Hati yang Sejuk Bagi Zaman: Sebuah “Self-Talk” tentang Amsal 24:10–12

Oleh: Benny Dewanto, Kabag PK3.

Dalam pelayanan kaum muda, dijajaki sebuah metode untuk menangkap kejujuran mereka saat berbicara tentang diri dan masa depannya melalui rekaman video pribadi (self-talk). Dalam durasi singkat, kurang lebih lima menit, self-talk tersebut ternyata dapat menggambarkan kejujuran kaum muda tentang jati diri, kesulitan hidup, dan harapan mereka ke depannya. Tidak disangka, dengan batasan durasi lima menit, kaum muda dapat memberikan gambaran nyata tentang realitas yang mereka gumuli.

Padahal, banyak pihak mengatakan bahwa kaum muda merupakan golongan yang cukup sulit untuk dipahami. Dampaknya, kaum muda diperlakukan sebagai segmen yang khusus. Tidak jarang, karena cara pandang tersebut, terbangun gap antara kaum muda dengan generasi di atasnya.

Dari self-talk di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa kaum muda merupakan pribadi yang rentan menderita karena perubahan zaman. Self-talk itu juga memperlihatkan bahwa kaum muda juga “menggeliat” dan membuat banyak perubahan zaman sebagai reaksi protes terhadap tekanan yang mereka tanggung. Ketika kaum muda gelisah karena “beban” tersebut, mereka mengambil aksi dengan melakukan perubahan zaman. Semakin besar tekanan tersebut, semakin cepat pula mereka melakukan perubahan. Alhasil, semakin lebar pula gap yang terjadi karena banyak pihak yang sulit mengerti atau memahami perubahan-perubahan tersebut. Jadi, ini seperti sebuah putaran yang tak berujung, yang menjadi lingkaran hidup kaum muda, yaitu tekanan (penderitaan) – ekspresi perubahan – gap ketidakmengertian.

Amsal 24:10–12 berkata: “10Jika engkau tawar hati pada masa kesesakan, kecillah kekuatanmu. 11Bebaskan mereka yang diangkut untuk dibunuh, selamatkan orang yang terhuyung-huyung menuju tempat pemancungan. 12Kalau engkau berkata: “Sungguh, kami tidak tahu hal itu!” Apakah Dia yang menguji hati tidak tahu yang sebenarnya? Apakah Dia yang menjaga jiwamu tidak mengetahuinya, dan membalas manusia menurut perbuatannya?” Perenung Amsal mengatakan bahwa Amsal 24:10–12 berbicara tentang perintah terhadap orang yang paham untuk menolong mereka yang rentan menyerah (the quitter). Bila renungan ini direfleksikan ke dalam fenomena kaum muda, ada sebuah pertemuan antara pihak yang tawar hati/sesak, yaitu kaum muda, dengan pihak yang— di mata Tuhan—sesungguhnya mengerti tentang persoalan yang menyebabkan tawar hati/sesak tersebut. Perenungan ini mengajak kita untuk berdiri sebagai pihak yang kedua.

Dalam perenungan tentang kaum muda yang dikaitkan dengan ayat di atas, sekalipun mereka melejit mengemukakan dunia, dalam kesesakan, mereka seperti pribadi yang tidak punya kekuatan karena tawar hati (ayat 10). Banyak penelitian yang menyatakan bahwa kekecewaan kaum muda berasal dari orang-orang terdekat yang seharusnya menjadi panutan hidup. Kata “tawar hati” di dalam Amsal menjelaskan makna lemas (hang limp), sebuah gambaran kekecewaan yang begitu mendalam hingga membuat dirinya enggan lagi berharap (grow slack).  Kondisi lesu, kecewa, dan tawar hati membuat mereka seperti korban empuk yang diintai untuk “dibunuh oleh dunia”.

Amsal 24: 10–12 dapat dijadikan topik self-talk baik bagi kaum muda maupun kita, kaum dewasa. Ini dapat menjadi dialog pribadi, menelusuri kejujuran hati tentang yang dirasa dan yang diketahui. Ayat ini dapat direnungi oleh seluruh anggota komunitas Athalia, untuk menyejukkan hati agar komunitas ini siap menyejukkan hati generasi muda dalam menghadapi zaman-zaman selanjutnya: zaman yang bergerak cepat yang memunculkan kekhawatiran dan kecemasan; zaman alternatif yang akan semakin masif.

Perjalanan iman anak-anak kita akan semakin ditantang oleh dunia yang akan menawarkan lebih banyak pilihan. Jurang jarak antara kebenaran dan kepalsuan menjadi semakin besar, membuat “mata menjadi rabun” dalam membedakannya. Dalam kondisi ini, semakin banyak kaum muda yang berpotensi berjalan terhuyung-huyung. Akankah kita abai dan tetap berada di dalam gap ini? Apakah kita akan membiarkan mereka terhuyung-huyung menuju kebinasaan seperti orang yang akan dipancung?

Untuk menolong yang terhuyung-huyung tentu janganlah kita menjadi linglung dan limbung.  Membangun konsep pertolongan kehidupan yang terbaik adalah melalui pertemuan berbagi hidup, yaitu saling menggenggam dalam meniti jalan lurus dengan hati yang tulus. Amsal 24: 12 menuntut kita untuk memahami bahwa jiwa kita boleh terus bertumbuh oleh karena pertolongan-Nya. Karena itulah Dia menjaga dan meminta kita menjaga anak-anak ini. Amsal 24: 12 nyata berkata bahwa kita seharusnya menjadi pribadi yang matang, pemerhati kebenaran dan pelaku pemberi pertolongan. Janganlah cepat berkata, “Kami tidak tahu tentang hal itu!” Janganlah menjadi bagian yang membuat kaum muda seperti terhuyung-huyung menuju tempat pemancungan. Mata-Nya yang tajam akan senantiasa menatap isi hati dan pikiran kita. Berdirilah tegak dalam kebenaran, tidak terseok-seok. Genggamlah kaum muda mendekat agar turut pula berdiri tegak dalam kebenaran. Hati-Nya yang sejuk pun akan menjadikan kaum muda Athalia menjadi penyejuk zaman.

Tips agar Vaksinasi Anak Berjalan Lancar

Sebentar lagi, para siswa SD Athalia akan mengikuti vaksinasi COVID-19 (dosis kedua). Bagaimana cara agar proses ini minim drama? Persiapan apa saja yang perlu dilakukan oleh orang tua siswa supaya anak tetap merasa nyaman?

Mari baca ulasan berikut!

Dibentuk dengan Berbagi Hidup

Dibentuk dengan Berbagi Hidup

oleh: Merry David

Dari buku Sacred Marriage karya Gary Thomas.

Jangan kamu menghakimi, supaya kamu tidak dihakimi. Karena dengan penghakiman yang kamu pakai untuk menghakimi, kamu akan dihakimi dan ukuran yang kamu pakai untuk mengukur, akan diukurkan kepadamu (Matius 7: 1–2).

