Menjadi Otentik, Kunci Bertumbuh

Tirza Naftali (staf Chaplain)

Kami sekeluarga, termasuk Fidelio, anak kami, sepakat bahwa Fidelio tidak diberikan gadget atau laptop sampai waktu yang belum ditentukan, sampai umur dan pengendalian dirinya dirasa cukup. Pada suatu hari, sepulang saya bekerja, Fidel bercerita dengan muka lesu, “Ma, tadi papa lupa ya bawa laptopnya ke sekolah, ketinggalan di rumah”.
“Oh, iya ya? Lalu kenapa, Nak?” (meski saya sudah bisa menebak jawabannya)
“Tadi aku tergoda main sebentar dan nonton, tapi cuma 1 film pendek kok, Ma..”
“Kamu merasa baik-baik saja?”
“Ga, tadi pas buka laptop aku deg-degan.. Jadi abis nonton film, aku cepet-cepet tutup laptop, terus ngobrol lama sama Tuhan, terus tidur siang..”
“Oh..”
“Maaf ya, Ma, tadi juga aku minta maaf sama Tuhan..”
Beberapa detik saya mencerna dan sontak berbicara dengan Tuhan, “Tolong saya, Tuhan… tolong percakapan ini.”
“Terima kasih, ya Fidel, sudah mau jujur dan mau datang pada Tuhan, mau belajar taat meski susah ya pasti…tadi di sekolah Mama juga sempat jatuh, gagal dalam ini itu…bla bla bla…”

Iya ya, saya bersyukur percakapan itu ada sebelum saya membuat artikel ini. Saya pikir sebagai orang tua, sayalah yang seharusnya menolong anak saya bertumbuh. Namun, tidak secepat itu. Saya dan suami, sebagai komunitas terkecil di dalam keluarga untuk anak saya, justru tidak berhenti bertumbuh dan belajar, bahkan dari anak yang dititipkan Tuhan. Komunitas seperti apa yang dapat memungkinkan anggota-anggota di dalamnya bertumbuh?

Tentunya yang terbuka dan berelasi secara otentik, bahkan tidak sungkan menyajikan kelemahan, kesalahan, kegagalan sehingga dapat bersama-sama bergantung pada Tuhan, diproses, dikikis segala ego masing-masing, dan diubahkan. Diri kita ibarat tanah, bagaimana benih bisa bertumbuh dengan baik kalau tanahnya tidak dicongkel-congkel, diaduk-aduk, dikeluarkan kerikil-kerikil yang menjadi penghalang, digemburkan, untuk siap ditanami benih? Kerikil-kerikil ego atau dosa apa yang masih kita simpan rapat, yang dapat menghalangi kita sendiri, bahkan pasangan dan anak kita bertumbuh?

It takes a village to raise a child”. Bagi semua anak-Nya yang diberi panggilan keorangtuaan, baik orang tua, guru, staf, pimpinan, yayasan, mari ‘keroyok’ anak-anak kita: keroyokan mendoakan, keroyokan ngumpul untuk saling berbagi dan belajar, keroyokan bergantung pada Tuhan, dan antusias mencari jawaban tentang relasi seperti apa yang Tuhan inginkan terjadi di dalam komunitas ini, terutama dalam komunitas keluarga kita masing-masing. Di luar sana, bahkan hanya dalam satu genggaman gadget, anak-anak kita diserbu dan dikeroyok dengan berbagai “hama”, kecuali.. kita, secara komunal, mau membayar harga, memberi diri sepenuhnya, sebisa kita. Di tengah-tengah kesibukan apa pun yang kita kerjakan, ketika pulang ke rumah, mari beri relasi dan komunikasi yang nyata, otentik, tidak malu-malu, tidak “jaim” (jaga image). Tentu tidak mudah, makanya jangan sendirian! Mari tidak berhenti merawat komunitas ini agar bersama-sama bertumbuh. Dengan demikian, anak-anak kita juga dapat ikut-ikutan bertumbuh dalam karakter Kristus karena berada di “taman” komunitas yang menyuburkan. Salam gembur dan tumbuh!

