Mendampingi Anak Berproses dalam Karakter

Oleh: Sinsi dan Aegis, Orang Tua Siswa

Kami mengingat kembali saat anak kami duduk di bangku TKB dan harus mengikuti tes kematangan sebagai salah satu syarat masuk SD Athalia. Masa itu merupakan pengalaman iman luar biasa buat kami dalam hal tumbuh kembang anak…

Aegis dan Sinsi memiliki latar belakang keluarga yang berbeda. Aegis bertumbuh dalam keluarga yang seperti broken home, tetapi orang tuanya tidak bercerai. Sementara itu, Sinsi tumbuh dalam keluarga yang penuh kasih, harmonis, dan sangat kekeluargaan. Orang tua Sinsi biasa menunjukkan kasih dengan cara memanjakan anak-anaknya. Bisa dibilang level memanjakan kebanyakan orang kepada cucunya sudah diterapkan kepada anak-anaknya.

Begitu Sinsi hamil hingga melahirkan, keluarganya sangat bersukacita. Kami diminta tinggal di rumah Sinsi. Anak kami mendapatkan curahan perhatian dan kasih sayang dari kakek dan neneknya. Apa pun yang diminta selalu dituruti bahkan ditawari segala hal karena itulah bahasa kasih mereka dan mereka ingin cucunya senang. Ada beberapa kebiasaan yang tumbuh dalam diri anak kami, yang kalau menurut pandangan orang mungkin terlalu berlebihan. Begitulah cara orang tua Sinsi menunjukkan kasih sayang mereka terhadap cucunya.

Sayangnya, pola asuh orang tua Sinsi ini membuat kami sebagai suami istri sering bertengkar. Aegis tidak setuju dengan perlakuan yang diterima anak kami. Sinsi, sebagai anak, merasa tidak berdaya melawan orang tuanya yang sangat mengasihi cucu mereka. Sinsi sempat bertanya-tanya, apakah benar memanjakan cucu akan sampai “merusak” anak itu? Bukankah anak itu akan berubah dengan sendirinya kalau sudah beranjak besar (bisa mandiri dan lain sebagainya)?

Pertengkaran kami semakin intens dan kami jarang merasakan damai dan sukacita. Akhirnya, kami memutuskan untuk pindah rumah, memisahkan diri dari keluarga Sinsi. Dalam proses ini, terjadi perdebatan yang cukup intens dengan orang tua Sinsi. Namun, kami sudah sepakat untuk menyelamatkan rumah tangga kami.

Ternyata, pindah rumah tidak menyelesaikan masalah. Orang tua Sinsi tetap ingin dekat dengan cucunya dan datang ke rumah hampir tiap hari. Puncak dari isu di keluarga kami muncul ketika kami dipanggil Kepala TK Athalia. Pada pertemuan tersebut, Bu Risna dan Bu Elita menyampaikan bahwa anak kami tidak lulus tes kematangan. Mereka juga menceritakan, ketika menjalani tes tersebut, anak kami berperilaku sangat buruk. Dia tidak mau mengikuti instruksi yang diberikan, bahkan sampai memarahi guru yang sedang mengobservasinya.

Mendengar informasi tersebut, kami kaget sekali. Di rumah, anak ini tidak pernah berkata kasar. Namun, ternyata dia bisa sampai marah-marah dan berucap kasar kepada guru di sekolah. Hati kami hancur. Namun, di titik ini, Sinsi menyadari bahwa efek pola asuh yang salah sangat memengaruhi perkembangan seorang anak. Sejak saat itu, kami kembali bersatu, bertekad mengubah pola asuh selama ini dan memperbaiki perilaku dan karakternya.

Kami bersyukur Athalia masih memberikan kesempatan kepada anak kami untuk mengikuti tes kematangan kedua. Tak mau buang waktu, kami melakukan langkah nyata. Kami berbicara kepada orang tua Sinsi mengenai kondisi anak kami dan meminta pengertian mereka tentang beberapa hal yang sudah kami sepakati. Memang tidak mudah menyampaikan ini kepada orang tua, tetapi kami harus melakukannya demi kebaikan anak kami.

Kami membuat aturan yang jelas dan memberlakukan rutinitas harian yang harus diikuti. Kami juga memberikan konsekuensi jika anak kami menunjukkan ketidaktaatan. Kami juga mengajak anak untuk berbicara dari hati ke hati. Kami sampaikan bahwa selama ini kami melakukan cara yang salah dalam mendidiknya. Kami memberikan pengertian kepadanya: sesuai firman Tuhan, kita tidak bisa hidup semaunya. Kita harus berusaha menjadi berkat untuk orang lain, dimulai dengan belajar taat dan bersikap baik.

Proses itu kami jalani, tetapi harus diakui sangat tidak mudah. Sekalipun sekolah dan kami sudah berusaha keras untuk memperbaiki karakter anak kami, kemajuannya sangat lambat karena sisa-sisa pola asuh terdahulu.

Kemudian, Tuhan menunjukkan kasih-Nya yang begitu besar kepada keluarga kami dengan membukakan jalan lain yang tidak pernah kami duga. Waktu itu, pandemi Covid-19 masuk ke Indonesia. Kami pun bisa fokus mendidik anak berdua saja. Anak kami dapat menghabiskan waktu lebih banyak bersama orang tuanya dan jarang berinteraksi dengan kakek-neneknya. Kesempatan ini kami pakai semaksimal mungkin untuk menanamkan nilai-nilai baru kepadanya. Pada saat itu, kami merasakan belas kasihan Tuhan karena anak kami mampu mengerti dan memahami didikan dan teguran yang kami berikan kepadanya.

Proses yang kami alami masih berlangsung hingga saat ini. Ada kalanya kami masih menghadapi riak-riak kecil dalam perjalanan ini. Namun, kami bersyukur karena Tuhan tidak pernah meninggalkan kami sendirian menjalani ini semua.

Tuhan memperkenalkan kami kepada Sekolah Athalia. Kami merasakan perhatian yang begitu besar dari pihak sekolah melalui diskusi dan percakapan dengan kami. Juga, dengan perhatian yang mereka berikan kepada anak kami.