Gary Thomas di bagian ini mengatakan bahwa pernikahan bisa menjadi sarana perubahan diri. Berbagi hidup dengan pasangan di dalam pernikahan dapat membuat tiap individu saling mempertajam dan mengasah satu sama lain. Namun, ada hal yang bisa membunuh proses pembelajaran ini, yaitu kecenderungan menghakimi pasangan dan menolak untuk mendengarkan pasangan. Tidak ada satu orang pun yang sempurna di dunia ini, begitu juga pasangan kita. Oleh karena itu, ada baiknya kita berfokus pada kekuatan dan kelebihan pasangan yang bisa memberikan kita inspirasi.

Berdasarkan pengalaman pribadi, saya menyadari bahwa dunia pernikahan tidak seindah seperti yang saya bayangkan. Tidak seperti kehidupan yang digambarkan di drama Korea yang menampilkan hal yang indah-indah. Ketika merenungi tema PIT dengan judul “Dibentuk dengan Berbagi Hidup”, saya mulai berpikir, apa saja yang sudah saya dan suami lalui sebagai pasangan? Di usia pernikahan kami yang baru 13 tahun, kami tidak hanya memiliki banyak persamaan, melainkan juga perbedaan.

Sebagaimana yang disampaikan oleh Gary Thomas, kita bisa belajar dan dibentuk oleh pasangan, saya pun mengalaminya. Contoh beberapa hal yang saya pelajari dari suami saya, yaitu dalam hal percaya kepada orang lain, berani berpendapat, humble, dan lain sebagainya.

Dulunya saya tidak mudah percaya dengan orang lain sehingga saya selektif dalam memilih teman. Hal ini karena saya pernah dikecewakan oleh orang yang saya percayai sehingga tidak mudah bagi saya untuk percaya kepada orang lain lagi. Namun, suami saya mengajarkan saya untuk mau belajar memercayai orang. Misalnya di dalam pekerjaan, saya mulai bisa berbagi tugas dengan rekan kerja ketika saya bekerja sebagai sekretaris. Sebelumnya, semua pekerjaan saya tangani sendiri dan rekan saya hanya melakukan pekerjaan yang ringan-ringan saja. Dampaknya, saya sering kali kerja lembur untuk menyelesaikan pekerjaan. Ketika saya mulai belajar untuk memercayai orang lain, hidup saya tentunya menjadi lebih ringan. Dengan demikian, saya juga belajar untuk lebih rendah hati.

Dahulu, saya adalah orang yang tertutup atau antisosial. Namun, kemudian saya belajar bersedia membuka diri. Perubahan ini memungkinkan saya untuk melayani Tuhan bersama banyak orang. Apalagi ketika saya sudah menjadi orang tua dan anak saya bersekolah di Athalia. Mau tidak mau saya harus bersosialisasi dengan banyak orang tua lainnya karena di Athalia ada komunitas orang tua. Ketika saya bersedia diubah, saya merasa sangat terbantu dalam bersosialisasi dan berani ketika diminta melayani menjadi CPR lalu sekarang di BPH APC, serta berani melayani di gereja lokal kami.

Saya bersyukur suami tidak pernah menghakimi kekurangan saya ini. Dia membantu saya untuk terus memperbaiki diri. Begitu juga sebaliknya, saya juga belajar untuk tidak menghakimi kekurangan suami. Saya sadar, ketika saya menunjukkan jari telunjuk ke orang lain, sesungguhnya ada empat jari lainnya yang menunjuk ke diri saya.

Demikian sharing dari saya, kiranya Tuhan Yesus memberkati. Terima kasih.

Mempunyai Hati untuk Melakukan Hal Baik

Oleh: Elisa Christantio, Orang tua siswa.

Amsal 4: 23 “Jagalah hatimu baik-baik, sebab hatimu menentukan jalan hidupmu.” (BIS)

Amsal 4: 23 “Jagalah hatimu dengan segala kewaspadaan, karena dari situlah terpancar kehidupan.” (TB)

Firman Tuhan yang direnungkan pada Rabu, 6 Oktober 2021 diambil dari Amsal 4: 23. Ketika menyebut kata “menjaga” umumnya kita akan berpikir tentang hal-hal yang tampak, tetapi jarang terpikir akan hal yang tak kasatmata.

Jadi, ketika Alkitab berbicara tentang hati, tentu tidak berbicara tentang fisik. Hal ini lebih mengacu kepada pikiran, kehendak atau bahkan batiniah. Pikiran dan kemauan adalah tempat di mana kita membuat keputusan, setiap pilihan yang kita buat. Segala sesuatu yang kita putuskan untuk dilakukan berasal dari sana.

Mengapa penting untuk menjaga hati kita?

  • Karena kita mencintai Tuhan yang sudah lebih dulu mencintai kita.

Salah satu motivasi terbesar untuk menjaga hati karena kita mencintai Tuhan. Mengasihi Tuhan dan memelihara persekutuan yang erat dengan-Nya harus menjadi landasan utama dalam menjaga hati.

Sebelum pandemi, tugas dan pelayanan mengharuskan saya dan suami bepergian ke luar kota. Kami sudah sepakat walau melayani Tuhan, kami ingin selalu bersama dengan anak-anak. Akhirnya, kami memilih jadwal saat anak-anak libur sekolah agar mereka bisa ikut. Ini bukan keterpaksaan, tetapi hal yang dilakukan dengan sukacita. Kami memilih untuk melakukannya karena rasa sayang. Kami saling mengasihi sehingga kami menempatkan perlindungan untuk hati kami dengan cara seperti ini.

  • Rencana Tuhan

Ketika semua yang kita lakukan mengalir dari hati, mungkin saja rencana Tuhan sedang terjadi dalam hidup kita.

Tidak ada yang lebih memuaskan di bumi ini selain melakukan kehendak Tuhan.

  • Menyelesaikannya dengan baik

Banyak di antara kita yang memulai dengan baik, tetapi mengakhiri dengan buruk. Amsal mengingatkan agar kita memulai dan mengakhiri dengan baik pula.

Menjalani pekerjaan yang harus sering keluar kota, mewartakan kabar baik, dan melayani bersama-sama keluarga tentu tidak mudah. Namun, kami ingin menyelesaikannya dengan baik. Suatu kali, kami melayani di Desa Pulutan, Wonosari, Gunungkidul. Kami tidak memberi tahu anak-anak tentang kegiatan hari itu. Sesampainya di lokasi, anak kami yang besar bertanya, “Kenapa kita disambut seperti presiden?” Dia bingung karena kehadiran kami disambut meriah. Singkat cerita, kami beramah tamah. Anak kami yang besar waktu itu masih kelas 4 SD, ditanya oleh salah seorang murid lokal tentang bahasa yang dikuasai. Lalu anak kami berkata, “Aku bisa bahasa Mandarin. Wo jiào Nathanael. Nǐ jiào shénme míngzì?” Semua orang yang ada di ruangan itu tertawa. Kemudian, anak kami berkata, “Kamu juga bisa, makanya kamu harus rajin belajar.” Lalu, semua orang di sana bertepuk tangan.

