Oleh: Erika Kristianingrum, orang tua siswa 8R dan 4E
“Bunda jahat… aku mau ganti orang tua aja, semua yang aku lakuin salah,” teriak putri pertamaku yang saat itu sudah beranjak remaja, ketika tiba-tiba kurebut HP-nya waktu dia sedang sibuk chat di WA dengan teman-temannya sementara ia sedang mengikuti pembelajaran online. “Ya… memang kamu salah karena tidak memperhatikan gurumu malah sibuk chatting,“ begitu sahutku. Namun setelah itu aku hanya mampu terdiam saat dia berteriak seperti itu, bagaikan sebuah tamparan keras. Aku sadar bahwa sebagai orang tua aku sering gagal dan aku harus berubah.
Aku harus berubah agar anakku pun juga bisa berubah. Sebagai orang tua, aku terkadang bingung tentang batasan yang benar untuk menghadapi anak remaja. Mereka tidak bisa terus diatur, karena itu akan membuat mereka jadi pemberontak dan semakin menjauh dari orang tua, di sisi lain, di usianya yang baru masuk pada masa peralihan, mereka juga harus memiliki otonomi sendiri agar dapat belajar mengambil keputusan untuk dirinya dan masa depannya, terkadang tidak sesuai dengan harapan kita sebagai orang tua.
Untuk menyelesaikan kebingungan tersebut maka kuputuskan untuk memulai dengan menerima keadaannya. Aku paham bahwa tidak mudah baginya untuk mengikuti sekolah secara online, pasti ini sangat membosankan. Di lain sisi HP adalah satu-satunya hal yang bisa menghiburnya walaupun itu akan mengganggu dan membuat konsentrasinya ambyar. Tapi aku pun harus membuat batasan.
Beberapa hal yang aku lakukan untuk membuat batasan supaya tidak menimbulkan konflik dengan anak remaja antara lain:
Berdiskusi tentang batasan-batasan dalam menggunakan HP. Aku mendengarkan apa kebutuhannya dan mengutarakan apa saja hal yang harus dia lakukan. Akhirnya dari diskusi ini kami memperoleh beberapa kesepakatan yang harus kami jalani bersama sebagai orang tua dan anak. Dia juga merasa senang karena dipahami perasaannya.
Aku mengubah caraku menegurnya dengan bahasa yang jauh lebih santai dan intonasi yang rendah. Aku tidak akan menegur jika sedang dalam keadaan capek, lapar, dan ngantuk karena jika itu dilakukan pasti akan menimbulkan konflik.
Ternyata setelah mengubah diriku dan berusaha untuk berkomunikasi dengan jauh lebih baik, batasan-batasan yang telah disepakati dapat berjalan tanpa konflik. Sekarang saat kutanya apakah masih mau ganti orang tua? Dengan mantap dia menjawab, “Tidak… bunda tetap yang terbaik,” dan kami pun tertawa bersama.
Sebuah kapal besar akan bersandar dengan baik di pelabuhan, jika memiliki jangkar yang kuat, yang akan membuat kapal tersebut aman, tidak terombang ambing karena memiliki pegangan yang kokoh. Kapal tersebut akan tetap aman bersandar selama terhubung dengan jangkarnya.
Dalam Ibrani 6:19 dikatakan “Pengharapan itu adalah sauh yang kuat dan aman bagi jiwa kita, yang telah dilabuhkan sampai ke belakang tabir.”
Ini adalah janji firman Tuhan buat kita semua, bahwa ketika kita memiliki pengharapan hanya pada Tuhan, maka sauh (jangkar) kita akan kuat dan aman buat jiwa kita, karena sudah dilabuhkan sampai ke belakang tabir, yaitu di tempat Allah Bapa kita.
Berawal dari suatu hal baru yang Tuhan letakkan di hati kami di tahun 2018, di mana kami merasa bahwa kami perlu renovasi rumah. Bukan untuk bergaya, namun kondisi bangunan rumah sudah di atas 10 tahun, banyak perbaikan yang harus dilakukan. Belum lagi kamar hanya ada 2 ruang, sedangkan anak saya ada 2 orang yang berbeda gender. Kami harus punya 1 kamar lagi untuk si bungsu. Setiap Jumat, rumah kami ada persekutuan komunitas sel group. Jadi rasanya alasan untuk kami merenovasi rumah, sangat kuat. Kami sekeluarga mulai doakan hal ini sambil menabung. Kami letakkan harapan kami pada Tuhan saja.
Tahun 2020, kita semua memasuki suatu musim hidup baru, yaitu pandemi covid-19. Suatu kondisi yang sangat baru, yang sebelumnya tidak pernah ada. Namun suatu “keajaiban” terjadi. Rumah orang tua saya yang diwariskan kepada kami 4 bersaudara, tiba-tiba ada yang menawarnya. Padahal rumah ini sudah dipasarkan sejak tahun 2015 dan selama itu tidak pernah ada yang deal secara harga. Pembeli mulai menawar sejak April, namun proses panjang terjadi, baik dokumentasi pembeli dan penjual, urusan pajak dan laporannya, proses KPR bank, urusan notaris dll, semua jadi suatu perjalanan buat kami. Pengharapan jadi suatu yang pasang surut, “aduh, bener bisa terjual kah?” Singkat cerita, proses penjualan rumah warisan berhasil dilakukan dengan harga yang kami inginkan, di akhir bulan Desember 2020, tepat di hari terakhir tahun tutup buku bank. Dari hasil pembagian dana penjualan rumah ditambah dengan tabungan yang kami miliki, kami mulai melangkah untuk mewujudkan harapan kami dalam merenovasi rumah.
