap syukur dan membagi-bagikan roti dan ikan itu kepada mereka (Yohanes 6:11). Dan terjadilah mujizat. Roti dan ikan itu tidak kunjung habis. Semua orang mendapat makanan dan makan sampai kenyang (Markus 6:42). Bahkan masih tersisa 12 bakul penuh (Markus 6:43). Belas kasihan Tuhan Yesus yang disertai ucapan syukur menghasilkan mujizat yang mencukupi kebutuhan jasmani dan rohani 15.000 orang.

Bagaimana dengan perasaan belas kasihan yang kita miliki? Apakah perasaan tersebut mewujud nyata dalam bentuk perbuatan? Atau hanya berhenti pada perasaan simpati dan atau empati saja? Hanya berputar-putar pada poros perasaan kasihan semata. Kita cuma berkata, ”Kasihan ya bapak itu?” Namun tidak ada perbuatan nyata yang kita lakukan. Bahkan mungkin kemudian menggosipkan orang yang kita kasihani itu panjang lebar dengan teman kita. Ironis, bukan?!

Mengapa banyak orang hanya memiliki perasaan simpati dan atau empati saja tanpa disertai perbuatan nyata? Mungkin karena mereka sendiri belum pernah mengalami kasih ilahi dalam kehidupan mereka yaitu kasih Allah yang membawa-Nya naik ke bukit Golgota. Sehingga mereka tidak dapat membagikan kasih ilahi kepada orang lain karena kantong kasih mereka kosong melompong. Alkitab berkata bahwa Allah menunjukkan kasih-Nya kepada kita melalui kematian Tuhan Yesus di atas kayu salib ketika manusia (kita) masih berdosa (Roma 5:8). Dengan menerima Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat kita secara pribadi, kita menerima kasih ilahi yang menyucikan kita dari segala dosa dan pelanggaran kita. Dengan modal kasih Allah tersebut kita dimampukan untuk mewujudnyatakan kasih kita kepada orang lain melalui perbuatan kita.

Ada banyak orang di sekitar kita membutuhkan injil Kristus. Ada banyak orang di sekitar kita membutuhkan uang kita, tenaga kita, telinga kita, waktu kita, nasehat kita, dan lain-lain. Maukah kita berbelas kasihan kepada mereka dengan memberitakan injil Kristus? Maukah kita berbelas kasihan kepada mereka dengan memberikan uang kita, tenaga kita, telinga kita, waktu kita, nasehat kita? Mari kita menjawabnya di hadapan Tuhan secara pribadi…

Rendah Hati

Oleh: Nostalgia Pax Nikijuluw - Staf PK3 Sekolah Athalia

“I am persuaded that love and humility are the highest attainments in the school of Christ and the brightest evidences that He is indeed our Master.”
John Newton (1725-1807)

Rendah Hati, sebuah kualitas hidup (karakter) yang cukup sering diperdengarkan tetapi sulit untuk dihidupi. John Newton seorang hamba Tuhan berkebangsaan Inggris menuliskan sebuah kalimat bijak yang memandang kerendahan hati dan kasih sebagai pencapaian tertinggi dalam sekolah Kristus dan kerendahan hati sebagai bukti yang sangat jelas bahwa benarlah Yesus adalah Tuan kita. Kerendahan hati dipandang sebagai kualitas hidup yang sangat penting dalam diri seseorang terlebih lagi bagi pengikut Kristus, karena rendah hati adalah salah satu karakter Allah yang sangat terllihat dalam diri Yesus Kristus. Bagi seseorang yang mengaku diri sebagai pengikut Kristus, maka kehidupannya adalah cerminan dari Kristus yang adalah Tuhan dan Tuan.

Pemazmur dalam Mazmur 113:5-6 menggambarkan kerendahan hati Allah dengan menuliskan, “Siapakah seperti Tuhan Allah kita yang diam di tempat yang tinggi yang merendahkan diri untuk melihat ke langit dan ke bumi? Ia menegakkan orang yang hina dari dalam debu dan mengangkat orang yang miskin dari lumpur.” Bahkan jika melihat kata asli yang digunakan untuk kata “rendah hati”, menggunakan kata yang artinya tertunduk. Allah menundukkan diri-Nya. Jika Allah Sang pencipta adalah Allah yang merendahkan diri-Nya terhadap ciptaan-Nya, maka kerendahan hati adalah sikap hidup yang juga dikehendaki-Nya untuk dihidupi oleh manusia sebagai ciptaan-Nya. Ia yang berada di tempat yang tinggi, mau merendahkan diri-Nya dengan datang ke dunia dan mengambil rupa seorang hamba (Filipi 2: 6-8). Yesus Kristus adalah teladan.Tidak ada pilihan bagi manusia terlebih pengikut-Nya selain untuk mengikuti kehendak-Nya. Amsal 3:34 menuliskan, “Orang yang rendah hati dikasihi-Nya.” Allah mengasihi orang yang rendah hati.
Kerendahan hati mencerminkan kesadaran diri manusia dihadapan Allah. Apapun yang ada pada manusia baik itu sesuatu yang melekat semenjak lahir, ataupun sesuatu yang menjadi “milik“ dalam perjalanan kehidupan didunia ini, semua itu berasal dari Allah. Orang yang rendah hati akan menyadari bahwa seluruh keberadaan dirinya tidak dapat lepas dari campur tangan Allah yang telah terlebih dahulu melayani. Penebusan Kristus di salib menjadi bukti pelayanan-Nya. Demikian juga dengan kesadaran akan kebebasan untuk bernafas, setiap denyut jantung yang masih ada, matahari terbit pagi hari, hujan yang membasahi bumi, menyediakan apa yang dibutuhkan manusia, Allah yang terlebih dulu melayani. Bahkan Allah Roh Kudus yang hadir dalam kehidupan manusia, menolong dalam setiap perjalanan hari demi hari orang percaya, bukankah itu semua bukti kerendahan hati Allah dalam mengasihi dan melayani manusia? Jika demikian adanya, bagaimana dengan respons kita?
Orang yang rendah hati akan menyadari kebergantungannya kepada Allah, di tengah berbagai tantangan dan persoalan yang dihadapi. Kerendahan hati akan memampukan orang yang rendah hati untuk tidak hidup berpusat pada diri yang hanya mengikuti kata hatinya, pemikirannya sendiri, melainkan rela melepaskan kehendak diri demi mengikuti kehendak Sang Tuan. Ketika kerendahan hati menjadi bagian dari hidupnya, maka orang lain akan dapat menilai dan merasakan kenyamanan dalam berelasi dengan orang yang rendah hati. Adakah manusia yang dapat mengatakan dirinya sudah rendah hati? Seharusnya tidak ada, kecuali Yesus. Kita semua sedang diproses untuk menjadi serupa dengan-Nya, serupa dengan kerendahan hati-Nya.
Jika kerendahan hati adalah pencapaian tertinggi dalam sekolah Kristus seperti yang dikatakan oleh John Newton, dan jika kita adalah pengikut Kristus yang seharusnya menginginkan pencapaian tersebut, maka bagian kita adalah “mendaftarkan diri” kita dalam sekolah tersebut, dengan mempersilakan Tuhan melakukan setiap proses yang dikehendaki-Nya dalam hidup kita agar kita menjadi orang yang semakin serupa dengan-Nya.
Selamat berproses, Tuhan menyertai kita.

