Sekilas tentang Met Camp Kelas VII SMP Athalia 2019

Oleh: Loura Palyama, guru Agama Kristen SMP

Metamorphosis Camp atau Met Camp adalah sebuah kegiatan karakter yang wajib diikuti oleh siswa-siswi kelas 7 SMP Athalia. Berbagai aktivitas yang dilakukan dalam Met Camp ini ditujukan untuk mengingatkan dan meneguhkan kembali karakter tanggung jawab pada diri siswa yang telah dikembangkan di SD dan memperkenalkan profil Caring and Sharing dalam proses pembentukan karakter di SMP Athalia.


Kegiatan Met Camp dimulai dengan permainan kelompok di luar ruangan. Games yang dipersiapkan bukan hanya berfokus pada aktivitas yang seru dan menyenangkan, tetapi juga memiliki makna yang dapat dipelajari oleh peserta camp di antaranya: inisiatif, tepat waktu, pengendalian diri, rajin dan kerja sama. Kesan yang sempat didengar dari peserta adalah adanya momen yang tak terlupakan yaitu ketika peserta camp diberikan sebuah aturan bahwa yang boleh diminum saat haus hanya air mineral sedangkan minuman yang disediakan di samping air mineral adalah es mambo. Ternyata, ada peserta camp yang cukup tergoda dengan es mambo nyaris tidak dapat mengendalikan diri di tengah kelelahan setelah beraktivitas dan udara panas di siang hari; sebuah contoh proses belajar mengendalikan diri.


Kegiatan Met Camp lainnya adalah role play. Pada kegiatan ini panitia telah mempersiapkan beberapa orang yang melibatkan guru, siswa kelas 9, maupun petugas cleaning service untuk memerankan berbagai keadaan yang mengajak siswa untuk peka terhadap hal-hal yang terjadi di sekitar mereka secara langsung. Kejadian rekaan telah direkam sebelumnya kemudian ditampilkan lalu didiskusikan secara bersama-sama dengan suasana yang ringan dan fun, agar peserta mudah memahami maksud dan tujuan dari sesi ini dan dapat mengambil sikap yang tepat. Caring and Sharing dimulai dari tanggung jawab terhadap diri sendiri yang dilanjutkan dengan tanggung jawab kepada sesama dan lingkungan.


Ada juga sesi tanggung jawab terhadap diri sendiri dan sesama. Dalam sesi ini, peserta diajarkan untuk berbelanja dan memasak sendiri makanan untuk makan malam mereka. Para peserta berdiskusi dalam kelompok untuk menentukan menu makanan mereka serta memilih beberapa orang untuk berbelanja kebutuhan untuk memasak.


Ada banyak hal yang mereka pelajari dari kegiatan ini, salah satunya mengenai jenis sayuran. Ada hal lucu ketika peserta camp pergi berbelanja. Ternyata banyak yang tidak tahu bentuk dari bumbu masak yang akan mereka beli, akibatnya mereka salah membeli bumbu yang diperlukan untuk memasak. Peserta camp diwajibkan memasak dan makan sayur. Mereka pun didorong untuk saling menolong satu dengan yang lain agar masakan mereka matang dan memiliki rasa yang enak. Mereka juga diajarkan untuk bertanggung jawab dengan dana yang diberikan.


Kegiatan lainnya adalah pembekalan sex education oleh Ibu Charlotte Priatna dan Bapak Martin Manurung. Kegiatan ini diadakan terkait dengan semakin bertumbuhnya mereka menjadi remaja. Beberapa konselor dari SD dan SMA serta beberapa staf PK3 pun terlibat sebagai fasilitator.


Di hari kedua, peserta camp belajar mengenai proses metamophosis yang tidak mudah dan membutuhkan usaha. Sudah saatnya mereka tidak hanya bertanggung jawab pada diri sendiri melainkan juga Caring and Sharing pada sesama.


Melalui Metamorphosis Camp banyak peserta yang mengaku menikmati dan belajar banyak dari kegiatan camp ini. Metamophosis Camp menjadi bermakna walaupun dibungkus dengan aktivitas yang ringan dan menyenangkan. Sungguh bersyukur untuk pelaksanaan camp yang berjalan dengan baik. Kiranya setelah Met Camp ini, siswa-siswi mau terus diproses dan belajar untuk lebih bertanggung jawab terhadap diri sendiri dan peka terhadap lingkungan serta orang lain.

Sosialisasi Proyek Pengembangan Karakter kepada Orang Tua KB-TK Sekolah Athalia

Oleh: Ni Putu Mustika Dewi, Staf PK3

Pengembangan karakter siswa seharusnya menjadi kepedulian bersama baik sekolah maupun orang tua. Mengingat pentingnya pendidikan karakter sedari dini, maka tiap semester genap guru KB & TK mengajak para orang tua untuk mengambil bagian dalam pengamatan proyek pengembangan karakter siswa & siswi di rumah. Hal ini dilakukan sebagai tindak lanjut program pengembangan karakter yang sudah dilakukan oleh KB-TK Athalia di semester ganjil 2018/2019. Pada semester genap ini, sosialisasi proyek pengembangan karakter KB & TK ini diadakan pada hari Sabtu, 26 Januari 2019. Kegiatan ini diawali dengan pemaparan dan peneguhan kembali akan pemahaman atas visi dan misi yang diemban oleh Sekolah Athalia, yang disampaikan oleh Bu Risna selaku Kepala TK.