Kami dipertemukan dengan arsitek yang pintar dan mau mendengar apa kebutuhan renov rumah kami, dan dia menggandeng kontraktor yang baik. Meski proses renovasi rumah di tengah-tengah pandemic, tapi semua berjalan dengan sangat baik. Kami juga mendapatkan rumah sementara dengan harga yang terjangkau.
Akhirnya proses renov selesai tepat waktu di akhir Oktober 2021, dana kami pun terbilang sangat cukup ( ada sedikit sekali pinjaman, yang saat ini juga sudah hampir selesai cicilannya). Saya boleh bertepuk tangan untuk perbuatan Tuhan bagi hidup saya, Dia bertanggung jawab penuh atas apa yang dimulaiNya dan tidak membiarkan saya terombang ambing tidak tentu arah, karena saya juga menaruhkan harapan saya padaNya dan saya menyaksikan betapa Dia memang kuat dan aman buat saya. Kami saat ini menikmati rumah yang baru dengan sangat nyaman. Dan kami bersyukur untuk itu.
Tidak mudah dalam melabuhkan pengharapan pada Tuhan, karena natur kita sebagai manusia pastinya menggunakan hal yang bisa dipikirkan oleh logika dan akal kita. Sedangkan bentuk pengharapan umumnya adalah abstrak, sesuatu yang tidak terlihat, tidak nampak, hanya BERHARAP…
Namun kembali lagi, jika Tuhan yang menaruhkan suatu yang baru dalam hidup kita untuk kita menaruhkan harapan kita pada Tuhan, percayalah, Dialah jangkar yang kuat dan sempurna, yang sangat aman bagi jiwa kita.
Aku
percaya Tuhanku Mahakuasa. Dia mampu melakukan apa pun yang kadang tidak
terpikirkan oleh manusia.
Enam tahun lalu, anak
sulungku—Ariel—yang waktu itu duduk di kelas 12, sakit DBD. Setelah beberapa
hari dirawat di rumah sakit, kondisinya membaik. Dokter bilang, besok ia boleh
pulang ke rumah. Namun, saat dokter melakukan pemeriksaan hari itu, ditemukan bahwa
ada kuman yang menyerang separuh dari paru-parunya sehingga Ariel harus dirawat
di HICU.
Selama empat hari pertama di HICU,
ia berada dalam masa kritis. Empat hari itu pula, hatiku menangis melihat
banyak selang di tubuh Ariel. Warna tubuhnya juga berubah menjadi kuning pekat
sebagai efek dari sakit paru-paru yang sudah merembet ke hati. Sebagai ibu, aku
terus memohon belas kasihan Tuhan karena hanya Dia yang sanggup menyembuhkan
Ariel. Kiranya, dokter dan obat-obatan menjadi perpanjangan tangan-Nya untuk
menolong Ariel kembali pulih.
Selama Ariel dirawat di HICU, ada
sesuatu yang membuatku heran. Setiap kali makan, anakku minta disuapi oleh
papanya. Padahal, selama ini dia hanya dekat denganku. Aku melihat mereka bisa
mengobrol, bercanda, dan berdoa bersama meskipun Ariel masih kesulitan bicara
karena sesak napas.
Di hari keenam Ariel dirawat di
HICU, ia mengajak kami berdoa. Aku dan suamiku merasa kaget sekaligus senang
karena biasanya kamilah yang mengajaknya berdoa. Kali ini, dia yang memimpin
doa. Ariel memegang tanganku dan suami, kemudian menyatukannya. Dengan suara
tersengal-sengal karena sesak napas, dia mulai berdoa.
“Tuhan, Ariel percaya bahwa sakit
ini bukan untuk membuat Ariel menderita, tapi Tuhan mau membuat keluarga Ariel
lebih baik lagi.”
Mendengar itu, aku dan suamiku
kaget. Kami berdua menangis. Seketika itu pula, aku merasa Tuhan membukakan
mata dan hatiku sambil berkata, “Inilah Aku yang penuh kuasa.” Aku tidak bisa
berkata-kata selain mengucap syukur di dalam hati. Tuhan sudah menjamah hati
anakku sedemikian rupa hingga dalam kondisi sakit pun dia bisa melihat rencana
indah yang Tuhan siapkan untuk keluarga kami.
Selama sakit sampai harus dirawat di
HICU, Ariel menjalani semua rangkaian pengobatan tanpa mengeluh. Namun, aku
tidak pernah menyangka, anakku punya pemikiran seperti dalam doanya itu. Tuhan
sungguh menjamah dia!
Setelah melalui berbagai proses,
akhirnya kondisi Ariel membaik sehingga dipindahkan ke kamar biasa. Setelah
dirawat selama hampir satu bulan di rumah sakit, akhirnya dia diizinkan pulang!
Sejak saat itu, Ariel menjadi lebih dekat dengan kami, terlebih papanya.
Lagi-lagi, aku diingatkan bahwa Allah yang Mahakuasa bisa memakai peristiwa apa
pun untuk membuat hubungan ayah dan anak menjadi lebih dekat. Aku percaya, semua
rancangan-Nya indah karena Ia sangat mengasihi kita.
“Sesungguhnya, TUHAN, Allahmulah
yang empunya langit, bahkan langit yang mengatasi segala langit, dan bumi
dengan segala isinya; … Sebab TUHAN, Allahmulah Allah segala allah dan Tuhan
segala tuhan, Allah yang besar, kuat dan dahsyat, yang tidak memandang bulu
ataupun menerima suap; …”
(Ulangan
10:14, 17)
Jika kita berbicara tentang Allah yang Mahatinggi, maka kita
sedang membahas mengenai Allah yang menciptakan manusia, langit, bumi, dan
segala isinya. Dia adalah Allah yang memiliki otoritas begitu besar. Di
Alkitab, kita tahu bahwa Allah mendemonstrasikan kuasa-Nya di Mesir melalui
Musa, ketika Firaun mengeraskan hati dengan tidak mengizinkan bangsa Israel
keluar dari Mesir. Allah pun mengirimkan tulah-tulah yang dahsyat! Kuasa-Nya
melampaui para allah di Mesir dan mengatasi alam semesta, hingga akhirnya
Firaun tunduk pada otoritas Allah dan mengizinkan bangsa Israel keluar dari
Mesir.