rendah_hati

Initiative Camp

Initiative camp adalah kegiatan yang bertujuan untuk meneguhkan materi karakter inisiatif melalui ibadah, ceramah, permainan, studi kasus, prakarya, dan interaksi perilaku siswa antar siswa, siswa dengan guru, dan membuat proyek karakter yang akan dilakukan di rumah dan di sekolah. Camp ini diikuit oleh seluruh siswa kelas V SD Athalia. Melalui kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan pada hari Jumat, 15 Agustus 2017 tersebut diharapkan  pemahaman mengenai karakter inisatif semakin tertanam dan karakter baik itu pun semakin bertumbuh dan berkembang dalam diri masing-masing siswa.

initiative_campinitiative_camp

Jujur akan Hancur??

jujur_akan_hancur

Oleh: Tan Ai Li, staf Admin Yayasan

 

Ada pepatah yang berbunyi “jaman saiki sing jujur ajur” (zaman sekarang, yang jujur akan hancur). Banyak perisitiwa di jaman edan ini yang membuktikan bahwa kejujuran malah menjadi bumerang bagi diri seseorang. Masih relevankah kita mempertahankan kejujuran jika faktanya jujur itu menempatkan kita pada posisi tidak aman?

Firman Tuhan amat relevan bagi kehidupan kita. Karena Tuhan yang menciptakan kita maka Tuhan sendiri yang menetapkan sesuatu yang pasti baik buat kita. Tidak ada ketetapan atau perintah yang tujuannya untuk menyulitkan kita. Firman Tuhan banyak berbicara tentang kejujuran (mis. Kel. 20:15-16; Im. 19:11-13). Di sepanjang sejarah Tuhan mengulangi ketetapan-Nya agar umat hidup jujur. Beberapa kejadian menunjukkan  Allah menghukum orang yang tidak jujur seperti pada kisah Akhan di Yos. 7:11; peristiwa Ananias dan Safira di Kis. 5:3-4.

Apakah jujur itu?
Secara singkat jujur itu artinya mengatakan dan menyatakan kebenaran, transparan, seirama antara kata-kata dan perbuatan, tidak meminta lebih dari yang seharusnya. Jujur bukan berarti mengatakan semua yang kita ketahui. Perlu hikmat untuk memilih mana yang perlu dikatakan. Namun ketika menyatakannya kita harus menyatakan yang sebenarnya.

Bagaimana halnya jika situasi memojokkan kita untuk tidak jujur? Misalnya ketika atasan tidak bersedia ditemui seseorang dan meminta kita mengatakan pada orang tersebut bahwa ia tidak ada. Atau ketika sahabat kita meminta suatu info yang menurut kita info tersebut bersifat rahasia, dan ia akan marah jika kita tidak bersedia mengatakannya? Tentu ini perlu hikmat. Namun kita bisa mengatakan kepada sahabat kita misalnya, “Untuk kali ini saya tidak bisa membicarakannya denganmu karena ini sesuatu yang bersifat rahasia”. Jadi kita tidak perlu berbohong dengan mengatakan hal yang lain. Saya pernah berada dalam situasi itu beberapa kali. Berdasarkan pengalaman jika dalam hati kita dari awalnya  bertekad untuk jujur,  biasanya kita akan mendapatkan jalan keluar dalam mengatasinya. Tuhan akan menolong kita melewati situasi seperti itu. Awalnya mungkin saja terasa pahit tetapi suatu hari  akan tergantikan.

Apa sih manfaat hidup jujur?

