Menjadi Pribadi yang Otentik

Oleh: Betsy K. Witarsa – Konselor SMA

Sebagai manusia, kita adalah ciptaan Allah yang paling mulia karena diciptakan segambar dan serupa dengan diri-Nya sendiri. Kita diberi kemampuan untuk berpikir, berencana, merasakan emosi, berekspresi, dan mengambil tindakan. Setiap kita juga memiliki karakteristik, kepribadian, bakat, dan kelebihan masing-masing yang membuat diri kita unik dan berbeda satu dengan yang lain. Allah ingin agar kita mengenal dan menghargai keunikan yang telah ditentukan Allah bagi kita serta memaksimalkan hal tersebut di dalam kehidupan kita. Lebih dari itu, kita akan dapat merasakan kepuasan dan kebermaknaan hidup jika sungguh-sungguh melihat diri dari sudut pandang Allah dan hidup secara otentik.


Sayangnya, ada berbagai hal yang seringkali menghambat kita untuk bisa menjadi pribadi yang otentik. Beberapa orang tumbuh dalam lingkungan yang sangat kurang memberi teladan dan kesempatan untuk mengungkapkan pikiran dan perasaan secara sehat, sehingga terbiasa untuk memendam atau bahkan menyangkal pikiran dan perasaan yang ada di dalam diri. Ada pula orang-orang yang diberi tuntutan untuk mencapai atau menjadi sesuatu yang sebenarnya tidak selaras dengan bakat utamanya, lalu dikritik dan dipandang sebelah mata ketika hasilnya kurang maksimal. Banyak manusia terbiasa memakai topeng demi mendapat penerimaan dan pengakuan, sehingga semakin lama semakin tidak peka dengan pikiran, emosi, dan kebutuhannya sendiri, serta kurang mengembangkan potensi yang dimiliki. Kehidupan tidak lagi dilandasi oleh pengenalan yang benar akan diri dan Allah serta kurang dipandu oleh nilai-nilai yang seharusnya membuat hidup tidak terombang-ambing.


Tidak ada kata terlambat untuk mulai menjalani hidup dengan lebih otentik, sembari tetap menjaga keharmonisan relasi dengan orang-orang di sekitar. Kata kuncinya adalah membangun relasi yang baik dan dekat dengan diri sendiri. Kita dapat melatih diri untuk melakukan beberapa hal berikut ini:

  1. Perhatikan dan sadari apa yang terjadi di tubuh kita. Leher atau bahu yang tegang mungkin terkait dengan apa yang ada dalam pikiran, perasaan, pemikiran, dan memori kita. Kondisi fisik dan psikologis kita saling mempengaruhi.
  2. Biasakan memvalidasi pikiran dan perasaan kita, bukan menyangkalnya. Hal ini bukan berarti kita tidak boleh mengevaluasi apa yang kita pikirkan dan rasakan, tetapi langkah pertama yang perlu dilakukan adalah mengakui dan memberi ruang terlebih dahulu. Contoh kalimat validasi yang bisa kita katakan pada diri sendiri yaitu: “Aku menyadari bahwa aku berpikir kalau orang lain lebih beruntung dari diriku dan aku jadi mengasihani diri sendiri”, “Saat ini sedang ada kesedihan yang begitu besar dalam diriku dan aku mengizinkan diriku untuk merasakannya”, dan “Aku sebenarnya tidak suka dengan kecemasan yang sering muncul ini, tetapi aku belajar mengakui bahwa saat ini memang seperti itu kondisinya”.
  3. Kenalilah diri kita sendiri. Apa yang kita kuasai, apa yang kita suka lakukan, apa yang membuat hati kita tergerak, apa yang penting dan bernilai bagi kita, dan semacamnya. Hadapi kebenaran tentang siapa kita dan akuilah jika memang ada aspek-aspek dari diri sendiri yang masih sulit untuk diterima. Kebenaran tidak selalu menyenangkan, tetapi dapat berpotensi membebaskan kita.

Ciremai, Terima Kasih

Oleh: Galvin F. Nathanael Ulag-Siswa Kelas XII MIPA 2

“Expedition Camp 2024 Ciremai, camp paling seru, melelahkan, banyak pelajaran didapatkan, tetapi menjadi yang paling menyedihkan”

Halo, nama saya S. Sgt. Galvin Farrel Nathanael Ulag, peserta Expedition Camp 2024 Ciremai. Expedition Camp adalah salah satu kegiatan mendaki gunung dari Boys’ Brigade cabang 4 Athalia dengan tujuan memperkenalkan dan mendalami teknik-teknik mendaki gunung. Peserta camp melewati seleksi ketahanan fisik yang cukup ketat, yaitu push up, sit up, dan plank selama satu menit, serta lari selama lima menit. Seleksi ini perlu diadakan karena untuk mendaki gunung dengan ketinggian di atas 3000 mdpl, membutuhkan ketahanan fisik yang kuat. Puji Tuhan, saya lolos seleksi dan menjadi salah satu dari 24 peserta. Tidak hanya sampai di situ, setelah lolos seleksi, seluruh peserta diharuskan setiap harinya untuk latihan fisik yang diberikan oleh guru pendamping serta melaporkan hasilnya pada grup WhatsApp. Menu latihan yang biasa diberikan adalah 3 km lari/6 km jalan, 40 push up, 40 sit up, dan 4 menit/set plank, tetapi dapat juga ditambah atau dikurangi sesuai dengan kondisi. Apabila pada hari tertentu terdapat peserta yang tidak dapat melaksanakan latihan fisik, akan dianggap “hutang set” yang harus “dibayarkan” keesokan harinya. Hal tersebut bersifat wajib, karena kondisi badan dari masing-masing peserta hanya diketahui oleh dirinya sendiri.