Kita juga bisa melihat kuasa Allah yang Mahatinggi dari
kisah patung sembahan bangsa Filistin—Dagon yang jatuh di hadapan tabut
perjanjian, sebagai lambang kehadiran Allah yang saat itu direbut oleh bangsa
Filistin dan ditempatkan di kuil mereka. Hal ini menunjukkan bahwa Ia adalah
Allah segala allah dan Tuhan segala tuhan.
Ada banyak kisah lain di Alkitab yang membuat kita mengenal
sosok-Nya sebagai Allah yang Mahatinggi. Namun, tidak hanya melalui cerita
Alkitab, saya pun mengalaminya sendiri. Bulan Agustus 2021, istri
saya—Jessica—berpulang ke rumah Bapa. Hal itu membuat saya sangat berduka.
Beberapa kali di dalam doa, saya mengungkapkan kepada Tuhan bahwa sosok yang
sangat ingin saya jumpai pertama kali saat meninggal nanti adalah Jessica.
Suatu saat, Tuhan seolah bertanya, “Siapakah
yang lebih engkau kasihi—Aku atau Jessica?”
Hal itu sungguh menyadarkan saya tentang siapa yang
seharusnya menjadi sosok paling utama dalam hidup. Sejak saat itu, doa saya
adalah agar dapat mengenal Tuhan lebih lagi, sehingga nanti saat tiba waktunya
saya berjumpa dengan Tuhan, Dia adalah sosok pertama yang saya rindukan. Saya
ingin memeluk-Nya!
Sekarang, saya belajar untuk taat dan bergantung penuh
pada-Nya. Saya ingin berjalan bersama-Nya dengan kerendahan hati dan terus
meninggikan Dia. Biarkan Allah yang Mahatinggi memimpin kehidupan saya!
“… dan berkata: ‘Ya
TUHAN, Allah nenek moyang kami, bukankah Engkau Allah di dalam sorga? Bukankah
Engkau memerintah atas segenap kerajaan bangsa? Kuasa dan keperkasaan ada di
dalam tangan-Mu, sehingga tidak ada orang yang dapat bertahan melawan Engkau.”
Di Alkitab, 2 Tawarikh 20 mengisahkan tentang
Yosafat yang menerima kabar bahwa bani Moab dan bani Amon datang untuk
berperang melawannya. Singkat cerita, Yosafat mengalami kemenangan dalam
peperangan karena ada kedaulatan Allah atas kemenangan tersebut! Lewat kisah
tersebut, kita jadi tahu bahwa pernyataan tentang kedaulatan Allah tidak
berarti menggambarkan kehidupan seseorang selalu lancar dan baik-baik saja.
Justru, kedaulatan Allah akan semakin nyata ketika kita berada dalam kondisi
yang kurang nyaman, seperti mengalami kekalahan atau sakit.
Tentang kedaulatan Allah, saya ingin sharing sesuatu. Beberapa bulan yang
lalu, tepatnya tanggal 30 September 2021, saya menerima kabar bahwa kakak
mengalami pendarahan otak dan dalam kondisi koma. Saya sangat terkejut karena
tidak pernah mendengar cerita kalau Cece—panggilan saya untuk kakak—mengidap
penyakit apa pun.
Singkat cerita, saya berangkat ke Surabaya
untuk menengok Cece yang dirawat di HCU. Saat itu, saya menyerahkan seluruh
harapan untuk kesembuhan Cece kepada Tuhan sambil memohon belas kasih-Nya.
Selama 11 hari Cece dalam keadaan koma, hingga akhirnya pada hari Senin, 11
Oktober 2021, Tuhan memanggil Cece pulang ke rumah Bapa.
Saya dilanda kesedihan yang luar biasa,
melebihi ketika kehilangan papa dan mama. Harapan saya untuk kesembuhan Cece
tidak terwujud. Pikiran saya mulai dipenuhi oleh pertanyaan: mengapa Cece harus pulang ke rumah Bapa
secepat ini? Apakah saya tidak tahu tentang kedaulatan Tuhan? Saya sangat
tahu, tetapi secara manusia, saya terus meronta dan mempertanyakan kenapa, kenapa, dan kenapa. Rasanya, saya tidak terima Cece pergi begitu cepat!
Sampai akhirnya, saya memutuskan untuk
berhenti mempertanyakan hal tersebut karena sadar, ketika membiarkan pertanyaan
itu terus menguasai diri, lama-kelamaan saya bisa jadi tidak mengakui
kedaulatan Tuhan. Saya mulai mengganti pertanyaan-pertanyaan yang muncul itu
dengan mengingat janji Tuhan di Mazmur 23: 4—Tuhan berjanji selalu menyertai,
bahkan ketika kita berada di lembah kekelaman sekalipun!
Saya juga disadarkan bahwa kepergian Cece
membuat saya merasakan kehadiran banyak orang yang begitu peduli dan menjadi
perpanjangan tangan Tuhan untuk menguatkan dan menghibur saya. Mereka
melakukannya tanpa kata-kata penghiburan yang klise, tetapi tindakan nyata,
yang saya maknai sebagai bagian dari penyertaan Tuhan. Saya tidak sendirian! Bukankah
itu hal yang luar biasa? Imanuel!
