Waktu dapat diartikan sebagai sebuah rangkaian atau untaian; saat atau ketika yang sudah terjadi (lewat), yang sedang terjadi (aktual), dan yang akan terjadi. Saat yang sudah terjadi adalah sejarah masa lalu atau kesempatan yang telah terlewat – biasanya untuk dikenang, dipelajari, atau bisa juga dilupakan. Sedangkan saat yang sedang terjadi adalah kesempatan yang sedang ada di hadapan untuk saat itu juga diaktualisasi berdasarkan konteks. Dan saat yang akan terjadi dibutuhkan disiplin komitmen untuk mengaktualisasikannya. Dari ketiga rangkaian ini, hanya dua rangkaian yang akan kita bahas.
Waktu yang akan terjadi: disiplin, komitmen, dan konsistensi
Dalam pengertian ini, waktu adalah fakta. Terukur dan objektif. Waktu terjadi pada saat ‘ketika’ dan ‘saat’ dalam waktu penetapannya. Indikator yang dipakai dapat diterima semua orang. Tidak tergantung sudut pandang, kondisi, ataupun konteks. Berdiri sendiri.
Namun anehnya, dalam dinamika lingkungan kita – sekolah, gereja, organisasi, atau bangsa secara umum – kadang pengingkaran atas waktu masih dianggap lumrah. Kita sangat mudah menoleransi keterlambatan dan memandangnya sebagai sesuatu yang biasa. Telat semenit atau dua menit wajarlah, demikian banyak orang berujar. Alasan dengan mudah membenarkan inkosistensi tersebut.
Permasalahannya adalah waktu sebagai fakta yang objektif telah kita jadikan sebuah realitas yang subjektif. Waktu akhirnya kita tempatkan dalam konteks. Misalnya, terlambat ke gereja masih lebih baik dari pada tidak datang sama sekali, toh masih bisa dengar firman, demikian kita berujar. Begitu juga untuk keadaan yang lain, persoalan keterlambatan, waktu molor, dan lain-lain kita permudah dalam konteks. Kalau alasannya masuk akal, bisa diterima. Akhirnya secara tidak sadar kita menjadikan keterlambatan itu urusan tetek bengek.
Permasalahan ini disebabkan karena kita masih lemah dalam disiplin, komitmen, dan konsistensi. Misalnya, seorang siswa diwajibkan hadir 06:55.00 WIB setiap harinya di sekolah. Ketika siswa hadir 06:56:01 WIB maka faktanya terjadi indisipliner, pengingkaran komitmen dan menjadi inkonsisten. Begitu juga dengan perjalanan kereta api yang menjanjikan akan berangkat 22:00 WIB dan bila berangkat 22:07 WIB maka terukur dan objektif telah terjadi pelanggaran. Karena itulah biasanya, pihak kereta api akan meminta maaf atas keterlambatan tersebut. Hal inilah yang mendasari negara-negara maju sangat menghargai on time. Konon katanya, di Jepang rata-rata keterlambatan kereta api di Jepang hanya 7 detik. Bagaimana dengan kita? Sudah berapa kali Anda telat datang ke tempat kerja? Atau masih terlambat ke gereja?
Waktu yang sedang terjadi: Kesempatan
Pada pembahasan ini, kita memahami waktu sebagai kesempatan. Waktu ditempatkan sebagai kesempatan terkait dengan bagaimana kita mengisi waktu dalam setiap aspek hidup kita.
Mari kita cek. Pernahkah Anda merasa satu harian bekerja di kantor namun waktu itu berlalu begitu saja tanpa ada hal yang ‘bermakna’ yang terjadi? Atau maksud saya, sepanjang hari bermalas-malasan tidak jelas arah dan tujuan? Barangkali bentuknya bisa saja begini. Begitu tiba di kantor kita mengawali dengan obrolan dengan teman sejawat ngalor ngidul entah ke mana. Setelah itu, ketika kita sudah di depan komputer untuk siap bekerja, tapi tidak sadar mata kita tertuju kepada pengkinian informasi atau aktivitas di media sosial. Segala infomasi kita baca tanpa tahu apa artinya. Mulai dari ulasan sepak bola, hingga perkembangan politik kekinian kita lahap di media online. Dari satu media online ke media online yang lain kita berpindah, menjelajahi informasi yang sebenarnya tidak ada hubungan dengan domain pekerjaan yang harusnya kita kerjakan pada saat itu. Lewat deh waktu berlalu begitu saja. Secara tidak sadar waktu kita dirampas dengan sendirinya. Kesempatan terbuang tanpa makna dan konteks.
Waktu sebagai ‘saat yang sedang terjadi’ maka waktu bergantung kepada konteks dan makna. Pengkhotbah menggambarkan bahwa semua ada waktunya atau kesempatannya. Ada waktu bekerja atau kesempatan berkarya. Ada waktu bersosialisasi atau kesempatan membangun relasi. Ada waktu tidur atau kesempatan untuk memulihkan tenaga. Ada waktu menghibur diri atau kesempatan menjernihkan pikiran. Ada waktu berolahraga atau kesempatan memiliki badan yang sehat. Dan banyak lagi waktu atau kesempatan yang kita miliki.
Berkenaan dengan itu, yang dituntut dari kita adalah bagaimana kita mempertanggungjawabkan kesempatan itu. Apakah saat kita bekerja, kita bekerja dengan optimal? Atau waktu bersosialisasi, kita curahkan sepenuhnya perhatian kita dengan keluarga atau orang lain. Atau waktu kita berolahraga kita dengan serius menjalaninya.
Bila dihubungkan bahwa waktu adalah anugerah, maka di situ akhirnya ada tuntutan dari Sang Pencipta dan Pemberi Waktu. Bahwa kesempatan itu akan diminta pertanggungjawaban dari kita. Harus kita ingat, kesempatan saat yang sedang terjadi, tidak akan berulang.
Hal inilah yang diingatkan Paulus dalam Efesus 5:15-16 5 Karena itu, perhatikanlah dengan saksama, bagaimana kamu hidup, janganlah seperti orang bebal, tetapi seperti orang arif, 16 dan pergunakanlah waktu yang ada, karena hari-hari ini adalah jahat. Pada dasarnya, waktu yang diterjemahkan LAI ITB (Indonesia Terjemahan Baru) memiliki makna ‘kesempatan’ (kairos). LAI BIS (Bahasa Indoensia Sehari-hari) menerjemahkan sebagai berikut; Efesus 5:15-16 15 Sebab itu, perhatikanlah baik-baik cara hidupmu. Jangan hidup seperti orang-orang bodoh; hiduplah seperti orang-orang bijak. 16 Gunakanlah sebaik-baiknya setiap kesempatan yang ada padamu, karena masa ini adalah masa yang jahat.
Jadi sekarang tergantung kita. Akankah kita biarkan hari-hari kita berlalu begitu saja tanpa bertanggung jawab terhadap kesempatan yang ada? Saya rasa di sinilah kita perlu ingat yang Amsal katakan: Orang yang malas harus memperhatikan cara hidup semut dan belajar daripadanya (BIS Amsal 6:6). (PP)