Tibalah pada hari-H pendakian. Banyak sekali pengalaman yang menarik bagi saya, salah satunya adalah mendaki saat cuaca sedang tidak bersahabat. Medan perjalanan yang berat ditambah hujan deras membuat kondisi fisik kami semakin terkuras. Namun, semua peserta masih memiliki semangat juang yang tinggi untuk bisa sampai di pos lima, tempat kami berkemah. Kondisi fisik yang lelah tidak menghalangi kami untuk saling menyemangati. Perjalanan ini mengajarkan kami bahwa hal yang paling dibutuhkan selama proses pendakian adalah inisiatif untuk saling memberikan semangat melalui kata-kata, sikap, dan tindakan.

Sedih bercampur bahagia saya rasakan karena Expedition Camp Ciremai merupakan camp terakhir saya. Setelah kurang lebih lima tahun mengabdi di Boys’ Brigade cabang 4 Athalia, saya akan lulus dan melanjutkan pendidikan di luar Athalia. Saya bersyukur, bisa menutup pengabdian ini dengan memuaskan. Terakhir, pesan dari saya, puncak bukanlah tujuan pendakian, pulang dengan selamat adalah tujuan yang utama.

Pengharapan Bersama Tuhan

Oleh: Melody Pantja-Orang tua Siswa Kelas VIIID

Menjadi orang tua merupakan sebuah anugerah. Kami bersyukur dikaruniakan dua orang anak yaitu Jose (kelas VIII) dan Phoebe (kelas VI). Mengingat masa kecil saya yang berawal dari almarhum papa yang selalu mendukung saya untuk belajar musik, saya bersyukur dikaruniai talenta bermusik dan dapat melayani Tuhan dengan talenta tersebut.


Menjadi orang tua yang bisa bermain musik membuat saya dan suami ingin agar Jose dan Phoebe juga dapat mengikuti jejak kami. Sejak dalam kandungan, mereka sudah mendengarkan lagu klasik. Setiap malam, saat mereka masih balita, kami menyanyikan lagu untuk menemani tidur sambil mendoakan mereka.


Namun, seiring perjalanan waktu sering kali harapan kami ini nampak mustahil karena melihat anak-anak lebih suka untuk explore gadget dan games daripada bermain musik. Les piano hanya bertahan satu tahun saja dan seringnya menjadi pertengkaran karena Jose tidak mau latihan. Relasi pun menjadi tidak baik. Saat itu, tanpa disadari yang kami lakukan adalah terus memaksakan apa yang menjadi keinginan dan motivasi kami pribadi.


Sampai suatu saat ketika kami mengikuti seminar parenting, kami tersadarkan bahwa anak adalah titipan Tuhan dengan talenta yang mungkin berbeda dengan talenta yang kami harapkan. Akhirnya, kami tidak memaksakan les musik lagi. Kami belajar mendukung hobi mereka masing-masing. Pada setiap kesempatan ketika diberikan kepercayaan untuk melayani Tuhan di kebaktian, kami jadikan momen ini sebagai motivasi kepada anak-anak kami.


Kami percaya setiap ucapan doa yang kami naikkan, pasti akan Tuhan jawab pada waktu yang terbaik. Salah satu bukti nyata penyertaan Tuhan ketika Jose dan Phoebe akhirnya bergabung dalam group ensemble gereja. Sejak Jose bersekolah di Athalia, dia pun mulai tertarik bermain bass bahkan ini menjadi quality time Jose berdua dengan papanya. Kami juga beberapa kali membuat video bernyanyi bersama.


Melalui pengalaman ini, kami diingatkan bahwa iman dan tindakan adalah sebuah paket yang tidak dapat dipisahkan karena selalu akan ada porsi manusia dan porsi Tuhan. Iman pasti harus diikuti dengan tindakan. Ya, kami diingatkan untuk berusaha dengan segala kemungkinan yang dapat kami lakukan tetapi tidak lupa untuk tetap menaikan segala doa dan harapan kami kepada Tuhan.

Iman dan Tindakan

Oleh : Lili Irene-Plt. Kabag PK3

Fakta bahwa Yesus sudah mati dan bangkit bukanlah isapan jempol belaka. Kabar ini diberitakan sendiri oleh malaikat Tuhan. Matius 28:5-6 mengatakan, “Akan tetapi malaikat itu berkata kepada perempuan-perempuan itu: “Janganlah kamu takut; sebab aku tahu kamu mencari Yesus yang disalibkan itu. Ia tidak ada di sini, sebab Ia telah bangkit, sama seperti yang telah dikatakan-Nya.”

Lee Patrick Strobel yang lahir pada tahun 1952 adalah seorang ateis. Ia menyelidiki tentang Yesus dan tidak mempercayai kematian dan kebangkitan-Nya. Setelah melakukan penelitian dan menyelidiki tentang hal tersebut, justru membawa ia menjadi orang Kristen dan mengimani kebenaran tentang Yesus. Ia membuktikan imannya dengan menjadi penulis buku apologetik. Melalui buku-bukunya, ia dapat membawa orang-orang yang meragukan iman kepada Yesus dan membuktikan bahwa apa yang dikatakan dalam Alkitab adalah benar serta memiliki bukti yang akurat. Selain itu, ia juga hidup melayani sebagai seorang hamba Tuhan dengan menggembalakan orang-orang yang sedang mencari Tuhan.