Hari itu, kami pulang dengan hati bersyukur karena yang kami mengalami liburan yang luar biasa. Anak-anak mengerti tentang menjaga sekaligus memberi hati untuk orang lain. Kami sekeluarga pun menyelesaikan misi/tujuan Tuhan dalam hidup kami, walau dengan cara yang sederhana.

Menjaga hati bahkan juga dialami tokoh misionaris terhebat sepanjang masa dalam Filipi 3: 12–14. Paulus menyadari bahwa pekerjaannya belum selesai dan dia ingin memastikan bisa menyelesaikannya dengan kuat.

Saya yakin Paulus pun menjaga hatinya. Saya dan kita semua harus melakukan hal yang sama.

Sebagai penutup, saya bagikan satu ayat yang merangkum cara menjaga hati: “Jadi akhirnya, saudara-saudara, semua yang benar, semua yang mulia, semua yang adil, semua yang suci, semua yang manis, semua yang sedap didengar, semua yang disebut kebajikan dan patut dipuji, pikirkanlah semuanya itu.”– Filipi 4: 8

Selamat merenung. Tuhan Yesus memberkati.

Pantang Menyerah

Oleh: Dwi Handayani, Orang Tua Siswa.

Anak adalah titipan Tuhan yang sangat berharga. Sebagai orang tua, kita pasti ingin menanamkan nilai-nilai kebaikan di hidupnya agar menjadi generasi yang tangguh dan mandiri di masa depannya.

Saya ingin berbagi cerita tentang putri pertama kami. Dia termasuk anak yang patuh, penyayang, tetapi dia anak yang pemalu dan manja. Ketika ada anak sebaya yang mengajaknya bermain, dia malah lari pulang ke rumah dan mau main jika saya temani. Daya juangnya juga masih kurang ketika ingin sesuatu, misalnya membuat benda dari origami. Saat hasilnya tidak bagus atau gagal, dia langsung menyerah dan tidak mau mencoba lagi.

Kami selalu membimbing dan menyemangati dia agar lebih percaya diri serta mau berusaha. Kami selalu mengingatkan dia bahwa tidak semua yang dia inginkan dapat terwujud. Ada saatnya dia harus berusaha keras untuk mendapatkan sesuatu yang diinginkannya. Kami juga mengingatkan pentingnya rasa syukur atas nikmat yang sudah Tuhan berikan. Apa yang sudah tersedia dan sudah dia miliki harus disyukuri dan tidak meminta lebih karena masih banyak orang lain di luar sana yang kekurangan.

Suatu hari, saat usia anak kami lima tahun, dia minta dibelikan mainan yang cukup mahal bagi kami, yaitu satu set mainan Plants vs Zombies. Kami pun tidak membelikannya karena mainannya sudah cukup banyak di rumah. 

Beberapa hari kemudian, saat sedang sekolah daring, dia memanggil saya dan menunjuk ke arah layar laptop. Ternyata ada teman laki-lakinya yang sedang memegang salah satu mainan yang dia suka. Saat itu dia mengeluh lagi dan berkata ingin dibelikan mainan tersebut. Namun, tetap saya katakan tidak dengan memberi penjelasan yang sama.

Beberapa minggu setelahnya, terjadi peristiwa yang cukup membekas di hati saya. Di suatu siang yang panas, anak saya bilang bahwa dia mau jualan. Saya mengiyakan saja karena dia suka mainan jual-jualan dan mama papanya disuruh menjadi pembeli. Namun, ternyata kali ini berbeda. Dia meminta tolong kepada saya agar membawakan meja belajar kecilnya ke teras depan rumah. Lalu, saya lihat dia juga membawa kertas HVS yang bertuliskan “Mainan ini dijual, ya!” dengan disertai hiasan spidol warna-warni. Saya bertanya, “Memang kamu mau ngapain?” Dia menjawab sembari menempelkan kertas HVS di pinggir meja bagian depan, “Aku mau jualan karena aku mau dapet duit biar bisa beli mainan Zombie.”

Dia masuk ke dalam rumah sebentar kemudian kembali keluar sambil membawa sekantong mainan dan segenggam cemilan yang diambil dari rak makanan. Dia letakkan berbagai cemilan tersebut, kemudian dia mengambil kertas, gunting, dan selotip. Dia menuliskan harga dan menempelkannya ke bungkus cemilan. Saat dia meletakkan cemilan ke meja, saya lihat harga satu Beng-Beng Rp1.000.000 dan Nyam-Nyam Rp1.000.000.000. Hampir semua cemilan dia kasih harga fantastis. Saya hanya tertawa dalam hati. Ya… tentunya dia belum paham arti nol sebanyak itu. Walau geli melihat hal itu, saya terharu sekali. Saya tidak menyangka dia akan seniat itu untuk berjualan demi mendapatkan mainan yang dia mau. Entah dari mana asal ide itu, yang pasti saya dan suami cukup kaget melihatnya.

Saat itu, saya mengelus rambutnya sambil berkata, “Jadi kamu mau jualan beneran, ya??”

Dia pun menjawab dengan semangat, “Iyaa… nih aku udah tulis harga makanannya, terus aku juga mau jualin mainan yang di kantong yang udah nggak aku suka.”

“Ya sudah. Mama bantuin yah, tapi ini kan masih siang dan panas. Mana ada yang mau beli mainan. Nanti sore aja. Sekarang masuk dulu, istirahat.”

Dia pun bersikeras tetap tidak mau masuk ke dalam rumah. Dia membuka pagar rumah selebar-lebarnya dan meja pun digeser ke depan. Alhasil sebagian makanan terkena sinar matahari panas. Dia pun sudah beratribut lengkap dengan memakai topi sambil membawa waist bag dikalungkan ke leher dan satu pundaknya. Dia duduk menunggu pembeli datang. Beberapa kali saya bujuk agar masuk ke dalam rumah sambil menunggu pembeli datang, tetapi dia tetap tidak mau. Saya hanya mengawasi dari dalam rumah dan tidak mau mengganggunya walau sebenarnya kasihan melihatnya kepanasan.

Setelah 15 menit berlalu, belum juga ada yang beli. Dia tetap duduk diam. Entah apa yang dipikirkannya: sedih karena tidak ada yang beli atau semangat menunggu pembeli. Setelah 20 menit lebih, akhirnya saya bujuk baik-baik dan dia mau masuk ke dalam dan kembali berjualan sore nanti.

Sore hari pun tiba. Sekitar pukul 4 sore dia semangat untuk kembali berjualan. Sebelumnya, kami sudah berdiskusi tentang harga makanan yang dijual dan memilih mainan apa saja yang layak dijual. Mainan ada yang dijual dengan harga seribu dan dua ribu karena ukurannya yang imut dan sengaja diberi harga murah agar ada yang mau beli. Kebetulan dekat rumah ada musala dan sore hari biasanya ramai anak-anak yang mengaji. Jadi, kami berharap ada 1–2 anak yang mampir ke “lapak” kami saat perjalanan pulang.

Setelah mencoba berjualan selama tiga hari, uang yang terkumpul sebanyak 22 ribu rupiah. Dia senang bukan main. Kami berniat mau menambahkan uang untuk membelikan mainan yang dia mau.