Perjalanan Remaja Mencari Identitas Diri

Anita Latifia-Konselor SMP

Setiap individu akan mengalami berbagai fase perkembangan dalam hidupnya. Fase remaja merupakan salah satu tahapan yang sangat penting dalam proses pencarian identitas diri. Meskipun hal ini merupakan proses seumur hidup yang sudah dimulai sejak masa kanak-kanak. Namun, masa remaja adalah masa yang sangat signifikan. Menurut Santrock, hal yang penting dari perkembangan identitas pada masa remaja, terutama remaja akhir, adalah bahwa untuk pertama kalinya, perkembangan fisik, kognitif, dan sosioemosional sang remaja berkembang ke titik di mana ia dapat memilah, memadukan identitas, dan mengenali masa kanak-kanaknya, untuk membangun jalan yang sepantasnya menuju kedewasaan (Santrock, 2010).

Menurut Santrock, identitas merupakan potret diri seseorang yang terdiri dari banyak bagian, diantaranya keyakinan spiritual; karier yang ditempuh; kepribadian; citra tubuh (body image); minat; suku bangsa/etnis dan lainnya. Dalam proses pembentukan identitas ini, remaja akan melakukan eksplorasi untuk menemukan pilihan mana yang paling sesuai dan nyaman buat dirinya, serta komitmen terhadap pilihannya. Santrock mengatakan bahwa Marcia mengelompokkan identitas individu ke dalam empat status berdasarkan ada tidaknya proses eksplorasi (krisis) serta komitmen yang diambil. Keempat status identitas tersebut adalah:


Identity Diffusion
Status pada individu yang belum melakukan eksplorasi dan belum mengambil komitmen atas pilihannya. Kemungkinan individu pada status ini belum tertarik akan pencarian identitas tersebut.


Identity Foreclosure
Status pada individu yang belum melakukan eksplorasi, tetapi sudah berkomitmen terhadap pilihannya. Hal ini sering kali terjadi oleh karena pilihan orang tua atau figur lain ditambah individu malas untuk melakukan eksplorasi terhadap alternatif-alternatif pilihan lainnya.


Identity Moratorium
Status pada individu yang tengah melakukan eksplorasi, tetapi belum juga berkomitmen terhadap pilihannya. Hal ini membuat individu tersebut kurang teguh pada pilihannya dan mudah goyah jika terdapat alternatif lain yang baru dieksplor.


Identity Achievement
Status pada individu yang telah melakukan eksplorasi dan membuat komitmen terhadap pilihannya.

Perjalanan pencarian jati diri ini bukan hal yang mudah untuk dilalui oleh setiap remaja. Pendampingan dan dukungan yang tepat dari orang tua merupakan hal yang sangat dibutuhkan para remaja dalam menjalani proses ini. Berikut ini merupakan beberapa usulan yang bisa dilakukan oleh orang tua dalam menemani perjalanan anak-anak remaja mereka:

  • Menyadari bahwa ini merupakan perjalanan sang anak bersama dengan Tuhan dalam menemukan identitas seperti yang Dia inginkan.
  • Memberikan dukungan moral dan spiritual berdasarkan prinsip-prinsip iman Kristen yang baik, serta menciptakan lingkungan yang aman bagi remaja untuk berani melakukan eksplorasi diri.
  • Membantu dalam mengevaluasi hasil eksplorasi yang telah dilakukan anaknya dengan memberikan pertimbangan yang sesuai dengan pengenalan orang tua terhadap sang anak.

Melalui artikel singkat ini, kiranya orang tua bisa lebih memahami proses pencarian identitas pada remaja serta serius dalam mendampingi mereka dalam perjalanan ini.