Setelah Yesus bangkit, Ia menampakkan diri-Nya kepada Simon Petrus. Perintah Yesus kepada Simon Petrus yang sudah menyaksikan kebangkitan-Nya adalah pergi untuk menggembalakan domba-domba-Nya.

Iman harus diiringi dengan tindakan nyata. Strobel membuktikan bahwa apa yang ia imani perlu dibagikan kepada orang yang memiliki keraguan yang sama dengannya tentang Yesus. Ia juga melakukan tindakan nyata dengan melayani orang-orang yang membutuhkan, baik dalam pengajaran maupun pelayanan. Simon Petrus bangkit dari kesedihannya setelah melihat dan menyaksikan Yesus sudah bangkit dengan membuktikan imannya melalui tindakan melayani Dia sampai mati.

Berikut ada beberapa hal yang perlu kita renungkan sebagai bukti bahwa kita hidup beriman dan memiliki tindak nyata:

  1. Menjawab dan membuktikan iman yang kita percayai. Setiap orang yang mengaku percaya kepada Yesus harusnya bisa menjawab ketika ada yang bertanya, “Mengapa kita percaya Yesus mati dan bangkit?” Oleh karena itu, kita harus terus belajar apologetika (ilmu mengenai pembelaan iman kristen). Bukan berarti kita harus belajar ke sekolah teologi, tapi kita semua termasuk anak-anak bisa belajar di sekolah minggu, ibadah di gereja, Pemahaman Alkitab (PA), dan seminar/pembinaan iman. Jadi, kita beriman bukan sekadar ikut-ikutan, tapi karena sungguh-sungguh memahami apa yang kita percayai.
  2. Membuktikan iman kita dengan tindakan nyata. Yakobus 2:14-17 mengatakan bahwa iman dan perbuatan (tindakan nyata) harus berjalan bersama. Bukan perbuatan tanpa iman, sebaliknya yang benar adalah iman yang disertai perbuatan. Orang yang beriman kepada Yesus akan membuahkan perbuatan atau tindakan nyata yang lahir dari kasih akan Allah kepada orang-orang di sekitarnya. Yakobus 2:15-17, “Jika seorang saudara atau saudari tidak mempunyai pakaian dan kekurangan makanan sehari-hari, dan seorang dari antara kamu berkata: “Selamat jalan, kenakanlah kain panas dan makanlah sampai kenyang!”, tetapi ia tidak memberikan kepadanya apa yang perlu bagi tubuhnya, apakah gunanya itu? Demikian juga halnya dengan iman: Jika iman itu tidak disertai perbuatan, maka iman itu pada hakikatnya adalah mati.”
  3. Melayani serta memberitakan kasih Tuhan melalui perkataan dan perbuatan dalam keseharian hidup kita, sehingga orang lain bisa melihat karakter Kristus yang terus bertumbuh dalam hidup kita.

Mari merayakan kematian dan kebangkitan Tuhan Yesus dengan terus berpegang teguh pada iman dan terus melakukan tindakan nyata yang lahir dari kasih kita kepada Tuhan Yesus Kristus. Selamat Paskah. Tuhan beserta kita.

Mengasihi yang Sulit Dikasihi

Oleh: Natalia A. – Staf Karakter (PK3)

Mengasihi orang yang mengasihi kita adalah hal yang mudah dilakukan, tetapi bagaimana jika orang yang seharusnya mengasihi kita malah menyakiti kita? Dapatkah kita mengasihi mereka? Kata mengasihi yang awalnya terdengar manis menjadi tawar bahkan pahit. Namun, sebagai orang yang telah menerima kasih Kristus bahkan di saat masih menjadi seteru Allah, kita dimampukan untuk mengasihi di luar standar dunia. Bukanlah suatu hal yang mudah, tetapi salah satu rekan kita ini sudah mengalami proses untuk mengasihi di saat sulit, loh. Siapakah dia dan bagaimanakah kisahnya?

Tirza Naftali, M.B.A.

Ibu Tirza yang saat ini melayani di Chaplain (Character and Parenting Learning Institute) pernah mengalami masa-masa disakiti oleh orang yang seharusnya mengasihinya, tetapi Tuhan beranugerah menolong dan membentuk beliau begitu rupa.

“Saya berasal dari keluarga hamba Tuhan, tetapi seperti tidak ada Tuhan di dalam rumah kami. Setiap hari Mama dan Papa berdebat yang saya sendiri pun tidak mengerti akar masalahnya. Sering kali Mama menghujani Papa dengan kata-kata hinaan dan juga mengeluarkan kata-kata kasar kepada kami berdua. Saya menghindar untuk menetap di rumah karena tidak menjadi tempat yang aman untuk pulang. Seperti tiada hari tanpa mendengar Mama dan Papa ribut, saya pun sering kali ribut dengan Mama. Saya pernah di titik mengalami yang namanya cherophobia (ketakutan yang berlebihan akan perasaan bahagia), saya tidak bisa menikmati jika rumah dalam keadaan tenang atau sedang dalam kondisi yang berbahagia, yang ada di pikiran saya adalah ‘pasti setelah ini akan ada masalah baru yang muncul’.

Sebagai seorang anak tunggal, saya dituntut Mama untuk berprestasi dan menjadi orang kaya di kemudian hari. Saya sempat berpikir untuk sekolah teologi, tetapi Mama tidak mengizinkan karena berpikir jika saya menjadi hamba Tuhan, hidup saya akan “miskin” seperti kondisi kami saat itu. Hal itu membentuk pandangan saya bahwa Mama saya akan menjadikan saya sebagai “ATM” di masa tuanya.