Dengan landasan Joy (Sukacita) yang merupakan dampak dari kesadaran bahwa Tuhan yang menciptakan, mengasihi, dan menebus manusia, diharapkan hal ini pun dapat dirasakan oleh siswa-siswi selama proses pembelajaran KB-TK baik di sekolah maupun di rumah. Siswa KB-TK Athalia diharapkan menjadi siswa yang bersukacita atas keberadaan dirinya.

Secara khusus, siswa-siswi KB belajar untuk mulai mengenal karakter Penuh Perhatian, TK A belajar Taat, sedangkan TK B belajar menghidupi karakter Tahu Berterima Kasih. Selama 3 bulan, mulai bulan Februari dan berakhir pada bulan April orang tua akan mendidik dan mengamati anak-anak mereka dalam menghidupi karakter (sesuai jenjang usia) dengan indikator-indikator yang telah dipaparkan oleh Wali Kelas & partner pada sosialisasi ini.

Kiranya melalui proyek pengembangan karakter ini, guru maupun orang tua dapat bergandengan tangan dalam mendidik siswa & siswi sedari dini menjadi murid Tuhan yang mengalami dan merasakan sukacita dalam masa pertumbuhannya di KB-TK, dalam lingkungan Sekolah Athalia dan mengalami pertumbuhan karakter yang semakin serupa dengan Kristus.

Bentuklah aku ya Tuhan

Oleh:Reggy Sebastian Sapetu, guru Agama Kristen SMA

Ada orang yang mau membayar uang ratusan ribu bahkan jutaan rupiah untuk menjadi member di sebuah tempat fitness, dengan harapan bisa mendapatkan bentuk tubuh yang ideal, sesuai dengan keinginannya. Namun selain mengeluarkan biaya, tentu hal itu harus disertai dengan pola hidup yang sehat dan teratur, misalnya menyangkut konsumsi makanan dan waktu istirahat. Tentunya ini bukan hal yang mudah atau instant, melainkan membutuhkan sebuah proses. Semuanya akan tergantung pada komitmen dan kekonsistenan kita untuk melakukannya.

Sebuah proses pembentukan yang pasti terjadi dalam hidup kita adalah bagaimana Tuhan membentuk kita menjadi sesuai dengan yang Dia inginkan. Ini merupakan proses yang akan kita alami seumur hidup, sekaligus hal yang sangat penting dan mendasar lebih dari apa pun yang ada dalam hidup kita. Adalah percuma jikalau kita hanya peduli pada pembentukan yang bersifat jasmani (sementara), tetapi lupa atau tidak mempedulikan hal yang bersifat kekal, yaitu pembentukan Allah dalam hidup kita.

Berapa harga yang harus kita bayar untuk proses pembentukan hidup kita untuk menjadi sesuai dengan apa yang Tuhan inginkan? Kita dapat memohon kepada Tuhan “Bentuklah aku ya Tuhan,” dan Tuhan yang akan menolong kita. Yesus berkata dalam Matius 11:28-30, “Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu. Pikullah kuk yang Kupasang dan belajarlah pada-Ku, karena Aku lemah lembut dan rendah hati dan jiwamu akan mendapat ketenangan. Sebab kuk yang Kupasang itu enak dan beban-Ku pun ringan.” Dan kita dapat memberikan respons dengan ketaatan penuh kepada-Nya. Ada banyak tantangan dan rintangan yang akan kita temui dalam proses pembentukan Tuhan ini, akan tetapi kita akan selalu melihat penyertaan Tuhan di dalamnya. Di sinilah iman kita diuji untuk selalu bergantung pada-Nya.

Tuhan menguji setiap hamba-Nya untuk membentuk mereka menjadi seperti apa yang Dia kehendaki. Abraham mengalami pembentukan dari Tuhan untuk menjadi bapa bagi umat pilihan Tuhan dan juga bapa segala bangsa. Musa dibentuk Tuhan untuk memimpin bangsa Israel keluar dari perbudakan di Mesir dan masuk ke tanah perjanjian. Tuhan memilih dan membentuk kehidupan Daud untuk menjadi raja bagi bangsa Israel. Mereka bukanlah manusia yang sempurna, ketidaktaatan dan bahkan kejatuhan pernah mereka alami. Akan tetapi, Tuhan senantiasa menyatakan kasih dan anugerah-Nya kepada setiap hamba-Nya. Pada akhirnya, mereka dapat melalui proses pembentukan yang Tuhan kehendaki dalam kehidupan mereka.

Demikian juga dengan kehidupan para murid Kristus, sebut saja Paulus dan Petrus. Tuhan membentuk mereka menjadi pribadi yang akhirnya menjadi pilar bagi gereja dan penginjilan masa kini. Tuhan membentuk mereka dalam pelayanan yang dipercayakan kepada mereka. Kesulitan dan pergumulan hidup selalu menjadi bagian dalam kehidupan mereka sebagai seorang murid Kristus. Akan tetapi, mereka dapat menunjukkan hidup yang layak untuk menjadi teladan, yaitu hidup yang sepenuhnya taat dan bergantung pada Tuhan sampai akhir hidup mereka.