Saya pun bertanya, “Kamu jadi mau beli mainan Plants vs Zombies?”

Secara mengejutkan, dia menjawab, “Enggak jadi. Aku mau beli mainan makeup-makeupan aja!” sambil menunjukkan gambarnya di Tokopedia.

Apa pun akhirnya, kami salut atas usahanya, kami pun bersyukur karena anak kami akhirnya dapat memahami jika ingin mendapatkan sesuatu harus berusaha dan tidak mudah menyerah. Oiya ternyata dari hasil usaha berjualannya itu pula dia akhirnya belajar bersosialisasi dan lebih percaya diri, bahkan akhirnya mendapatkan teman baru untuk bermain setiap sore hari. Terima kasih.

Renungan PIT: HADIAH RASA TAKUT (ULANGAN 9: 19)

Oleh: Sylvia Radjawane

Setiap mendengar kata “takut”, apa yang kita pikirkan?

Kata ini sering mengingatkan saya tentang sesuatu yang sifatnya negatif. Namun, ada satu rasa takut “paling positif” di dunia ini, yaitu takut akan Tuhan. Rasa takut jenis ini yang membuat saya dapat mengalami hubungan yang semakin akrab dan indah dengan Tuhan di dalam hidup saya. Mengapa demikian? Karena dalam hubungan yang terjalin itu, saya kenal Dia bukanlah sebagai pribadi yang “menakutkan”, sebaliknya saya belajar memiliki rasa hormat yang mendalam, rasa kagum terhadap Dia, pribadi yang sangat berkuasa sekaligus memiliki kasih karunia yang sangat besar, yang selalu setia menemani perjalanan hidup saya.

Saya belajar dari kehidupan Nabi Musa yang ucapannya tercantum dalam Ulangan 9: 19. Musa adalah tokoh Alkitab yang memimpin bangsa Israel keluar dari perbudakan Mesir. Perjalanan hidupnya yang fenomenal tidak serta-merta terjadi dalam sekejab mata. Dia semula adalah orang yang menolak tanggung jawab yang Tuhan berikan dengan alasan, “Aku tidak pandai berkata-kata”, yaitu ketika Tuhan mengutusnya ke Mesir dengan misi mulia memimpin bangsa Israel menuju tanah perjanjian. Ketika akhirnya Musa berkeputusan untuk menjalani panggilan Tuhan dan seiring perjalanan hidupnya bersama Tuhan, hal itu membuat hubungannya dengan Tuhan semakin karib. Dia juga yang berani berucap, “Walau aku tahu Tuhan murka dengan apa yang sudah dilakukan bangsa Israel, tapi aku kenal Tuhanku dan Ia akan mendengarkan juga permohonanku.” Kalimat ini menunjukkan adanya hubungan yang istimewa antara Musa dengan Tuhan dan hubungan seperti ini hanya bisa dialami oleh seseorang yang takut akan Tuhan.

Dalam pengalaman pribadi saya, takut akan Tuhan bukan berarti saya harus melakukan segala sesuatu yang baik karena saya patuh kepada Tuhan dan “takut” akan hukuman Tuhan yang akan menimpa jika saya tidak melakukan perintah-Nya. Saya juga bisa saja patuh kepada Tuhan, tapi saya tidak punya hubungan baik dengan Dia. Namun, Tuhan adalah pribadi yang sangat memprioritaskan kualitas hubungan-Nya dengan saya. Oleh karen itu, saya mau hidup dalam “takut akan Tuhan”.

Saat saya hidup dalam “takut akan Tuhan”, hubungan karib dan istimewa yang terbangun dengan Dia akan membuat saya memiliki kesadaran penuh untuk tetap dekat dengan Tuhan dan justru menjadi “takut” untuk menjauh dari Dia. Perspektif hidup yang saya miliki mengenai “takut akan Tuhan” ini pada akhirnya akan bermuara dalam tindakan seperti ini:

“Saya memutuskan dengan sadar untuk memilih cara hidup yang berkenan dan menyenangkan hati Tuhan, karena hubungan kami sangat istimewa, dan saya ingin tetap mempertahankannya untuk kebaikan saya semata-mata, yaitu pertumbuhan iman saya.”

Mudahkah melakukan komitmen di atas? Mungkin tidak. Hanya Tuhan yang sangat mampu memperbesar kapasitas hati saya untuk memiliki dan melakukan komitmen seperti ini.

Tuhan berkenan kepada orang yang hidupnya “takut akan Dia”. Selalu ada hadiah yang menanti untuk rasa “takut” yang seperti ini.

Fear ensures compliance; Fear of God inspires commitment

Mendampingi Anak Berproses dalam Karakter

Oleh: Sinsi dan Aegis, Orang Tua Siswa

Kami mengingat kembali saat anak kami duduk di bangku TKB dan harus mengikuti tes kematangan sebagai salah satu syarat masuk SD Athalia. Masa itu merupakan pengalaman iman luar biasa buat kami dalam hal tumbuh kembang anak…

Aegis dan Sinsi memiliki latar belakang keluarga yang berbeda. Aegis bertumbuh dalam keluarga yang seperti broken home, tetapi orang tuanya tidak bercerai. Sementara itu, Sinsi tumbuh dalam keluarga yang penuh kasih, harmonis, dan sangat kekeluargaan. Orang tua Sinsi biasa menunjukkan kasih dengan cara memanjakan anak-anaknya. Bisa dibilang level memanjakan kebanyakan orang kepada cucunya sudah diterapkan kepada anak-anaknya.

Begitu Sinsi hamil hingga melahirkan, keluarganya sangat bersukacita. Kami diminta tinggal di rumah Sinsi. Anak kami mendapatkan curahan perhatian dan kasih sayang dari kakek dan neneknya. Apa pun yang diminta selalu dituruti bahkan ditawari segala hal karena itulah bahasa kasih mereka dan mereka ingin cucunya senang. Ada beberapa kebiasaan yang tumbuh dalam diri anak kami, yang kalau menurut pandangan orang mungkin terlalu berlebihan. Begitulah cara orang tua Sinsi menunjukkan kasih sayang mereka terhadap cucunya.

Sayangnya, pola asuh orang tua Sinsi ini membuat kami sebagai suami istri sering bertengkar. Aegis tidak setuju dengan perlakuan yang diterima anak kami. Sinsi, sebagai anak, merasa tidak berdaya melawan orang tuanya yang sangat mengasihi cucu mereka. Sinsi sempat bertanya-tanya, apakah benar memanjakan cucu akan sampai “merusak” anak itu? Bukankah anak itu akan berubah dengan sendirinya kalau sudah beranjak besar (bisa mandiri dan lain sebagainya)?

Pertengkaran kami semakin intens dan kami jarang merasakan damai dan sukacita. Akhirnya, kami memutuskan untuk pindah rumah, memisahkan diri dari keluarga Sinsi. Dalam proses ini, terjadi perdebatan yang cukup intens dengan orang tua Sinsi. Namun, kami sudah sepakat untuk menyelamatkan rumah tangga kami.