Kejadian yang paling mengerikan bagi saya adalah ketika saya masih duduk di kelas 1 SMP. Kami tinggal di pastori gereja dan di malam itu Mama dan Papa bertengkar hebat. Tidak tahan dengan kecurigaan Mama yang tidak berdasar, Papa membawa segala macam obat asma yang dimilikinya dan mengurung dirinya di ruang pastori. Dalam pikiran saya, Papa nekat mau mengakhiri hidupnya. Saya pun menggedor-gedor pintu sambil menangis dan berteriak ‘Pa.. jangan.. buka Pa…’ Tidak ada jawaban, saya hanya melihat dari lubang pintu Papa sedang mengeluarkan beberapa obat di tangannya. Saya kembali berteriak dan menangis. Di saat itu saya berkata dalam hati ‘Saat besar nanti saya harus menyingkirkan Mama dari hidup saya dan Papa’. Satu jam berlalu, akhirnya Papa keluar dari kamarnya tanpa berkata apa pun. Saya lega masih melihat Papa.

Waktu berlalu, Papa sempat masuk rumah sakit. Saya meminta Papa untuk menceraikan Mama, tetapi Papa menjawab ‘Papa sudah berjanji kepada Tuhan untuk mengasihi Mama dalam kondisi baik, buruk, sehat atau sakit’. Saat itu saya seperti menemukan oase. Saya memohon pengampunan Tuhan, tetapi saya belum bisa benar-benar memaafkan Mama. Pemahaman saya terhadap Tuhan pada saat itu pun tidak benar. Menurut saya melayani Tuhan merupakan bentuk dari menyogok Tuhan agar memaafkan dan menerima saya.

Saya menikah dalam kondisi emosi yang tidak stabil dan masih merasa kosong sehingga secara tidak sadar saya sering menuntut suami dan membentak anak saya berlebihan. Tak lama setelah Papa dipanggil Tuhan, saya putus hubungan dengan Mama. Saya merasa aman tetapi rasa kekosongan itu makin besar. Dalam suatu webinar yang dibawakan oleh Ibu Charlotte tentang luka masa lalu, saya disadarkan bahwa saya tidak membiarkan Tuhan mengasihi saya dan mengobati luka yang makin membesar. Seusai momen itu, entah dari mana asalnya, saya merasakan damai yang berlimpah. Saya mencoba menghubungi Mama kembali. Jauh dari perkiraan, saya dan Mama saling meminta maaf dan memaafkan, Mama banyak menceritakan tentang masa lalunya, dan kami berproses untuk sembuh bersama.

Penerimaan dan belas kasih-Nya yang tanpa syarat itu yang memulihkan pengenalan saya akan Tuhan, menolong saya juga untuk berelasi dengan Mama dalam belas kasih, alih-alih penghakiman. Saya bersyukur Tuhan memberikan saya seorang suami dan juga komunitas Athalia yang mau mendengar, mendoakan, dan membangun. Ternyata semua orang berproses dan memiliki “cacat”-nya masing-masing. Justru cacat itu hadir agar kita tetap datang dan memohon belas kasih-Nya tanpa ragu.”

Kasih Allah dan penerimaan-Nya yang utuh membuat kita mengalami anugerah kebaikan-Nya. Dia menerima kita dengan segala keburukan yang ada, bergumul bersama kita, dan menjadikan kita lebih baik. Sebelum kita mengalami kasih-Nya, kita tidak akan mampu mengasihi orang lain, bahkan mengasihi diri pun kita tidak mampu. (Charlotte Priatna)

Demikianlah tinggal ketiga hal ini, yaitu iman, pengharapan dan kasih, dan yang paling besar di antaranya ialah kasih.
(1 Korintus 13:13)

Bahasa Ibu dan Identitas Bangsa

Oleh: Diah Lucky Natalia – Volunter Chaplain

Berdasarkan data Ethnologue, Indonesia merupakan negara kedua dengan bahasa terbanyak setelah Papua Nugini. Hingga 2018, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian pendidikan dan Kebudayaan telah memetakan dan memverifikasi sebanyak 652 bahasa daerah di Indonesia. Jumlah tersebut belum termasuk dialek dan subdialek.

Selain bahasa daerah, sekitar 1.700-an suku bangsa di Indonesia memiliki bahasa kesatuan, yaitu bahasa Indonesia. Bahasa ini digunakan sebagai bahasa nasional yang mempermudah kita berkomunikasi dengan suku bangsa lainnya.

Bahasa daerah maupun bahasa Indonesia yang digunakan sebagai alat komunikasi sehari-hari di rumah inilah yang disebut sebagai bahasa ibu. Bahasa ini diperkenalkan oleh orang tua kepada anak-anaknya sejak dini dan akan berkembang menjadi bahasa pertama.

Mereka yang sudah lama tinggal di kota besar mungkin lebih nyaman menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa ibu bagi anak-anak mereka. Sementara itu, beberapa di antaranya masih mempergunakan bahasa daerah sambil mengajarkan bahasa Indonesia untuk kebutuhan pendidikan.

Memilih bahasa ibu bagi anak ini mungkin tidak pernah benar-benar didasarkan pada pengetahuan, tetapi hanya karena kebiasaan atau “agar tidak ketinggalan zaman”. Oleh karena itu, di tengah globalisasi, muncullah bahasa ibu ketiga, yaitu bahasa Inggris.