Kuncinya adalah ketaatan dalam iman kita kepada Tuhan, maka kita akan dapat masuk dalam proses pembentukan Tuhan dalam hidup kita. Tujuannya adalah kita mau menjadi seperti yang Tuhan kehendaki, yaitu hidup yang memuliakan dan menyenangkan hati Tuhan. Namun kita sadari bahwa, seringkali fokus kita teralihkan dengan hal-hal yang tidak esensi dalam proses pembentukan ini, karena menurut kita ini adalah hal yang sulit untuk dijalani. Terkadang kita pun bisa menyerah pada keadaan dan akhirnya menjalani hidup menurut jalan kita sendiri. Di titik inilah kita harus kembali mengingat akan kasih dan anugerah Tuhan dalam hidup kita.

Kita tidak akan bisa menjalani proses pembentukan Tuhan dengan kekuatan kita sendiri. Ketika kita merespons ajakan Tuhan untuk datang pada-Nya, hidup kita harus berpaut pada-Nya. Artinya, ikut saja apa kata Tuhan. Kita hanya bisa memaknai hal ini melalui membangun relasi pribadi dengan Tuhan, melalui kehidupan doa dan firman. Di situlah kita akan belajar dari Tuhan dan semakin mengerti apa isi hati Tuhan tentang kehidupan yang harus kita jalani untuk menjadi makin serupa dengan Kristus.

“Bentuklah aku ya Tuhan,” kiranya pernyataan ini menjadi doa dan komitmen kita. Tuhan mengizinkan kita berada dalam suatu komunitas agar kita bisa bertumbuh dan dibentuk di dalamnya. Dalam keluarga, Tuhan membentuk kita, baik sebagai orang tua, suami, istri, atau anak, untuk selalu melihat rencana Tuhan dalam keluarga kita masing-masing, bahkan melalui pergumulan yang dihadapi. Tuhan juga mau membentuk kita melalui relasi dan pelayanan kita dalam persekutuan dengan orang lain. Tuhan tidak pernah berhenti bekerja untuk membentuk kita menjadi makin serupa dengan Kristus. Tuhan selalu menunjukkan bahwa Dia mengasihi kita dan tidak akan pernah meninggalkan kita dalam setiap proses kehidupan yang kita lalui. Kiranya Tuhan menolong kita.

Natal TK A & B: Hatiku untuk Tuhan Yesus

Narasumber : Tim PK3

Dalam rangka menyambut Natal TK A & B – pada tanggal 17 November 2018, tim PK3 mengadakan panggung boneka yang berjudul “Hatiku Untuk Tuhan Yesus” – yang bercerita tentang seorang anak yang mau memberikan hadiah untuk Tuhan Yesus di hari kelahiran-Nya. Dia merasa bingung dan minder melihat teman-temannya bisa membelikan hadiah untuk Tuhan Yesus berupa barang-barang yang mahal atau barang-barang yang indah. Dia merasa minder karena dia tahu mamanya tidak punya uang untuk membeli kado yang indah seperti temannya. Namun, berkat kesabaran mamanya, dia justru mempersembahkan hatinya sebagai hadiah terbaik untuk Tuhan Yesus – yaitu hati yang taat dan setia dalam melayani Tuhan Yesus.

Melalui cerita ini, diharapkan anak-anak menjadi mengerti bahwa Tuhan Yesus yang lahir ke dunia ini – adalah hadiah terindah dalam hidup mereka.

Anak-anak sangat menikmati pertunjukan panggung boneka ini. Terlebih saat mereka membawa dan meletakkan kado-kado di bawah pohon natal sebagai hadiah untuk Tuhan Yesus.

Selamat Natal 2018, Tuhan memberkati. (LY)

Cinta Allah versus Cinta Manusia

Oleh: Bella Kumalasari, S.TP, staf PK3

Bulan Februari identik dengan bulan penuh cinta karena banyak orang di seluruh dunia merayakan hari Valentine di bulan ini dengan bunga, cokelat, permen, kado, dan kartu ucapan. Banyak versi cerita yang beredar di balik perayaan “Hari Kasih Sayang” ini. Kebanyakan di antaranya adalah cerita mengenai beberapa orang Santo yang masing-masing bernama sama yaitu Valentine/Valentinus, dan semuanya mati martir. Seorang diantaranya dikatakan mati martir ketika membela orang-orang yang dilarang menikah agar semakin banyak pemuda yang mengabdikan dirinya sehingga perang berlangsung dengan baik. Seorang yang lain dikatakan dieksekusi mati pada tanggal 14 Februari karena membantu orang Kristen melarikan diri dari penjara Romawi yang menyiksa pada tahun 270-an Masehi. Sedangkan seorang yang lain lagi, diceritakan jatuh cinta pada anak sipir penjara dan mengirimkan kartu valentine-nya kepada gadis tersebut. Masih banyak cerita yang berbeda yang dipercaya menjadi latar belakang hari Valentine. Dari berbagai versi sejarah yang dipaparkan, hari Valentine terus diperingati dan berkembang dan dirayakan oleh banyak orang. Namun perlu kita sadari bahwa perayaan “Hari Kasih Sayang” ini, hanyalah perayaan cinta manusia.