1. Damai sejahtera.

Hati kita tenang ketika kita berani jujur dan menyatakan kebenaran. Saya pernah bekerja di suatu tempat yang hanya bertahan tiga bulan saja. Padahal saya bukan tipe orang yang suka berpindah-pindah pekerjaan. Namun di tempat itu, setelah tiga bulan bekerja saya mengetahui bahwa perusahaan itu menjalankan pembukuan ganda yang dilakukan di rumah. Saya telah mencoba mengatakan kepada pemilik perusahaan, yang juga seorang Kristen, bahwa itu merupakan suatu perbuatan yang tidak benar, namun ia tetap melakukannya. Walaupun saat itu saya sebenarnya membutuhkan pekerjaan itu karena ayah sudah meninggal, dan pekerjaan tersebut cukup bagus serta masa depannya juga cukup baik, akhirnya saya memutuskan untuk keluar dari tempat tersebut karena kami berbeda prinsip dan nilai-nilai yang tidak mungkin dipertemukan. Ketika saya berani mengambil keputusan tersebut dalam kondisi yang dilematis, Tuhan menggantikan dengan pekerjaan yang lain dan saya memiliki damai sejahtera. Damai sejahtera itu amat mahal, tidak bisa digantikan dengan sesuatu apapun.

2. Mendapatkan kepercayaan dan kesempatan untuk melakukan banyak hal.

Ketika kita bisa dipercaya dan ada orang yang mengetahui, biasanya berita itu akan tersebar dari mulut ke mulut dengan sendirinya, demikian juga sebaliknya ketika  kita tidak dapat dipercaya maka akan sulit sekali mengembalikan kepercayaan orang lain kepada kita. Mungkin ada dari kita yang sempat menyaksikan acara Kick Andy di bulan Maret yang lalu dengan topik “Berbagi untuk Berbahagia”. Salah satu narasumber waktu itu adalah Felani. Ia berkisah bahwa krisis ekonomi di tahun 1998 membuat seluruh keluarganya kehilangan segala-galanya. Ruko mereka dibakar dan ia hampir putus sekolah. Setiap hari ia harus berjualan susu kedelai di lampu merah. Suatu hari ia bertemu dengan Dato Sri Tahir, pemilik bank Mayapada yang membeli beberapa bungkus susu kedelai darinya. Sri Tahir waktu itu memberikan sejumlah uang dan mengatakan, “Ambil saja sisanya untuk kamu”. Namun Felani menolak menerima pemberian tersebut dan mengatakan “Pak, saya harus tetap mengembalikan karena harganya hanya sekian. Saya dari kecil diajar orang tua untuk menerima apa yang seharusnya saja dan tidak boleh menerima melebihi dari apa yang seharusnya saya terima. Kami bukan pengemis. Kami menerima bagian kami.” Rupanya Sri Tahir terkesan dengan sikap Felani ini dan suatu hari berkunjung ke rumahnya. Anak yang masih semuda itu sudah mempunyai prinsip yang demikian kuat seperti ini pasti dapat dipercaya. Jika ia sekolah pasti akan sekolah dengan benar dan akan menjadi orang yang berguna bagi bangsa dan negara. Pada akhirnya ia menerima beasiswa dari Tahir Foundation dan bisa melanjutkan sekolah dan menjadi orang yang cukup berhasil dan memberkati banyak orang.

3. Mempunyai relasi yang baik dengan orang lain.

Ketika George Washington masih kecil, ayahnya mempunyai pohon cerry yang unggul yang amat bagus dibanding dengan pohon cherry lain di sekitarnya. Suatu hari ketika George Washington bermain kampak tidak sengaja mengenai pohon cherry kesayangan ayahnya. Ketika ayahnya menemukan pohon tersebut terkampak dan hampir mati, ia kaget dan berseru, “Siapa yang melakukan ini?!”. Dalam beberapa detik George Washington terdiam, namun ia segera memutuskan untuk jujur dan berkata, “Ayah, saya yang melakukannya. Saya tidak sengaja, Ayah. Saya sedih karena saya tahu Ayah amat menyayangi pohon ini dan pohon ini hampir mati karena kelalaian saya.” Namun ayahnya berkata, “Nak, tatap aku. Aku menyesal kehilangan pohon cherryku. Tapi aku sangat senang karena kamu berani berkata jujur. Aku lebih suka kamu berkata jujur daripada memiliki seluruh kebun cherry yang paling unggul tetapi kamu berkata bohong. Jangan lupa itu anakku.” George terus mengingat kata ayahnya ini dan tumbuh menjadi orang yang terus belajar jujur dan dipakai oleh Tuhan luar biasa. Karena ia jujur maka relasi orang tua dan anak ini bertumbuh dengan baik juga. Bisa dibayangkan jika ia tidak jujur, maka sejak waktu itu relasinya dengan ayah menjadi rusak.

4. Kejujuran menghindarkan dari dosa-dosa selanjutnya.
Biasanya ketidakjujuran akan menciptakan kebohongan-kebohongan berikutnya untuk menutupi kebohongan yang sebelumnya.

5. Lebih Simple.
Hidup menjadi lebih simple karena kita tidak perlu terus-menerus memikirkan saya harus bilang apa. Itu sesuatu yang melelahkan, ribet.

6. Jujur menghindarkan kita dari kesusahan yang tidak seharusnya ditangggung.
Ada seorang nenek yang tinggal bersama dengan dua cucunya, si sulung dan si bungsu. Suatu hari si bungsu diminta tolong untuk pergi menggembalakan bebek. Di tengah kejenuhannya menggembalakan bebek, ia bermain ketapel. Dalam kecerobohannya, ketapel tersebut mengenai salah satu bebek nenek dan bebek itu mati. Si bungsu ketakutan, namun kakaknya berkata, “Sudah, ngga perlu takut, aku ngga akan memberitahukan bahwa bebek itu mati karena kecerobohanmu.” Akhirnya ketika nenek bertanya mengapa bebek tersebut mati, si bungsu mengatakan ia tidak tahu. Sejak hari itu, si kakak selalu menyuruh si bungsu untuk melakukan segala sesuatu yang disuruh oleh kakaknya. Jika si bungsu tidak mau, maka si sulung berkata, “Ingat, bebek. Kamu mau saya mengatakan kepada nenek kalau kamu yang membuat bebek itu mati?”. Terpaksa si bungsu melakukan saja semua hal yang disuruhkan oleh kakaknya karena takut kebohongannya dibongkar. Hari demi hari, minggu demi minggu si kakak terus memperdaya adiknya. Setelah satu bulan diperlakukan demikian, akhirnya ia tidak tahan dan si bungsu mengaku kepada nenek bahwa dialah penyebab kematian bebek itu. Dan nenek berkata, “Sebenarnya dari semula saya sudah tahu kalau kamulah yang membuat bebek itu mati, karena kematiannya tidaklah wajar seperti kematian bebek biasanya. Tapi nenek menunggu kamu berkata jujur”…. Si bungsu sadar, andaikan dari awal berkata jujur, tentu tidak perlu menanggung tekanan selama ini dari si kakak.