Banyak anak diperkenalkan dengan bahasa Inggris sejak dini dan tumbuh menjadi anak yang lebih fasih berbahasa asing ketimbang bahasa nasional dan bahasa daerahnya. Kondisi ini berangkat dari kekhawatiran orang tua bahwa anaknya akan tertinggal dalam pendidikan dan karier jika tidak menguasai bahasa asing.

Yang terjadi adalah anak memang memiliki kemampuan bahasa asing di atas rata-rata. Namun, di sisi lain, dia juga tumbuh dengan budaya Barat, mulai dari selera makan, musik, dan pola pikir. Globalisasi tidak hanya memajukan negara kita, tetapi juga mengubah karakter anak kita.

Bahasa dan identitas diri

Tidak banyak yang tahu bahwa bahasa merepresentasikan identitas seseorang. Di dalam sebuah bahasa tersemat ideologi dan nilai luhur sebuah bangsa. Dari bahasa muncullah corak peradaban suatu masyarakat. Terdapat perbedaan budaya antara suku Jawa, Batak, Manado, Toraja, dan Aceh karena bahasa yang digunakan berbeda. Begitu juga dari bahasa Indonesia terbentuklah sebuah identitas, yaitu budaya kebangsaan Indonesia.

Melalui bahasa Indonesia, kita dapat mempelajari budaya melalui karya-karya sastranya. Dongeng-dongeng kedaerahan yang kita baca waktu kecil membentuk identitas kita sebagai orang Indonesia, mulai dari cara bertutur, berperilaku kepada orang yang lebih tua, dan lain sebagainya. Inilah yang membedakan kita dengan bangsa lainnya di dunia ini.

Jika sejak kecil anak dibiasakan menggunakan bahasa asing, dia akan terpapar dengan budaya asing melalui tontonan dan bacaan yang dikonsumsi setiap hari. Tentu dalam bahasa Inggris tidak ada kisah tentang Timun Mas, Roro Jonggrang, dan Malin Kundang. Mari tengok kembali konten-konten yang ada di YouTube dan Netflix, itulah yang akan diinternalisasi oleh anak kita menjadi identitas dan karakternya.

Bahasa Ibu bahasa Indonesia

Pilihan sekolah begitu beragam. Yang menawarkan bilingual bahkan trilingual pun makin banyak. Sebagai orang tua, kita perlu celik memilih apakah anak-anak kita perlu berada di sekolah trilingual? Kembali kepada tujuan menyekolahkan anak: membentuk anak yang berkarakter dan berintegritas atau anak-anak yang menguasai banyak bahasa?

Penyampaian ilmu, ideologi, dan pengajaran agama akan lebih kontekstual jika disampaikan dalam bahasa ibu–dalam konteks ini adalah bahasa Indonesia. Jadi, anak-anak tidak hanya memahami konsep secara verbal, melainkan dapat menyerap substansinya melalui cerita, penerapan dalam kehidupan sehari-hari, dan interaksinya dengan keluarga dan teman.

Selain sebagai upaya pelestarian, penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa ibu dan bahasa pengantar di sekolah membangkitkan kepekaan perasaan. Anak jadi terhubung dengan akar budayanya, memahami tradisi, dan menghargai nilai yang dianut oleh bangsa ini.

Jadi, memilih bahasa sebagai bahasa ibu anak bukan berdasarkan rasa takut ketinggalan zaman. Namun, lebih kepada identitas apa yang ingin kita berikan kepada anak? Sungguh baik jika kita masih menguasai bahasa daerah asal dan mengajarkannya kepada anak. Dengan begitu, anak akan tumbuh memiliki identitas kuat kedaerahannya. Ke mana pun dia pergi dan merantau, dia akan tetap memegang teguh identitasnya dan tidak akan terbawa dampak negatif pergaulan modern saat ini.

Setiap 21 Februari, dunia memperingati Hari Bahasa Ibu Sedunia. Hari yang digagas oleh UNESCO ini bertujuan untuk menggiatkan kembali penggunaan bahasa ibu di seluruh dunia agar terhindar dari kepunahan. Dari sudut pandang lain, peringatan ini dapat kita jadikan bahan refleksi: sampai mana saya sudah mengajarkan nilai luhur dan budaya bangsa ini kepada anak?

Tak perlu khawatir anak akan tertinggal hanya karena “masih” menggunakan bahasa daerah dan bahasa Indonesia sebagai bahasa ibu. Dengan modernitas yang ada saat ini, anak dapat menjangkau ilmu pengetahuan tanpa batas, kapan pun dan di mana pun.

Hal lain yang juga penting, yaitu serahkan anak kita kepada Sang Empunya. Dialah yang merancangkan jalan hidup anak-anak kita sehingga biarlah Tuhan yang bekerja atas hidup mereka. Sebagai orang tua, tugas kita, yaitu membentuk anak ini memiliki identitas yang kuat, menginternalisasi karakter Kristus di dalam dirinya, dan menjadikan Tuhan sebagai satu-satunya sandaran hidup.

Menemukan Kasih Sejati dari Tuhan

Oleh: Tegar Juel Prakoso – Alumni Angkatan IV SMA Athalia

Halo, perkenalkan nama saya Tegar Juel Prakoso, biasa dipanggil “Tegar”. Saya adalah alumni SMA Athalia angkatan IV. Saat ini saya mengajar sebagai guru TIK di SMP Athalia kelas 7 dan 8, dan SD Pinus kelas 4-6. Saat ini saya juga sedang melanjutkan studi magister di STT Bethel Indonesia jurusan Pendidikan Agama Kristen. Dalam tulisan ini saya akan membagikan kisah bagaimana saya menemukan kasih sejati dari Tuhan.