Apakah setelah itu kesedihan di dalam hati
menjadi hilang? Tidak, tetapi saya diingatkan bahwa selalu ada penyertaan Tuhan
dalam hidup kita! Kedaulatan-Nya bukan digunakan secara semena-mena dan kejam
terhadap manusia, karena semua yang ada di dalam hati dan pikiran Allah adalah
kasih. Dalam keterbatasan manusia untuk memahami kedaulatan-Nya, yang kadang
tidak menyenangkan dan tidak nyaman buat kita, mari berhenti untuk bertanya
“mengapa” dan cobalah melihat lebih dalam tentang penyertaan-Nya di setiap musim
kehidupan. Dengan demikian, kita akan dimampukan melewati dan menerima
kejadian-kejadian tertentu, serta mengerti bahwa Tuhan selalu memegang kendali
atas segala situasi yang kita hadapi!
Bulan November 2021 lalu saya mengikuti program CARE (Connect –
Accept – Restore – Equipt). Program ini digagas oleh Bu Charlotte untuk
membantu peserta menemukan jati diri dan menyembuhkan luka-luka yang sedang
dirasakan. Diharapkan, setelah mengikuti program ini, peserta mampu menolong
orang lain.
Untuk sementara, program ini karena berupa pilot project sehingga pesertanya ditujukan hanya untuk CPR dan CC
Sekolah Athalia. Pada pertemuan ketiga, yang membahas tentang value, belief, dan attitude,
materi yang disampaikan sangat menohok saya. Waktu tiap peserta diminta untuk
memikirkan value, belief, dan attitude, saya bisa dengan mantab dan yakin bahwa value saya adalah keluarga. Buat saya,
itu hal yang paling penting bagi saya saat ini. Belief yang saya yakini, keluarga adalah tempat kita pulang, tempat
ternyaman, tempat di mana susah dan sedih dilalui bersama; tempat di mana saya
tidak perlu memakai topeng untuk menjadi orang lain. Saya bisa menjadi diri
sendiri tanpa perlu memikirkan penilaian orang. Salah satu contoh attitude yang mendukung kedua hal
tersebut, yaitu saya tidak akan pernah pergi berlibur sendiri dengan
teman-teman. Menurut saya, liburan adalah momen menyenangkan yang seharusnya
saya habisnya bersama keluarga.
Namun, malam hari setelah pertemuan itu, pikiran saya terusik. Saya
memikirkan value yang saya yakini, yang tertentu tentu saja berpengaruh
terhadap belief dan attitude. Saya teringat pesan
fasilitator untuk terus menggali hal ini agar semakin mengenal diri.
Saya merenungkan banyak hal, terutama dalam hal mendidik dan
membesarkan anak-anak. Saya mengajarkan anak-anak untuk memiliki hati yang mau
melayani orang lain. Saya juga berpesan kepada mereka untuk senantiasa menjadi
berkat buat orang lain, memiliki sopan santun, dan bergaul dengan baik. Saya
juga selalu menemani mereka saat belajar.
Begitu juga terhadap suami. Saya selalu menyiapkan segala
keperluannya, mengantarnya sampe ke pintu pagar saat dia akan berangkat kerja,
dan mengingatkannya untuk makan saat sedang di kantor.
Saya melakukan semua itu dengan pemikiran bahwa merekalah yang
terpenting buat saya. Namun, malam itu saya merenung lebih dalam lagi sampai
pada satu titik Tuhan menyingkapkan semuanya. Saya sadar bahwa selama ini saya
melakukan semuanya bukan karena keluarga begitu penting, tetapi untuk diri
sendiri.
Selama ini, saya mengajarkan anak-anak tentang cara bergaul dengan
orang lain agar saya dilihat sebagai ibu yang berhasil mendidik anak dengan
benar, sesuai ajaran Tuhan. Saya juga punya motif agar anak-anak tidak kepahitan
kepada saya dan membenci saya di kemudian hari. Begitu juga saat memperlakukan
suami. Saya ingin terlihat sebagai istri yang baik dan berbakti di mata suami
dan orang lain. Ternyata, value saya
adalah REPUTASI.
Ya… malam itu Tuhan menyingkapkan semuanya. Tak sadar, air mata
saya menetes. Saya sadar bahwa menanggapi panggilan menjadi seorang ibu tidak
mudah. Jika anak-anak bersikap tidak baik, orang akan bertanya, “Siapa
ibunya?”. Jika terjadi sesuatu terhadap suami, orang akan berpendapat istrinya pasti
kurang melayani suaminya dengan baik. Tidak ada penghargaan khusus atau promosi
jabatan untuk seorang ibu terutama ibu rumah tangga seperti yang didapat wanita
yang mendapatkan promosi jabatan di sebuah perusahaan.
Seorang ibu tidak akan pernah mendapat penghargaan sebagai ibu
terbaik dari orang lain selain dari keluarganya sendiri. Setidaknya, hal-hal
itulah yang saya percaya selama ini. Oleh karena itu, saya menganggap keluarga
begitu penting karena dari keluargalah saya bisa mendapatkan reputasi yang
baik. Hal inilah yang ingin saya capai: orang lain harus menilai saya baik.
Namun, akhirnya saya sadar bahwa semua itu pemikiran yang salah.
Saya mulai belajar mengubah semua motivasi dalam menanggapi panggilan sebagai
ibu rumah tangga dan istri. Saya seharusnya meresponsnya sebagai wujud syukur
karena Tuhan sudah begitu besar mengasihi dan memberikan anugrah yang besar
kepada saya: seorang suami yang baik dan anak-anak yang manis. Sudah sewajarnya
saya melayani mereka sesuai dengan yang Tuhan mau, bukan sebagai alat agar
orang melihat dan menilai saya sebagai ibu dan istri yang baik.
