Kehadiran Allah dalam Keluargaku!

Oleh: Haries Iswahyudi

Setiap orang pasti menginginkan rumah yang penuh kehangatan, di mana setiap anggota keluarga yang ada di dalam rumah tersebut bisa tersenyum, bergandengan tangan, saling memperhatikan, dan sebagainya. Namun, realitas yang kita hadapi sekarang ini justru sebaliknya. Setiap anggota keluarga memiliki kesibukan masing-masing sehingga tidak ada lagi kepedulian dan kebersamaan.

Kita mungkin pernah membaca tulisan, “Home is where I’m with you!’. Ungkapan ini menggambarkan bahwa “rumah” itu bukan hanya menggambarkan sebuah gedung, tetapi juga menggambarkan sebuah keadaan atau perasaan yang tidak memiliki keberadaan secara fisik, tetapi dapat dirasakan atau dialami oleh seseorang.

Seorang anak bahkan jarang bertemu dengan orang tua yang notabene tinggal satu rumah dengannya. Ketika si anak pergi ke sekolah, orang tua tertidur lelap. Ketika si anak pulang, orang tua belum pulang bekerja. Ini realitas yang terjadi di keluarga modern sekarang ini. Anak tersebut tidak mengalami rumah sebagai, “Home is Where I’m with you!”. Tidak ada relasi yang terjalin anak tersebut bersama orang tuanya.

Berbicara tentang rumah, ada beberapa keadaan yang dapat menggambarkan kondisi “rumah” di mana kita tinggal. Saya memiliki definisi tersendiri mengenai keadaan-keadaan tersebut. Pertama, saya menyebutnya rumah es. Rumah ini menggambarkan kondisi para penghuni rumah yang bersikap dingin satu dengan yang lain. Kedua, rumah hotel. Rumah ini menggambarkan kondisi relasi anggota keluarga di dalam rumah yang hanya hadir sesaat dan lebih suka menghabiskan waktu di luar rumah. Ketiga, rumah kebakaran. Rumah ini menggambarkan relasi di antara para penghuninya mungkin sudah hangus terbakar. Keempat, rumah musim dingin. Rumah ini menggambarkan suasana hangat di mana ada perapian yang menghangatkan seluruh orang yang tinggal di dalamnya.

Jika diminta untuk memilih di antara keempat definisi di atas, tentu kita akan memilih rumah musim dingin. Di sana ada kehangatan bagi seluruh anggota keluarga yang tinggal di dalamnya. Seperti seorang anak yang mendambakan kehangatan orang tua yang selalu ada bersama dengan dirinya. Sebaliknya, orang tua pun mengharapkan anak-anak mereka berada di rumah dengan penuh kehangatan satu dengan yang lainnya.

Di manakah kita bisa mendapatkan suasana hangat dalam keluarga kita? Dalam Efesus 5: 22–30 dikatakan bahwa seharusnya Kristus menjadi pusat di dalam keluarga. Kehadiran Kristus dalam rumah tangga membawa kehangatan dalam keluarga tersebut. Dia adalah pribadi yang mengikat hati seluruh anggota keluarga, mempersatukan, dan memberi damai sejahtera apa pun tantangan yang kita hadapi.

Kehangatan seperti apa yang telah Kristus berikan kepada kita dalam sebuah keluarga? Tentunya kehangatan yang penuh dengan kasih. Pembentukan sebuah keluarga bukanlah hasil keputusan seorang laki-laki dan seorang perempuan semata. Sejak Allah menciptakan dunia, Allah berinisiatif untuk membentuk sebuah keluarga. Allah sendiri juga yang telah memberikan teladan mengenai cara kita menjalankan rumah tangga. Ia menyebut diri-Nya sebagai Bapa, dan umat-Nya adalah anak-anak-Nya. Hubungan antara Bapa dan anak itu harmonis. Allah Bapa dengan penuh kasih membimbing, mengajar kita, dan melatih kita sejak dari kita mulai percaya kepada-Nya hingga kita menjadi orang beriman yang dewasa. Dia tidak pernah berhenti mengasihi kita. Didikan-Nya itu terkadang lembut, terkadang juga keras. Namun, anak tidak pernah membenci Bapa. Anak akan selalu mengasihi Bapa dan belajar kepada Bapa. Sebab kasih yang terjalin adalah kasih yang kekal. Itulah pentingnya kehadiran Allah Bapa dalam keluarga kita!

Apakah Fokus Utama Hidup Anda?

Bacaan: 1 Kor 9: 24-27

Oleh: Prasasti Perangin-angin, M.Div

Beberapa waktu yang lalu, saya berkesempatan untuk mengikuti sebuah pembinaan di sebuah kampus di Central Park Jakarta Barat. Inti dari pembinaan tersebut adalah bagaimana kita mampu membangun relasi keintiman dengan Allah. Namun yang menarik dari sesi pembinaan empat hari tersebut adalah satu sesi dimana peserta dilatih untuk mampu mengalami keintiman dengan Allah tidak saja di tempat pembinaan namun di dalam realitas hidup yang akan dijalani setiap hari. Karena itu, panitia merancang satu sesi, di mana setiap peserta diberikan kesempatan untuk berjalan melalui hiruk pikuk Mall Central Park yang kebetulan satu lokasi dengan tempat pembinaan. Tugas yang diberikan adalah menuliskan bagaimana relasi atau perhatian peserta selama di mall tersebut. Pesan pokok yang ingin diperoleh dari sesi tersebut, yakni sejauh mana keintiman dengan Allah tetap bertahan di tengah kebisingan dunia. Karena itulah realitas yang sesungguhnya dimana fokus dan perhatian hidup akan terus ditantang. Tetap kepada Tuhan atau terhanyut oleh dunia ini.

…saya menyadari bahwa kebisingan dunia setiap saat dapat saja menarik kita pada hilangnya fokus utama di dalam kehidupan ini.