Kehidupan manusia tidak dapat dipisahkan dari mencari makna dan tujuan hidup. Di Athalia saya diajarkan tentang kasih Tuhan ketika saya mencari kasih yang sejati ini. Bersyukur saya menemukan kasih sejati dari Tuhan yang menurut saya salah satu aspek yang penting bagi kehidupan orang percaya. Konsep kasih dalam kehidupan orang Kristen mengacu pada kasih Tuhan. Kasih Tuhan disebut kasih Agape. Kasih Agape ini bersifat tanpa pamrih dan tulus. Contoh konkret kasih Agape yang tulus berasal dari Tuhan dapat kita lihat dalam Yohanes 3:16, Tuhan mengasihi dunia ini dengan memberikan Anak-Nya yang tunggal yaitu Yesus Kristus itu sendiri. Sebuah pengorbanan yang tiada ternilai harganya, tidak dapat dibandingkan dengan kasih mana pun di dunia ini.

Ketika menjalani kehidupan sebagai orang Kristen saya merasa bukan hal yang mudah. Banyak hal duniawi yang mengalihkan fokus saya dalam mencari kasih yang sejati itu. Sebagai salah satu anak muda yang hidup di era sekarang ini yang menggoda saya untuk berpaling dari jalur Tuhan. Lantas, bagaimana cara saya menemukan “Kasih Sejati” itu? Ada dua cara saya menemukan kasih yang sejati itu. Pertama, menjalin hubungan pribadi dengan Tuhan Yesus. Dalam membangun sebuah hubungan, diperlukan sebuah komunikasi yang intens. Layaknya hubungan bapak dan anaknya. Ketika anak kerap kali menginginkan sesuatu dari bapaknya atau ketika anak tidak dianggap, tidak dipedulikan, bahkan tidak dikasihi di dunia ini, anak bisa mengadu pada Allah dalam doa. Saya memberikan waktu khusus secara teratur untuk berkomunikasi dengan Tuhan. Ketika bangun pagi atau pun menjelang tidur, tidak lupa berdoa. Terkadang doa yang saya panjatkan berisi curhatan dan harapan yang ingin saya capai. Dan bersyukur, selama saya bersekolah dan mengajar di Athalia selalu diingatkan akan relasi dengan Tuhan. Dalam memulai hari dan menutup hari pasti diingatkan untuk selalu berdoa. Kedua, mencari kebenaran yang sejati dalam Alkitab. Alkitab adalah sebuah petunjuk bagi orang percaya. Alkitab adalah sumber utama tentang kasih sejati Tuhan Yesus. Hal yang telah Tuhan perbuat telah tertulis semua di dalam Alkitab. Dalam Alkitab kita dapat membaca dan memahami karakter Tuhan, rencana-Nya, dan segala ajaran-Nya. Di Athalia tidak pernah terlepas dari aktivitas devosi. Setiap memulai hari, baik sebagai murid maupun sebagai guru selalu memulai hari dengan devosi. Melalui devosi saya dapat merenungkan isi dari firman Tuhan bersama dengan rekan sesama guru maupun bersama dengan siswa.

Tuhan sudah mengasihi kita, apa yang dapat kita lakukan sebagai wujud mengasihi-Nya? Hal yang saya lakukan sebagai respons wujud kasih Tuhan adalah melayani sesama. Menemukan kasih sejati dari Tuhan tidak hanya sebatas pengalaman pribadi, tetapi juga melibatkan pelayanan kepada sesama. Tuhan senang jika kita dapat memanfaatkan segala talenta yang kita miliki untuk melayani-Nya di mana saja. Melayani sebagai worship leader dan bidang multimedia di GBI Anugerah adalah salah satu respons saya sebagai wujud kasih kepada sesama. Sebuah anugerah yang Tuhan berikan kepada saya untuk dapat kembali lagi ke Athalia sebagai seorang pengajar. Dulu saya diajar, sekarang saya mengajar. Hal ini sebagai wujud kasih saya kepada Tuhan dan sesama. Sukacita saya mengajar murid-murid di Athalia dalam mata pelajaran TIK atau Informatika. Tidak mudah mengajar anak-anak yang telah dipengaruhi oleh perkembangan teknologi digital saat ini. Saya mencoba mengajar dengan memberikan kasih yang pernah saya terima dari Tuhan. Lewat proses mengajar dengan kasih saya bisa mengajar murid dengan penuh sukacita. Inilah kisah saya sebagai alumni semoga menjadi berkat bagi kita sekalian.

Kenangan tak Terduga

Oleh: Ratu Putri Hiemawan – Kelas 12 IPS 1

Live In merupakan kegiatan yang wajib diikuti siswa-siswi SMA Athalia pada tahun ketiga masa studinya. Setelah absen beberapa tahun karena wabah Covid-19, tahun ini Live In kembali diadakan pada 14-19 Januari di Dusun Ngringin, Kecamatan Getasan, Semarang. Berikut merupakan sedikit pengalaman saya dalam kegiatan Live In 2024.