7. Berkenan di hadapan Tuhan.
Inilah yang paling penting dan paling utama dalam hidup kita, yaitu berkenan di hadapan Tuhan. Di hadapan manusia kita bisa nampaknya bagus dan membuat orang lain senang, tetapi jika tidak berkenan di hadapan Tuhan, maka semua itu sia-sia.

8. Lalu apa yang kita dapatkan jika kita tidak jujur?
Untuk sementara waktu kita bisa aman dan tenang, namun jangka panjangnya hanya akan membawa pada kesengsaraan dan membuat kita makin jauh dari Tuhan. Sayang sekali, bukan? Kesimpulannya jujur itu mujur. Efesus 4:25, “Jauhkanlah segala dusta dan bicaralah yang benar satu sama lain, sebab kita adalah anggota satu terhadap yang lain.”

Hidup dalam Kejujuran

hidup dalam kejujuran

Hidup dalam Kejujuran (Ams. 14:2)

Siapa berjalan dengan jujur, takut akan TUHAN, tetapi orang yang sesat jalannya, menghina Dia.

 

Oleh: Maria Fennita S, staf Kerohanian

 

Pada tahun2008, New York Magazine menerbitkan sebuah artikel mengenai riset terkait anak-anak dan berbohong. Dalam riset tersebut, sekelompok anak dikumpulkan dan dibacakan buku cerita The Boy Who Cried Wolf yang menceritakan tentang seorang anak kecil yang dimakan oleh serigala karena ia telah berbohong. Sebelum riset ini, dilakukan juga survei terhadap sekelompok orang tua mengenai pandangan mereka tentang cerita dari buku tersebut dan kaitannya dengan berbohong. Menurut para orang tua dalam survei ini, sebagian besar berpikir bahwa konsekuensi-konsekuensi negatif yang diceritakan dari buku The Boy Who Cried Wolf itu akan mengarahkan anak-anak untuk lebih jujur. Meski demikian, setelah anak-anak mendengar cerita The Boy Who Cried Wolf, para peneliti mendapati bahwa anak-anak tersebut tetap berbohong dengan tingkat kebohongan seperti sedia kala.

Kemudian para peneliti itu melakukan riset berikutnya, dengan membacakan kisah tentang George Washington dan pohon ceri. Dalam kisah tersebut, George datang kepada ayahnya dan mengaku bahwa ia telah menebang pohon ceri kesayangan ayahnya. Mendengar pengakuan George, ayahnya berkata, “Mendengarmu berkata jujur daripada berbohong, itu lebih baik dibanding jika ayah punya ribuan pohon ceri.” Lalu dalam riset ini para peneliti mendapati bahwa kisah George Washington dan pohon ceri itu mampu mengurangi kebohongan yang dilakukan anak-anak sebanyak 43%. Mereka menyimpulkan, ancaman hukuman terhadap kebohongan hanya mengajarkan anak-anak untuk belajar bagaimana berbohong dengan cara yang lebih baik. Ketika anak-anak belajar betapa berharganya sebuah kejujuran, seperti yang ditekankan dalam kisah George Washington, kebohongan mereka berkurang.

Terkait pentingnya kejujuran, firman Tuhan berulangkali memberikan penegasan tentang betapa penting dan berharganya kejujuran: Karena kejujurannya, orang akan bermegah dan bersukacita (Mzm. 64:11), akan bersyukur kepada Tuhan (Mzm. 119:7), akan hidup sesuai firman Tuhan dan membenci jalan dusta (Mzm. 119:128), berelasi dekat dengan Tuhan (Mzm. 140:14; Ams. 3:32; Ams. 16:13), hidup dalam ketulusan (Ams. 11:3) dan kebenaran (Ams. 11:6), ditolong oleh Allah (Ams. 2:7), takut akan Allah (Ams. 14:2), mewujudkan kebaikan (Ams. 14:9), doanya diperkenan Tuhan (Ams. 15:8), hidup menjauhi kejahatan (Ams. 16:17), dst.

Berdasarkan terang kebenaran firman Tuhan di atas, terlihat jelas betapa kejujuran dipandang sangat penting dan berharga oleh Tuhan. Mengapa? Alasannya bukan semata-mata karena moralitas (kejujuran itu baik dan ketidakjujuran itu buruk), melainkan karena kejujuran terkait langsung dengan cara kita memandang memperlakukan Allah. Dalam Amsal 14:2 dituliskan, “Siapa berjalan dengan jujur, takut akan TUHAN, tetapi orang yang sesat jalannya, menghina Dia.” Ini artinya, kejujuran kita dalam hidup ini bukan semata-mata dalam rangka hidup baik, melainkan untuk hidup takut akan Tuhan dan menghormati Dia sebagai Pemilik hidup kita. Dan ayat tersebut juga berarti, ketidakjujuran atau dusta yang kita perbuat bukan semata-mata membuktikan keburukan moralitas kita, melainkan di saat yang sama juga memperlihatkan penghinaan kita kepada Tuhan.