Melalui pengalaman itu, saya menyadari bahwa kebisingan dunia setiap saat dapat saja menarik kita pada hilangnya fokus utama di dalam kehidupan ini. Persekutuan yang intim dengan Tuhan dapat saja tergantikan dengan fokus kita kepada media sosial yang tidak pernah ada habisnya. Kerinduan kita kepada kebutuhan hidup yang semakin menggunung dapat menggantikan perhatian kita kepada kerinduan akan kehadiran Allah. Teknologi yang serba lengkap dapat membuat kepenuhan hidup rasa-rasanya adalah jawaban akan kehampaan kehidupan. Karena itu tidak heran seorang siswa di Taiwan mendeklariskan pernikahannya dengan sebuah benda mati bernama laptop. Ternyata di dalam sebuah laptop seorang manusia dapat memenuhi semua keinginan dan kebutuhan hidup yang dicarinya.

Di dalam konteks jemaat Korintus, Paulus sangat menyadari di dalam pemberitaan injil yang sedang dilakukannya, setiap saat fokus dan perhatiannya dapat direnggut oleh berbagai bentuk kehampaan. Begitu juga dengan jemaat Korintus di tengah modernisasi kota Korintus dan liturgika ibadah jemaat yang semakin ‘maju’ telah membuat jemaat kehilangan fokus dan perhatian utama. Sehingga bila itu terjadi akan terjadi penolakan terhadap Injil. Atau dengan kata lain, kesaksian hidup jemaat akan menjadi kesaksian yang palsu.

Penolakan terhadap Injil sama saja dengan penolakan terhadap keberadaan Kristus sebagai Tuhan satu-satunya yang patut disembah…

Penolakan terhadap Injil sama saja dengan penolakan terhadap keberadaan Kristus sebagai Tuhan satu-satunya yang patut disembah oleh setiap umat manusia. Karena itulah Paulus mendorong jemaat Korintus untuk menjadi seperti seorang pelari yang terus terfokus kepada tujuan yang sedang dituju. Atau seperti seorang petinju yang tidak sembarang saja memukul. Butuh perhatian khusus. Fokus yang tidak tergoyahkan.

Metafora petinju dan pelari menggambarkan bahwa ada dua hal yang harusnya dimiliki oleh setiap kita untuk dapat menjadi saksi Kristus yang hidup. Pertama, terus terfokus kepada tujuan. Tujuan akan mendasari pertanyaan, kenapa dan untuk apakah kehidupan kita jalani (1 Korintus 9:26). Tujuan harus menjadi pemimpin dan pendorong satu-satunya kita hidup. Dengan istilah lain, tujuan ini dapat juga digambarkan sebagai sebuah panggilan hidup yang memimpin langkah dan tindakan hidup kita.

Panggilan hidup adalah alasan. Termasuk pekerjaan. Sebagai guru atau karyawan di dunia pendidikan (Athalia), landasan utama yang menjadi alasan kita untuk memutuskan memilih pekerjaan ini harusnya adalah panggilan untuk mendidik anak bangsa menjadi seorang murid Kristus. Ketika panggilan yang mendasari, maka pekerjaan ini dapat dinikmati. Fokus yang utama akhirnya apa yang Tuhan kehendaki, bukan apa yang kita kehendaki. Namun sebaliknya, ketika pekerjaan hanyalah sebagai tempat bagi kita untuk mencari nafkah maka pekerjaan itu dapat menjadi konsentrasi kesekian bagi kita. Atau hanyalah berjalan begitu saja, tanpa ada spirit yang menggerakkan.

Fokus yang utama akhirnya apa yang Tuhan kehendaki, bukan apa yang kita kehendaki.

Begitu juga gaya hidup yang kita pilih. Kenapa saya katakan, kita pilih, karena bagi saya gaya hidup adalah pilihan. Apakah perhatian utama dari gaya hidup kita? Konsumtif dan hedonis? Tren dan kesenangan hidup menjadi tujuan? Atau sebaliknya, nilai-nilai kesederhanaan. Membeli sesuatu berdasarkan fungsi. Pendekatan kebutuhan bukan keinginan.

Fokus kita adalah kemuliaan Allah. 1 Kor 10 :31 mengatakan Aku menjawab: Jika engkau makan atau jika engkau minum, atau jika engkau melakukan sesuatu yang lain, lakukanlah semuanya itu untuk kemuliaan Allah.’ Perjalanan hidup akhirnya diterjemahkan hidup untuk kemuliaan Allah. Apapun itu, tanyakan apakah menjadi kemuliaan bagi Allah atau tidak? Dengan demikian perhatian kita akan kita tujukan kepada perkara surgawi.

Kedua, menguasai diri (1 Korintus 9:25). Penguasaan diri menjadi kunci utama bagaimana kita mampu terus memusatkan perhatian kepada tujuan. Penguasaan diri seperti penangkal segala bentuk godaan. Seperti seorang atlet harus mampu untuk menguasai diri untuk terus berlatih untuk menggapai hasil yang terbaik. Penguasaan diri berarti mampu menolak keinginan diri. Menyangkal diri.

… dunia ini semakin hari akan terus berusaha menarik kita kepada jalan yang dunia kehendaki.

Bila kita perhatikan, dunia ini semakin hari akan terus berusaha menarik kita kepada jalan yang dunia kehendaki. Nilai-nilai yang ditawarkan iklan televisi, media sosial, atau tulisan diskon di tempat perbelanjaan adalah bentuk usaha dunia menarik kita semakin jauh dari dari nilai-nilai kebenaran yang Allah rindukan dari kita. Bila kita lengah, maka kita akan larut di dalamnya.

Lihatlah, sungguh disayangkan, nilai-nilai tersebut akhir-akhir ini telah merasuki gereja Tuhan di berbagai tempat. Gereja-gereja seakan mulai berlomba menawarkan hiburan untuk menarik semakin banyak para pengikut datang ke gereja, dan menghalalkan cara-cara manipulatif yang dunia pakai. Semoga saja ini bukan merupakan gejala yang telah lama diingatkan oleh Paulus kepada Timotius; karena akan datang waktunya, orang tidak dapat lagi menerima ajaran sehat, tetapi mereka akan mengumpulkan guru-guru menurut kehendaknya untuk memuaskan keinginan telinganya ( 2 Tim 4:3). Ketika hal ini yang terjadi maka perhatian gereja yang harusnya terpusat kepada kebenaran Alkitab atau identitas sejati di dalam salib berubah menjadi filosofi dunia dan identitas kemakmuran yang umumnya menjadi perhatian manusia yang telah dipenuhi oleh dosa.

Kunci dari penguasaan diri adalah terus berfokus kepada kebenaran Allah.