Saat ini, saya masih terus belajar memiliki motivasi yang benar,
yaitu sebagai ucapan syukur kepada Tuhan agar hanya nama Tuhan yang
dipermuliakan. Saya ingin Tuhan berkenan atas saya karena telah mendengar
panggilan sebagai ibu rumah tangga sesuai dengan yang Dia kehendaki sehingga
hanya nama-Nya yang dipermuliakan.
Karena itu nasihatilah seorang akan
yang lain dan saling membangunlah kamu seperti yang memang kamu lakukan (1 Tesalonika 5: 11).
“Kaulah yang terbaik.”
Ketika mendengar frasa ini,
kita langsung tahu bahwa frasa ini diucapkan untuk memberikan
dukungan/peneguhan. Ketika frasa ini disampaikan kepada orang lain, bisa
memberikan dukungan dan bersifat membangun. Kita bisa mengucapkan frasa ini
dengan tulus jika memiliki unconditional love (kasih
tanpa syarat) dan penerimaan terhadap orang lain.
Bagi orang percaya, dua hal
tersebut bisa kita peroleh melalui Kristus karena melalui-Nya Allah mengasihi
dan menerima kita tanpa syarat: “…
Allah menunjukkan
kasih-Nya kepada kita, oleh karena Kristus telah mati untuk kita, ketika kita
masih berdosa.” (Roma 5: 8)
Kasih tanpa syarat ini idealnya kita praktikkan kepada orang lain
sebagai dasar dalam berelasi, terutama kepada pasangan dan anak. Ketika hal ini terus-menerus
dipraktikkan, akan membentuk sebuah siklus yang dapat semakin memperkuat relasi
dengan orang lain.
Gambar
oleh Bpk. Rizal & Ibu Rina Badudu.
Pada kesempatan ini, saya
akan membagikan penerapan kasih tanpa syarat antara saya dan suami.
Saya dan suami memiliki
bahasa kasih terkuat yang sama, yaitu sentuhan fisik. Bahasa kasih terkuat kami
yang kedua, yaitu kata-kata penguatan/penghargaan (saya) dan pelayanan (suami
saya). Bahasa kasih kedua inilah yang justru kerap kali menjadi sumber konflik.
Di keluarga asal saya, saya tidak menerima kata-kata dorongan yang cukup dari
orang tua. Akhirnya, saya mengalami kekosongan dan menuntut pasangan serta anak
untuk memenuhi kekosongan tersebut. Sementara itu, suami memiliki latar belakang
kedua orangtua mendidik anak supaya irit dalam berkata-kata, sopan kepada semua
orang, termasuk di luar keluarga, dan sebisa mungkin menghindari konflik agar
suasana di rumah dapat “tenang”. Latar belakang pola asuh kami ini juga terbawa
ke dalam relasi kami sebagai suami istri.
Ketika konflik muncul, suami
saya cenderung untuk diam. Suami saya bahkan bisa dalam beberapa hari
“membiarkan” saya yang juga sedang diam. Padahal, di dalam pikiran, saya sangat
gelisah. Saya berburuk sangka, merasa tidak dikasihi, karena tidak ada penyelesaian
atas masalah kami (bahkan kata “maaf).
Dalam kondisi yang berbeda,
saya merasa suami kurang bisa menunjukkan penghargaan kepada saya. Kepada orang
lain, dia bisa begitu sopan. Namun, kepada saya, dia bisa mengutarakan kalimat,
“Eh, lempar kunci, dong!”, “Ma, piring, dong!”, dan lain sebagainya. Padahal,
saya begitu “haus” dengan kata-kata “maaf”, “tolong”, “terima kasih”, dan
sejenisnya.
Situasi seperti demikian
membuat saya merasa tidak nyaman. Bersyukur kepada Tuhan, pada 2018 yang lalu
gereja kami mengadakan retret pasutri yang dibawakan oleh GI. Julimin dan alm. GI. Wei Tjen.
Di acara tersebut, kami diberi kesempatan mengobrol berdua dan di situ kami
saling mengungkapkan isi hati satu sama lain.
Suami, dengan latar belakang
keluarganya dan penerimaan diri yang juga tidak terlalu baik, menjadi sangat
sopan kepada orang lain di luar dirinya. Setelah menikah, suami saya merasa
saya sudah menjadi bagian dari dirinya sehingga dia merasa bisa menjadi apa
adanya dan tidak perlu terlalu sopan.
Suami saya merasa sudah
memberikan seluruh cintanya melalui tindakan pelayanan yang dia lakukan kepada
saya, tetapi saya tidak bisa merasakan kasihnya karena tidak sesuai dengan
bahasa kasih saya.
Bagi suami saya, mengucapkan
kata “maaf”, “terima kasih”, “tolong” kepada inner circle, termasuk dirinya sendiri, bukan sesuatu yang mudah
dilakukan. Ketika mendiamkan saya saat konflik terjadi, suami saya pun gelisah
setengah mati karena takut mengatakan hal yang salah dan nantinya makin
memperbesar kekecewaan saya.
Ketika mendengarkan isi hati
suami, saya merasa sedih karena selama ini saya kesulitan memahami dan menerima
dia apa adanya. Padahal, dia sudah begitu berjuang menunjukkan kasihnya kepada
saya. Setelah itu, kami bersama-sama mengambil langkah praktis yang terus-menerus
dipraktikkan
hingga sekarang dan harapannya bisa kami
lakukan terus ke depannya.
Berikut beberapa hal yang
kami sepakati.