Mengapa ketidakjujuran atau dusta dianggap penghinaan kepada Tuhan? Ini terkait dengan siapa sumber dusta dan bapa segala pendusta, yaitu Iblis (Yoh. 8:44). Sederhananya, ketika kita memilih berbohong daripada jujur, kita lebih memilih menuruti kemauan iblis dibanding kehendak Allah; kita memilih menghina Tuhan daripada takut akan Dia. Tidak heran jika Allah sangat serius menangani persoalan kejujuran dan ketidakjujuran ini. Dalam Yehezkiel 13:8, firman Tuhan mengatakan, “Sebab itu, beginilah firman Tuhan ALLAH, oleh karena kamu mengatakan kata-kata dusta dan melihat perkara-perkara bohong, maka Aku akan menjadi lawanmu, demikianlah firman Tuhan ALLAH.”

Sebagai pendidik ataupun orang tua, mari kita mengevaluasi diri, bagaimanakah selama ini kita menyikapi kejujuran ataupun ketidakjujuran, baik yang kita perbuat sendiri, atau yang diperbuat pasangan kita, rekan kerja kita, atau bahkan anak-anak/siswa kita? Seberapa besar kepedulian kita ketika menyaksikan ketidakjujuran? Seberapa besar antusiasme kita untuk hidup jujur dan menjadi teladan kejujuran dalam keseharian kita?

Seorang kritikus seni dan pemerhati sosial abad 19, John Ruskin (8 Februari 1819 – 20 Januari 1900), menuliskan, “Yang menjadi pendidikan mula-mula adalah memampukan anak-anakmu untuk jujur.” Biarlah ini menjadi PR kita bersama, baik orang tua maupun guru. Mari didik anak-anak yang Tuhan percayakan kepada kita tentang betapa berharganya kejujuran itu! Mari dorong mereka untuk berkata, bertindak, dan berpikir dengan jujur! Dan yang terlebih penting lagi, mari kita mulai dari diri kita, untuk berkata, berbuat, dan berpikir dengan jujur. Dengan demikian kehidupan kita sungguh dapat menjadi teladan bagi orang lain dan memuliakan Tuhan, sebagaimana yang dinasehatkan Paulus kepada Titus, “Demikian juga orang-orang muda; nasihatilah mereka supaya mereka menguasai diri dalam segala hal dan jadikanlah dirimu sendiri suatu teladan dalam berbuat baik. Hendaklah engkau jujur dan bersungguh-sungguh dalam pengajaranmu, sehat dan tidak bercela dalam pemberitaanmu sehingga lawan menjadi malu, karena tidak ada hal-hal buruk yang dapat mereka sebarkan tentang kita.”

Tepat Waktu dan Waktu yang Tepat

karakter_tepat_waktu

Oleh: Netty Sianturi, guru Agama SD

 

“Ia menentukan waktu yang tepat untuk segala sesuatu.
Ia memberi kita keinginan untuk mengetahui hari depan,
tetapi kita tak sanggup mengerti perbuatan Allah dari awal sampai akhir”
– Pengkhotbah 3:11 (BIS) –

Era kita hidup sekarang adalah era di mana waktu sungguh dihargai dengan sebuah semboyan, “Waktu adalah Uang”, sehingga zaman ini manusia begitu cepat bergerak dan menghargai ketepatan waktu. Namun, ada kisah di mana Daniel, Gideon dan Samuel beserta 7 anggota keluarganya yang lain, terhindar dari kecelakaan pesawat AirAsia QZ 8501 dari Surabaya tujuan Singapura yang jatuh pada tanggal 28 Desember 2014, karena mereka sekeluarga terlambat datang ke bandara Juanda. Mereka selamat; mereka tidak tepat waktu, tetapi ada pada waktu yang tepat. Di sinilah perbedaan penting antara dua konsep waktu yaitu kronos dan kairos. Kronos berbicara tentang tepat waktu, sementara Kairos berbicara tentang waktu yang tepat.

Dalam konteks kehidupan spiritual, maka waktu yang tepat adalah anugerah Tuhan bagi kita, seperti dikatakan di atas: “Ia menentukan waktu yang tepat untuk segala sesuatu.” Tidak ada usaha manusia yang dapat merancang waktu yang tepat dalam peristiwa kehidupannya. Doa, pengharapan, iman dan hubungan intim dengan Tuhanlah yang dapat membantu manusia memiliki kepekaan untuk dapat berada pada waktu yang tepat.

Sementara itu, tepat waktu adalah usaha manusia untuk menghargai waktu yang Tuhan berikan dengan sebuah perencanaan dalam kehidupannya, karena dikatakan juga di atas: “Ia memberi kita keinginan untuk mengetahui hari depan, tetapi kita tak sanggup mengerti perbuatan Allah dari awal sampai akhir.” Manusia berkeinginan untuk mengetahui hari depan, tetapi hari depan adalah misteri Allah, sehingga yang bisa dibuat manusia adalah membuat perencanaan dalam hidupnya atau menjalankan rencana yang sudah dibuat dengan tepat waktu sebagai ekspresi dari keinginannya untuk mengetahui hari depan.