Pada kegiatan Live In ini, puji Tuhan saya diberi kepercayaan untuk menjadi PIC atau ketua dari salah satu bidang, yaitu PAUD/SD. Sebuah tanggung jawab yang baru, menegangkan, dan berat bagi saya karena harus merancang kegiatan untuk 3 hari di PAUD dan SD, sedangkan saya belum memiliki gambaran sedikit pun tentang kondisi di lapangan. Belum lagi kegiatan penggalangan dana menjual botol dan kardus bekas, serta mengadakan mini konser yang lumayan menyita waktu dan pikiran di tengah gempuran kesibukan sebagai siswi kelas 12. Huru-hara dan ketegangan bertambah karena persiapan barang pribadi dan barang bidang yang cukup memusingkan. Untung saja semua persiapan dapat selesai tepat waktu dan kami dapat berangkat pada Minggu malam.

Setelah perjalanan panjang yang melelahkan, akhirnya kami sampai di Dusun Ngringin pada Senin pagi. Semua rasa lelah terasa terbayarkan begitu bertemu dengan orang tua asuh yang menyambut kami dengan hangat dan ceria. Saya ditempatkan di rumah Bu Supri yang hanya tinggal berdua dengan anaknya, Ayu yang duduk di kelas 2 SMA. Kedatangan kami membuat Bu Supri senang dan bersemangat karena rumahnya menjadi ramai. Di sebuah rumah beralaskan semen dan tanah liat serta atap dan dinding kumuh, kehangatan dapat kami rasakan dari Bu Supri yang dengan semangat bercerita kepada kami mengenai kehidupannya. Aneh rasanya, mengalami ikatan emosional dengan seseorang yang baru saja kami temui.

Hari-hari selanjutnya saya jalani dengan gembira. Banyak pengalaman baru yang saya dapatkan dari kegiatan di PAUD/SD, mulai dari melatih kesabaran untuk mengajar dan menghadapi anak kecil, latihan fisik karena harus mengejar anak-anak yang berlarian ke berbagai arah, menghadapi pukulan-pukulan yang mereka layangkan, bahkan mempelajari sedikit demi sedikit bahasa Jawa. Lagi-lagi terasa aneh, karena saya sendiri tidak menyangka saya akan menikmati setiap momen di Dusun Ngringin ini. Nyaman sekali rasanya ketika dapat disapa dan diberikan perhatian oleh setiap warga yang kami jumpai. “Mau ke mana, Kak?”, “Makan di sini saja, Kak”, “Tinggalnya di rumah siapa, Kak?”, “Mau ikut ke ladang tidak, Kak?”, merupakan sapaan-sapaan yang sering dilayangkan oleh warga setempat ketika berjumpa dengan kami.

Kebersamaan juga kami rasakan dengan Ayu yang kebetulan seumuran dengan kami. Canda tawa kami layangkan sembari mendengar kisah-kisah tentang warga setempat oleh Bu Supri dan Ayu, bahkan dengan tetangga yang kebetulan mampir ke rumah Bu Supri untuk ikut berbincang dengan kami. Teh manis hangat, susu coklat, dan kue-kue kering selalu menjadi teman berbincang kami hingga larut tiap malam.

Tak terasa, tibalah kami di hari terakhir, saat kami harus pulang. Malam sebelumnya seperti biasa, kami kembali berbincang hingga larut malam, saat itu hujan deras dan mati lampu. Bu Supri berkata (mungkin sekaligus mendoakan) “Besok pasti telat ini, Kak, hujan gede”, seakan tidak mau berpisah. Dan benar saja, hujan bertahan hingga besok paginya sehingga kami memiliki waktu lebih lama untuk perpisahan. Kami yang awalnya mengira tidak akan kerasan dan akan rindu rumah, sekarang malah tidak ingin pulang. Derai tangis serta janji bahwa kami akan kembali ke sana mengiringi perpisahan kami. Sungguh berat rasanya, mengingat Bu Supri juga berkata bahwa ia sering kesepian di rumah dan ia senang karena kami membuat rumahnya ramai. Namun, tentunya setiap perjumpaan akan menemui perpisahan. Hujan mengiringi kepulangan kami, seakan ikut menangis menyaksikan perpisahan yang terjadi.

Begitulah pengalaman Live In saya. Dari yang awalnya malas dan tidak memiliki minat sedikit pun, hingga menjadi salah satu orang yang paling merindukan Dusun Ngringin. Saya belajar bahwa tidak perlu memiliki segalanya untuk bisa memberikan yang terbaik, ketulusan merupakan yang utama. Kegiatan ini benar-benar mengajarkan saya keindahan dari kesederhanaan dan pentingnya orang-orang yang kita sayangi. Kesimpulannya adalah, Live In 2024 terbaik!

Kasih Sejati

Oleh : Lili Irene – Plt. Kabag PK3

Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal (Yohanes 3:16).

Secuplik bait lagu,”Belum pernah ada kasih di dunia sanggup mengubahkan hidupku, selain kasih-Mu Yesus …” Sungguh sebuah pernyataan iman yang besar bahwa di dunia ini kita sulit menemukan kasih yang sejati selain di dalam Tuhan Yesus.

Berbagai kisah tentang kasih yang mungkin pernah kita dengar baik kasih antara orang tua kepada anak, suami kepada istri, kakak kepada adik, sahabat kepada sahabat selalu membuat kita terharu bukan? Di dalam kasih yang dinyatakan selalu ada pengorbanan. Namun, dalam kenyataannya tidak sedikit pula kasih yang ditunjukkan ada alasan atau pamrih di baliknya, sehingga sering timbul pertanyaan kenapa begitu sulit sekali untuk menemukan kasih tanpa pamrih di dunia ini.