Referensi:
Santrock, John W. (2010). Life-span Development (thirteenth edition). The McGraw-Hill Companies.
“Siapakah Aku?” Krisis Identitas yang Biasa Dialami Remaja. Yogyakarta: Center for Life-span Development, 2024. Diambil dari: https://clsd.psikologi.ugm.ac.id/2024/05/04/siapakah-aku-krisis-identitas-yang-biasa-dialami-remaja/

Menjadi Pribadi yang Otentik

Oleh: Betsy K. Witarsa – Konselor SMA

Sebagai manusia, kita adalah ciptaan Allah yang paling mulia karena diciptakan segambar dan serupa dengan diri-Nya sendiri. Kita diberi kemampuan untuk berpikir, berencana, merasakan emosi, berekspresi, dan mengambil tindakan. Setiap kita juga memiliki karakteristik, kepribadian, bakat, dan kelebihan masing-masing yang membuat diri kita unik dan berbeda satu dengan yang lain. Allah ingin agar kita mengenal dan menghargai keunikan yang telah ditentukan Allah bagi kita serta memaksimalkan hal tersebut di dalam kehidupan kita. Lebih dari itu, kita akan dapat merasakan kepuasan dan kebermaknaan hidup jika sungguh-sungguh melihat diri dari sudut pandang Allah dan hidup secara otentik.


Sayangnya, ada berbagai hal yang seringkali menghambat kita untuk bisa menjadi pribadi yang otentik. Beberapa orang tumbuh dalam lingkungan yang sangat kurang memberi teladan dan kesempatan untuk mengungkapkan pikiran dan perasaan secara sehat, sehingga terbiasa untuk memendam atau bahkan menyangkal pikiran dan perasaan yang ada di dalam diri. Ada pula orang-orang yang diberi tuntutan untuk mencapai atau menjadi sesuatu yang sebenarnya tidak selaras dengan bakat utamanya, lalu dikritik dan dipandang sebelah mata ketika hasilnya kurang maksimal. Banyak manusia terbiasa memakai topeng demi mendapat penerimaan dan pengakuan, sehingga semakin lama semakin tidak peka dengan pikiran, emosi, dan kebutuhannya sendiri, serta kurang mengembangkan potensi yang dimiliki. Kehidupan tidak lagi dilandasi oleh pengenalan yang benar akan diri dan Allah serta kurang dipandu oleh nilai-nilai yang seharusnya membuat hidup tidak terombang-ambing.


Tidak ada kata terlambat untuk mulai menjalani hidup dengan lebih otentik, sembari tetap menjaga keharmonisan relasi dengan orang-orang di sekitar. Kata kuncinya adalah membangun relasi yang baik dan dekat dengan diri sendiri. Kita dapat melatih diri untuk melakukan beberapa hal berikut ini:

  1. Perhatikan dan sadari apa yang terjadi di tubuh kita. Leher atau bahu yang tegang mungkin terkait dengan apa yang ada dalam pikiran, perasaan, pemikiran, dan memori kita. Kondisi fisik dan psikologis kita saling mempengaruhi.
  2. Biasakan memvalidasi pikiran dan perasaan kita, bukan menyangkalnya. Hal ini bukan berarti kita tidak boleh mengevaluasi apa yang kita pikirkan dan rasakan, tetapi langkah pertama yang perlu dilakukan adalah mengakui dan memberi ruang terlebih dahulu. Contoh kalimat validasi yang bisa kita katakan pada diri sendiri yaitu: “Aku menyadari bahwa aku berpikir kalau orang lain lebih beruntung dari diriku dan aku jadi mengasihani diri sendiri”, “Saat ini sedang ada kesedihan yang begitu besar dalam diriku dan aku mengizinkan diriku untuk merasakannya”, dan “Aku sebenarnya tidak suka dengan kecemasan yang sering muncul ini, tetapi aku belajar mengakui bahwa saat ini memang seperti itu kondisinya”.
  3. Kenalilah diri kita sendiri. Apa yang kita kuasai, apa yang kita suka lakukan, apa yang membuat hati kita tergerak, apa yang penting dan bernilai bagi kita, dan semacamnya. Hadapi kebenaran tentang siapa kita dan akuilah jika memang ada aspek-aspek dari diri sendiri yang masih sulit untuk diterima. Kebenaran tidak selalu menyenangkan, tetapi dapat berpotensi membebaskan kita.