Kisah indah yang menggambarkan tepat waktu dan waktu yang tepat adalah kisah “Lazarus dibangkitkan” dalam Yohanes 11:1-43. Ada beberapa kalimat penting dalam ayat-ayat tersebut dalam konteks pembahasan tepat waktu dan waktu yang tepat, yaitu: “…Penyakit itu tidak akan membawa kematian, tetapi menyatakan kemuliaan Allah, sebab oleh penyakit itu Anak Allah akan dimuliakan…(4)” “…Ia sengaja tinggal dua hari lagi di tempat, di mana Ia berada…(6)”; “…tetapi syukurlah Aku tidak hadir pada waktu itu, sebab demikian lebih baik bagimu supaya kamu dapat belajar percaya…(15)”, “…Tuhan, sekiranya Engkau ada di sini, saudaraku pasti tidak mati..(21,32)”

Dalam pikiran dan perkataannya Maria dan Marta memandang bahwa Yesus tidak datang tepat waktu. Seharusnya Dia datang empat hari yang lalu, dan saat ini Yesus sudah terlambat, sehingga kematian terjadi pada Lazarus. Tetapi dalam rancangan Yesus, Ia “sengaja terlambat”, karena ada sesuatu yang lebih besar yang hendak dicapai yaitu: Kemuliaan Allah, dan pembelajaran akan kepercayaan.

Andai pada waktu itu Yesus datang tepat waktu dan Lazarus disembuhkan, tentu ini berkat ilahi, namun dampak dari peristiwa itu tidak begitu besar, tidak ada pembelajaran penting melaluinya. Syukurlah Yesus datang tidak tepat waktu, tetapi pada waktu yang tepat, sehingga kita bisa belajar arti percaya dan memuliakan Allah.

Ada beberapa hal yang dapat kita pelajari lebih jauh dan kita praktekkan dari kisah tersebut dalam kaitan dengan tepat waktu:

Tepat waktu menandakan ketaatan kita kepada otoritas.
Bagi Yesus tentulah tidak ada istilah terlambat, karena Dia adalah Pencipta waktu; Ia melampaui waktu, Ia memiliki otoritas atas waktu. Namun, bagi kita yang terkurung oleh waktu, kita harus melihat bahwa kebiasaan tepat waktu adalah wujud ketaatan kita kepada otoritas yang ada.
Tepat waktu untuk memuliakan Allah.
Melampaui ketaatan kita kepada otoritas, maka ketika kita membangun kebiasaan tepat waktu, milikilah pandangan bahwa kita melakukannya sebagai bagian dari ekspresi kita dalam memuliakan Allah.
Tepat waktu merupakan ekspresi percaya.
Kita tahu bahwa kita tidak dapat mengendalikan kejadian-kejadian dalam kehidupan kita. Namun, kita tidak boleh pesismis. Karena, meski waktu yang tepat berada di luar kontrol kita, namun tepat waktu masih bisa berada dalam kontrol kita, sehingga kita dapat melakukan apa yang telah kita rancang dengan tepat waktu dan percaya bahwa Tuhan akan menjadikannya indah pada waktunya. Seperti Maria dan Marta yang segera mengirim kabar kepada Yesus “Tuhan, dia yang Engkau kasihi, sakit” (Yoh.11:3). Mereka melakukan apa yang dapat mereka lakukan, namun bahwa segala sesuatu menjadi indah pada waktunya tergantung pada kasih Allah kepada mereka, oleh karena itu dalam kabar itu ada kebergantungan kepada kasih Allah, sehingga dikatakan: “dia yang Engkau kasihi…”

Sementara itu pelajaran lain, yang dapat kita peroleh dari kisah kebangkitan Lazarus yang berkaitan dengan waktu yang tepat, adalah:
Tuhan merancang segalanya tepat pada waktunya.
Karena itu, senantiasalah bersyukur dan tidak bersungut-sungut atas segala peristiwa yang kita alami.
Berdoalah senantiasa agar semua boleh jadi indah pada waktunya.
Karena waktu yang tepat berada di luar kontrol kita, maka doa menjadi kunci bagi kita agar Tuhan senantiasa menyertai apa yang kita lakukan agar indah pada waktunya. Doa dalam kisah Lazarus tersebut digambarkan dengan perilaku Maria dan Marta yang segera mengirim kabar. Mengirim kabar kepada Yesus adalah sebuah doa.
Repson kita haruslah memuliakan Allah.
Memuliakan Tuhan berarti menyatakan hakekat Tuhan lewat peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam kehidupan kita. Sehingga, apapun yang terjadi dalam hidup kita, sedapat mungkin lihatlah bagaimana Allah dimuliakan melaluinya.
Allah mau kita belajar percaya dalam penantian kita akan waktu yang tepat.
Keingintahuan kita akan masa depan dan ketidaktahuan kita akan masa depan justru menjadi wadah bagi pengembangan iman kita. Bukankah iman adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat? (Ibr.11:1).
Tetaplah berharap.
Teruslah berharap sekalipun apa yang kita lihat dan alami  kita pikir sudah terlambat.

Tepat waktu mengandung sikap “menghargai”. Ketika kita tepat waktu, kita menghargai orang-orang yang menunggu kita, kita menghargai diri kita sebagai orang yang bertanggung jawab dan terlebih lagi kita menghargai Tuhan sang pemberi waktu. Waktu yang tepat mengandung anugerah Allah yang membuat kita terus belajar percaya, bersyukur dan memuliakan Tuhan.

 

Tepat Waktu

tepat_waktu

Oleh: Ruth Irene Chandra, staf Pengembangan Karakter

 

Allah adalah Sang Pencipta Waktu. Dia menciptakan siang dan malam. Dia juga menetapkan musim dalam setahun dan musim kehidupan. Allah menciptakan siang untuk kita bekerja dan malam untuk beristirahat.

Dalam berkarya Allah juga tepat waktu. Dari awal penciptaan, Tuhan menciptakan dengan urutan waktu yang sedemikian rupa sehingga semuanya dapat berjalan dengan baik. Tuhan menciptakan hewan-hewan setelah menciptakan daratan dan lautan sehingga hewan-hewan memiliki tempat untuk tinggal. Tuhan menciptakan manusia pada hari terakhir sehingga manusia memiliki tempat untuk tinggal dan makanan untuk dimakan. Semuanya diciptakan dengan urutan waktu yang tepat (Kej 1:1-31).