Berjuang
bersama Roh Kudus untuk memulihkan diri dari luka masa lalu dengan cara
memulihkan relasi saya dengan orangtua. Ketika saya bersedia diproses oleh
Tuhan, saya semakin dipulihkan. Relasi saya dengan suami dan anak pun menjadi jauh lebih
baik.
Bersedia
untuk terus belajar mengasihi satu sama lain dengan bahasa kasih yang sesuai
dengan yang diharapkan pasangan.
Berlatih
untuk tidak menghakimi pasangan. Ketika sisi gelap salah satu dari kami muncul,
pasangan tidak menghakimi dengan berkata, “Tuh,
kan gua bilang juga apa, kebiasaan
sih!”, “Kamu kok, gitu terus, sih”, dan lain-lain.
Mendisiplinkan
diri dengan bertanya, “Apa yang bisa saya lakukan untuk kamu/kita dalam
menghadapi kelemahan/konflik ini?” Tidak ada lagi “saya vs kamu”. Yang ada
adalah “kita vs masalah”.
Menjadi
penolong, bukan perongrong. Setiap pagi sebelum beraktivitas, kami akan
bertanya, “Mau didoakan apa?” Selain itu, kami terus memegang prinsip: “Kamu
memang tidak sempurna, saya pun begitu. Namun, kamu tetaplah yang terbaik yang
Tuhan berikan kepada saya.”
Ketika kita sedang berada di
titik rapuh, kita pasti rindu untuk direngkuh. Oleh karena itu, dari pada
memberikan respons berupa penolakan, penghakiman, atau ketidakmengertian,
sudahkah kita merangkul sesama, memberinya ketenangan, hiburan, dan penguatan?
Jangan
kamu menghakimi, supaya kamu tidak dihakimi. Karena dengan penghakiman yang
kamu pakai untuk menghakimi, kamu akan dihakimi dan ukuran yang kamu pakai
untuk mengukur, akan diukurkan kepadamu (Matius 7: 1–2).
Gary Thomas di bagian ini mengatakan bahwa
pernikahan bisa menjadi sarana perubahan diri. Berbagi hidup dengan pasangan di
dalam pernikahan dapat membuat tiap individu saling mempertajam dan mengasah
satu sama lain. Namun, ada hal yang bisa membunuh proses pembelajaran ini,
yaitu kecenderungan menghakimi pasangan dan menolak untuk mendengarkan
pasangan. Tidak ada satu orang pun yang sempurna di dunia ini, begitu juga
pasangan kita. Oleh karena itu, ada baiknya kita berfokus pada kekuatan dan
kelebihan pasangan yang bisa memberikan kita inspirasi.
Berdasarkan pengalaman pribadi, saya menyadari
bahwa dunia pernikahan tidak seindah seperti yang saya bayangkan. Tidak seperti
kehidupan yang digambarkan di drama Korea yang menampilkan hal yang
indah-indah. Ketika merenungi tema PIT dengan judul “Dibentuk dengan Berbagi
Hidup”, saya mulai berpikir, apa saja yang sudah saya dan suami lalui sebagai
pasangan? Di usia pernikahan kami yang baru 13 tahun, kami tidak hanya memiliki
banyak persamaan, melainkan juga perbedaan.
Sebagaimana yang disampaikan oleh Gary Thomas,
kita bisa belajar dan dibentuk oleh pasangan, saya pun mengalaminya. Contoh
beberapa hal yang saya pelajari dari suami saya, yaitu dalam hal percaya kepada orang lain, berani
berpendapat, humble, dan lain
sebagainya.
Dulunya saya tidak mudah percaya dengan orang
lain sehingga saya selektif dalam memilih teman. Hal ini karena saya pernah
dikecewakan oleh orang yang saya percayai sehingga tidak mudah bagi saya untuk
percaya kepada orang lain lagi. Namun, suami saya mengajarkan saya untuk mau
belajar memercayai orang. Misalnya di dalam pekerjaan, saya mulai bisa berbagi
tugas dengan rekan kerja ketika saya bekerja sebagai sekretaris. Sebelumnya,
semua pekerjaan saya tangani sendiri dan rekan saya hanya melakukan pekerjaan
yang ringan-ringan saja. Dampaknya, saya sering kali kerja lembur untuk
menyelesaikan pekerjaan. Ketika saya mulai belajar untuk memercayai orang lain,
hidup saya tentunya menjadi lebih ringan. Dengan demikian, saya juga belajar
untuk lebih rendah hati.
Dahulu, saya adalah orang yang tertutup atau
antisosial. Namun, kemudian saya belajar bersedia membuka diri. Perubahan ini
memungkinkan saya untuk melayani Tuhan bersama banyak orang. Apalagi ketika
saya sudah menjadi orang tua dan anak saya bersekolah di Athalia. Mau tidak mau
saya harus bersosialisasi dengan banyak orang tua lainnya karena di Athalia ada
komunitas orang tua. Ketika saya bersedia diubah, saya merasa sangat terbantu
dalam bersosialisasi dan berani ketika diminta melayani menjadi CPR lalu
sekarang di BPH APC, serta berani melayani di gereja lokal kami.
Saya bersyukur suami tidak pernah menghakimi
kekurangan saya ini. Dia membantu saya untuk terus memperbaiki diri. Begitu
juga sebaliknya, saya juga belajar untuk tidak menghakimi kekurangan suami.
Saya sadar, ketika saya menunjukkan jari telunjuk ke orang lain, sesungguhnya
ada empat jari lainnya yang menunjuk ke diri saya.
Demikian sharing
dari saya, kiranya Tuhan Yesus memberkati. Terima kasih.