Saat ini, anak kami sudah duduk di kelas 2 SD dan mulai memahami tugas dan tanggung jawabnya. Perilakunya sudah jauh lebih baik dibandingkan dua tahun lalu. Kami sekeluarga masih terus berproses bersama Tuhan dan Sekolah Athalia. Kiranya kisah kami dapat menjadi berkat bagi kemuliaan Tuhan. Amin.

Bertumbuh di dalam Panggilan Sebagai Orang Tua

Tuhan memanggil tiap kita untuk melayani-Nya dengan berbagai cara. Ada yang dipanggil melayani di gereja sebagai Hamba Tuhan. Ada yang dipanggil melayani di dunia profesional, dan ada yang dipanggil untuk melayani keluarga di rumah. Setiap orang lahir di dunia dengan perannya masing-masing dan Tuhan sudah merancangkannya dengan indah bagi kita. 

Begitu juga dengan menjadi orang tua. Kita tidak pernah memilih untuk menjadi orang tua, melainkan Tuhanlah yang memanggil kita untuk menjadi orang tua. Sebagai orang percaya, kita mengimani bahwa rancangan Allah adalah yang paling baik. Kita memilih untuk mengikuti jalan Allah—yang tentu tak pernah mudah—dan menjadikan keimanan kita sebagai pelita untuk menerangi jalan kita. Begitu kita dipanggil untuk menjadi orang tua, Tuhan memastikan tidak akan membiarkan kita berproses sendirian dalam perjalanan panjang itu.

Lalu, apa misi Tuhan menitipkan seorang anak kepada kita? Apakah semata-mata hanya untuk mengasuh dan mendidik anak itu? Ternyata tidak hanya untuk itu. Ada rancangan yang lebih besar yang Tuhan mau kita lakukan, yaitu bertumbuh. 

Sebagai manusia, kita diminta untuk terus bertumbuh, berkembang, menjadi lebih baik dari waktu ke waktu. Anak menjadi salah satu prasarana bagi kita untuk menjadi versi yang lebih baik dari diri sendiri. Pernahkah Anda mengingat-ingat, siapakah Anda 10 tahun yang lalu dan saat ini? Apakah dulu Anda seorang yang impulsif dan pemarah? Ketika anak hadir dalam kehidupan, ada banyak hal yang membuat Anda tak bisa dengan mudahnya menumpahkan kekesalan. Ada banyak pertimbangan yang harus dipikirkan sebelum mengucapkan atau melakukan sesuatu. 

Anak membentuk kita menjadi orang yang lebih baik. Bersama anak, kita bertumbuh bersama mereka. Tidak hanya mereka yang belajar dari kita. Justru, kita “dididik” oleh anak dengan cara yang sudah Tuhan rancangkan!

Melalui anak, Tuhan mengajarkan kita untuk semakin mengenal karakter-karakter-Nya.

Kita diajar untuk taat dan berserah saat kehabisan kata-kata menghadapi tingkah anak yang menjengkelkan. Kita diajarkan untuk bersabar dan menggunakan kasih dalam mendidik anak. Kristus menjadi satu-satunya teladan kita dalam menjalani parenting. Kita “dipaksa” untuk bertumbuh di dalam Allah melalui kehadiran seorang anak.

Selamat bertumbuh dalam karakter melalui peran kita sebagai orang tua. Anak-anak bisa menjadi salah satu sarana Tuhan mendidik kita, tetapi di sisi lain juga merupakan bagian dari peran kita sebagai orang tua. Mari terus belajar, membiarkan Tuhan mendidik kita, sambil mendidik anak-anak kita. Semuanya demi kemuliaan Allah! [DLN]

Perjuangan Memenangi Hati Anak

Oleh: anonim, orang tua siswa

Sore itu, seperti biasa saya pulang kantor dengan menggunakan ojek. Beberapa rumah sudah saya lewati, rumah mertua saya sudah tampak. Di balik pagar rumah itu, berdiri manusia kecil kesayangan, yang antusias menunggu saya pulang.

Namun, seperti hari-hari lainnya, yang saya rasakan hanyalah ingin cepat-cepat sampai ke rumah yang berjarak hanya beberapa rumah dari rumah mertua. Saya ingin segera membereskan pekerjaan rumah, seperti mencuci, menyapu, dan lain-lain. Jadi, saya hanya melambaikan tangan kepada anak saya yang sudah menunggu di balik pagar rumah mertua, dan meneruskan perjalanan ke rumah saya sendiri.

Peristiwa itu membuat anak saya bersedih. Dia lari pulang ke rumah dengan terburu-buru, menyusul mamanya. Sampai di rumah, dia melihat mamanya mulai sibuk dengan urusan rumah dan mulai membentak-bentaknya tiap dia mulai mencari perhatian.

Saya tidak bisa menepis tingginya kebutuhan rumah tangga keluarga. Bersama suami, saya bekerja untuk menghidupi keluarga. Kebetulan, suami saya anak tunggal sehingga dia juga harus memenuhi kebutuhan ibunya. Hal itu membuat kami sering pulang kerja sampai malam sehingga putra kami satu-satunya dititipkan ke ibu mertua.

Peristiwa itu terus bergulir dari tahun ke tahun sejak anak saya berusia empat tahun sampai dia duduk di sekolah dasar.

Saya mulai merasakan kegelisahan yang besar ketika melihat anak mulai menunjukkan pemberontakan, suka memukul dan berkata kasar, serta mudah marah. Lebih mengkhawatirkannya lagi, saat dia duduk di kelas dua sekolah dasar, dia pernah berkata ingin pergi dari rumah dan ingin mati saja.

Dalam hal kehidupannya di sekolah, tak kalah membuat pusing kepala. Beberapa kali saya dan suami mendapatkan laporan dari guru bahwa anak ini berteriak, memukul teman, bahkan sampai menendang teman perempuannya. Karena peristiwa ini, anak kami harus didisiplin oleh sekolah.