Kunci dari penguasaan diri adalah ketika kita terus berfokus kepada kebenaran Allah. Ketika waktu dan energi kita investasikan kepada hal-hal yang bernilai kekal. Ketika itulah suara Tuhan akan semakin jernih di dalam pendengaran kita. Bersamaan dengan itu, bisik rayu dunia ini tidak membuat fokus kita berubah daripada-Nya.

 

Pendayaguna

Dasar Pemikiran

Pada saat penciptaan, Tuhan bekerja enam hari lamanya untuk menciptakan segala sesuatu. Ketika Tuhan selesai menciptakan, Ia melihat segala yang diciptakannya itu “sungguh amat baik” (Kej 1:31). Oleh karena Tuhan menciptakan semua ciptaan-Nya “sungguh amat baik”, maka kebaikan dan kasih Tuhan tidak dibatasi oleh keadaan ciptaan itu apakah bagus atau tidak, pintar atau bodoh, kaya atau miskin, hitam atau putih, lengkap atau cacat, dll. Di mata Tuhan semua “sungguh amat baik” dan Tuhan menciptakan semuanya dengan tujuan, yaitu tujuan yang baik.

Manusia sendiri adalah ciptaan Tuhan yang paling berharga (Yes 43:4a, 1 Tim 4:12). Manusia berharga di mata Tuhan, terlepas dari siapa dia, apa yang ia miliki, dan apa yang telah ia lakukan. Kasih Tuhan yang paling besar terbukti ketika Dia turun ke dunia merendahkan dirinya mati di kayu salib untuk menanggung dosa dan menyelamatkan manusia (Yoh 3:16).

Karena Tuhan memandang ciptaannya “sungguh amat baik” dan berharga, maka kita tidak akan menilai ciptaan Tuhan dari rupa, fisik, pendidikan, harta, dll. Namun kita akan menilai dengan melihat bagaimana Tuhan berkarya di dalam ciptaan itu, sehingga kita juga akan memandangnya “sungguh amat baik” dan berharga.

Tuhan memberikan tugas khusus kepada manusia untuk menjaga dan memelihara ciptaan-Nya (Kej 1:28-29). Namun manusia seringkali tidak menghargai ciptaan Tuhan, baik itu dirinya sendiri, orang lain, dan ciptaan lainnya dengan meremehkan, merusak, bahkan menggunakannya untuk tujuan yang salah.

Wahyu 3:16 mengatakan bahwa hendaknya jemaat di Laodikia tidak menjadi pribadi yang suam-suam kuku. Pada saat itu di Laodikia dilewati oleh 2 aliran sungai, masing-masing sungai dialiri air dingin dan air hangat. Penduduk Laodikia menetapkan sungai yang dialiri air dingin digunakan untuk kebutuhan air minum, sementara sungai yang dialiri air hangat digunakan untuk kebutuhan mandi. Bila itu dilakukan            dengan benar, maka fungsi sungai-sungai itu dianggap “useful”. Bila dicampur menjadi air suam-suam kuku, maka tindakan itu bukanlah tindakan yang benar sesuai dengan fungsinya.

Sama seperti kedua sungai di Laodikia, setiap kita telah diberikan fungsi yang baik oleh Tuhan, sebagaimana dikisahkan pada kisah penciptaan. Segala sesuatu yang ada pada diri kita atau sekitar kita adalah pemberian Tuhan. Tuhan memiliki tujuan mengapa menciptakan kita, orang lain dan benda-benda di sekitar kita sesuai dengan keberadaan kita saat ini (kaya atau miskin, pintar atau bodoh, bertubuh lengkap atau tidak, cantik atau tidak, dll), yaitu untuk melakukan pekerjaan yang baik. Maka sudah menjadi kewajiban kita untuk bertindak sesuai dengan apa yang sudah diberikan kepada kita.

Salah satu yang dapat kita lakukan adalah dengan mendayaguna diri, orang lain, dan benda-benda sekitar kita. Mendayaguna berarti melihat sesuatu secara positif dan mampu menemukan nilai lebih dari diri sendiri, orang lain, dan lingkungan serta memaksimalkan pemanfaatannya untuk kebaikan. Kita dilatih untuk mendayagunakan segalanya sesuai dengan fungsinya sehingga menghasilkan sesuatu yang baik untuk diri kita dan orang lain. Hal itu kita lakukan sebagai bentuk hormat dan terima kasih kita kepada sang pemberi dan pencipta yaitu Tuhan.

Oleh karena engkau berharga di mata-Ku, dan mulia, dan Aku ini mengasihi engkau,

Yes 43:4a

Definisi

Melihat sesuatu secara positif dan mampu menemukan nilai lebih dari diri sendiri, orang lain, dan lingkungan serta memaksimalkan pemanfaatannya untuk kebaikan.

Mengambil Prakarsa-Prakarsa Kecil

Dari Senin sampai Jumat Marcie selalu bangun pagi-pagi, berjalan ke stasiun kereta, dan naik kereta selama empat puluh lima menit ke Boston sebagai seorang pelaju atau komuter (Penumpang ulang-alik/ bolak-balik). Di sana ia pindah ke subway yang membawanya ke kantor. Hal yang sama dilakukannya setiap hari selama setahun. Kemudian ia berhenti dari pekerjaannya untuk belajar sebagai asisten dokter. Di minggu-minggu terakhir kerjanya, petugas subway  memberinya tiket gratis untuk dua minggu terakhir. Pada hari terakhir ia pergi bekerja, para penumpang di kereta mengadakan pesta perpisahan untuknya.

Menurut Anda, mengapa hal ini bisa terjadi? Apa yang memotivasi sekelompok orang pelanggan komuter kereta mengadakan sebuah pesta untuk seorang penumpangnya? Biasanya, para penumpang menyibukkan diri dengan surat kabar, buku, dan walkman, atau mereka akan langsung menuju kantor virtual mereka dengan menyalakan laptop mereka segera setelah mereka duduk di kereta. Bagaimana ceritanya?