Seni Berkomunikasi dengan Anak

Oleh: Marcelina Denise Lahenda – Staf Konselor SD

Bulan Bahasa diperingati setiap bulan Oktober di Sekolah Athalia. Kegiatan ini bertujuan sebagai pengingat akan fungsi utama bahasa yaitu sebagai alat komunikasi antar individu dan juga alat berinteraksi dengan sesama manusia. Misalnya, anak bertumbuh dan belajar banyak melalui percakapan secara khusus dengan orangtua dan anggota keluarga lainnya. Hal ini bukan hanya membantu mereka mengembangkan keterampilan berbahasa. Namun, membangun hubungan yang kuat dengan keterampilan sosial yang diperlukan untuk berinteraksi dengan orang lain. Selain itu, komunikasi yang efektif dengan anak merupakan fondasi penting dalam membentuk hubungan yang sehat dan keterikatan emosi antara orangtua dan anak.
Komunikasi yang efektif akan menolong anak untuk merasa dipahami, dimengerti perasaannya, dan dipahami kebutuhannya. Hal ini juga akan menolong anak mengembangkan rasa percaya, perasaan aman dan nyaman sehingga secara tidak langsung juga menolong perkembangan sosial emosinya. Komunikasi yang baik dengan anak bukan hanya tentang berbicara, tetapi juga tentang mendengarkan, memahami, dan merespons dengan tepat. Komunikasi antara orangtua dengan anak sebenarnya bukan hal yang sulit. Namun, membutuhkan keterampilan, memberikan diri, dan juga waktu.

Tips berkomunikasi dengan anak:

  1. Active listening
    Mendengarkan secara aktif membantu anak-anak merasa didengar dan dipahami. Kita perlu mengalihkan perhatian dari ponsel atau pekerjaan lainnya saat berbicara dengan anak. Mereka perlu merasa dirinya penting dan didengarkan. Mendengarkan bukan saja dengan telinga, tetapi dengan hati sehingga kita dapat menangkap bukan hanya tentang apa yang dikatakannya, melainkan perasaan dibalik kata-katanya tersebut.
  2. Reflective listening
    Salah satu cara untuk menunjukkan bahwa kita memperhatikan dan menangkap apa yang mereka katakan adalah dengan mengulangi apa yang mereka katakan dengan menggunakan frase yang berbeda. Misalnya, jika anak berkata, “Saya tidak mau bermain dengan Tono lagi.” Kita dapat merespons dengan, “Kamu sedang tidak mau main ya. Kelihatannya kamu sedang kesal.” Ini akan membuat anak merasa dimengerti dan tidak dihakimi, sehingga anak dapat mengekspresikan emosi mereka tanpa penilaian.
  3. Speaking clearly
    Gunakan bahasa yang dapat dimengerti untuk anak dan sesuai dengan usia mereka. Pemilihan kata harus jelas, spesifik, dan tidak menggunakan kata-kata yang kasar atau menghina. Menggunakan bahasa yang baik akan membantu memberikan contoh positif bagi anak-anak. Kita harus ingat bahwa percakapan harus membuat anak merasa dihargai dan dicintai.
  4. Explaining feelings
    Untuk membantu anak mengembangkan kecerdasan emosional, penting bagi mereka untuk belajar bagaimana memberi nama perasaan mereka. Ketika anak mengekspresikan perasaan mereka secara verbal, dengarkan apa yang mereka katakan dengan empati dan tanpa penilaian. Jika anak mengekspresikan perasaan mereka dengan cara nonverbal – misalnya melalui amarah atau tertawa dan bersenang-senang melakukan aktivitas yang mereka sukai, kita perlu membahasakan bagaimana perasaan mereka, seperti bahagia, sedih, santai, terluka, takut, lapar, bangga, mengantuk, marah, tidak berdaya, jengkel, malu atau gembira, dll.