Saya mulai memperhatikan anak ini…. Saya melihat perilakunya ini efek dari dimanja oleh neneknya. Dia sering dibela oleh neneknya walau melakukan hal yang salah. Akibatnya, dia menjadi besar kepala dan kurang ajar kepada orang tuanya.

Saya sering menghela napas kalau sudah membahas hal ini. Dulu, mertua saya tinggal di luar kota. Namun, sejak suaminya meninggal, dia memutuskan tinggal dekat dengan anak semata wayangnya. Karena hanya memiliki satu anak, mertua saya punya kecenderungan protektif dan selalu ingin ikut mengatur rumah tangga saya dan suami.

Masalah keluarga itu membuat saya bukannya menghadapinya, malah melarikan diri dengan menenggelamkan diri ke dalam pekerjaan. Dengan sengaja, saya menyibukkan diri agar anak lebih banyak menghabiskan waktu dengan omanya, agar mertua saya tidak mencampuri urusan rumah tangga saya.

Saya sadar bahwa langkah ini tidak benar. Saya mengorbankan anak demi bisa “lari” dari masalah rumah tangga. Saya pun mulai merasa putus asa…

Beberapa tahun kemudian, saya akhirnya memutuskan untuk pindah kerja ke Sekolah Athalia. Sistem kerja di Athalia berbeda dengan kantor lama. Di sini, pekerjaan saya lebih teratur dan jam kerjanya manusiawi. Saya bisa sampai rumah pada sore hari. Athalia memang mengutamakan hubungan antaranggota keluarga. Kami diajarkan untuk menjalin relasi yang baik dalam keluarga dan tidak mengorbankan mereka demi pekerjaan.

Di sini, saya juga belajar tentang cara mendidik anak yang baik. Saya juga belajar tentang tanggung jawab sebagai orang tua. Lewat komunitas ini, saya bertumbuh dalam iman dan punya kerinduan untuk menjadi orang tua yang lebih bertanggung jawab. Seorang rekan atasan menyadarkan saya bahwa Tuhan sudah memberikan saya dan suami tanggung jawab untuk mendidik dan membesarkan anak, bukannya dilempar kepada pihak lain.

Akhirnya, saya mulai membicarakan hal ini kepada suami. Kami sepakat untuk mulai mendidik anak sendiri, tanpa intervensi pihak lain. Saat itu, putra kami sudah kelas 4 SD.

Langkah awal yang kami lakukan adalah mengambil jarak dari orang tua. Kami memutuskan untuk mengontrak rumah tak jauh dari tempat kerja saya. Saat itulah saya menyadari bahwa mendidik anak adalah tugas yang sangat menantang. Bekerja sembari full mengurus anak memang tak mudah. Namun, saya mau terus belajar dengan kerendahan hati dan meminta pimpinan Tuhan. Ada kalanya saya kembali merasakan putus asa dan emosional saat melihat anak memberontak, memukul, bahkan menendang saya. Saya menyadari bahwa itu semua adalah buah dari kesalahan saya yang sudah mengabaikannya dan menorehkan luka di hatinya selama bertahun-tahun.

Semenjak punya waktu lebih banyak sepulang kerja, saya sering menemani anak, entah itu bermain bola, naik sepeda, berjalan-jalan di taman, makan es krim, dan lain sebagainya. Saya menikmati tiap waktu bersama dengannya. Dalam kesempatan itulah, saya mengatakan kepadanya bahwa saya mengasihinya, dia begitu berharga di mata saya. Saya pun meminta maaf kepadanya karena sempat mengabaikannya.

Perlahan, hati anak saya mulai tergerak. Perilakunya berubah. Dia menjadi lembut dan mudah dinasehati, serta tidak lagi suka memberontak. Saya melihat perlahan karakternya berubah. Dia jadi lebih peduli terhadap orang lain, punya belas kasihan, dan murah hati. Dia mulai menunjukkan kasih sayangnya terhadap orang tuanya.

Di saat relasi dalam keluarga kami membaik, kami tetap menjaga hubungan baik dengan mertua. Kami menyarankan anak untuk beberapa kali dalam seminggu menengok neneknya. Tak disangka, mertua pun perlahan berubah sikap. Beliau tidak lagi bersikap protektif. Dia akhirnya melepaskan saya dan suami untuk menentukan langkah terbaik bagi rumah tangga kami.

Mengizinkan Tuhan untuk hadir di tengah rumah tangga saya memberikan dampak yang sangat besar. Kalau bukan karena pertolongan Tuhan, entah apa jadinya hubungan saya dan suami dengan anak dan mertua.

Saat ini, anak saya sudah berada di kelas 9. Saya bersyukur tahun ini dia memutuskan untuk menyerahkan hatinya menerima Yesus sebagai Tuhan dan Juru Selamatnya untuk lalu dibaptis di gereja tempat kami bertumbuh.

Saat ini, setiap saya mengingat momen-momen ketika saya hampir kehilangan hati anak saya, saya tidak kuasa menahan air mata. Saya melihat Tuhan bekerja dalam dirinya, “membalikkan hatinya” untuk mau mengasihi orang tuanya dan Tuhan, sungguh suatu anugerah yang luar biasa.

Perjalanan saya dan suami masih panjang untuk mengantar dia ke jenjang kuliah. Saat ini, yang kami bisa kami lakukan adalah terus menabur firman Tuhan setiap hari melalui mezbah keluarga, berdoa, bergantian membaca firman Tuhan, dan menyembah Tuhan. Saya dan suami tidak pernah lupa untuk bertanggung jawab menjadi teladan dan berdoa terus untuk putra kami. Biarlah kehendak Tuhan sepenuhnya digenapi dalam hidupnya. Amin.