Manusia begitu terbatas dalam berbagai hal termasuk dalam mencintai. Dalam keberdosaan manusia, segala hal “baik” yang dilakukan manusia seperti kain kotor di hadapan Tuhan (Yes. 64: 6). Dalam mencintai pun, manusia sangat mungkin justru melukai orang yang dicintainya tersebut. Seorang suami sangat mungkin memukul isteri yang dicintainya ketika marah; seorang ayah mungkin memaki anaknya ketika anaknya itu berbuat salah. Banyak orang mengkhianati sahabatnya sendiri; bahkan ada orang tua yang dengan sadar mengabaikan atau menyakiti anaknya sendiri.

Di tengah rusaknya moral dunia ini, seorang teman saya pernah berkata, “Mengapa harus mengenal Allah jika tanpa mengenal Allah pun aku dapat menjadi seseorang yang baik dan mengasihi sesamaku? Bukankah itu cukup?” Kemudian seorang mentor saya pun berkata, “Bagaimana kamu dapat mengasihi tanpa mengenal kasih itu, yaitu Allah?” Penggalan percakapan ini menyadarkan kita bahwa tidak mungkin seseorang dapat mengasihi atau mencintai dengan benar tanpa mengenal kasih yang sejati itu, yaitu Allah sendiri.

Allah adalah kasih (1 Yoh. 4: 8). Ia telah menunjukkan kasih-Nya yang sempurna kepada kita dengan memberikan Anak-Nya yang tunggal; kasih yang memberi tanpa menyisakan sesuatu apapun untuk diri-Nya sendiri. Padahal siapakah kita? Kita adalah orang berdosa yang sama sekali tidak layak mendapatkan kasih-Nya. Namun tidak peduli seberapa pun besarnya dosa dan pemberontakan kita, Ia bahkan telah menunjukkan kasih-Nya ketika kita masih berdosa, masih lemah, dan masih seteru (Roma 5: 6,8,10). Ia lebih mengasihi kita daripada siapa pun bahkan orang tua kita sekalipun (Maz. 27: 10). Kasih Allah bagi kita adalah anugerah semata.

Sedemikian besarnya kasih Allah atas manusia. Layaklah pertanyaan ini menjadi refleksi bagi kita sekalian, “Ia, yang tidak menyayangkan Anak-Nya sendiri, tetapi yang menyerahkan-Nya bagi kita semua, bagaimanakah mungkin Ia tidak mengaruniakan segala sesuatu kepada kita bersama-sama dengan Dia?” (Roma 8: 32). Ayat-ayat selanjutnya dalam Roma 8 menegaskan bahwa tidak ada suatu hal pun yang dapat memisahkan kita dari kasih Kristus, baik itu penindasan, kesesakan, penganiayaan, kelaparan, ketelanjangan, bahaya, atau pedang, kuasa-kuasa, pemerintah-pemerintah, segala makhluk lain, bahkan maut. Apakah kita sudah mengalami serta memiliki keyakinan akan kasih Allah itu di dalam diri kita?

Lalu apa yang seharusnya kita lakukan sebagai orang-orang yang telah menerima kasih-Nya? Kasih Kristus membuat kita diperdamaikan dengan-Nya (Roma 5: 9-10). Allah menebus kita dari dosa karena Ia ingin berelasi dengan kita, maka sudah seharusnya kita berelasi semakin intim dengan-Nya. Selain itu, Rasul Yohanes mengajak kita untuk saling mengasihi, karena setiap orang yang mengasihi, lahir dari Allah dan mengenal Allah (1 Yoh. 4: 7). Allah telah terlebih dulu mengasihi kita, sudah selayaknya kita membagikan kasih Allah itu kepada orang lain. Berbahagialah kita yang telah mengalami kasih Allah itu karena semestinya kita mampu mengasihi orang lain seperti Allah mengasihi kita. Berelasi dengan Allah membuat kita dapat berelasi dengan orang lain dengan benar.

Pada akhirnya kita tahu sekarang bahwa kasih Allah tidak dapat dibandingkan dengan kasih manusia. Kasih Allah terlalu agung dan besar sedangkan kasih manusia terbatas dan sementara. Kasih Allah kekal adanya; Ia mengasihi kita dulu, sekarang, dan selamanya. Mari kita membagikan kasih Allah ini, baik di hari Valentine maupun di hari-hari yang lain dengan berdasar pada kasih Allah yang telah dan terus-menerus kita alami. Kasih Allahlah yang memampukan kita dapat tetap mengasihi meski tersakiti.

“ Kita mengasihi, karena Allah lebih dahulu mengasihi kita “
1 Yohanes 4: 19

Sumber:
https://www.history.com/topics/valentines-day/history-of-valentines-day-2
http://jabar.tribunnews.com/2018/02/14/14-februari-dianggap-hari-kasih-sayang-ternyata-sejarah-valentine-sadis-dan-jauh-dari-kata-romantis?page=3
Candawasa, Yohan. 2005. Mendapatkan-Mu dalam Kehilanganku. Bandung: Pionir Jaya.
Alkitab.
121 dika-lamanya” (ay. 7-8).

Listening with Your Heart: Salah Sambung or Susah Sinyal?

Narasumber: charlotte priatna, M.Pd.

Listening With Your Heart – Salah Sambung or Susah Sinyal? Adalah tema pada seminar yang diadakan pada hari Sabtu, 24 November 2018 yang lalu. Peserta seminar kali ini adalah orang tua dan anak-anak remaja usia SMP. Seminar bagi orang tua dipandu oleh Ibu Charlotte, sedangkan seminar bagi remaja dipandu oleh Bapak Boris Manurung dan Ibu Meilita Kitting Manurung.