Tidak hanya masalah penciptaan, Tuhan juga mengatur waktu hidup untuk manusia dan ciptaan lainnya. Dalam Pengkhotbah 3:1-15 dikatakan bahwa segala sesuatu ada waktunya. Ada waktu untuk menabur, ada waktu untuk menuai, ada waktu untuk bersuka, ada waktu untuk berduka, semuanya sudah diatur sedemikian rupa agar terjadi keseimbangan.

Tuhan menciptakan waktu sehingga manusia juga dapat mengatur hidupnya sesuai dengan waktu yang diberikan oleh Tuhan. Manusia dengan akal budi yang diberikan kepadanya, menggunakan waktu yang Tuhan berikan untuk mengatur berbagai macam pekerjaan yang harus ia lakukan dan untuk menjaga ketertiban di tengah-tengah masyarakat. Ada waktu untuk bekerja, ada waktu untuk beristirahat, ada waktu untuk bersekolah, ada waktu untuk bertemu, dan sebagainya.

Salah satu karya Allah yang terbesar adalah karya keselamatan melalui Yesus Kristus. Kita bisa melihat bagaimana Allah mengatur sejarah dan orang-orang yang terlibat dalam karya tersebut begitu luar biasa. Allah menghadirkan Kristus di masa pemerintahan Romawi, di mana banyak akses jalan dibuka, memudahkan perjalanan ke berbagai tempat. Ini mempersiapkan jalan bagi penyebaran berita Injil melalui masa penganiayaan orang Kristen di kemudian hari. Pada masa kelahiran Yesus juga dilakukan sensus besar sehingga semua orang harus kembali ke tempat masing-masing, menggenapi kelahiran Yesus di Betlehem sebagaimana nubuatan dalam Alkitab.

Berkenaan dengan waktu, Yesus meneladankan pentingnya bertindak tepat waktu. Ia sering berkata “waktunya belum tiba” dan ketika tiba waktunya bagi Yesus menghadapi salib, Ia pun mempersiapkan murid-murid untuk itu. Ketika menyadari bahwa Allah adalah Allah yang tepat waktu, maka kita boleh menaruh segala harapan bahkan pergumulan kita dalam tangan Allah, karena kita tahu bahwa Allah bekerja tepat waktu sesuai dengan hikmat-Nya. Kita tidak perlu terlalu kuatir menjalani hidup ini. Sebaliknya juga sebagai manusia yang diciptakan menurut rupa dan gambar Allah, kita harus bisa menghargai waktu yang Tuhan berikan, mengelola sedemikian rupa dan menyelesaikan segala sesuatu dengan tepat waktu.

Allah yang Penuh Perhatian

allah_yg_penuh_perhatian

 Oleh: Desni Rahmani Zega, guru Agama SD Athalia

 

Allah menginginkan setiap orang untuk memiliki karakter penuh perhatian. Mengapa? Karena Allah sendiri adalah Allah yang penuh perhatian kepada umat-Nya. Melalui kehidupan bangsa Israel kita bisa melihat bagaimana Allah begitu memperhatikan setiap umat-Nya. Saat Yusuf menjadi orang penting di Mesir, orang Israel hidup dengan nyaman dan penuh kelimpahan. Tapi itu tidak berlangsung lama. Setelah Yusuf meninggal, bangkitlah seorang Firaun yang tidak mengenal Yusuf. Saat itu jumlah bangsa Israel semakin banyak dan terus bertambah di Mesir. Hal itu membuat Firaun kuatir bahwa keberadaan bangsa Israel yang semakin banyak jumlahnya akan menjadi ancaman bagi Mesir. Firaun kuatir bangsa Israel di kemudian hari akan melakukan pemberontakan dan menguasai tanah Mesir. Untuk mengurangi jumlah bangsa Israel, maka Firaun mengeluarkan peraturan yaitu setiap laki-laki dewasa bangsa Israel harus melakukan kerja paksa. Tetapi makin ditindas makin bertambah banyak dan berkembang bangsa Israel. Mengapa? Karena Allah memperhatikan bangsa Israel. Lalu dengan kejam orang Mesir memaksa bangsa Israel bekerja dan memahitkan hidup mereka dengan pekerjaan yang berat. Firaun juga memerintahkan agar anak bayi laki-laki yang lahir dari keluarga Israel, harus segara dibunuh. Bangsa Israel mengalami kesulitan besar. Mereka sangat menderita, terlebih mereka juga kuatir kalau jumlah mereka akan terus berkurang dan punah.

Bangsa Israel pun mengeluh karena perbudakan itu dan mereka berseru-seru sehingga teriak mereka minta tolong karena perbudakan itu sampai kepada Allah. Apakah Allah membiarkan bangsa Israel? Ternyata tidak. Allah adalah Allah yang penuh perhatian kepada umat ciptaan-Nya. Allah peduli dengan penderitaan mereka. Allah memperhatikan setiap rintihan dan seruan umat-Nya. Allah ingat kepada perjanjian-Nya dengan Abraham, Ishak dan Yakub. Maka Allah sendiri bertindak membebaskan umat-Nya. Dalam Keluaran 3:7-10, dituliskan bahwa Allah telah memperhatikan dengan sungguh kesengsaraaan umat-Nya di tanah Mesir. Allah mendengar seruan mereka. Allah mengetahui penderitaan mereka. Allah sendiri yang akan turun untuk melepaskan bangsa Israel dari tangan orang Mesir dan menuntun mereka keluar dari negeri itu ke negeri yang sudah dijanjikan Allah kepala nenek moyang bangsa Israel.