Bagiku tidak ada sukacita yang lebih besar dari pada mendengar, bahwa anak-anakku hidup dalam kebenaran.” (3 Yohanes 1: 4)

Menjadi Tua Bersama

Oleh: Simon Mangatur Tampubolon

“Ya TUHAN, Engkaulah Allahku; aku mau meninggikan Engkau, mau menyanyikan syukur bagi nama-Mu; sebab dengan kesetiaan yang teguh Engkau telah melaksanakan rancangan-Mu yang ajaib yang telah ada sejak dahulu. (Yesaya 25:1)

            “…panjang umurnya, panjang umurnya, panjang umurnya serta mulia, serta mulia, serta mulia…” demikianlah bagian lirik lagu yang kerap dinyanyikan di saat seseorang berulang tahun. Ada harapan di dalamnya untuk lanjut usia dan mulia. Lanjut usia, menjadi tua, dan memiliki rambut putih adalah harapan setiap orang. Harapan itu akan terwujud indah bila dijalani bersama pasangan dan anggota keluarga yang lain karena menjadi tua akan penuh tantangan yang bila dihadapi sendiri akan membuat seseorang berpikir ulang untuk menyanyikan lirik lagu “panjang umurnya.”

            Dalam pesannya kepada anak muda untuk menikmati hidup yang kelak akan dibawa ke pengadilan Allah, Pengkhotbah pada pasal 12 memberikan gambaran tantangan menjadi tua: tak ada kesenangan (ay.1); tua, lemah dan tertekan (ay.2); tubuh mulai gemetar, gigi ompong dan mata kabur (ay.3); pendengaran berkurang (ay.4); takut ketinggian, jalan susah dan impoten (ay.5). Semua itu merupakan gambaran kehidupan yang tentunya sulit bila tidak dilalui bersama keluarga yang saling melayani didasari karena “cinta”.

            Saling melayani karena mencintai syarat utama untuk menjadi tua bersama. Itulah inti dari keluarga. Ingat kata “family” dalam bahasa Inggris berasal dari bahasa Latin “famulus”, yang artinya “servant” (dalam bahasa Indonesia diwakilkan dalam kata “pelayan”). Dalam dinamika untuk tua bersama, keluarga sebagai pelayan harus memiliki dua warisan ilahi yang dituliskan dalam Yesaya 25:1, yaitu kesetiaan yang teguh dan iman akan rancangan Allah yang ajaib.

            Kebersamaan, apalagi di saat-saat sulit, hanya bisa dilalui dengan kesetiaan yang berlandaskan kasih. Setia berarti berpegang teguh pada janji, suatu wujud tanggung jawab iman sebagai seorang pelayan. Kasih dan setia harus selalu bersama karena kasih tanpa kesetiaan hanya meninggalkan luka dan kesetiaan tanpa kasih adalah sebuah perbudakan. Untuk menjadi setia (Inggris: faithful), kita butuh “iman”. Iman inilah yang meyakini bahwa Allah melaksanakan rancangan-Nya yang ajaib.

            Menjadi tua bersama keluarga tidak sekadar dihiasi masalah kesehatan fisik, tetapi juga masalah ekonomi, dan pergumulan kehidupan yang lain dapat saja mengikutinya. Untuk dapat melalui itu bersama, harus ada keyakinan iman bahwa Allah sedang mengerjakan rancangan-Nya yang ajaib sehingga ketabahan dan kekuatan akan selalu ada. Tidak mudah melihat dan memahami keajaiban rancangan Allah tersebut. Oleh karena itu, kita perlu belajar untuk selalu menjadi penemu hal yang baik.

            Kidung Agung mengajarkan bagaimana menjadi penemu barang yang baik itu. Lihat Kidung 4: 1–4, di dalamnya ada tujuh hal yang dipuji di malam pertama: mata, rambut, gigi, bibir, pelipis, leher, buah dada. Bandingkan dengan pujian dalam Kidung Agung 7: 1–5, ada sepuluh hal yang dipuji: langkah, pinggang, pusar, perut, buah dada, leher, mata, hidung, kepala, dan rambut. Seiring bertambahnya waktu, bertambah pula pujian. Ini menandakan bertambahnya pengenalan dan bertambahnya kemampuan melihat yang baik.

            Ketika semua anggota keluarga meyakini bahwa di balik apa pun yang terjadi ada rancangan Allah yang baik dan menjadikan kasih setia sebagai wujud nyata iman, menjadi tua akan dapat dilalui bersama dengan sukacita dan semangat saling melayani. Katakan, “TUA: Tuhan Untuk-Mu Aku Ada.” Amin!

Memahami Dukacita

Oleh: Agape Ndraha, staf Sekolah Athalia

“Andaikan aku memintanya untuk tetap di rumah saja…”

“Ini RS pasti gak menangani dengan benar…”

“Aku gagal… aku ga mampu menyelamatkan nyawanya… mestinya aku lebih cepat membawanya ke RS…”

Kehilangan seseorang yang dikasihi, apalagi yang selama ini menjadi belahan jiwa, akan menimbulkan dukacita yang mendalam. Ini adalah emosi yang bisa sangat menguasai seseorang dan tidak mudah untuk dihadapi, apalagi bila terjadi secara mendadak. Respons yang muncul umumnya adalah penyesalan, kegundahan yang besar karena meyakini bahwa seharusnya kehilangan ini bisa dihindari, andai saja…

Elizabeth Kübler-Ross dan David Kessler dalam bukunya On Grief and Grieving menuliskan bahwa seseorang yang mengalami grief atau dukacita umumnya akan masuk dalam lima tahap. Tahapan ini tidaklah baku karena manusia adalah individu yang unik. Duka yang dialami atas peristiwa yang sama bisa menimbulkan respons emosi yang berbeda antara satu individu dengan yang lain. Grief bersifat individual sehingga tidak semua orang menjalani pola yang sama dan dalam jangka waktu yang sama. Teori mengenai Five Stages of Grief ini diberikan sebagai upaya menolong seseorang yang mengalami dukacita untuk setidaknya memiliki gambaran tentang apa yang akan dilaluinya, dan untuk mengenali emosi-emosi yang mungkin akan dialami saat berduka.