Amsal 4: 23 “Jagalah hatimu
baik-baik, sebab hatimu menentukan jalan hidupmu.” (BIS)
Amsal 4: 23 “Jagalah hatimu
dengan segala kewaspadaan, karena dari situlah terpancar kehidupan.” (TB)
Firman Tuhan yang direnungkan pada Rabu, 6 Oktober 2021 diambil dari
Amsal 4: 23. Ketika menyebut kata “menjaga” umumnya kita akan berpikir tentang
hal-hal yang tampak, tetapi jarang terpikir akan hal yang tak kasatmata.
Jadi, ketika Alkitab berbicara tentang hati, tentu tidak berbicara
tentang fisik. Hal ini lebih mengacu kepada pikiran, kehendak atau bahkan
batiniah. Pikiran dan kemauan adalah tempat di mana kita membuat keputusan,
setiap pilihan yang kita buat. Segala sesuatu yang kita putuskan untuk
dilakukan berasal dari sana.
Mengapa penting untuk menjaga hati kita?
Karena kita mencintai Tuhan yang sudah lebih dulu mencintai kita.
Salah satu motivasi terbesar
untuk menjaga hati karena kita mencintai Tuhan. Mengasihi Tuhan dan memelihara
persekutuan yang erat dengan-Nya harus menjadi landasan utama dalam
menjaga hati.
Sebelum pandemi, tugas dan
pelayanan mengharuskan saya dan suami bepergian ke luar kota. Kami sudah
sepakat walau melayani
Tuhan, kami ingin selalu bersama dengan anak-anak.
Akhirnya, kami memilih jadwal saat anak-anak libur sekolah agar mereka bisa
ikut. Ini bukan keterpaksaan, tetapi hal yang
dilakukan dengan sukacita. Kami memilih untuk melakukannya karena rasa sayang.
Kami saling mengasihi sehingga kami menempatkan perlindungan untuk hati kami
dengan cara seperti ini.
Rencana Tuhan
Ketika semua yang kita lakukan
mengalir dari hati, mungkin saja rencana Tuhan sedang terjadi dalam hidup kita.
Tidak ada yang lebih memuaskan
di bumi ini selain melakukan kehendak Tuhan.
Menyelesaikannya dengan baik
Banyak di antara kita yang
memulai dengan baik, tetapi mengakhiri dengan buruk. Amsal mengingatkan agar
kita memulai dan mengakhiri dengan baik pula.
Menjalani pekerjaan yang harus
sering keluar kota, mewartakan kabar baik,
dan melayani bersama-sama keluarga tentu tidak mudah. Namun, kami ingin menyelesaikannya dengan baik. Suatu kali, kami
melayani di Desa Pulutan, Wonosari,
Gunungkidul. Kami tidak memberi tahu anak-anak tentang kegiatan hari itu.
Sesampainya di lokasi, anak kami yang besar bertanya, “Kenapa kita disambut
seperti presiden?” Dia bingung karena kehadiran kami disambut meriah. Singkat
cerita, kami beramah tamah. Anak kami yang besar waktu itu masih kelas 4 SD,
ditanya oleh salah seorang murid lokal tentang
bahasa yang dikuasai. Lalu anak kami berkata,
“Aku bisa bahasa Mandarin. Wo jiào Nathanael. Nǐ jiào shénme míngzì?”
Semua orang yang ada di ruangan itu tertawa.
Kemudian, anak kami berkata, “Kamu juga bisa, makanya
kamu harus rajin belajar.” Lalu, semua orang di sana bertepuk tangan.
Hari itu, kami pulang dengan
hati bersyukur karena yang kami mengalami liburan yang luar biasa. Anak-anak mengerti tentang menjaga sekaligus
memberi hati untuk orang lain. Kami sekeluarga pun menyelesaikan misi/tujuan
Tuhan dalam hidup kami, walau dengan cara yang sederhana.
Menjaga hati bahkan juga dialami tokoh misionaris terhebat sepanjang
masa dalam Filipi 3: 12–14. Paulus menyadari bahwa pekerjaannya belum selesai dan dia ingin
memastikan bisa menyelesaikannya dengan kuat.
Saya yakin Paulus pun menjaga hatinya. Saya dan kita semua harus
melakukan hal yang sama.
Sebagai penutup, saya bagikan satu ayat yang merangkum cara menjaga
hati: “Jadi akhirnya, saudara-saudara, semua
yang benar, semua yang mulia, semua yang adil, semua yang suci, semua yang
manis, semua yang sedap didengar, semua yang disebut kebajikan dan patut
dipuji, pikirkanlah semuanya itu.”– Filipi 4: 8
Anak
adalah titipan Tuhan yang sangat berharga. Sebagai orang tua, kita pasti ingin
menanamkan nilai-nilai kebaikan di hidupnya agar menjadi generasi yang tangguh
dan mandiri di masa depannya.
Saya
ingin berbagi cerita tentang putri pertama kami. Dia termasuk anak yang patuh,
penyayang, tetapi dia anak yang pemalu dan manja. Ketika ada anak sebaya yang
mengajaknya bermain, dia malah lari pulang ke rumah dan mau main jika saya
temani. Daya juangnya juga masih kurang ketika ingin sesuatu, misalnya membuat benda
dari origami. Saat hasilnya tidak bagus atau gagal, dia langsung menyerah dan
tidak mau mencoba lagi.
Kami
selalu membimbing dan menyemangati dia agar lebih percaya diri serta mau
berusaha. Kami selalu mengingatkan dia bahwa tidak semua yang dia inginkan
dapat terwujud. Ada saatnya dia harus berusaha keras untuk mendapatkan sesuatu
yang diinginkannya. Kami juga mengingatkan pentingnya rasa syukur atas nikmat
yang sudah Tuhan berikan. Apa yang sudah tersedia dan sudah dia miliki harus
disyukuri dan tidak meminta lebih karena masih banyak orang lain di luar sana
yang kekurangan.