Allah segera bertindak. Allah pun memanggil Musa sebagai utusan yang akan memimpin bangsa Israel keluar dari tanah Mesir menuju tanah perjanjian. Pada akhirnya, bangsa Israel pun dalam kepemimpinan Musa, berhasil keluar dari tanah Mesir menuju tanah perjanjian yang diberikan Allah kepada bangsa Israel. Sepanjang perjalanan bangsa Israel keluar dari mesir menuju tanah perjanjian, Allah senantiasa menyertai dan memimpin bangsa Israel. Melalui Kisah kehidupan bangsa Israel, kita bisa belajar bentuk-bentuk perhatian Allah kepada umat-Nya yaitu:
Memperhatikan kesengsaraan umat-Nya (Kel.3:7a)
Mendengar seruan umat-Nya (Kel.3:7b)
Mengetahui dan mengenal penderitaan umat-Nya (Kel.3:7c)
Bertindak langsung untuk melepaskan umat-Nya (Kel.7:8a)

Pada saat kita mengalami masa-masa sulit, kesesakan, penderitaan atau kesulitan hidup, kadang kala kita berpikir bahwa Tuhan sudah tidak lagi memperhatikan dan mengasihi kita. kita berpikir Tuhan sudah melupakan kita. Benarkah yang terjadi seperti itu? Tentu saja tidak demikian. Apapun yang terjadi, Dia adalah Allah yang setia. Kasih-Nya selalu konsisten dan tidak pernah berkesudahan. Kisah bangsa Israel menunjukkan dengan jelas betapa Tuhan sangat peduli dan memperhatikan kita, termasuk hal-hal yang sangat kecil sekalipun. Tuhan memperhatikan kita secara detil dan sempurna. Tuhan tahu persis setiap pergumulan kita. Dia juga tahu apa yang kita perlukan dan butuhkan. Dia mengerti apa yang kita alami dan apa yang kita rasakan; sebab bukankah Dia adalah Tuhan yang penuh perhatian kepada kehidupan umat-Nya. Di dalam Ibrani 4:15 dikatakan,”sebab Imam Besar yang kita punya, bukanlah imam besar yang tidak dapat turut merasakan kelemahan-kelemahan kita, sebaliknya sama dengan kita, Ia telah dicobai, hanya tidak berbuat dosa”

Kita bersyukur memiliki Tuhan yang begitu peduli dan penuh perhatian kepada umat ciptaan-Nya. Sebagai respon kita, kita juga harus belajar untuk memiliki sikap penuh perhatian. Karena hal itu menyukakan hati Tuhan. Allah juga menuntut umat-Nya untuk punya karakter penuh perhatian baik kepada Allah Sang Pencipta maupun perhatian kepada orang-orang di sekitar kita. Kita harus meluangkan waktu dengan Tuhan sebagai hal yang terutama dalam hidup kita. Tiada yang lebih layak mendapatkan perhatian penuh kita daripada Firman Tuhan. Dalam Nehemia 8:4 dikatakan, “dengan penuh perhatian seluruh umat mendengarkan pembacaan kitab Taurat itu”. Jadi, ketika Ezra membacakan kitab Taurat kepada kaum Yehuda maka mereka memberikan perhatian penuh kepada firman tersebut. Perhatian mereka atas penjelasan dari kitab itu menghasilkan pengertian (Nehemia 8:9), sehingga timbul pertobatan dan kebangunan rohani. Sebagai umat Tuhan yang sudah terlebih dahulu menerima perhatian Allah maka kita harus punya perhatian penuh kepada Firman Tuhan. Kadang-kadang ketika mendengar khotbah, pikiran kita mengembara. Kita tampaknya duduk menghadap pengkhotbah dan mata terpaku kepada pengkhotbah, seakan-akan kita menghayati semua perkataan pengkhotbah padahal kenyataannya, pikiran kita mengembara kemana-mana.

Suatu hari seseorang sharing tentang pengalamannya saat tidak mempunyai sikap penuh perhatian. Saat ia duduk di aula gereja mengikuti seminar pembinaan iman, posisinya memang menghadap ke arah pembicara dengan mata yang terpaku kepadanya. Postur tubuhnya menunjukkan bahwa ia menghayati semua perkataan pembicara tersebut. Tiba-tiba ia mendengar semua orang tertawa dan bertepuk tangan. Dengan heran ia memperhatikan sekelilingnya. Ia tidak mengerti mengapa semua orang bertepuk tangan dan tertawa. Ternyata pembicara tersebut baru saja menyampaikan sesuatu yang lucu tetapi ia tidak tahu apa yang telah diucapkan pembicara tersebut. Kelihatannya ia seperti mendengarkan sungguh-sungguh tetapi pada kenyataannya pikirannya tidak fokus dan sedang mengembara.

Kita mungkin pernah punya pengalaman seperti itu. Kita bisa saja mendengarkan apa yang sedang dibicarakan tetapi gagal menyimak, memandang tapi gagal melihat, hadir tapi tidak memperhatikan. Dalam kondisi seperti itu, kita bisa melewatkan pesan-pesan penting yang seharusnya kita terima. Untuk itu, satu hal yang harus kita miliki untuk bisa mendengarkan, menyimak dan memperhatikan dengan baik adalah karakter penuh perhatian baik kepada Tuhan maupun kepada sesama kita. Termasuk ketika kita sedang berkomunikasi dengan orang lain.

Mari kita belajar untuk menjadi penuh perhatian supaya kita tidak lagi berfokus pada diri kita sendiri tetapi belajar menjadikan Tuhan sebagai pusat hidup kita dan menjadi berkat bagi orang lain.