Denial (Penyangkalan)

 “Rasanya gak percaya dia tidak akan pernah duduk di kursi itu lagi…”

“Dia seperti hanya sedang melakukan perjalanan bisnis ke luar kota seperti biasa, dan sebentar lagi akan menelepon saya…”

Tahap pertama ini tidak berarti seseorang sengaja mengingkari realitas yang ada. Namun kabar yang begitu tiba-tiba bisa membuatnya diserang shock yang hebat dan tak mampu lagi merasa. Bagai terputus dari ruang dan waktu. Respons seperti ini sering kali muncul karena realitas itu terlalu berat untuk ditanggung oleh jiwa. Berita kematian terasa tidak nyata, seperti mimpi, karena otak tidak mampu memrosesnya. Dalam tahap ini, tanpa disadari denial sedang menolong seseorang yang berduka untuk mengelola perasaan, memberinya waktu untuk sedikit berjarak dengan dukacitanya. Tahap ini membawa anugerah tersendiri karena secara natural seseorang akan mampu menerima tekanan hanya sebatas kekuatannya saja. Bila tahap ini tidak hadir, munculnya emosi yang membludak dengan begitu tiba-tiba bisa sangat mengguncangkan.

Di tahap ini mereka yang berduka akan banyak bercerita tentang orang yang dikasihi tersebut, tentang masa akhir hidupnya, rencana yang belum tercapai, dan cerita lain. Ini adalah cara pikiran beradaptasi dengan realitas. Dengan melakukan hal ini, penyangkalan perlahan mulai hilang dan realitas muncul dengan jelas di depan mata, membawa orang masuk ke tahap berikutnya: mencari jawaban. “Mengapa ini semua terjadi, apakah sebenarnya bisa dicegah?”, atau “Apa salahku sehingga pantas menerima ini?” Pada akhirnya, dengan banyaknya pertanyaan yang mulai bermunculan, makin menguat kesadaran bahwa kehilangan itu nyata. Penyangkalan mulai reda seiring dengan proses ini. Berbagai emosi mulai muncul ke permukaan.

Anger (Amarah)

Setelah melewati tahap denial, timbul kesadaran dalam diri. “Ternyata aku cukup kuat untuk menanggung semua ini…ternyata aku masih hidup sampai sekarang…” Namun, seiring dengan itu, emosi lain mulai menyengat… rasa marah, sedih, panik, terluka, sepi… “Aku tidak pantas menerima semua ini… Aku tidak siap! Mengapa? Apa salahku??” Amarah bisa mengarah kepada siapa saja. “Mengapa kamu tega meninggalkan aku?? Mengapa kamu tidak menjaga diri baik-baik??” Kemarahan bisa tertuju pada diri sendiri yang tak berdaya mencegah musibah yang datang, atau pada situasi, atau tentu saja pada Tuhan. “Di mana Tuhan ketika kesulitan ini datang? Bila Dia Tuhan yang Mahakuasa, mengapa Dia tidak berkuasa mencegah kematian suamiku?”

Dalam buku Grief Observed, C.S. Lewis menggambarkan perasaan hatinya dengan kalimat-kalimat yang begitu jujur, saat kehilangan istri yang dicintainya.

Mengapa ketika kita penuh sukacita dan tak membutuhkan Tuhan Dia terasa selalu hadir? Namun, justru ketika kepedihan begitu pekat dan kita berteriak-teriak menggedor pintu-Nya, berharap Dia datang memberi jawab, kenapa Dia membisu? Pintu bukan saja tetap tertutup rapat, bahkan terdengar dentang palang besi terpasang, dan suara nyaring gembok besar terkunci!”

Anger adalah tahap yang dibutuhkan mereka yang sedang berdukacita. Terimalah rasa marah itu. Izinkan diri untuk marah. Berteriaklah jika perlu. Temukan tempat yang tepat dan biarkan amarah keluar. Bicara pada orang terdekat atau konselor, ungkapkan betapa marahnya diri Anda. Cobalah berolahraga seperti berlari atau berenang atau habiskan waktu untuk berkebun. Lakukan apa saja untuk mengeksplor rasa marah tanpa menyakiti orang lain. Makin kita bersedia merasakannya, makin cepat amarah itu pudar. Amarah seperti ini bukan hal buruk karena menunjukkan betapa dalam kasih yang kita miliki pada orang yang telah tiada. Amarah juga adalah reaksi yang wajar ketika seseorang merasa hidupnya tidak adil. Apalagi ketika orang terkasih “direnggut” dari hidup kita, bagaimana kita bisa melihat bahwa hidup ini adil?

Penelitian Dr. Jill Bolte Taylor, seorang neuroanatomist dari Harvard Medical School, menemukan bahwa sesungguhnya ketika peristiwa yang memicu emosi terjadi di lingkungan kita, akan terjadi proses kimiawi di otak sebagai responsnya. Namun, diperlukan hanya 90 detik untuk membuat seluruh reaksi kimiawi itu tersapu keluar dari sistem tubuh kita. Dr. Taylor menyimpulkan bahwa emosi akan selalu datang dan pergi dengan cepat. Namun, bisa saja seseorang tetap merasa marah atau sedih berkepanjangan karena dipicu oleh pikiran-pikiran yang terus menstimulasi munculnya emosi tersebut. Artinya, bila emosi dikelola dengan baik, ini akan berlalu seiring berjalannya waktu. Amarah tidak akan terus menetap dan membawa dampak berkepanjangan. Ketika emosi terus menguasai seseorang, hal itu disebabkan emosi yang tidak dikelola atau memang dia memilih untuk terus berada di dalamnya, secara sadar maupun tidak.

Setelah amarah mereda, kita lebih mampu melihat banyak emosi lain di balik itu. Mungkin rasa pedih, frustrasi, kecewa, iri kepada yang tak mengalaminya. Rasanya seperti tersisih… Kadang, kita terlalu lelah untuk mencoba mengenali emosi ini. Namun, kesediaan untuk menghadapi emosi itu satu per satu, seperti kita menghadapi amarah, akan menolong kita untuk sembuh.