Marcie berumur dua puluh dua tahun. Menurut penuturannya, ia “bukanlah seorang yang mudah bergaul.” Tetapi sebagai pengikut Kristus, ia memutuskan untuk mengikuti perintah Yesus. Ia memutuskan untuk menumpang kereta dan bus yang sama setiap hari. Ia juga memilih untuk ada di antara penumpang-penumpang lainnya. Ia mulai tertarik menyapa mereka. Ia menghafal nama-nama mereka dan tertarik untuk mengenal keluarga mereka, berbagai keprihatinan mereka, serta minat mereka. Beberapa obrolan berlanjut dari satu kesempatan perjalanan ke kesempatan lainnya. Orang-orang mulai tahu. Marcie senang dan peduli pada mereka! Karena imannya merupakan bagian alami dari dirinya, maka hal iman pun menjadi bagian dari obrolan-obrolannya. Pesta spontan yang terjadi dalam kereta para komuter tersebut menunjukkan suatu jenis tanggapan bahwa prakarsa-prakarsa kecil Marcie diterima.

Dalam rangkaian kehidupan sehari-hari kita berpapasan dengan banyak orang yang sama. Saat bertemu dengan beberapa orang kita berhenti dan menyapanya. Kita bertanya mengenai akhir pekan mereka dan mengucapkan selamat ulang tahun pada mereka. Beberapa kita sapa dengan menyebut nama mereka, beberapa orang lainnya kita sapa dengan senyuman dan anggukan. Beberapa lainnya mungkin kita acuhkan.  Kita melewati mereka begitu saja. “Merekalah orangnya,” kata Yesus- yang biasa kalian abaikan- kepada merekalah khususnya Aku ingin kalian memberi salam!
Buku Menjadi Garam dan Terang bagi Kalangan Terdekat
Kisah ini dapat ditemukan dalam buku Menjadi Garam dan Terang bagi Kalangan Terdekat. Melalui buku ini Jim Petersen dan Mike Shamy berusaha memaparkan bagaimana kita sebagai manusia sebenarnya dapat terus berbuah serta menjadi garam dan terang bagi lingkungan sekitar kita. Bahkan lewat hal-hal kecil dan sederhana di sekitar kita. Buku ini tersedia di perpustakaan SMP/SMA Sekolah Athalia atau anda bisa membelinya di toko buku terdekat. Selamat membaca!

Front of the Class

“Wak..wakk… hup..hup!!”

Bukan, itu bukanlah suara-suara bebek atau kawan-kawannya. Suara-suara itu adalah milik Brad Cohen. Sejak kecil Brad telah didiagnosis menderita Tourette Syndrome. Tourette Syndrome atau sindrom Tourett adalah gangguan saraf pada otak yang mengakibatkan terjadinya tik vokal dan otot yang tidak terkontrol. Hal ini tergantung pada tingkat stress dan kondisi di lingkungan sekitar. Tanpa sengaja, seperti bersin yang tak tertahan, kapan saja Brad dapat melontarkan kata-kata/ celotehan seperti “wak..wak.. “ atau sekedar “Hup” sambil menyentak-nyentakkan kepala atau wajahnya seperti sedang kejang.

Hal ini membuatnya sulit untuk berkomunikasi dengan orang lain karena orang-orang merasa terganggu dengan kelakuannya itu. Ketika ia duduk di sekolah dasar, orang-orang belum mengerti gangguan yang dimiliki Brad. Mereka mengira itu memang kelakuan nakal Brad. Hampir setiap hari ia dihukum atau diperintahkan untuk menghadap kepala sekolah karena kelakuannya yang dianggap mengganggu kelas. Brad tidak mengerti, ia sendiri tidak memiliki niat untuk mengganggu kelas, namun semua itu tak dapat ia kendalikan.

Untungnya Brad memiliki seorang ibu yang sangat perhatian dan sayang padanya. Ibu Brad percaya pada penjelasan Brad dan akhirnya membawa Brad menemui dokter dan bahkan psikiater. Tetapi ternyata mereka pun tak dapat menemukan gangguan yang dimiliki Brad. Ibu Brad tak putus asa, ia pergi ke perpustakaan dan membaca buku-buku kesehatan hingga akhirnya setelah lama mencari ia pun menemukan Tourette Syndrome. Meski belum ada obat yang dapat mengobatinya, Brad tidak sedih dan menyerah.

Suatu hari di sekolah, gangguan Brad terjadi lagi dan guru Brad yang kesal menghukumnya untuk menghadap kepala sekolah. Brad pun terpaksa menemui kepala sekolah baru yang kemudian meminta Brad untuk hadir mengikuti konser sekolah. Brad kaget, ia tahu benar kalau ia pasti akan mengganggu konser itu, namun kepala sekolah bersikeras agar Brad hadir. Benar saja, saat konser berlangsung seisi aula terganggu dengan tik Brad. Di akhir konser, kepala sekolah memanggil Brad ke depan dan dengan lembut bertanya pada Brad mengenai gangguan yang dimilikinya. Brad pun menjelaskan gangguan yang dimilikinya dengan jelas hingga kemudian kepala sekolah bertanya mengenai satu hal,

“Lalu apa yang dapat kami lakukan untukmu Brad?” tanyanya.
“Aku hanya minta agar diperlakukan seperti anak-anak normal lainnya..” jawab Brad.

Hal ini membuat seisi sekolah bertepuk tangan untuk Brad, untuk ketabahan dan semangatnya. Brad tak pernah melupakan kejadian itu, suatu hal kecil yang dilakukan kepala sekolahnya menjadi begitu berarti bagi kehidupan Brad. Pengalamannya selama di sekolah inilah yang membuat Brad akhirnya bertekad untuk menjadi seorang guru.

Perjalanan Brad tidak mudah, meski ia mendapat nilai tinggi saat sekolah dan kuliah, ia ditolak oleh 24 sekolah ketika melamar menjadi guru karena kekurangannya. Sekolah-sekolah itu merasa anak-anak justru akan terganggu saat belajar karena suara-suara yang ditimbulkan Brad.

Brad sudah hampir putus asa, tetapi keluarga dan teman Brad terus memberinya semangat. Mereka mengingatkannya kembali pada impiannya menjadi guru dan ia pun mencoba lagi. Akhirnya usaha Brad tidak sia-sia. Salah satu sekolah menjawab lamaran Brad dan memberinya kesempatan untuk wawancara. Melalui wawancara tersebut, kepala sekolah melihat semangat, dedikasi, dan filosofi Brad yang benar dalam mendidik anak-anak. Akhirnya Brad diterima untuk mengajar. Brad begitu gembira. Ia bertekad untuk menjadi guru yang baik bagi siswa-siswanya. Meski di awal ia mengalami banyak kesulitan, ia tetap berusaha mengajar tiap siswanya dengan sukacita.

