Belas Kasihan

Oleh: Bapak Presno Saragih, Kabid. Pendidikan
belas kasihan

 

Dalam Markus 6:30 kita membaca bahwa para murid melaporkan apa yang sudah mereka kerjakan dan ajarkan kepada orang-orang yang mereka jumpai. Pasti terjadi diskusi yang menarik antara mereka dengan Tuhan Yesus. Mungkin ada pujian, koreksi, dan lain-lain yang diberikan Tuhan Yesus kepada murid-murid-Nya. Pendek kata ada evaluasi yang Tuhan Yesus sampaikan kepada mereka. Lalu pada ayat 31 kita membaca adanya ajakan Tuhan Yesus kepada mereka untuk pergi ke tempat yang sunyi untuk beristirahat di sana karena mereka baru saja melakukan pelayanan yang sangat melelahkan. Namun ketika Tuhan Yesus melihat orang banyak yang mencari-cari (membutuhkan) Dia, niat-Nya untuk beristirahat diurungkan-Nya (Markus 6:33,34). Ayat 34 mencatat bahwa hati-Nya tergerak oleh “belas kasihan” kepada mereka.

Belas kasihan adalah perasaan kasih yang ditunjukkan lewat perbuatan nyata. Markus 6:34b mencatat bahwa Ia mengajarkan banyak hal kepada mereka. Mereka membutuhkan pengajaran Tuhan Yesus karena mereka seperti domba yang tidak mempunyai gembala (Markus 6:34a). Perasaan belas kasihan-Nya tidak berhenti pada perasaan simpati dan atau empati saja tapi dilanjutkan dengan perbuatan memberi pengajaran kepada orang banyak yang terlantar tersebut. Bahkan ketika hari mulai malam Tuhan Yesus meminta murid-murid-Nya untuk memberi makanan kepada orang banyak yang baru menerima pengajaran-Nya. Orang banyak membutuhkan makanan jasmani setelah mereka menerima makanan rohani dari Tuhan Yesus. Perasaan belas kasihan-nya kembali mewujud nyata dalam bentuk perbuatan yaitu memberi orang banyak makanan yang mereka butuhkan.

Ada banyak hal yang sangat menarik berkaitan dengan mujizat 5 ketul roti dan 2 ekor ikan. Ketika diberitahukan kepada Tuhan Yesus bahwa “modal” makanan yang mereka miliki hanyalah 5 ketul roti dan 2 ekor ikan, Tuhan Yesus tidak berkomentar negatif melihat perbandingan yang sangat tidak seimbang antara jumlah makanan dan jumlah orang yang butuh makanan. Yang membutuhkan makanan ada lebih dari 5.000 orang (Markus 6:44). Alkitab mencatat ada 5.000 orang laki-laki yang mendengarkan khotbah Tuhan Yesus pada waktu itu. Jumlah perempuan dan anak-anak yang hadir tidak ditulis. Mungkin ada 5.000 perempuan dan 5.000 anak-anak yang juga hadir menerima pengajaran Tuhan Yesus. Berarti totalnya ada +/- 15.000 orang yang membutuhkan makanan. Lalu Tuhan Yesus mengucap syukur dan membagi-bagikan roti dan ikan itu kepada mereka (Yohanes 6:11). Dan terjadilah mujizat. Roti dan ikan itu tidak kunjung habis. Semua orang mendapat makanan dan makan sampai kenyang (Markus 6:42). Bahkan masih tersisa 12 bakul penuh (Markus 6:43). Belas kasihan Tuhan Yesus yang disertai ucapan syukur menghasilkan mujizat yang mencukupi kebutuhan jasmani dan rohani 15.000 orang.

Bagaimana dengan perasaan belas kasihan yang kita miliki? Apakah perasaan tersebut mewujud nyata dalam bentuk perbuatan? Atau hanya berhenti pada perasaan simpati dan atau empati saja? Hanya berputar-putar pada poros perasaan kasihan semata. Kita cuma berkata, ”Kasihan ya bapak itu?” Namun tidak ada perbuatan nyata yang kita lakukan. Bahkan mungkin kemudian menggosipkan orang yang kita kasihani itu panjang lebar dengan teman kita. Ironis, bukan?!

Mengapa banyak orang hanya memiliki perasaan simpati dan atau empati saja tanpa disertai perbuatan nyata? Mungkin karena mereka sendiri belum pernah mengalami kasih ilahi dalam kehidupan mereka yaitu kasih Allah yang membawa-Nya naik ke bukit Golgota. Sehingga mereka tidak dapat membagikan kasih ilahi kepada orang lain karena kantong kasih mereka kosong melompong. Alkitab berkata bahwa Allah menunjukkan kasih-Nya kepada kita melalui kematian Tuhan Yesus di atas kayu salib ketika manusia (kita) masih berdosa (Roma 5:8). Dengan menerima Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat kita secara pribadi, kita menerima kasih ilahi yang menyucikan kita dari segala dosa dan pelanggaran kita. Dengan modal kasih Allah tersebut kita dimampukan untuk mewujudnyatakan kasih kita kepada orang lain melalui perbuatan kita.