Bargaining (Tawar-menawar)

Fase berikutnya yang umum terjadi adalah pikiran yang terus melayang ke masa sebelum dukacita… “Kalau aku lebih banyak berbuat baik, akankah semua ini berubah jadi sekadar sebuah mimpi buruk?” atau “Kalau saja aku lebih memahami dirinya, mungkinkah dia akan lebih sehat danlebih kuat bertahan…?” Rasa bersalah adalah emosi yang umumnya mendasari fase ini. Kalimat seperti “Tuhan, tolonglah…aku akan lakukan apa pun agar dia kembali…” merupakan respons khas yang dapat muncul juga di fase ini. Seperti telah dijelaskan sebelumnya, Kübler-Ross dan Kessler menuliskan bahwa tahap demi tahap tidak selalu bersifat linear. Seseorang yang berdukacita dapat kembali lagi ke fase sebelumnya, atau bahkan melewati salah satu fase.

Sama seperti pada fase yang lain, penting untuk menerima emosi yang muncul. Rasa bersalah dan tawar-menawar yang dilakukan adalah bagian upaya untuk keluar dari rasa sakit akibat kehilangan, upaya mengalihkan diri dari kepedihan yang sebenarnya. Mereka yang berduka tahu bahwa tawar-menawar tak akan mengembalikan orang yang dikasihinya, tetapi tetap melakukannya selama beberapa waktu karena dapat memberi kelegaan walau sesaat. “Tuhan, bagaimana bila aku saja yang mati dan jangan dia?”  Pikiran-pikiran semacam ini akan terus muncul. Seiring pikiran memproses seluruh tawar-menawar itu, akan muncul kesadaran mengenai realitas yang sesungguhnya: orang terkasih sudah benar-benar pergi selamanya!

Depression (Depresi)

            Perasaan kosong mulai muncul dan dukacita mulai terasa makin dalam. Namun, penting untuk dipahami bahwa depresi yang muncul tidak berhubungan dengan penyakit mental. Ini adalah respons wajar atas rasa kehilangan yang begitu dalam. Ada rasa enggan menghadapi hari. Rasanya ingin terus berada dalam kegelapan dan kesedihan. “Apa gunanya melanjutkan hidup? Apa artinya semua ini bila hanya dihadapi sendiri? Tidak ada alasan untuk bangkit dari tempat tidur. Mengapa harus makan? Untuk apa peduli?”

Dalam situasi ini, banyak yang terdorong untuk menolong agar yang berduka tidak jatuh dalam depresi. Hal itu dianggap sebagai kondisi yang menyedihkan, tidak wajar, dan perlu diperbaiki. Padahal, ini merupakan fase yang dihadapi setiap orang yang berduka. Justru tidak wajar bila kepedihan semacam ini tidak menimbulkan depresi.

Dalam konteks grief, depresi adalah mekanisme yang menjaga diri kita dengan cara menutup sistem saraf sedemikian rupa sehingga kita terlindungi dari perasaan yang belum sanggup kita tangani saat ini. Bila kita mendampingi seseorang yang sedang depresi, berhati-hatilah untuk tidak memintanya segera keluar dari situasi tersebut. Ibaratnya, saat itu badai besar sedang mengamuk di sekelilingnya. Dengan meminta dia segera menyelesaikan kedukaannya, kita bagai memintanya untuk masuk ke dalam perahu dan pergi di tengah badai!

Depresi memang bukan perasaan yang menyenangkan. Namun, cara terbaik menanganinya adalah dengan menyambutnya bagai tamu yang tidak kita inginkan, tetapi tak bisa kita tolak kehadirannya. Beri tempat baginya, biarkan rasa sedih dan kosong itu menyapu diri kita. Sebaliknya, menghambat kehadirannya hanya akan membuat kita terus- menerus diganggu oleh “gedorannya di depan pintu kita”. Depresi akan berlalu begitu kita membiarkan diri mengalaminya. Kemudian, seiring waktu kita menjadi lebih kuat, mulai kembali menjalani hidup. Namun, dari waktu ke waktu tamu tak diundang itu akan hadir kembali, membawa rasa kosong dan pedih yang mendalam ketika kita mengingat sosok terkasih yang telah tiada. Pengalaman melewati depresi sebelumnya akan memberi keyakinan bahwa kali ini kita akan bisa melaluinya. “Sudah setahun sejak anak saya meninggal… Saya sudah lebih baik… Saya mengira seluruh dukacita ini sudah berlalu. Namun, depresi itu datang kembali, seperti berteriak keras menghantam saya dan meninggalkan rasa kosong yang begitu dalam. Saya tahu saya harus menghadapinya lagi seperti dulu… Saya sudah belajar bahwa cara menghadapi badai hanyalah dengan melaluinya.”

Acceptance (Penerimaan)

Banyak yang mengira acceptance terjadi ketika kita bisa menerima kehilangan dan menganggapnya sebagai peristiwa yang biasa saja. Namun, acceptance bukanlah seperti itu. Tahap ini adalah tentang menerima kenyataan bahwa dia yang kita kasihi telah meninggalkan kita selamanya. Kita tak akan pernah menyukai realitas ini atau merasa baik-baik saja. Namun, pada akhirnya kita akan menerimanya dan belajar untuk hidup berdampingan dengan rasa kehilangan ini. Kita mungkin akan berhenti marah kepada Tuhan, berhenti mencari jawaban, dan menerima bahwa memang sudah waktunya kekasih hati kita pergi. Sementara bagi kita, inilah waktunya untuk sembuh.

Dengan berjalannya waktu, ketika kita sedikit demi sedikit belajar hidup berdampingan dengan realitas, kita akan melihat bahwa ada hal-hal yang perlu diselaraskan karena hidup telah berubah selamanya. Kita perlu mengatur ulang peran kita, melepaskan tanggung jawab yang tak bisa kita pikul, dan melakukan penyesuaian lainnya. Acceptance adalah proses yang membutuhkan waktu. Griefing antara satu orang dengan yang lainnya berbeda karena sifatnya yang sangat personal.

