“Sesudah itu dibasuhnyalah mukanya dan ia tampil ke luar. Ia menahan hatinya dan berkata: “Hidangkanlah makanan.”” (Kejadian 43:31). Narasi yang pendek ini mengisahkan tentang Yusuf, yang saat itu sedang dilanda emosi yang begitu hebat tatkala dia yakin bahwa yang berada dihadapannya adalah saudara-saudaranya. Kasihnya kepada Benyamin, adik yang seibu dengan dia, membuat luapan emosinya menggelagak tak tertahankan. Tangis hebat tumpah di dalam kamarnya. Yusuf digambarkan seperti seseorang yang sedang terkejut bahwa kerinduan bertemu dengan saudara-saudaranya terwujud tanpa disangkanya.
Gambaran luapan emosi Yusuf memang hanya digambarkan dalam 2 ayat saja, yaitu ayat 30 yang menceritakan luapan emosi Yusuf, dan ayat 31 yang menggambarkan emosinya mulai dikendalikan. Sekalipun demikian, kedua ayat tersebut perlu kita lihat sebagai suatu hal yang luarbiasa. Betapa tidak, perpisahan Yusuf dengan saudara-sadaranya telah berlangsung selama 2 dekade (+/- 20 tahun). Perpisahan yang tidak sebentar, terlebih perpisahan tersebut terjadi dalam suasana yang penuh dengan amarah dan benci. Yusuf menjadi korban amarah saudara-saudaranya, bahkan Yusuf adalah korban pembunuhan terencana. Apabila kita menempatkan diri sebagai Yusuf, yaitu sebagai seorang korban amarah dan benci tanpa alasan yang jelas, bukan tidak mungkin di dalam hati kita akan tersusun rencana yang lebih rapi untuk membalas dendam. Simulasi tersebut bukanlah suatu hal hal yang aneh. Dendam dibayar dengan dendam, benci dibayar dengan benci. Dunia mengajarkan norma seperti itu. Namun, bagaimana dengan dendam dibalas dengan kasih?
Pengendalian diri adalah ungkapan kasih. Demikianlah Firman Tuhan menyatakan hal itu melalui kisah sejati Yusuf. Cara Yusuf mengendalikan diri cukup dituliskan melalui 1 ayat saja (ayat 31). Luapan emosi Yusuf juga digambarkan tidak berlebihan, secukupnya. Manusia yang normal pasti membutuhkan luapan emosi, menyatakan perasaan yang paling dalam. Alkitab menegaskan bahwa Yusuf yang sudah mengenal Tuhan, dan mengerti benar bahwa hidupnya berada di bawah kuasa kasih Tuhan. Sehingga, kasih Tuhan yang sudah dia rasakan harus dikembalikan kepada orang-orang disekelilingnya. Yusuf mau taat pada konsep tersebut, yaitu apa yang sudah Tuhan berikan pada dirinya harus dibagikan dan dikembalikan sebagai sikap yang benar kepada sesamanya.
Kasih tidak dapat diungkapkan dalam suasana hati yang emosional. Pengendalian diri menolong kita untuk tidak terjebak berada di luar kasih. Apabila Yusuf mau untuk tidak mengendalikan dirinya, maka bisa saja semua saudaranya dikurung dalam penjara yang gelap. Yang pasti, bila hal itu dilakukan oleh Yusuf, maka dia tidak bisa menerima kehangatan keluarganya lagi. Bahkan, mungkin saja Yusuf akan mati merana oleh karena dicengkram rasa benci. Pengendalian diri menolong dan memberikan Yusuf rasa damai untuk kembali menikmati kehangatan keluarga yang dicintainya. Pengendalian diri memberikan keuntungan yang berlimpah.
Suatu kesia-siaan apabila kita mengatakan bahwa kita adalah orang percaya, tetapi tidak berusaha mengendalikan diri untuk tetap bisa mempertahankan wujud kasih Tuhan dalam kehidupan kita kepada sesama.
BD/ Tim Karakter