Ada banyak orang di sekitar kita membutuhkan injil Kristus. Ada banyak orang di sekitar kita membutuhkan uang kita, tenaga kita, telinga kita, waktu kita, nasehat kita, dan lain-lain. Maukah kita berbelas kasihan kepada mereka dengan memberitakan injil Kristus? Maukah kita berbelas kasihan kepada mereka dengan memberikan uang kita, tenaga kita, telinga kita, waktu kita, nasehat kita? Mari kita menjawabnya di hadapan Tuhan secara pribadi…

Siapa yang Membunuh Laut Mati?

Ada yang menyebar harta, tetapi bertambah kaya, ada yang menghemat secara luar biasa, namun selalu berkekurangan (Amsal 11:24)

Laut Mati itu mati karena “kekikirannya”. Tahun berganti tahun, laut itu senantiasa menerima aliran air dari Sungai Yordan dan beberapa pegunungan di sekitarnya tetapi tak pernah mengalirkan air keluar. Volume air di laut Mati berkurang karena proses penguapan bukan dengan mengalirkannya ke luar-ke sungai-sungai  atau laut lainnya. Akibatnya, laut Mati menjadi sangat asin karena air yang mengalami proses penguapan meninggalkan zat-zat mineralnya. Laut Mati memiliki kandungan 33,7% garam (8,6 kali lebih banyak dari kandungan garam di laut biasa). Derajat keasinan yang sangat tinggi ini menyebabkan laut Mati tidak dapat berfungsi sebagai laut yang merupakan tempat hidup ikan-ikan dan hewan laut lainnya. Ikan-ikan dan hewan laut lainnya tidak dapat hidup di dalam laut Mati karena terlalu asin.

Ada yang masuk, tetapi tidak pernah dialirkan keluar. Ini sama dengan orang yang selalu menerima makanan rohani dan berkat dari Tuhan tetapi tak pernah mau membagikannya kepada orang lain. Pada akhirnya, kehidupan rohaninya akan mati.

Seorang siswa menemui seorang dosennya dan mengeluh bahwa ia tidak mencapai kemajuan dalam pelajarannya. Lalu, ia bertanya apakah ia memang memerlukan seorang guru privat.

“Seorang guru privat?” kata profesor yang bijak itu. “Yang kamu butuhkan adalah seorang murid!”

Seorang pria berkata kepada saya, “Saya tidak belajar banyak dari Alkitab sampai saya mulai mengajar Sekolah Minggu. Sejak itu saya mulai membagikan Firman, dan bukan hanya menerima.” Cara yang paling baik untuk belajar adalah dengan mengajar orang lain. Berapa banyak yang Anda berikan setelah Anda menerima?

Murah Hati

Konsep murah hati bukan berbicara soal kebaikan memberi pada saat kelimpahan. Konsep murah hati di Perjanjian Lama mengajarkan bahwa murah hati berarti tidak menggenggam kuat-kuat harta kita. Kita harus terbuka pada orang yang membutuhkan, bahkan memberikan bantuan sesuai dengan yang diperlukan (Ulangan 15:8). Kitab Ulangan 15 juga mengingatkan bahwa ketika memberi hati kita tidak boleh berdukacita (Ulangan 15:10). Murah hati berarti memberi dengan hati yang tulus. Pada akhirnya di Ulangan 15 mengingatkan bahwa ketika kita sudah mampu memberi, itu berati kita harus mengingat bahwa dahulu kita juga bagian dari kaum yang pernah diberi / ditolong (Ulangan 15:15).

Alkitab juga mengajarkan bahwa konsep memberi jangan dibatasi oleh waktu (occasional). Amsal 21:26 memberitahu bahwa: kalau saja nafsu selalu mengikat manusia sepanjang waktu, dengan demikian hakekatnya keinginan untuk memberi tidak boleh terbatas oleh waktu.

Murah hati adalah adalah ekspresi kasih untuk memberi, yang dilakukan dengan sikap sukacita dan dengan kerelaan (2Korintus 9:7, 11). Memberi dengan sikap murah hati akan memberikan kepuasan yang sesungguhnya karena itulah yang diminta oleh Tuhan.

Sumber: http://alkitab.sabda.orghttp://www.asal-usul.com

-BD/Tim Karakter-