Oleh: Haries Iswahyudi
Setiap orang pasti menginginkan rumah yang penuh kehangatan, di mana setiap anggota keluarga yang ada di dalam rumah tersebut bisa tersenyum, bergandengan tangan, saling memperhatikan, dan sebagainya. Namun, realitas yang kita hadapi sekarang ini justru sebaliknya. Setiap anggota keluarga memiliki kesibukan masing-masing sehingga tidak ada lagi kepedulian dan kebersamaan.
Kita mungkin pernah membaca tulisan, “Home is where I’m with you!’. Ungkapan ini menggambarkan bahwa “rumah” itu bukan hanya menggambarkan sebuah gedung, tetapi juga menggambarkan sebuah keadaan atau perasaan yang tidak memiliki keberadaan secara fisik, tetapi dapat dirasakan atau dialami oleh seseorang.
Seorang anak bahkan jarang bertemu dengan orang tua yang notabene tinggal satu rumah dengannya. Ketika si anak pergi ke sekolah, orang tua tertidur lelap. Ketika si anak pulang, orang tua belum pulang bekerja. Ini realitas yang terjadi di keluarga modern sekarang ini. Anak tersebut tidak mengalami rumah sebagai, “Home is Where I’m with you!”. Tidak ada relasi yang terjalin anak tersebut bersama orang tuanya.
Berbicara tentang rumah, ada beberapa keadaan yang dapat menggambarkan kondisi “rumah” di mana kita tinggal. Saya memiliki definisi tersendiri mengenai keadaan-keadaan tersebut. Pertama, saya menyebutnya rumah es. Rumah ini menggambarkan kondisi para penghuni rumah yang bersikap dingin satu dengan yang lain. Kedua, rumah hotel. Rumah ini menggambarkan kondisi relasi anggota keluarga di dalam rumah yang hanya hadir sesaat dan lebih suka menghabiskan waktu di luar rumah. Ketiga, rumah kebakaran. Rumah ini menggambarkan relasi di antara para penghuninya mungkin sudah hangus terbakar. Keempat, rumah musim dingin. Rumah ini menggambarkan suasana hangat di mana ada perapian yang menghangatkan seluruh orang yang tinggal di dalamnya.
Jika diminta untuk memilih di antara keempat definisi di atas, tentu kita akan memilih rumah musim dingin. Di sana ada kehangatan bagi seluruh anggota keluarga yang tinggal di dalamnya. Seperti seorang anak yang mendambakan kehangatan orang tua yang selalu ada bersama dengan dirinya. Sebaliknya, orang tua pun mengharapkan anak-anak mereka berada di rumah dengan penuh kehangatan satu dengan yang lainnya.
Di manakah kita bisa mendapatkan suasana hangat dalam keluarga kita? Dalam Efesus 5: 22–30 dikatakan bahwa seharusnya Kristus menjadi pusat di dalam keluarga. Kehadiran Kristus dalam rumah tangga membawa kehangatan dalam keluarga tersebut. Dia adalah pribadi yang mengikat hati seluruh anggota keluarga, mempersatukan, dan memberi damai sejahtera apa pun tantangan yang kita hadapi.
Kehangatan seperti apa yang telah Kristus berikan kepada kita dalam sebuah keluarga? Tentunya kehangatan yang penuh dengan kasih. Pembentukan sebuah keluarga bukanlah hasil keputusan seorang laki-laki dan seorang perempuan semata. Sejak Allah menciptakan dunia, Allah berinisiatif untuk membentuk sebuah keluarga. Allah sendiri juga yang telah memberikan teladan mengenai cara kita menjalankan rumah tangga. Ia menyebut diri-Nya sebagai Bapa, dan umat-Nya adalah anak-anak-Nya. Hubungan antara Bapa dan anak itu harmonis. Allah Bapa dengan penuh kasih membimbing, mengajar kita, dan melatih kita sejak dari kita mulai percaya kepada-Nya hingga kita menjadi orang beriman yang dewasa. Dia tidak pernah berhenti mengasihi kita. Didikan-Nya itu terkadang lembut, terkadang juga keras. Namun, anak tidak pernah membenci Bapa. Anak akan selalu mengasihi Bapa dan belajar kepada Bapa. Sebab kasih yang terjalin adalah kasih yang kekal. Itulah pentingnya kehadiran Allah Bapa dalam keluarga kita!