Ternyata, pindah rumah tidak menyelesaikan masalah. Orang tua Sinsi tetap ingin dekat dengan cucunya dan datang ke rumah hampir tiap hari. Puncak dari isu di keluarga kami muncul ketika kami dipanggil Kepala TK Athalia. Pada pertemuan tersebut, Bu Risna dan Bu Elita menyampaikan bahwa anak kami tidak lulus tes kematangan. Mereka juga menceritakan, ketika menjalani tes tersebut, anak kami berperilaku sangat buruk. Dia tidak mau mengikuti instruksi yang diberikan, bahkan sampai memarahi guru yang sedang mengobservasinya.

Mendengar informasi tersebut, kami kaget sekali. Di rumah, anak ini tidak pernah berkata kasar. Namun, ternyata dia bisa sampai marah-marah dan berucap kasar kepada guru di sekolah. Hati kami hancur. Namun, di titik ini, Sinsi menyadari bahwa efek pola asuh yang salah sangat memengaruhi perkembangan seorang anak. Sejak saat itu, kami kembali bersatu, bertekad mengubah pola asuh selama ini dan memperbaiki perilaku dan karakternya.

Kami bersyukur Athalia masih memberikan kesempatan kepada anak kami untuk mengikuti tes kematangan kedua. Tak mau buang waktu, kami melakukan langkah nyata. Kami berbicara kepada orang tua Sinsi mengenai kondisi anak kami dan meminta pengertian mereka tentang beberapa hal yang sudah kami sepakati. Memang tidak mudah menyampaikan ini kepada orang tua, tetapi kami harus melakukannya demi kebaikan anak kami.

Kami membuat aturan yang jelas dan memberlakukan rutinitas harian yang harus diikuti. Kami juga memberikan konsekuensi jika anak kami menunjukkan ketidaktaatan. Kami juga mengajak anak untuk berbicara dari hati ke hati. Kami sampaikan bahwa selama ini kami melakukan cara yang salah dalam mendidiknya. Kami memberikan pengertian kepadanya: sesuai firman Tuhan, kita tidak bisa hidup semaunya. Kita harus berusaha menjadi berkat untuk orang lain, dimulai dengan belajar taat dan bersikap baik.

Proses itu kami jalani, tetapi harus diakui sangat tidak mudah. Sekalipun sekolah dan kami sudah berusaha keras untuk memperbaiki karakter anak kami, kemajuannya sangat lambat karena sisa-sisa pola asuh terdahulu.

Kemudian, Tuhan menunjukkan kasih-Nya yang begitu besar kepada keluarga kami dengan membukakan jalan lain yang tidak pernah kami duga. Waktu itu, pandemi Covid-19 masuk ke Indonesia. Kami pun bisa fokus mendidik anak berdua saja. Anak kami dapat menghabiskan waktu lebih banyak bersama orang tuanya dan jarang berinteraksi dengan kakek-neneknya. Kesempatan ini kami pakai semaksimal mungkin untuk menanamkan nilai-nilai baru kepadanya. Pada saat itu, kami merasakan belas kasihan Tuhan karena anak kami mampu mengerti dan memahami didikan dan teguran yang kami berikan kepadanya.

Proses yang kami alami masih berlangsung hingga saat ini. Ada kalanya kami masih menghadapi riak-riak kecil dalam perjalanan ini. Namun, kami bersyukur karena Tuhan tidak pernah meninggalkan kami sendirian menjalani ini semua.

Tuhan memperkenalkan kami kepada Sekolah Athalia. Kami merasakan perhatian yang begitu besar dari pihak sekolah melalui diskusi dan percakapan dengan kami. Juga, dengan perhatian yang mereka berikan kepada anak kami.

Saat ini, anak kami sudah duduk di kelas 2 SD dan mulai memahami tugas dan tanggung jawabnya. Perilakunya sudah jauh lebih baik dibandingkan dua tahun lalu. Kami sekeluarga masih terus berproses bersama Tuhan dan Sekolah Athalia. Kiranya kisah kami dapat menjadi berkat bagi kemuliaan Tuhan. Amin.

Pemuridan di Masa Pandemi: Be With and Befriend

Oleh: Bella Kumalasari, staf Pengembangan Karakter Sekolah Athalia

”Salvation is free, but discipleship costs everything we have” – Billy Graham1

Kalimat pendeta Billy Graham sungguh keras, tetapi sejalan dengan firman Tuhan dalam 2 Timotius 4:2 yang berbunyi, “Beritakanlah firman, siap sedialah baik atau tidak baik waktunya….” Jujur, pesan-pesan semacam ini meneguhkan, sekaligus menggelisahkan kita yang melakukan pemuridan.

Pemuridan merupakan amanat agung dari Tuhan Yesus sendiri, yang Dia sampaikan sebelum naik ke surga. Bayangkan, jika seseorang memberikan pesan terakhir, tentu pesan itu bukanlah semacam “Jangan lupa matiin kompor, ya” atau “Ganti gorden ruang tamu”. Pesan terakhir tentu sangat penting: pemuridan adalah perintah. Artinya, ini merupakan sebuah keharusan bagi setiap orang percaya, bukan pilihan.

Namun, semudah itukah melakukannya? Mari kita mengingat aspek yang lain, yaitu bahwa pemuridan juga adalah sebuah privilege atau hak istimewa. Sejak penciptaan, kita dipercaya Allah menjadi kawan sekerja-Nya (Kejadian 1: 28). Apakah Allah membutuhkan bantuan kita? Tentu tidak. Oleh sebab itu, kita mengenalnya sebagai anugerah karena sesungguhnya siapakah kita sehingga dipercayakan hal sebesar itu?

Anugerah Allah tidak berhenti saat penciptaan. Anugerah terbesar dari Allah adalah Putra-Nya yang tunggal yang mengosongkan diri-Nya, berinkarnasi menjadi manusia, mengambil rupa seorang hamba, merendahkan diri-Nya, dan taat bahkan sampai mati di kayu salib (Filipi 2: 7–8). Ya, untuk Anda dan saya. Pelayanan yang kita lakukan diawali oleh pelayanan Tuhan Yesus kepada kita. Ketika kita pernah mencicipi anugerah-Nya, tentu kita ingin membawa orang lain untuk juga mencicipinya. Seperti kalimat D. T. Niles yang sangat terkenal, “Evangelism is just one beggar telling another beggar where to find bread2 atau jika diterjemahkan secara bebas dalam bahasa Indonesia: “Pemberitaan injil seperti seorang pengemis yang memberi tahu pengemis lainnya di mana mendapatkan roti”. Betul, Injil seharusnya benar-benar senikmat itu. Kasih karunia itu mengalir; kita bukan hanya menerimanya, melainkan juga membagikannya kepada orang lain. Kita tidak pernah diminta memberi kasih karunia lebih dari yang pernah kita terima.3

Baiklah, sekarang mari kita bahas secara praktis. Tidak disangkal bahwa masa pandemi ini begitu menguras kita, bak diterpa badai besar. Segala rencana dan acara seolah digagalkan. Tiba-tiba semuanya harus berhenti. Pertemuan tatap muka baik ibadah, persekutuan, kelompok kecil, semuanya harus dihentikan. Namun, tunggu, benarkah berhenti? Atau kita harus tetap maju dengan beradaptasi? Ya, kita tetap maju dengan beradaptasi, menyesuaikan diri dengan segala kondisi yang tidak pernah kita jumpai sebelumnya. Namun, harus diakui, adaptasi bukanlah hal yang mudah. Kehidupan bergereja di masa pandemi bukan sekadar memindahkan yang luring menjadi daring. Kebutuhan kita sebagai makhluk sosial untuk berinteraksi secara langsung rasanya sulit sekali digantikan dengan hal-hal yang serbavirtual. Namun, apa iya tidak mungkin? Saya pun awalnya berpikir demikian.