Suatu
hari, saat usia anak kami lima tahun, dia minta dibelikan mainan yang cukup
mahal bagi kami, yaitu satu set mainan Plants vs Zombies. Kami pun tidak
membelikannya karena mainannya sudah cukup banyak di rumah.
Beberapa
hari kemudian, saat sedang sekolah daring, dia memanggil saya dan menunjuk ke
arah layar laptop. Ternyata ada teman laki-lakinya yang sedang memegang salah
satu mainan yang dia suka. Saat itu dia mengeluh lagi dan berkata ingin
dibelikan mainan tersebut. Namun, tetap saya katakan tidak dengan memberi
penjelasan yang sama.
Beberapa
minggu setelahnya, terjadi peristiwa yang cukup membekas di hati saya. Di suatu
siang yang panas, anak saya bilang bahwa dia mau jualan. Saya mengiyakan saja
karena dia suka mainan jual-jualan dan mama papanya disuruh menjadi pembeli.
Namun, ternyata kali ini berbeda. Dia meminta tolong kepada saya agar
membawakan meja belajar kecilnya ke teras depan rumah. Lalu, saya lihat dia juga
membawa kertas HVS yang bertuliskan “Mainan ini dijual, ya!” dengan disertai
hiasan spidol warna-warni. Saya bertanya, “Memang kamu mau ngapain?” Dia menjawab sembari menempelkan kertas HVS di pinggir
meja bagian depan, “Aku mau jualan karena aku mau dapet duit biar bisa beli mainan Zombie.”
Dia masuk ke dalam rumah sebentar kemudian kembali keluar sambil membawa sekantong mainan dan segenggam cemilan yang diambil dari rak makanan. Dia letakkan berbagai cemilan tersebut, kemudian dia mengambil kertas, gunting, dan selotip. Dia menuliskan harga dan menempelkannya ke bungkus cemilan. Saat dia meletakkan cemilan ke meja, saya lihat harga satu Beng-Beng Rp1.000.000 dan Nyam-Nyam Rp1.000.000.000. Hampir semua cemilan dia kasih harga fantastis. Saya hanya tertawa dalam hati. Ya… tentunya dia belum paham arti nol sebanyak itu. Walau geli melihat hal itu, saya terharu sekali. Saya tidak menyangka dia akan seniat itu untuk berjualan demi mendapatkan mainan yang dia mau. Entah dari mana asal ide itu, yang pasti saya dan suami cukup kaget melihatnya.
Saat
itu, saya mengelus rambutnya sambil berkata, “Jadi kamu mau jualan beneran, ya??”
Dia
pun menjawab dengan semangat, “Iyaa… nih
aku udah tulis harga makanannya,
terus aku juga mau jualin mainan yang
di kantong yang udah nggak aku suka.”
“Ya
sudah. Mama bantuin yah, tapi ini kan
masih siang dan panas. Mana ada yang mau beli mainan. Nanti sore aja. Sekarang masuk dulu, istirahat.”
Dia
pun bersikeras tetap tidak mau masuk ke dalam rumah. Dia membuka pagar rumah
selebar-lebarnya dan meja pun digeser ke depan. Alhasil sebagian makanan
terkena sinar matahari panas. Dia pun sudah beratribut lengkap dengan memakai
topi sambil membawa waist bag
dikalungkan ke leher dan satu pundaknya. Dia duduk menunggu pembeli datang.
Beberapa kali saya bujuk agar masuk ke dalam rumah sambil menunggu pembeli
datang, tetapi dia tetap tidak mau. Saya hanya mengawasi dari dalam rumah dan
tidak mau mengganggunya walau sebenarnya kasihan melihatnya kepanasan.
Setelah
15 menit berlalu, belum juga ada yang beli. Dia tetap duduk diam. Entah apa
yang dipikirkannya: sedih karena tidak ada yang beli atau semangat menunggu
pembeli. Setelah 20 menit lebih, akhirnya saya bujuk baik-baik dan dia mau
masuk ke dalam dan kembali berjualan sore nanti.
Sore
hari pun tiba. Sekitar pukul 4 sore dia semangat untuk kembali berjualan.
Sebelumnya, kami sudah berdiskusi tentang harga makanan yang dijual dan memilih
mainan apa saja yang layak dijual. Mainan ada yang dijual dengan harga seribu
dan dua ribu karena ukurannya yang imut dan sengaja diberi harga murah agar ada
yang mau beli. Kebetulan dekat rumah ada musala dan sore hari biasanya ramai
anak-anak yang mengaji. Jadi, kami berharap ada 1–2 anak yang mampir ke “lapak”
kami saat perjalanan pulang.
Setelah
mencoba berjualan selama tiga hari, uang yang terkumpul sebanyak 22 ribu
rupiah. Dia senang bukan main. Kami berniat mau menambahkan uang untuk
membelikan mainan yang dia mau.
Saya
pun bertanya, “Kamu jadi mau beli mainan Plants vs Zombies?”
Secara
mengejutkan, dia menjawab, “Enggak jadi. Aku mau beli mainan makeup-makeupanaja!” sambil menunjukkan gambarnya di Tokopedia.
Apa pun akhirnya, kami salut atas usahanya, kami pun bersyukur karena anak kami akhirnya dapat memahami jika ingin mendapatkan sesuatu harus berusaha dan tidak mudah menyerah. Oiya ternyata dari hasil usaha berjualannya itu pula dia akhirnya belajar bersosialisasi dan lebih percaya diri, bahkan akhirnya mendapatkan teman baru untuk bermain setiap sore hari. Terima kasih.