Siswa-siswa Brad sangat tertarik pada setiap pelajaran yang diajarkan karena metode-metode pembelajaran Brad yang menyenangkan. Brad terbuka pada anak-anak mengenai sindrom Tourett yang dimilikinya dan berusaha menjangkau serta membesarkan hati anak-anak yang kesulitan dalam belajar. Usaha dan kerja keras Brad itu tak sia-sia. Setelah beberapa lama mengajar, ia mendapat penghargaan sebagai Teacher of the Year untuk negara bagian Georgia.

“Aku ingin menjadi guru hebat yang tak pernah kumiliki selama ini. Aku ingin menjadi sosok panutan yang baik dan penuh perhatian bagi anak-anak dan dapat mendatangkan perubahan positif dalam hidup mereka.”

Brad tak hanya menjadi inspirasi bagi murid-muridnya, ia juga menjadi inspirasi bagi para guru dan orang-orang penyandang disabilitas lainnya. Ia membuktikan keterbatasan yang dimilikinya tak akan dapat membatasi impiannya.

buku Front of the Class

Apabila bapak/ibu tertarik untuk mengetahui lebih lanjut cerita Brad dan metode pembelajaran yang Brad gunakan, bapak/ibu dapat membeli dan membaca bukunya yang juga berjudul Front of the Class di toko buku terdekat. (LDS/karakter kerohanian)

Dapatkah Tawa Membantu Meringankan Penyakit Saya?

Pada waktu itu mulut kita penuh dengan tertawa, dan lidah kita dengan sorak sorai.
-Mazmur 126: 2a-

Menurut penelitian University of Chicago yang terkenal, memiliki selera humor yang baik dapat menambah delapan tahun masa hidupmu. Itu bukanlah kejutan bagi kita yang ingat bagian yang terkenal dalam majalah Reader’s Digest: “Laughter, the Best Medicine” yang artinya Tawa, Obat Terbaik.

Klinik Mayo mengonfirmasi penemuan ini. Mereka mengatakan bahwa tertawa “menstimulasi jantung, paru-paru, dan otot-otot Anda, dan menambah endorphin yang dilepaskan otak Anda.” Lebih jauh lagi, tawa dapat “menstimulasi peredaran darah dan membantu otot untuk santai, keduanya akan membantu mengurangi beberapa gejala fisik stress.” Kalau Anda kesakitan, klinik tersebut mengusulkan: “Tawa dapat mengurangi rasa sakit dengan membuat tubuh memproduksi obat penahan sakitnya sendiri.”

Tentu saja, ketika Anda berada di tengah-tengah kasus gawat darurat, seperti yang dialami Bonnie dan anak laki-lakinya, tertawa merupakan hal terakhir yang ingin Anda lakukan. Ternyata… itu memang hal terakhir yang mereka lakukan.

Ini pun Akan Berlalu

Anak laki-lakiku yang berusia 21 tahun dibawa ke ruang IGD dalam kesakitan hebat.

Sepanjang perjalanan ke rumah sakit, aku berdoa. Aku memohon kepada Tuhan untuk menunjukkan kebaikan-Nya: bahwa anakku akan langsung ditangani; bahwa para dokter dapat segera memberikan diagnosis dan meringankan rasa sakitnya.

Jalan yang kupilih menuju rumah sakit melewati gereja, tempat pesan di papannya menyita perhatianku- tetapi baru bisa dipahami belakangan.

Di ruang IGD, Tuhan sungguh menunjukkan kebaikan-Nya kepada kami. Anakku langsung ditangani; para perawat melihat betapa kesakitan dirinya dan memasukkan kami ke kamar perawatan terakhir yang masih kosong; dan dokter langsung mendiagnosis krisis yang dialami anakku. Menurut dokter, anakku kesakitan gara-gara batu ginjal yang butuh melewati sistem tubuhnya.

Di sana dan saat itu juga, aku tahu pesan di papan gereja merupakan kedipan humoris dari Tuhan. Tulisan itu berbunyi: “Ini pun akan berlalu”!

Bonnie Bickerstaff

Bonnie sangat lega melihat anaknya tidak kesakitan lagi hingga ia tidak tahan untuk tertawa ketika bayangan papan itu kembali terlintas di benaknya.

Kita boleh yakin bahwa anak laki-lakinya tidak tertawa saat dia berusaha mengeluarkan batu ginjal itu. Aduh! Setiap detik rasa sakit itu pasti terasa seperti selamanya.

Kalau Anda tenggelam dalam cobaan penuh rasa sakit hari ini, bertanya-tanya apakah Anda mampu bertahan satu menit lagi, ada cahaya harapan di ujung terowongan. Cahaya itu adalah Yesus.

Akulah terang dunia.
Yohanes 8:12

Sumber:
Rushnell, Squire; Duart, Louise. 2013. Godwink Stories. Jakarta: PT Gramedia.

“Keluarga” Kami

Putriku, Gina, berada di kelas empatnya Bu Melton. Baru satu bulan sekolah, dia mulai secara teratur pulang ke rumah dengan meminta pensil, krayon, kertas, dan sebagainya. Pada mulanya dengan semangat aku menyediakan apa pun yang dia perlukan, tidak pernah menanyakannya.

Setelah permintaan yang terus-menerus akan benda-benda yang seharusnya bisa bertahan sedikitnya enam minggu di kelas empat, aku mulai heran dan bertanya, “Gina, apa yang kaulakukan dengan peralatan sekolahmu?” Dia selalu memberi jawaban yang bisa memuaskanku. Suatu hari, setelah memberikan benda yang sama seminggu sebelumnya, aku mulai kesal dengan permintaannya dan dengan tegas bertanya sekali lagi, “Gina! Apa yang terjadi dengan peralatan sekolahmu?” Mengetahui bahwa alasannya tidak akan mempan lagi, dia menundukkan kepala dan mulai menangis. Aku mengangkat dagu kecilnya dan memandang mata cokelatnya yang besar, yang sekarang digenangi air mata. “Apa?! Apa yang tidak beres?” Pikiranku dipenuhi segala macam pikiran. Apakah dia dinakali anak lain? Apakah dia memberikan peralatan sekolahnya agar dia tidak dilukai atau agar dia diterima oleh mereka?