Komisi pemuda di gereja saya memiliki persekutuan per wilayah yang dinamakan “dobar”, alias “doa bareng”. Dahulu kami biasa berkumpul di salah satu rumah ataupun tempat makan atau tempat nongkrong. Namun, sejak pandemi, pertemuan kami dibatasi dengan layar dan koneksi internet. Kondisi ini membuat beberapa dobar merosot. Yang biasanya makan bersama, sekarang makan di rumah masing-masing. Yang biasanya bebas mengobrol dengan siapa saja, sekarang harus lebih tertib berbicara agar suara dapat terdengar dengan jelas. Belum lagi koneksi internet yang kurang stabil yang mengganggu komunikasi. Senda gurau serta percakapan ngalor ngidul dari yang penting hingga yang tidak penting sangat dirindukan.

Namun mengejutkan, dobar kami tetap berjalan baik dan bertumbuh secara kualitas maupun kuantitas. Rekan yang biasanya terbatas jam malam, habis waktu di jalan, sekarang bisa lebih leluasa karena tinggal “klik” sudah terhubung. Selama pandemi kita banyak di rumah saja, maka beberapa anggota yang tadinya jarang bisa bergabung, sekarang jadi bisa bergabung. Bahkan, kita tidak terbatas letak geografis, teman saya yang di Los Angeles pun ikut bersekutu dan malah menjadi fasilitator. Jadi, ternyata memungkinkan untuk melakukan pemuridan di tengah masa krisis seperti pandemi Covid-19 ini. Justru kita diajak untuk melihat hal yang esensial di dalam pemuridan yang selama ini kita kerjakan. Apakah haha-hihi-nya, makan barengnya saja, atau relasi dan persekutuannya di dalam Tuhan?

Sulit bukan berarti mustahil. Justru di saat seperti ini, ketika makin banyak orang yang membutuhkan pertolongan baik secara dukungan moral, ekonomi, spiritual, maupun kesehatan mental, kelompok persekutuan/pemuridan sangat dibutuhkan. Pandemi tidak hanya membawa dampak secara fisik, tetapi juga secara psikologis dan spiritual. Banyak orang mengalami gangguan kecemasan dan depresi.4 Semakin banyak orang yang mencari Tuhan dan membaca Alkitab untuk mendapatkan kekuatan, kedamaian, dan harapan.5 Di saat makin banyak orang yang tertekan dan mencari dukungan, janganlah kita lengah untuk hadir bagi mereka. Mungkin yang mereka butuhkan hanyalah kehadiran dan perhatian yang tulus, seperti kisah yang saya alami berikut ini.

Bagi sekolah, masa pandemi membawa tantangan bagi guru baik dalam menyiapkan materi pelajaran yang menarik, beradaptasi dengan teknologi, maupun berelasi dengan para siswa. Pun bagi siswa itu sendiri. Mereka yang biasanya begitu aktif dipaksa harus di rumah saja. Mungkin tidak terlalu masalah jika lingkungan rumah cukup kondusif dan mendukung kenyamanan dan keamanan anak. Namun, jika tidak, siapa lagi yang mereka harapkan di luar keluarga mereka? Apakah guru dan pembimbing sekolah minggu/remaja hanya bertugas memberikan informasi dan pengetahuan? Tentu tidak. Di sinilah peran guru sebagai gembala dibutuhkan.

Suatu hari di masa pembelajaran jarak jauh (PJJ), saya ikut masuk ke dalam salah satu kelas (virtual) di kelas 1 SD. Hari itu saatnya shepherding time. Seperti biasa, ibu guru menyapa muridnya di pagi hari. Seorang siswi tampak murung. Ibu guru bertanya apa yang terjadi kepadanya. Dengan malu-malu, anak itu menjawab, “Aku sedih, Bu.” Karena ada agenda dan materi yang harus disampaikan, ibu guru menunda untuk berbincang lebih lanjut dengannya. Di saat sesi sharing, anak ini ingin sekali berbicara, tetapi ibu guru masih harus menyelesaikan materinya dan mengobrol dengan siswa lainnya sehingga hanya berkata, “Nanti, ya, Nak, kita ngobrol.” Terlihat anak itu sedikit kecewa, tetapi tetap mengikuti pembelajaran dengan baik. Ada kalanya dia kembali meminta waktu untuk bercerita, tetapi ibu guru kembali bahwa dia boleh cerita setelah selesai kelas. Saya hanya bertanya-tanya di dalam hati sambil kasihan: ada apa dengan anak ini? Akhirnya, shepherding time selesai dan anak ini tetap tinggal di ruang virtual bersama ibu guru, beberapa asisten guru, juga saya.

“Kenapa kamu sedih?” tanya ibu guru.

“Aku sedih… Aku pengin sekolah…” katanya memelas.

Kami para pendidik mengeluarkan reaksi beragam. Di benak saya terpikir, ya ampun, karena pengin sekolah. Saya geli sekaligus iba. Namun, ibu guru segera merespons.

“Iya… Kamu berdoa, ya, supaya virus Corona cepat hilang.”

“Aku udah berdoa tiap hari, tapi virus Coronanya tetap ada,” jawabnya dengan polos.

“Iya.. virus Coronanya belum pergi, ya. Tapi kamu jangan sedih terus, ya. Harus semangat! Kan biasanya kamu selalu ceria dan semangat. Ya?” hibur ibu guru.

“Hm.. Iya, Bu. Aku mau semangat dan ceria!” jawabnya dengan segera. Nadanya langsung berubah. Dia menjadi antusias sambil memainkan origami kapal yang baru saja dibuatnya saat shepherding time. Topik pembicaraan pun beralih karena dengan gembira dia bercerita tentang sudah pernah membuat kapal origami sebelumnya.

Kejadian ini sederhana, tetapi membuat saya berefleksi. Kepolosan seorang anak membuat dia dengan mudah menceritakan kesedihannya dan dengan mudah pula dihiburkan. Yang dia butuhkan hanyalah hal sesederhana itu – kehadiran dan perhatian yang tulus.