Sedikit demi sedikit, energi yang kita curahkan pada kepedihan akan teralih pada hidup yang ada di hadapan kita. Kita mulai membangun perspektif baru, menemukan cara untuk mengenang dia yang telah pergi, dan menyelaraskan diri. Dalam proses ini, kita semakin mengenal diri. Anehnya, seiring dengan proses melewati dukacita ini, kita merasa makin dekat dengan kekasih yang telah pergi. Berbagai kenangan tentangnya mulai memberi kehangatan dan bukan lagi luka. Kita mulai belajar menyatukan lagi pecahan-pecahan hidup kita. Kita memulai relasi dan kisah baru, memberi perhatian kepada apa yang kita butuhkan. Kita bergerak, berubah, bertumbuh. Kita mulai hidup lagi…

Itu semua akan terjadi bila kita memberi waktu pada diri kita untuk berduka.

TIPS. Bagaimana mendukung seseorang yang sedang mengalami dukacita?

1. Pahami tahap-tahap yang umumnya terjadi pada seseorang yang sedang mengalami kedukaan.

2. Kedukaan bersifat personal. Oleh karena itu, penanganannya bisa berbeda antara satu individu dengan yang lain. Bersabarlah bersama mereka untuk melalui tahap demi tahap sesuai kondisi masing-masing.

3. Seorang yang berduka perlu diberi kesempatan untuk berproses dan mengalami kesedihannya. Umumnya kita ingin menolong agar dia kembali bahagia, tetap melihat sisi positif, dan fokus pada berbagai hal baik yang hadir di sekelilingnya. Namun, sikap seperti itu bila terlalu cepat dikomunikasikan hanya akan membuat yang berduka makin terluka karena merasa kesedihannya dianggap tidak penting.

4. Tawarkan bantuan. Kita bisa menemani, memberi informasi, memberi dukungan dana, memberi bantuan transportasi, membelikan kebutuhan sehari-hari, membelikan mainan untuk anak, dan lain-lain.

BERDUKA DAN BERIMAN

 “Jangan sedih, dia sudah bahagia di surga…” adalah kalimat penghiburan yang sering terucap. Apakah orang percaya tidak seharusnya bersedih ketika menghadapi kematian orang yang dikasihi? Bagaimanakah seorang beriman seharusnya menghadapi dukacita?

Berdasarkan penelitian empiris, psikolog menemukan bahwa seorang yang mengalami kehilangan akan lebih mampu mengatasi dukacitanya bila kepedihan hati diberi ruang dan dibiarkan berproses (baca artikel berjudul “Memahami Dukacita”). Kehilangan bukanlah peristiwa sehari-hari yang bisa dihadapi dengan hati ringan. Setelah mengalami kematian orang terkasih, hidup tidak akan pernah sama. Oleh karena itu, sangat wajar apabila kita berduka setelah kepergian orang terkasih.

Dalam Roma 12:15, Rasul Paulus menulis, “Bersukacitalah dengan orang yang bersukacita, dan menangislah dengan orang yang menangis!” Paulus mengetahui bahwa dalam kondisi tertentu dukacita tidak bisa dihindari dan menangis adalah respons natural. Orang percaya diperbolehkan menangis. Orang percaya juga diminta untuk menopang mereka yang berduka, dengan cara menangis bersama.

Di sisi lain, Paulus mengingatkan bahwa dukacita orang beriman berbeda karena orang Kristen memiliki harapan. “Selanjutnya kami tidak mau saudara-saudara bahwa kamu tidak mengetahui mengenai mereka yang meninggal, supaya kamu tidak berdukacita seperti orang-orang lain yang tidak mempunyai pengharapan” (1 Tesalonika 4:13). Dalam teks asli Alkitab, Paulus menggunakan kata yang bermakna “tertidur” untuk menggambarkan seseorang yang telah meninggal. Paulus ingin menekankan bahwa orang percaya hidup dalam penantian akan kedatangan Yesus yang kedua kali. Mereka yang meninggal tidak hilang begitu saja, melainkan akan dibangkitkan kembali saat Yesus datang, bagai orang yang sedang tertidur kemudian akan bangun kembali. Bila saat itu tiba, kita pun akan bergabung bersama mereka dan tinggal selamanya bersama Tuhan dalam kemuliaan-Nya.

Paulus tidak mengabaikan atau menyangkal kebutuhan akan ruang untuk emosi negatif. Paulus menekankan bahwa kematian bagi orang Kristen bersifat sementara. Tak seharusnya orang Kristen berduka tanpa batas. Dukacita orang Kristen adalah duka yang diwarnai oleh harapan. Ketika orang Kristen memahami bahwa kematian adalah kepulangan ke rumah Bapa, di tengah dukacita dia tetap bisa memancarkan harapan yang memberinya penghiburan sejati.

Yang sering kali menjadi persoalan adalah cara kita memandang kehidupan ini. Di manakah fokus kita? Bagi Paulus, hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan. Namun, jika dia harus hidup di dunia ini, itu berarti bekerja memberi buah (Filipi 1:21). Paulus menjalani hidupnya sebagai sesuatu yang bersifat sementara dan harus diisi dengan bekerja bagi Kristus. Dia menyadari bahwa hidupnya bukanlah miliknya, melainkan milik Kristus. Oleh karena itu, pulang ke rumah Bapa dan berada bersama-sama Dia dalam kekekalan adalah hal yang dirindukannya.

Dalam buku Grief Obeserved, C.S. Lewis melukiskan bahwa seseorang bisa dengan santai terlibat dalam permainan menyusun kartu bridge hingga setinggi mungkin… satu demi satu kartu disusun ke atas diselingi tawa dan canda di antara yang bermain bersama. Suasana akan berubah drastis ketika seseorang harus bermain dengan mempertaruhkan nyawanya atau nyawa orang yang dikasihinya. Setiap kesalahan kecil yang dibuat akan menyebabkan tumpukan kartu jatuh dan konsekuensi fatal terjadi.

Demikian juga kita sering kali tidak sungguh-sungguh serius menghadapi hidup. Lewis menuliskan bahwa seseorang memang kadang harus mengalami kejatuhan fatal agar bisa menemukan akal sehatnya. Jadi, bila saat ini kita menghadapi dukacita atau bergumul bersama mereka yang sedang berduka, mungkin ini momen yang dianugerahkan bagi kita untuk berhenti sejenak dan merenung… “Apa sebenarnya hakekat hidup ini?”