Kita mungkin pernah mendengar banyak orang tua yang katanya mengasihi anaknya tetapi menuntut anaknya untuk melakukan apa yang diingini orang tuanya. Suami yang katanya mengasihi tetapi menuntut seorang istri tampil sempurna. Seorang kakak yang mengasihi adiknya, tetapi meminta balasan atas apa yang dilakukan. Seorang teman yang berkata mengasihi temannya tetapi meminta ia untuk setuju dengan semua yang dilakukan. Seorang guru yang hanya akan mengasihi muridnya jika muridnya bersikap baik. Sungguh ironis berbagai kisah kasih di dunia ini pada akhirnya berujung dengan kisah sedih di mana setiap orang yang terlibat di dalamnya terlibat konflik berkepanjangan. Kenapa? Karena kasih manusia selalu menuntut dan ada pamrihnya.

Berbeda sekali dengan kasih Allah. Kasih yang tanpa pamrih, tanpa mengharapkan imbalan atau balasan. Dalam Alkitab ada istilah yang dipakai untuk menunjukkan kasih yang tanpa pamrih, yaitu kasih Agape. Kasih ini adalah kasih Allah kepada manusia. Kasih yang memberi tanpa meminta balasan. Kasih yang rela memberikan nyawa kepada orang yang dikasihi. Yohanes 3:16 mengatakan bahwa Allah bahkan memberikan anak-Nya yang Tunggal untuk mati di atas kayu salib bagi kita manusia. Ada banyak orang yang bersedia mati untuk orang baik tetapi untuk orang tidak baik dan berdosa, siapa yang mau mati? Hanya Allah yang mau melakukannya bagi kita orang berdosa ini. Inilah “kasih sejati” itu. Allah mengasihi kita sebagaimana kita apa adanya. Kasih Allah tidak memandang status atau kedudukan kita. Kasih Allah hadir setiap musim kehidupan kita suka maupun duka. Kasih Sejati-Nya merangkul dan memeluk kita. Kiranya kita melekat kepada kasih sejati Allah dalam menempuh hidup di dunia dan terus-menerus belajar untuk membagikan kasih sejati itu kepada orang-orang yang membutuhkan. Tuhan memberkati.

No Matter what storm you face
You need to know that God loves you.
He has not abandoned you

Franklin Graham

Siapa yang Memegang Kendali Hidup Kita?

Oleh : Lili Irene – Plt. Kabag PK3

Janganlah hendaknya kamu kuatir tentang apapun juga, tetapi nyatakanlah dalam segala hal keinginanmu kepada Allah dalam doa dan permohonan dengan ucapan syukur
(Filipi 4:6)

Memasuki tahun 2024 tentunya kita bersyukur bisa sampai di saat ini. Namun, jika harus menatap ke depan maka pertanyaannya siapa yang tidak khawatir? Mungkin sebagian dari kita mengalaminya. Setiap hari ada saja yang membuat kita khawatir. Kita khawatir akan kesehatan. Kita khawatir akan keuangan kita. Kita khawatir akan keluarga kita. Kita khawatir akan relasi kita dengan orang lain dan masih banyak kekhawatiran yang kita alami setiap hari. Sampai-sampai kekhawatiran mungkin saja mengendalikan hidup kita.

Alkitab berkata dalam Matius 6:25, “Karena itu Aku berkata kepadamu: Janganlah khawatir akan hidupmu, akan apa yang hendak kamu makan atau minum, dan jangan khawatir pula akan tubuhmu, akan apa yang hendak kamu pakai”. Ayat ini mengingatkan kita bahwa normal saja kita khawatir sebagai manusia tetapi Tuhan mengingatkan bahwa Ia mengendalikan hidup kita sehingga tidak perlu khawatir yang berlebihan.

Pertanyaan mengenai siapa yang memegang kendali atas hidup kita mungkin akan memiliki jawaban yang berbeda-beda. Ada yang merasakan bahwa selama ini hidupnya dikendalikan oleh orang, waktu, uang bahkan kesenangan atau kesukaan akan sesuatu yang berlebihan. Menurut beberapa orang, dunia kita saja sering terlihat tidak terkendali akibat bencana alam, kecelakaan, kekerasan, perang, dan lain sebagainya.

Lalu, apakah Tuhan benar-benar memegang kendali atas dunia dan hidup kita? Apakah Ia hanya menciptakan segala sesuatu tetapi semua yang berjalan di luar kendali-Nya? Bukankah pertanyaan-pertanyaan ini bisa membuat kita khawatir? Alkitab mengajarkan bahwa Allah berdaulat atas semua ciptaan-Nya. Ia memiliki otoritas tertinggi dan mutlak atas segala sesuatu. Meskipun kadang kita khawatir dan kebingungan dengan berbagai pertanyaan yang tidak bisa kita jawab tetapi Tuhan tetap aktif bekerja atas dunia ini.

Terakhir, ingatlah bahwa Tuhan tidak pernah meninggalkan kita atau mengabaikan kita (Ibrani 13:5). Dia mengetahui dengan baik segala sesuatu yang terjadi menurut hikmat, kasih, dan rencana-Nya yang baik buat kita dalam menghadapi tahun 2024 ini. Oleh sebab itu, apa pun kekhawatiran kita, kekhawatiran keluarga kita, semuanya kita serahkan pada kendali-Nya dalam doa dan permohonan sembari mengucap syukur. Tuhan memampukan kita untuk menjalani tahun 2024. Tuhan beserta kita dan tetap semangat.