Tidak hanya anak kecil, saya menjumpai hal yang sama pada beberapa remaja usia SMP yang baru saja mulai ber-KTB (Kelompok Tumbuh Bersama) dengan saya secara daring. Entah harus senang atau sedih ketika mendengar motivasi awal mereka ikut KTB karena kelihatannya seru, daripada gabut (gaji buta/tidak melakukan apa-apa), dan bisa punya teman ngobrol dan bermain. Namun, kembali saya menyadari bahwa yang mereka perlukan adalah kehadiran dan perhatian/persahabatan yang tulus. Begitu pula yang saya alami sendiri di dobar. Kehadiran dan perhatian tulus dari teman-teman sayalah yang menguatkan saya menghadapi masa pandemi ini. Saya dapat merasakan kasih Tuhan yang nyata melalui mereka.

Sering kali kita berpikir dengan rumit: apa yang harus kita lakukan dalam melakukan pemuridan di masa pandemi seperti ini: program, metode, teknologi, acara yang menarik, dan lain sebagainya. Alih-alih sukacita dan berpengharapan, kita justru digerakkan oleh kekhawatiran. Mari berhenti sejenak dan renungkan, sebenarnya apa esensi dari pelayanan ini? Seperti apa hati Tuhan bagi jiwa-jiwa yang kita layani?

Tuhan Yesus datang ke dunia memberikan diri-Nya sendiri. Dia memberikan kehadiran dan perhatian yang nyata kepada semua kaum. Demikian juga seharusnya kita. Meskipun pemuridan di masa pandemi bukanlah suatu hal yang mudah dan membutuhkan harga yang besar, ingatlah: kita tidak dapat memberikan apa yang tidak kita miliki, sebaliknya, kita hanya dapat memberikan apa yang sudah kita terima dari Tuhan. Be with and befriend! Bagikan kehadiran dan perhatian/persahabatan yang tulus kepada mereka yang kita muridkan, sebagaimana Allah telah hadir dan memperhatikan kita terlebih dahulu. [BEL]

DAFTAR PUSTAKA

  1. Billy Graham, “Billy Graham: What’s the Cost of Following Jesus Christ?,” Billy Graham Evangelistic Association, 2 Agustus 2017, https://billygraham.org/audio/billy-graham-whats-the-cost-of-following-jesus-christ/.
  2. Evangelism Coach, “Evangelism Quotes and Quotations,” Evangelism Coach, 20 April 2019, https://www.evangelismcoach.org/evangelism-quotes-and-quotations/.
  3. Kyle Idleman, Grace Is Greater, trans. Tim Literatur Perkantas Jatim (Grand Rapids: Baker Books, 2017), 66.
  4. Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia, “Masalah Psikologis di Era Pendemi Covid-19,” Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia, 14 Mei 2020, http://pdskji.org/home.
  5. Kate Shellnutt, “2020’s Most-Read Bible Verse: ‘Do Not Fear’,” Christianity Today, 3 Desember 2020, https://www.christianitytoday.com/news/2020/december/most-popular-verse-youversion-app-bible-gateway-fear-covid.html.

Bertumbuh di dalam Panggilan Sebagai Orang Tua

Tuhan memanggil tiap kita untuk melayani-Nya dengan berbagai cara. Ada yang dipanggil melayani di gereja sebagai Hamba Tuhan. Ada yang dipanggil melayani di dunia profesional, dan ada yang dipanggil untuk melayani keluarga di rumah. Setiap orang lahir di dunia dengan perannya masing-masing dan Tuhan sudah merancangkannya dengan indah bagi kita. 

Begitu juga dengan menjadi orang tua. Kita tidak pernah memilih untuk menjadi orang tua, melainkan Tuhanlah yang memanggil kita untuk menjadi orang tua. Sebagai orang percaya, kita mengimani bahwa rancangan Allah adalah yang paling baik. Kita memilih untuk mengikuti jalan Allah—yang tentu tak pernah mudah—dan menjadikan keimanan kita sebagai pelita untuk menerangi jalan kita. Begitu kita dipanggil untuk menjadi orang tua, Tuhan memastikan tidak akan membiarkan kita berproses sendirian dalam perjalanan panjang itu.

Lalu, apa misi Tuhan menitipkan seorang anak kepada kita? Apakah semata-mata hanya untuk mengasuh dan mendidik anak itu? Ternyata tidak hanya untuk itu. Ada rancangan yang lebih besar yang Tuhan mau kita lakukan, yaitu bertumbuh. 

Sebagai manusia, kita diminta untuk terus bertumbuh, berkembang, menjadi lebih baik dari waktu ke waktu. Anak menjadi salah satu prasarana bagi kita untuk menjadi versi yang lebih baik dari diri sendiri. Pernahkah Anda mengingat-ingat, siapakah Anda 10 tahun yang lalu dan saat ini? Apakah dulu Anda seorang yang impulsif dan pemarah? Ketika anak hadir dalam kehidupan, ada banyak hal yang membuat Anda tak bisa dengan mudahnya menumpahkan kekesalan. Ada banyak pertimbangan yang harus dipikirkan sebelum mengucapkan atau melakukan sesuatu. 

Anak membentuk kita menjadi orang yang lebih baik. Bersama anak, kita bertumbuh bersama mereka. Tidak hanya mereka yang belajar dari kita. Justru, kita “dididik” oleh anak dengan cara yang sudah Tuhan rancangkan!

Melalui anak, Tuhan mengajarkan kita untuk semakin mengenal karakter-karakter-Nya.

Kita diajar untuk taat dan berserah saat kehabisan kata-kata menghadapi tingkah anak yang menjengkelkan. Kita diajarkan untuk bersabar dan menggunakan kasih dalam mendidik anak. Kristus menjadi satu-satunya teladan kita dalam menjalani parenting. Kita “dipaksa” untuk bertumbuh di dalam Allah melalui kehadiran seorang anak.

Selamat bertumbuh dalam karakter melalui peran kita sebagai orang tua. Anak-anak bisa menjadi salah satu sarana Tuhan mendidik kita, tetapi di sisi lain juga merupakan bagian dari peran kita sebagai orang tua. Mari terus belajar, membiarkan Tuhan mendidik kita, sambil mendidik anak-anak kita. Semuanya demi kemuliaan Allah! [DLN]

Perjuangan Memenangi Hati Anak

Oleh: anonim, orang tua siswa

Sore itu, seperti biasa saya pulang kantor dengan menggunakan ojek. Beberapa rumah sudah saya lewati, rumah mertua saya sudah tampak. Di balik pagar rumah itu, berdiri manusia kecil kesayangan, yang antusias menunggu saya pulang.

Namun, seperti hari-hari lainnya, yang saya rasakan hanyalah ingin cepat-cepat sampai ke rumah yang berjarak hanya beberapa rumah dari rumah mertua. Saya ingin segera membereskan pekerjaan rumah, seperti mencuci, menyapu, dan lain-lain. Jadi, saya hanya melambaikan tangan kepada anak saya yang sudah menunggu di balik pagar rumah mertua, dan meneruskan perjalanan ke rumah saya sendiri.

Peristiwa itu membuat anak saya bersedih. Dia lari pulang ke rumah dengan terburu-buru, menyusul mamanya. Sampai di rumah, dia melihat mamanya mulai sibuk dengan urusan rumah dan mulai membentak-bentaknya tiap dia mulai mencari perhatian.