Komunikasi yang baik dengan anak bukanlah hal yang instan, tetapi merupakan proses yang perlu dengan sengaja diciptakan dan dibangun karena sangat mempengaruhi hubungan orangtua dengan anak. Dengan memberikan waktu, perhatian, dan mendengarkan dengan baik, kita dapat membantu anak tumbuh dan berkembang secara positif. Semua ini membantu mereka merasa dicintai dan diperhatikan sebagai dasar yang kuat untuk setiap tahap perkembangan di masa depan.

Sumber: https://www.unicef.org/parenting/child-care/9-tips-for-better-communication

Mengenal dan Mengatasi TOXIC FRIENDSHIP

Oleh: Felicia – Staf Konselor SMP Athalia

Jika kamu diminta pendapat tentang salah seorang temanmu, kira-kira apa yang akan kamu katakan tentang dia?
Apakah dia adalah teman yang selalu menolong kamu? Apakah dia adalah teman yang selalu mendengarkan ceritamu? Apakah dia adalah teman yang selalu hadir di masa-masa sulitmu? Atau kamu akan langsung mengatakan, “Dia mah toxic”.

Tapi bagaimana jika temanmu yang diminta pendapatnya tentang kamu? Kira-kira apa yang akan mereka katakan tentang kamu? Apakah hal-hal positif yang akan disampaikannya? Atau temanmu juga akan mengatakan kalau kamu toxic?

Toxic friendship adalah istilah yang seringkali dipakai untuk hubungan pertemanan yang dinilai memberikan pengaruh negatif. Ada (setidaknya) dua ciri yang menunjukkan apakah hubungan pertemanan kalian bersifat toxic, yaitu:

Ciri yang dapat terlihat secara langsung. Pertama, sering menggunakan kata-kata yang tidak sopan atau kasar dalam berkomunikasi atau saat mengekspresikan emosi mereka, misalnya saat marah. Kedua, menyarankan sebuah tindakan yang sudah jelas salah, misalnya berbohong untuk menutupi sebuah kesalahan dengan alasan sebagai teman harus saling menolong.

Ciri yang tidak terlihat secara langsung. Ciri-ciri ini biasanya dirasakan karena mulai mengganggu kesehatan mental, misalnya mulai ada rasa cemas dan takut kehilangan hubungan pertemanan tapi sebenarnya juga merasa tidak nyaman saat berinteraksi. Salah satu contoh tindakannya adalah selalu merasa benar dan membuat teman merasa bersalah.

Kalau kamu merasa sedang berada dalam hubungan pertemanan yang bersifat toxic, ada beberapa hal yang dapat dilakukan:

Lakukan refleksi untuk dirimu sendiri. Apakah kamu termasuk teman yang toxic? Kalau iya, buatlah komitmen untuk berubah. Apakah kamu merasa terlibat dalam hubungan pertemanan yang toxic? Kalau iya, buatlah batasan tentang hubungan pertemanan yang kamu inginkan.

Komunikasikan secara asertif tentang hasil refleksi tersebut bersama dengan temanmu. Kalau kamu merasa perlu didampingi, ajaklah orang dewasa yang dapat kamu percaya. Berikan waktu beberapa hari untuk saling merefleksikan hasil pembicaraan kalian. Setelah itu saling berusaha untuk memperbaiki interaksi dalam pertemanan sesuai dengan hasil pembicaraan kalian.

Tips yang paling penting saat berusaha memperbaiki interaksi pertemanan yang toxic adalah harus berani mengambil sikap untuk mengutarakan perasaan dan pendapatmu secara asertif dan tidak memendamnya.