Aku tidak bisa membayangkan apa yang sedang terjadi, tetapi aku tahu ada sesuatu yang serius sehingga dia menangis. Aku menunggu lama sekali sebelum dia menjawab. “Mom,” dia memulai, “ada seorang anak lelaki di kelasku; dia tidak punya semua peralatan yang dia perlukan untuk melakukan pekerjaannya. Anak-anak lain mengejeknya karena kertasnya kusut dan dia hanya punya dua krayon untuk mewarnai. Aku telah meletakkan semua peralatan yang Mom belikan untukku sebelum anak-anak lain masuk, jadi dia tidak tahu bahwa aku yang meletakkannya. Tolong jangan marah, Mom. Aku tidak bermaksud berbohong, tetapi aku tidak ingin siapa pun tahu bahwa aku yang melakukannya.”

Hatiku luruh saat aku berdiri di sana tak percaya. Dia telah mengambil peran seorang dewasa dan berusaha menyembunyikannya seperti seorang anak. Aku berlutut dan memeluknya, tidak ingin dia melihat air mataku sendiri. Ketika sudah tenang, aku berdiri dan berkata, “Gina, Mom tidak akan pernah marah padamu karena ingin menolong seseorang, tetapi mengapa kau tidak datang saja dan mengatakannya pada Mom?” Aku tidak harus menunggu dia untuk menjawab. Hari berikutnya, aku mengunjungi Bu Melton. Aku memberitahu apa yang telah dikatakan Gina. Dia juga mengetahui situasi John. Anak tertua dari empat anak lelaki, orangtuanya baru saja pindah ke sini dan ketika sekolah menunjukkan daftar peralatan sekolah untuk semua murid kelas empat, mereka merasa sangat terbebani.

Ketika tiba di sekolah minggu berikutnya, anak-anak itu nyaris tidak membawa apa pun- masing-masing hanya membawa beberapa lembar kertas dan satu pensil. Aku meminta daftar keperluan keempat kelas anak-anak itu dan memberitahu Bu melton bahwa aku akan menyiapkannya di hari berikutnya. Dia tersenyum dan memberikan daftar itu. Hari berikutnya, kami membawa perlengkapan itu dan memberikannya ke kantor sekolah dengan catatan untuk diberikan kepada keempat anak lelaki itu.

Ketika Natal mendekat, pikiran tentang John, saudara-saudara, dan keluarganya memenuhi pikiranku. Apa yang akan mereka lakukan? Pasti mereka tidak punya uang untuk membeli hadiah. Aku bertanya kepada Bu Melton apakah dia bisa memberi alamat keluarga mereka. Pada mulanya dia menolak, mengingatkanku bahwa ada kebijakan yang melindungi privasi murid. Tetapi karena dia mengenalku dari pekerjaanku di sekolah dan keterlibatanku dalam dewan Persatuan Orangtua Murid dan Guru, dia menyelipkan secarik kertas ke tanganku dan berbisik, “Jangan bilang siapa-siapa kalau aku memberikannya kepadamu.”

Ketika keluargaku mulai bersiap untuk tradisi Malam Natal, yang biasanya diselenggarakan di rumahku, aku hanya memberitahu mereka bahwa aku, suamiku, dan anak-anak tidak menginginkan kado, tetapi lebih ingin menerima perbekalan makanan dan hadiah-hadiah untuk “keluarga” kami. Saat aku dan anak-anak belanja untuk Natal, dengan gembira mereka memilihkan hadiah yang dibungkus untuk anak-anak lelaki itu. Ruang keluargaku penuh sesak dan kegembiraan menular.

Akhirnya, pada pukul 21.00, kami memutuskan bahwa tiba waktunya untuk membawa barang-barang kami kepada mereka. Saudara-saudara lelakiku, ayahku, paman, dan keponakan lelaki mengisi truk-truk mereka dan berangkat ke alamat kompleks apartemen yang telah diberikan oleh Bu Melton. Mereka mengetuk pintu dan muncul seorang anak lelaki kecil. Mereka menanyakan ayah atau ibunya, dan dia lari ke dalam.

Mereka menunggu sampai seorang pria muda, yang nyaris masih kanak-kanak juga, muncul di pintu. Dia memandang para pria yang berdiri di sana, masing-masing menggenggam kantong makanan dan hadiah, dan tidak bisa berkata-kata. Para pria menerobos masuk melewatinya dan langsung menuju meja dapur untuk meletakkan barang-barang.

Tidak ada perabotan. Hanya apartemen satu kamar tidur yang kosong dengan beberapa selimut di lantai dan satu televisi kecil, tempat mereka menghabiskan waktu mereka. Pohon Natalnya berupa pohon semak yang ditemukan anak-anak di ladang di belakang kompleks. Beberapa hiasan kertas yang dibuat di kelas membuatnya tampak seperti pohon Natal sungguhan. Tidak ada apa pun di bawah pohon itu. Keempat anak lelaki itu dan orangtuanya berdiri tanpa berkata-kata saat para pria meletakkan kantong demi kantong. Pada akhirnya mereka menanyakan siapa yang mengirimnya, bagaimana mereka bisa tahu alamat mereka, dan sebagainya. Tetapi para pria itu hanya pergi dengan teriakan “Selamat Natal!” Ketika para pria tiba kembali di rumahku, mereka terdiam, tidak bisa berkata-kata. Untuk memecah keheningan, bibiku berdiri dan mulai menyanyikan “Malam Kudus” dan kami semua ikut menyanyi.

Ketika sekolah dimulai kembali, setiap hari Gina pulang ke rumah menceritakan pakaian baru John dan bagaimana sekarang anak-anak lain bermain dengannya dan memperlakukannya sama seperti anak-anak lain. Gina tidak pernah memberitahu siapa pun tentang apa yang telah kami lakukan, tetapi setiap Natal sejak Natal yang satu itu, dia akan berkata kepadaku, “Mom, apa yang terjadi pada John dan keluarganya?” Meski tidak tahu jawabannya, aku ingin berpikir bahwa John dan keluarganya telah tertolong oleh hadiah dari putriku.