Saya tidak bisa menepis tingginya kebutuhan rumah tangga keluarga. Bersama suami, saya bekerja untuk menghidupi keluarga. Kebetulan, suami saya anak tunggal sehingga dia juga harus memenuhi kebutuhan ibunya. Hal itu membuat kami sering pulang kerja sampai malam sehingga putra kami satu-satunya dititipkan ke ibu mertua.

Peristiwa itu terus bergulir dari tahun ke tahun sejak anak saya berusia empat tahun sampai dia duduk di sekolah dasar.

Saya mulai merasakan kegelisahan yang besar ketika melihat anak mulai menunjukkan pemberontakan, suka memukul dan berkata kasar, serta mudah marah. Lebih mengkhawatirkannya lagi, saat dia duduk di kelas dua sekolah dasar, dia pernah berkata ingin pergi dari rumah dan ingin mati saja.

Dalam hal kehidupannya di sekolah, tak kalah membuat pusing kepala. Beberapa kali saya dan suami mendapatkan laporan dari guru bahwa anak ini berteriak, memukul teman, bahkan sampai menendang teman perempuannya. Karena peristiwa ini, anak kami harus didisiplin oleh sekolah.

Saya mulai memperhatikan anak ini…. Saya melihat perilakunya ini efek dari dimanja oleh neneknya. Dia sering dibela oleh neneknya walau melakukan hal yang salah. Akibatnya, dia menjadi besar kepala dan kurang ajar kepada orang tuanya.

Saya sering menghela napas kalau sudah membahas hal ini. Dulu, mertua saya tinggal di luar kota. Namun, sejak suaminya meninggal, dia memutuskan tinggal dekat dengan anak semata wayangnya. Karena hanya memiliki satu anak, mertua saya punya kecenderungan protektif dan selalu ingin ikut mengatur rumah tangga saya dan suami.

Masalah keluarga itu membuat saya bukannya menghadapinya, malah melarikan diri dengan menenggelamkan diri ke dalam pekerjaan. Dengan sengaja, saya menyibukkan diri agar anak lebih banyak menghabiskan waktu dengan omanya, agar mertua saya tidak mencampuri urusan rumah tangga saya.

Saya sadar bahwa langkah ini tidak benar. Saya mengorbankan anak demi bisa “lari” dari masalah rumah tangga. Saya pun mulai merasa putus asa…

Beberapa tahun kemudian, saya akhirnya memutuskan untuk pindah kerja ke Sekolah Athalia. Sistem kerja di Athalia berbeda dengan kantor lama. Di sini, pekerjaan saya lebih teratur dan jam kerjanya manusiawi. Saya bisa sampai rumah pada sore hari. Athalia memang mengutamakan hubungan antaranggota keluarga. Kami diajarkan untuk menjalin relasi yang baik dalam keluarga dan tidak mengorbankan mereka demi pekerjaan.

Di sini, saya juga belajar tentang cara mendidik anak yang baik. Saya juga belajar tentang tanggung jawab sebagai orang tua. Lewat komunitas ini, saya bertumbuh dalam iman dan punya kerinduan untuk menjadi orang tua yang lebih bertanggung jawab. Seorang rekan atasan menyadarkan saya bahwa Tuhan sudah memberikan saya dan suami tanggung jawab untuk mendidik dan membesarkan anak, bukannya dilempar kepada pihak lain.

Akhirnya, saya mulai membicarakan hal ini kepada suami. Kami sepakat untuk mulai mendidik anak sendiri, tanpa intervensi pihak lain. Saat itu, putra kami sudah kelas 4 SD.

Langkah awal yang kami lakukan adalah mengambil jarak dari orang tua. Kami memutuskan untuk mengontrak rumah tak jauh dari tempat kerja saya. Saat itulah saya menyadari bahwa mendidik anak adalah tugas yang sangat menantang. Bekerja sembari full mengurus anak memang tak mudah. Namun, saya mau terus belajar dengan kerendahan hati dan meminta pimpinan Tuhan. Ada kalanya saya kembali merasakan putus asa dan emosional saat melihat anak memberontak, memukul, bahkan menendang saya. Saya menyadari bahwa itu semua adalah buah dari kesalahan saya yang sudah mengabaikannya dan menorehkan luka di hatinya selama bertahun-tahun.

Semenjak punya waktu lebih banyak sepulang kerja, saya sering menemani anak, entah itu bermain bola, naik sepeda, berjalan-jalan di taman, makan es krim, dan lain sebagainya. Saya menikmati tiap waktu bersama dengannya. Dalam kesempatan itulah, saya mengatakan kepadanya bahwa saya mengasihinya, dia begitu berharga di mata saya. Saya pun meminta maaf kepadanya karena sempat mengabaikannya.

Perlahan, hati anak saya mulai tergerak. Perilakunya berubah. Dia menjadi lembut dan mudah dinasehati, serta tidak lagi suka memberontak. Saya melihat perlahan karakternya berubah. Dia jadi lebih peduli terhadap orang lain, punya belas kasihan, dan murah hati. Dia mulai menunjukkan kasih sayangnya terhadap orang tuanya.

Di saat relasi dalam keluarga kami membaik, kami tetap menjaga hubungan baik dengan mertua. Kami menyarankan anak untuk beberapa kali dalam seminggu menengok neneknya. Tak disangka, mertua pun perlahan berubah sikap. Beliau tidak lagi bersikap protektif. Dia akhirnya melepaskan saya dan suami untuk menentukan langkah terbaik bagi rumah tangga kami.

Mengizinkan Tuhan untuk hadir di tengah rumah tangga saya memberikan dampak yang sangat besar. Kalau bukan karena pertolongan Tuhan, entah apa jadinya hubungan saya dan suami dengan anak dan mertua.

Saat ini, anak saya sudah berada di kelas 9. Saya bersyukur tahun ini dia memutuskan untuk menyerahkan hatinya menerima Yesus sebagai Tuhan dan Juru Selamatnya untuk lalu dibaptis di gereja tempat kami bertumbuh.

Saat ini, setiap saya mengingat momen-momen ketika saya hampir kehilangan hati anak saya, saya tidak kuasa menahan air mata. Saya melihat Tuhan bekerja dalam dirinya, “membalikkan hatinya” untuk mau mengasihi orang tuanya dan Tuhan, sungguh suatu anugerah yang luar biasa.

Perjalanan saya dan suami masih panjang untuk mengantar dia ke jenjang kuliah. Saat ini, yang kami bisa kami lakukan adalah terus menabur firman Tuhan setiap hari melalui mezbah keluarga, berdoa, bergantian membaca firman Tuhan, dan menyembah Tuhan. Saya dan suami tidak pernah lupa untuk bertanggung jawab menjadi teladan dan berdoa terus untuk putra kami. Biarlah kehendak Tuhan sepenuhnya digenapi dalam hidupnya. Amin.

Bagiku tidak ada sukacita yang lebih besar dari pada mendengar, bahwa anak-anakku hidup dalam kebenaran.” (3 Yohanes 1: 4)