Komunikasi orang tua dan anak akan menjadi “salah sambung” atau “susah sinyal” ketika anak-anak mulai tumbuh menginjak fase remaja. Pada fase ini, kenapa anak-anak sudah tidak mau mendengarkan kita lagi sebagai orang tua? Hal ini dikarenakan mereka sudah tidak respect lagi. Mengapa mereka menjadi tidak respect? Hakekatnya, hal tersebut bisa terjadi disebabkan dari segala apa yang telah kita perbuat kepada mereka. Nah, pada seminar ini, kita belajar bersama bagaimana membuat komunikasi antara orang tua dan anak yang “salah sambung” or “susah sinyal”, bisa “nyambung” kembali. Komunikasi bisa kembali terjalin hangat dan berkualitas.


Hal pertama adalah “Listen – Silent”, suatu padanan kata yang unik, yang mengisyaratkan bahwa proses mendengar haruslah dalam situasi yang hening atau tenang. Dalam situasi yang tenang, kita akan lebih mudah untuk fokus memperhatikan orang yang sedang kita dengarkan.

“Hai saudara-saudara yang kukasihi, ingatlah hal ini: setiap orang hendaklah cepat untuk mendengar, tetapi lambat untuk berkata-kata, dan juga lambat untuk marah“
(Yakobus 1:19)

Sebagai manusia kita diberikan dua telinga, dua mata, dan satu lidah oleh Tuhan. Kita diingatkan agar senantiasa lebih banyak mendengar, lebih banyak melihat, dan sedikit bicara.

Dalam proses mendengar, semestinya apa pun yang kita dengar dapat mengendap dulu, sehingga kita menjadi lambat untuk berkata-kata dan lambat untuk menjadi marah.

Kata “mendengar” dalam bahasa Cina, mengandung beberapa unsur karakter atau kata yang terdiri dari “telinga”, “raja”, “sepuluh”, “mata”, “satu”, dan “hati”. Rangkaian kata-kata ini menjadi petuah bagi kita bahwa setiap kali kita mendengar dengan telinga, perlakukan orang yang kita dengar itu seperti Raja yang sedang berbicara kepada kita, dan apabila kita memiliki sepuluh mata, gunakan semuanya, fokuslah pada satu titik saja dan libatkan hati kita selama proses mendengar berlangsung.

Mendengar adalah suatu seni yang aktif, mendengar dengan seksama kemudian menjawab. Hentikan segala aktivitas ketika anak kita menunjukkan keinginan akan bicara. Ketika dalam situasi terpaksa kita belum bisa meninggalkan aktivitas kita, katakan bahwa setelah menyelesaikan pekerjaan, kita akan mendengarkannya. Dan saat kita berbicara atau bertanya, kita perlu mempersiapkan pertanyaan-pertanyaan yang kreatif untuk diajukan kepada anak-anak kita (bukan mempertanyakannya). Bukan dalam suasana bising tapi dalam keheninganlah kita akan dapat mendengarkan suara anak-anak kita. Bahkan dalam keheningan pulalah kita akan dapat mendengarkan suara Tuhan melalui Roh Kudus yang siap mendukung kita saat hal yang terburuk mungkin akan disampaikan oleh anak-anak kita. Dengan mendengar secara baik dan benar, kita akan semakin bisa mengenal anak-anak kita lebih dalam. Ketika kita mau mendengar dengan sepenuh hati, kita pun bisa belajar hal-hal yang baru dari anak-anak kita.


Saat kita mendengarkan anak-anak berbicara menyampaikan isi hati mereka, pastikan kita tetap fokus, tidak menyela, dan memberikan judgement ataupun kritikan terlebih dulu sebelum proses mendengar selesai.

“Jikalau seseorang memberi jawab sebelum mendengar, itulah kebodohan dan kecelaannya” (Amsal 18:13)

Selama proses mendengar, biarkan anak-anak kita berbicara, tunjukkan kerendahan hati kita.


Kerendahan hati untuk menerima apapun hal terburuk yang akan mereka sampaikan. Kita sebagai orang tua harus berani terbuka dan jujur dalam berkomunikasi dengan anak-anak kita sejak anak-anak kita mulai tumbuh dewasa. Hal ini dibutuhkan untuk menjaga dan mempertahankan relasi yang baik. Jangan terlalu memaksakan anak-anak kita selalu “harus” mendengarkan apa yang kita katakan.

“Karena itu sempurnakanlah suka citaku
dengan ini: hendaklah kamu sehati sepikir,
dalam satu kasih, satu jiwa, satu tujuan,
dengan tidak mencari kepentingan sendiri atau puji-pujian yang sia-sia. Sebaliknya hendaklah dengan rendah hati yang seorang menganggap yang lain lebih utama dari pada dirinya sendiri”
(Filipi 2:3-5)

Jangan egois, namun kita perlu lebih rendah hati mau mendengarkan dan memperhatikan perasaan mereka, karena anak-anak kita bisa menjadi lebih baik dari kita. Kelak, anak-anak kita tidak akan mengingat kata-kata kita, melainkan mereka akan mengingat kesan apa yang telah dia rasakan, apa yang dia alami. Terlebih penting lagi, maafkan kesalahan anak-anak kita, sekalipun mereka tidak meminta maaf. Jangan diungkit-ungkit lagi kesalahan mereka, karena sebenarnya mereka itu lemah dan tak berdaya.