-Linda Snelson

Chicken Soup for the Soul Christmas Treasury

Pendidikan Penting, tapi Karakter lebih Penting

“Pendidikan itu memang penting, tapi yang lebih penting adalah karakter,” tegas Shandy Aulia dalam kegiatan bedah buku Incomplete miliknya di Sekolah Athalia 28 Oktober 2014 lalu.

Kegiatan ini adalah bagian dari rangkaian perayaan Bulan Bahasa 27-28 Oktober 2014. Pada sesi bedah buku Shandy datang sebagai narasumber untuk berbagi pengalaman dan kisah-kisahnya selama menulis buku. Termasuk juga berbagai pergumulan dalam hidupnya mengenai karir, pendidikan, keluarga, dan bahkan pasangan hidup.
shandy aulia
Shandy yang ketika kecil bermimpi ingin menjadi astronot ini mengakui jalan hidupnya tidaklah mudah. Sejak ia masih kecil orangtuanya sudah bercerai dan bahkan ia mendapat perlakuan tidak baik dari orang di sekitarnya selama di sekolah. Begitu juga ketika ia akhirnya mulai berkarir dalam dunia akting.

Namun semua itu menurutnya memang adalah proses kehidupan yang harus dijalani. Oleh karenanya pengenalan akan Tuhan dan karakter yang kuat adalah modal bagi Shandy. Shandy mengakui ia baru bisa mulai mengenal Tuhan secara mendalam ketika berumur 19 tahun. Itupun melalui proses yang panjang dan melewati berbagai pergumulan. Latar belakang orangtua yang berbeda agama membuat Shandy kesulitan dan terus memiliki kerinduan untuk bisa beribadah bersama sebagai satu keluarga. Tetapi ia tetap bisa bersyukur karena pada akhirnya bisa melalui itu semua.

“Karakter itu yang menentukan bagaimana kita menjalani proses kehidupan, itulah yang sebenarnya bisa membuat kita bertahan,” jelas Shandy. Memang benar bahwa karakter seseorang akan menentukan masa depan seseorang. Mungkin kita sendiri sering melihat atau memiliki rekan di sekolah yang memiliki tingkat kecerdasan yang tinggi namun kesulitan dalam berelasi atau mengekspresikan diri. Hal ini akan membuat mereka tidak bisa bertumbuh dan memakai kemampuan mereka secara maksimal. Disanalah sebenarnya dimana karakter berperan.

Pengenalan yang benar akan Tuhan, pendidikan, dan karakter yang cukup dan tepat adalah modal bagi kita dalam menjalani kehidupan. Pendidikan tanpa karakter dan pengenalan akan Tuhan dapat menghasilkan pribadi yang egois dan mengandalkan kemampuan sendiri. Begitu juga karakter tanpa pengetahuan yang cukup tak akan bisa membuat kemampuan kita berkembang. Tetapi tanpa dasar pengenalan akan Tuhan pun semua adalah sia-sia. Oleh karena itu ketiga hal ini harus terus dibangun dalam pribadi setiap siswa.

Akhir kata, Shandy berpesan pada para siswa,

“Nikmati dan hargai masa remaja kalian, jangan lakukan hal-hal yang merugikan diri sendiri, meski terlihat kecil bila ke depannya merugikan, jangan dilakukan, tetapi sungguh-sungguh lakukan hal ketika itu positif dan gunakan talenta kalian dengan sungguh-sungguh.” (LDS)

Salahkah Saya Sekolah di Athalia?

“Eh, anakmu SMA mau di mana?” tanya seorang tante. “Wah, belom tau. Tapi kayaknya mau kupindahin ke sekolah yang lebih gede aja, biar gampang cari kuliah,” jawab tante yang lain. Rasanya tidak asing mendengar percakapan seperti ini di kalangan orang tua Athalia. Entah orang tua yang ingin anaknya masuk ke universitas negeri maupun yang mau mengirim anaknya ke luar negeri, kelihatannya SMA Athalia kurang menarik. Tidak mengherankan karena Athalia bukan sekolah tua, baru meluluskan 2 angkatan sampai saat ini. Tapi benarkah usia sekolah menjadi standar kualitas?

Saya lulus dari SMA Athalia di angkatan kedua tahun 2014. Cukup beruntung, saya dapat kesempatan untuk kuliah di Amerika, di Dordt College, mengambil jurusan Fisika. Ketika saya mencapai tahun terakhir di SMA, saya memutuskan untuk ikut tes SAT, yaitu ujian masuk perguruan tinggi di seluruh Amerika. Yah bisa dibilang semacam SBMPTN kalau di Indonesia. Ternyata semua perguruan tinggi di Amerika punya akses ke nilai-nilai ini, dan mereka akan menawarkan diri kepada murid-murid yang dianggap punya potensi. Cukup mengagetkan, saya dapat lumayan banyak tawaran dari universitas yang cukup besar, seperti Arizona State University, University of South Florida, University of Cincinnati, dan lainnya, meskipun akhirnya saya memilih sekolah yang lebih kecil untuk lingkungan Kristen yang lebih baik.

Namun yang saya ingin sampaikan bukan senangnya saya tentang kehidupan baru saya, atau menyombongkan keberhasilan saya, tetapi justru saya mau bercerita tentang pengalaman saya di SD, SMP, SMA Athalia (ya, saya tahu saya tidak pernah ganti sekolah semenjak SD). Saya masih sangat terkesan dengan guru-guru di Athalia yang selalu peduli dengan murid-muridnya. Meskipun Athalia bukan sekolah yang menuntut akademik setinggi sekolah-sekolah “top” di Tangerang atau Jakarta, tetapi guru-guru Athalia selalu mengharapkan murid-muridnya untuk melakukan lebih dari “cukup”. “Melakukan yang terbaik” adalah prinsip yang selalu ditekankan, dan memang sebagai murid itulah motivasi yang dibutuhkan. Sekolah lain boleh menuntut pelajaran yang lebih susah, tetapi sebagian anaknya menyontek. Murid Athalia, di sisi lain mendapatkan nilai sesuai dengan kemampuan mereka, yaitu yang terbaik yang mereka bisa.