Dengan menjadikan komunikasi berlangsung hangat, kita akan menciptakan suatu relasi yang dekat antara orang tua dan anak. Relasi yang kuat, akan menumbuhkan komunikasi yang sehat. Jadi, inti dari mendengar adalah mendengarkan dengan hati. (LY)

Tuhan Yesus memberkati.

ATHALIA ASRI (AMAN-SEHAT-RINDANG-INDAH)

Narasumber Mattias Malanthon

Program Adiwiyata merupakan program Nasional dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang bertujuan mewujudkan sekolah yang peduli dan berbudaya lingkungan.
Dalam rangka menuju predikat sekolah Adiwiyata tingkat Nasional, maka dibentuklah tim Athalia ASRI (Aman, Sehat, Rindang, Indah) di Sekolah Athalia.

Lingkungan sekolah seolah menjadi rumah “kedua” bagi setiap guru, siswa, staf, dan karyawan di komunitas Athalia. Hampir separuh waktu kita berada di lingkungan sekolah. Padatnya aktivitas yang dilakukan di lingkungan sekolah perlu ditunjang oleh lingkungan sekolah yang aman, sehat, rindang, dan indah. Hal ini tentunya akan berdampak pada peningkatan kualitas proses belajar mengajar yang nyaman dan sehat.

Kegiatan Athalia ASRI saat ini lebih berfokus pada penghijauan lingkungan sekolah di lahan-lahan yang masih kosong. Lingkungan sekolah yang rindang dan hijau, membuat kita semua dapat menghirup udara yang segar dan bersih setiap hari, membuat jiwa dan raga kita semakin sehat.Tanaman yang akan ditanam pun diusahakan memiliki nilai ekonomis, seperti tanaman buah-buahan dan tanaman hias. Tanaman-tanaman ini bisa dijual dalam kemasan polybag. Selain itu, secara bertahap akan dikembangkan pula budidaya tanaman bonsai, budidaya jamur, dan program membuat pupuk organik dari sampah-sampah daun.

Saat ini, di setiap sudut ruangan, kita bisa melihat tempat sampah-tempat sampah yang sudah ditempel stiker sesuai dengan sampah yang harus dibuang. Ada sampah organik, sampah non organik, sampah kertas, sampah kaca, dan sampah residu. Athalia ASRI mengajak seluruh komunitas Sekolah Athalia berlatih membiasakan diri membuang sampah dengan memilahnya. Tidak ada sanksi dalam hal ini, hanya diharapkan kita semua saling mengingatkan dan menegur apabila ada rekan atau teman kita yang salah memasukkan sampah ke tempat sampah yang bukan seharusnya.

Kenapa harus dipilah-pilah? Ya, karena dengan dipilah-pilah kita turut membantu tim kebersihan dalam proses mendaur ulang sampah. Perlu kita ketahui juga bahwa sampah kertas memiliki nilai jual yang lebih tinggi dari sampah-sampah lainnya. Memang tidak mudah membangun karakter membuang sampah dengan memilah, dibutuhkan niat dan semangat yang lahir dari kesadaran masing-masing pribadi akan kepedulian terhadap lingkungan yang ASRI (Aman, Sehat, Rindang, Indah). Tim Athalia ASRI bekerja sama dengan seluruh guru di setiap unit, OSIS dan BB untuk turut serta mengkampanyekan gerakan membuang sampah dengan memilah.

Apabila kebiasaan ini (membuang sampah dengan memilah) sudah bertumbuh, Sekolah Athalia akan siap mendaftarkan diri menjadi Bank Sampah.


Tanggal 6 Desember 2018 yang lalu, unit TK, mengadakan kegiatan memungut sampah daun. Sedangkan unit SD dan SMP Athalia mengadakan kegiatan menanam pohon. Masing-masing siswa SD dan SMP Athalia membawa bibit tanaman yang berbeda-beda untuk ditanam di lahan-lahan yang masih kosong.


Untuk unit Sekolah Pinus, siswa-siswi Pinus diajarkan cara menyemai bibit tanaman. Tim Athalia ASRI juga berharap agar karakter dan kebiasaan yang baik ini bisa diajarkan dan ditularkan ke dalam setiap keluarga masing-masing atau lingkungan sekitar kita. Mari bersama kita wujudkan Sekolah Athalia yang ASRI! (LY)

Tuhan Yesus Memberkati.

ATHALIA SAHABAT ANAK (ASA) PEDULI PALU

Pada tanggal 9 November 2018, bantuan Athalia Sahabat Anak (ASA) Peduli Palu disalurkan melalui Yayasan Gracia, senilai Rp. 51.268.234,- (Lima puluh satu juta dua ratus enam puluh delapan ribu dua ratus tiga puluh empat rupiah).

Yayasan Gracia didirikan oleh Pdt Yung Tik Yuk pada tahun 2016, berbarengan dengan peristiwa gempa Jogja. Misi Yayasan Gracia adalah membantu orang-orang miskin papa dan membantu korban bencana alam.

Sekolah Athalia peduli atas musibah gempa bumi yang dialami saudara kita di Palu. Melalui Yayasan Gracia, dana bantuan ASA diwujudkan dalam bentuk peralatan memasak. Hal ini dikarenakan di kota Palu banyak sekali bantuan berupa makanan, sedangkan jumlah peralatan untuk memasak sangat sedikit dikarenakan banyak alat masak yang hilang. Selain di kota Palu, dana bantuan ASA juga diwujudkan untuk membangun rumah semi permanen di desa Tangkulowi. Tuhan Yesus memberkati. (LY)

Athalia Sabahat Anak peduli Palu
Athalia Sabahat Anak peduli Palu

Memandang hanya kepada Allah (Mazmur 121)

Oleh: Daniel Santoso Ma, M.Th.

Mazmur 121 dikenal bukan hanya sebagai sebuah nyanyian iman, namun juga sebuah refleksi perjalanan hidup bersama dengan Tuhan. Peristiwa hidup dalam Mazmur 121 dapat menjadi gambaran yang nyata tentang apa yang kita alami pada masa kini. Peziarah Israel dengan jelas melukiskan setiap pergumulan hidup dengan fenomena yang berbeda dengan fenomena masa kini, namun memiliki kesamaan esensi.


Bagi kaum Israel yang tinggal jauh dari Yerusalem, kegiatan ziarah ke Yerusalem tempat dimana bait Allah berada, memiliki tantangan tersendiri. Di satu sisi, perjalanan panjang ini membawa semangat sukacita karena ada kesempatan untuk beribadah kepada Allah, namun di sisi lain perasaan was-was muncul tatkala mengetahui bahaya besar menghadang. Namun, semua tantangan tersebut tidak mengecilkan semangat dan iman mereka untuk menghadap Allah. Mereka percaya bahwa Allah merupakan sumber keselamatan dan pertolongan kala suka maupun duka. Pengenalan yang benar terhadap Allah membawa para peziarah Israel memiliki keyakinan yang kokoh bahwa Allah adalah penjaga Israel yang sejati.


Seruan para peziarah dalam ayat 1 –“Aku melayangkan mataku ke gunung-gunung; dari manakah akan datang pertolonganku?”– mengandung sebuah kecemasan, ketakutan, bahkan kekuatiran tentang kondisi buruk yang mungkin akan mereka hadapi. Bahaya orang jahat dan kondisi alam yang tidak bersahabat menjadi perhatian utama dalam Mazmur 121. Kita akan melihat dua tantangan besar yang dihadapi oleh para peziarah, sekaligus dua identitas Allah yang mereka percaya, dapat mengatasi tantangan-tantangan tersebut.


Kendala pertama berhubungan dengan adanya para penjahat dan perampok sepanjang perjalanan. Perjalanan ziarah ini dilakukan minimal tiga kali dalam setahun oleh para peziarah. Mereka sangat mengenal kondisi perjalanan yang dilalui, melewati lembah, gunung, dan padang pasir. Biasanya para penjahat bersembunyi dalam lembah maupun lereng gunung dan bersiap untuk merampok para peziarah. Para perampok ini dikenal sebagai penjahat yang kejam dan tidak segan untuk mengambil nyawa para peziarah (gambaran penjahat dapat juga dilihat dari kisah Orang Samaria yang murah hati).


Meskipun, perjalanan ziarah ini menyeramkan dan kekuatan para peziarah terbatas, mereka berpegang pada identitas Allah sebagai sang Penolong. Identitas pertama yang dikenalkan para peziarah adalah Allah yang menyelamatkan. Ungkapan “di sebelah tangan kananmu” (ay. 5) merupakan sebuah ekspresi yang kuat tentang kekuasaan dan kekuatan Allah dalam menjaga para peziarah Israel. Dalam hal ini, Allah digambarkan sebagai sebuah perisai dan perlindungan.


Kendala kedua berhubungan dengan kondisi alam. Ayat 6 ini menarik karena mengatakan “Matahari tidak menyakiti engkau pada waktu siang, atau bulan pada waktu malam.” Bagaimana matahari dan bulan dapat menyakiti para peziarah? Ketika mempelajari kondisi geografis padang pasir, kita akan menemukan perbedaan cuaca yang ekstrim pada waktu siang dan malam. Para peziarah menceritakan suasana panas pada waktu siang sebagai gambaran matahari yang menyakiti. Panas yang menyengat kulit dan haus yang berkepanjangan membuat kondisi tubuh menjadi lelah dan lemah. Sedangkan, suasana dingin membeku sebagai gambaran bulan pada waktu malam membuat para peziarah tidak dapat beristiharat dengan nyenyak, bahkan mereka berjuang dari hewan buas.


Namun, para peziarah percaya pada identitas Tuhan yang menjadikan langit dan bumi (ay.2). Sebutan ini merupakan identitas Allah yang melekat sejak zaman purba. Pernyataan iman tentang Allah sang Pencipta menjadi jawaban iman atas kegentaran para peziarah menghadapi kondisi alam yang tidak bersahabat. Mereka percaya bahwa Allah tidak pernah meninggalkan para peziarah pada waktu apapun karena Allah selalu berjaga-jaga (ay. 3-4).