Guru-guru Athalia selalu memberi motivasi setiap harinya. Motivasi-motivasi itulah yang kemudian membentuk karakter kami sebagai murid, hingga kami mampu bekerja keras dan semangat belajar (bahkan setahu saya, guru-guru yang ketahuan mengucapkan kalimat yang tidak membangun ditegur kepala sekolah). Itu menunjukkan betapa seriusnya sekolah Athalia membangun karakter murid.

Saya berani bilang Athalia punya komunitas paling baik dibandingkan sekolah-sekolah di Tangerang (atau malah di seluruh Indonesia jangan-jangan). Banyak orang bilang Athalia terlalu terisolasi, sehingga ketika muridnya pergi keluar malah lebih mudah terjerumus. Pengalaman saya bilang sebaliknya. Komunitas yang baik ini sudah memberi “image” ke saya kalau definisi teman adalah orang-orang berkelakuan baik, bukan anak nakal. Sehingga ketika saya kuliah pun, saya mencari teman-teman yang baik (semoga teman-teman alumni yang lain juga begitu).

Pada akhirnya, saya hanya ingin bilang kalau saya bangga menjadi lulusan Athalia. Keluarga saya bukan keluarga yang berbahasa Inggris, dan saya juga tadinya hanya seperti anak SMA pada umumnya, pergi les Inggris dua kali seminggu. Sekolah Athalia terbukti bisa memberi saya kesempatan kuliah ke mana saja, dan bukan saya saja, tetapi banyak teman-teman alumni lain yang punya cerita-cerita hebat. Saya harap sekolah Athalia akan terus mempertahankan kualitasnya, tetap seperti sekolah yang saya tahu, dan saya pun mengundang adik-adik kelas untuk mempertimbangkan sekolah Athalia lebih serius lagi. Salam dari saya untuk guru-guru dan teman-teman.

Daniel Amadeo Amin

Untung dan Rugi

“Apa gunanya seorang memperoleh seluruh dunia tetapi kehilangan nyawanya?”
-Matius 16:26a-

Ingatlah perasaan Anda ketika ada orang memuji Anda, ketika Anda disetujui, diterima, disanjung. Dan bandingkan dengan perasaan yang timbul dalam hati Anda ketika Anda menatap matahari terbenam atau matahari terbit, atau Alam pada umunya, atau ketika Anda membaca sebuah buku atau menonton film yang sepenuhnya Anda nikmati. Kecaplah perasaan itu dan bandingkan dengan yang pertama. Pahami bahwa perasaan yang pertama berasal dari pemujaan diri, promosi diri. Hal itu merupakan perasaan duniawi. Perasaan kedua berasal dari pemenuhan diri, perasaan jiwa.

Berikut satu lagi perbandingan: Ingatlah perasaan Anda ketika Anda sukses, ketika Anda telah berhasil, ketika Anda menjadi nomor satu, ketika Anda memenangkan sebuah permainan atau perdebatan. Dan bandingkan dengan perasaan ketika Anda benar-benar menikmati pekerjaan yang sedang Anda lakukan, yang menyerap semua perhatian Anda, sesuatu yang saat ini sedang Anda lakukan. Dan sekali lagi perhatikan perbedaan kualitas antara perasaan duniawi dan perasaan jiwa.

Ada satu lagi perbandingan: Ingatlah perasaan Anda ketika Anda punya kekuasaan, ketika Anda jadi bos, orang-orang menghormati Anda, menjalankan perintah Anda; atau ketika Anda popular. Dan bandingkan perasaan duniawi itu dengan perasaan akrab, persahabatan, waktu-waktu ketika Anda sepenuhnya menikmati diri Anda ditemani seorang kawan atau sekelompok orang di mana ada hal yang menyenangkan dan tawa.

Setelah Anda melakukannya, cobalah memahami sifat sebenarnya dari perasaan duniawi, yaitu promosi diri dan pemujaan diri. Perasaan itu tidak alami, melainkan diciptakan oleh masyarakat Anda dan budaya Anda untuk membuat Anda produktif serta bisa dikendalikan. Perasaan itu tidak menghasilkan nutrisi dan kebahagiaan yang diperoleh ketika seseorang merenungkan alam atau menikmati hubungan dengan teman atau pekerjaannya. Perasaan itu dimaksudkan untuk menghasilkan getaran, gairah-dan kekosongan.

Lalu, amati diri Anda selama satu hari atau satu minggu dan pikirkan berapa banyak tindakan yang Anda lakukan, berapa banyak kegiatan Anda yang tidak terkontaminasi oleh hasrat akan getaran itu, gairah itu yang hanya menghasilkan kekosongan, hasrat akan perhatian, persetujuan, ketenaran, popularitas, kesuksesan, atau kekuasaan.

Dan lihatlah orang-orang di sekitar Anda. Adakah satu orang saja yang tidak kecanduan perasaan duniawi itu? Satu orang saja yang tidak dikendalikan olehnya, merindukannya, menghabiskan setiap menit baik secara sadar maupun tidak sadar mengejarnya? Ketika melihat hal itu, Anda akan mengerti betapa orang mencoba memperoleh dunia dan, dalam prosesnya, kehilangan jiwa mereka. Karena mereka menjalani kehidupan yang kosong dan tak berjiwa.

Dan inilah sebuah perumpamaan hidup untuk Anda renungkan: Sekelompok wisatawan duduk dalam bus yang melaju di daerah yang berpemandangan indah: danau dan gunung dan padang hijau dan sungai. Namun, mereka menutup tirai jendela bus. Mereka tidak tahu apa yang ada di balik tirai. Dan sepanjang perjalanan, mereka bertengkar tentang siapa yang akan duduk di kursi kehormatan dalam bus, siapa yang akan mendapat pujian, siapa yang akan dihormati, Dan demikianlah kelakuan mereka sampai perjalanan itu berakhir.

Apakah Anda mau menjadi seperti wisatawan-wisatawan itu yang hanya mengejar apa yang tidak kekal? Atau maukah Anda mau berubah menjadi seperti apa yang Allah inginkan bagi kita. Menjadi anak-anak-Nya yang mau mencari dahulu Kerajaan Allah dan kebenaranNya.

Sumber:
De Mello, Anthony. 1991. The Way to Love. PT Gramedia: Jakarta. (dengan perubahan seperlunya)