Sama seperti peziarah Israel, kita sekalian juga peziarah dalam dunia ini sambil menyongsong kedatangan Tuhan Yesus kedua kali. Perjalanan iman kita juga mengalami pasang surut seperti lautan luas. Kita tidak tahu secara pasti apa yang akan dialami sepanjang tahun 2019. Mungkin, ada suka maupun duka, ada keluarga dan teman yang datang maupun pergi, ada berkat maupun kemalangan; namun, di atas segala sesuatu yang terjadi, kita harus memiliki keyakinan bahwa Tuhan Yesus selalu menjaga.


Pada akhirnya, Mazmur 121 menjadi pernyataan iman sekaligus mengarahkan seluruh fokus dan perhatian kita sepanjang tahun 2019 dengan berkata, “TUHAN akan menjaga engkau terhadap segala kecelakaan; Ia akan menjaga nyawamu. TUHAN akan menjaga keluar masukmu, dari sekarang sampai selama-lamanya” (ay. 7-8).

Allah yang Merendahkan Diri Menjadi Manusia

Oleh: Ruth Irene Chateline Chandra

“…betapa lebarnya dan panjangnya dan tingginya dan dalamnya kasih Kristus, … melampaui segala pengetahuan…”
Efesus 3:18-19

Natal selalu mengingatkan kita akan kasih Allah bagi manusia. Ketika Allah mengutus Yesus Kristus datang ke dunia, Ia tidak lahir di istana raja walaupun ia adalah raja di atas segala raja. Tidak ada penyambutan bagi kelahirannya selayaknya seorang anak raja, hanya beberapa binatang dalam sebuah kandang, gembala-gembala, dan orang Majus dari Timur saja yang menjadi saksi awal peristiwa kelahiran Kristus. Herodes terkejut ketika mengetahui berita ini dari orang Majus yang bertanya-tanya “Di manakah Dia, Raja orang Yahudi yang baru dilahirkan itu?” Ia menyelidiki bukan untuk ikut menyambut, namun merencanakan melenyapkan bayi tersebut. Reaksi yang dipicu dari rasa tidak aman karena kedudukan (tahtanya) terancam.

Tidak ada seorang pun yang mau mengalami penolakan demi penolakan, sekali pun dia mengatakan “Saya sudah terbiasa dengan penolakan.” Di dalam hatinya, manusia selalu ingin diterima keberadaannya. Kristus adalah Anak Allah yang Maha Tinggi (Luk 1:32), Ia adalah Allah itu sendiri yang penuh kuasa, yang mulia, dan tak terbatas namun rela menanggalkan segala kenyamanan. Ia tidak menganggap kesetaraan dengan Allah sebagai milik yang harus dipertahankan. Ia bahkan mengosongkan diri-Nya sendiri, membatasi diri dalam wujud manusia, menerima penolakan demi penolakan dari sejak lahir sampai mati-Nya. Ia menjalani semua itu hanya untuk satu misi: menebus dan menyelamatkan manusia dari dosa dengan cara yang paling hina: mati di kayu salib, di antara para penjahat yang terjahat dengan mengalami terlebih dahulu serentetan cemoohan, fitnah, caci maki, diludahi bahkan pengkhianatan dari murid-Nya. Layakkah Ia menerima semua itu? Sang Pencipta yang telah merendahkan diri-Nya namun direndahkan oleh ciptaan-Nya. Ia yang tidak berdosa, diperlakukan sebagai pendosa berat. Namun Yesus dalam ketaatan kepada Bapa dan demi kasih-Nya kepada manusia, rela mati di kayu salib.

Merenungkan hal ini, saya tidak akan pernah habis pikir dan hanya bisa setuju dengan Paulus yang mengatakan “Betapa lebarnya dan panjangnya dan tingginya dan dalamnya kasih Kristus.” Kasih yang melampaui segala pengetahuan, melampaui segala kemampuan berpikir manusia, kasih yang begitu mulia. Tanpa Allah yang mau merendahkan diri untuk menyelamatkan kita manusia yang berdosa, maka hanya ada murka Allah yang menimpa kita. Patutkah Ia melakukannya? Jika saja ada konsultan raja, pasti akan menegur dan menasehati Anak Raja yang melakukan tindakan merendahkan diri, karena tidak patut bagi keluarga raja berperilaku demikian. Tidak ada alasan bagi Allah untuk merendahkan diri seperti itu, kecuali satu: kasih-Nya. Kita telah menerima anugerah mulia, kasih tak terbandingkan, penerimaan tak terbatas dari Allah yang luar biasa ini. Patutkah setelah semua yang Allah berikan tanpa syarat itu, kita menempatkan diri lebih tinggi dari sesama kita untuk alasan apa pun? Kiranya kita bukan saja bersyukur atas tindakan Allah merendahkan diri menjadi manusia demi menganugerahkan keselamatan tersebut, namun kita juga perlu menghidupi keselamatan yang telah dianugerahkan-Nya itu dengan mau rendah hati menerima satu dengan yang lainnya dan menyalurkan anugerah Allah tersebut kepada sesama kita, tidak peduli siapa dan bagaimana pun dia.

The Christmas message is that there is hope for a ruined humanity–hope of pardon, hope of peace with God, hope of glory–because at the Father’s will Jesus became poor, and was born in a stable so that thirty years later He might hang on a cross. – J.I Packer

Christmas is based on an exchange of gifts, the gift of God to man – His unspeakable gift of His Son, and the gift of man to God – when we present our bodies a living sacrifice. – Vance Havner