Dalam jurnal yang berjudul “Saint Paul’s Approach to Grief: Clarifying the Ambiguity”, R. Scott Sullender, seorang psikolog, penulis buku, sekaligus profesor di sebuah seminari, menuliskan bahwa dalam konteks berdukacita, tiap orang membutuhkan ruang untuk mengekspresikan emosinya. Namun, kenyataannya, banyak orang yang berusaha menekan kedukaannya dan mengalihkannya kepada hal lain. Dia tidak memberikan kesempatan kepada dirinya untuk griefing dan melewati lima fase berduka.

Sebuah studi yang dipublikasikan Cambridge University menemukan bahwa dukacita yang sehat akan mencapai puncaknya dalam 4-6 bulan, kemudian sedikit demi sedikit mereda, seiring dengan tahapan grief yang dilewati. Sullender menuliskan bahwa dalam mengekspresikan kepedihan, kita membutuhkan struktur, jeda, dan penghiburan. Itu bisa kita temukan dalam ritual ibadah serta pemahaman doktrin agama. Keimanan seseorang akan memberinya struktur dalam menghadapi dukacita. Sebagai contoh, iman akan menimbulkan kebutuhan untuk berelasi dengan Tuhan walau mungkin hanya dengan berdiam diri dan menangis dalam doa. Pemahaman doktrinal akan membuat seseorang mulai mampu berdialog dengan diri sendiri dan mengelola emosinya. Ritual ibadah juga akan memberi struktur yang serupa sehingga seseorang tertuntun dalam mengelola dukacitanya (lihat five stages of grief dalam “Memahami Dukacita”).

Kisah Ayub adalah contoh penggambaran keterpurukan seseorang akibat dukacita yang mendalam. Bahkan, Ayub berkata lebih baik dia tidak pernah dilahirkan ke dunia ini (Ayub 3:10-11). Dalam kepedihan hati dan kesakitan fisik, Ayub meneriakkan begitu banyak pertanyaan, bahkan menggugat Allah karena dia tidak paham alasan Tuhan menimpakan banyak musibah kepadanya. Dengan jujur, Ayub mengungkapkan emosinya dan Allah membiarkannya. Namun, dalam ayat-ayat yang begitu panjang yang berisi keluh kesah, tergambar dengan jelas bahwa tidak sedikit pun keimanan Ayub goyah. Iman yang sebelumnya membuat dia selalu hidup beribadah pada Tuhan tetap hidup dan membuatnya mengejar Tuhan untuk menemukan jawaban. Di akhir kisah Ayub kita tahu bahwa Allah tidak menjawab pertanyaan Ayub, tetapi memberi respons yang sesungguhnya dibutuhkan Ayub. Dia membuka pengertian Ayub dan memberi diri-Nya dikenal oleh Ayub hingga Ayub pun berkata, “Hanya dari kata orang saja aku mendengar tentang Engkau, tetapi sekarang mataku sendiri memandang Engkau.”

Ayub bertumbuh melalui penderitaan karena iman. Bukan ketika kondisinya dipulihkan Tuhan, melainkan ketika dia bisa memandang Tuhan dengan pemahaman yang sejati. Iman menjadi mitigasi yang menghibur dan menguatkan dalam dukacita, dan memberi jeda yang melegakan saat kita mengalami naik turun badai emosi. Sungguh sebuah eureka rohani ketika akhirnya kita bisa klik dengan apa yang Tuhan ingin ajarkan melalui berbagai misteri kehidupan.

Dalam pelayanannya, Paulus beberapa kali menunjukkan pentingnya penghiburan di antara sesama orang percaya. Hal itu dilakukan dengan beberapa cara.

1. Paulus memberi dasar pengertian yang benar mengenai natur dukacita, yaitu bahwa dukacita orang Kristen adalah sementara dan ada harapan akan sukacita mendatang.
2. Paulus mendorong agar sesama orang percaya menghibur dengan kata-kata yang memberi pengharapan dalam pengetahuan tentang kebenaran.
3. Paulus menekankan pentingnya interaksi langsung antarsesama orang percaya dalam memberi penghiburan. Ketika sedang berbeban berat, Paulus sendiri merasakan bagaimana kunjungan Titus dan Timotius sangat menguatkan dirinya. Dia pun sebisa mungkin berupaya mengunjungi jemaatnya untuk menghibur dan menunjukkan kasihnya yang besar kepada mereka.

Sekiranya tauratMu tidak menjadi kegemaranku maka aku telah binasa dalam sengsaraku (Mazmur 119:92)

Belajar Percaya dan Bergantung kepada Tuhan

Oleh: Andy E. Daniswara

Percayalah kepada Tuhan dengan segenap hatimu dan janganlah bersandar kepada pengertianmu sendiri. (Amsal 3: 5)

 Waktu itu saya masih berada di kelas X dan diberi kesempatan untuk menjadi pengurus OSIS. Awalnya, saya masih ragu untuk menerima tawaran tersebut karena jadwal pelajaran yang padat. Namun, dengan modal pengalaman di kepengurusan OSIS SMP, saya memberanikan diri untuk menerima tawaran tersebut.

Awal mula masuk ke kepengurusan OSIS SMA, saya belajar banyak hal baru yang belum pernah saya dapat sebelumnya di OSIS SMP. Mulai dari cara mengatur waktu, menentukan prioritas, hal-hal yang diperlukan untuk berorganisasi, hingga menjalin hubungan yang baik dengan guru maupun teman.

Setahun telah berjalan, kepengurusan OSIS kemudian berganti. Puji Tuhan saya diberi kesempatan oleh teman-teman menjadi ketua pada waktu itu. Awal mula kepengurusan berjalan, saya sadar bahwa semua memang karena jalan-Nya. Secara pribadi, saya menjadikan Tuhan sebagai fondasi di dalam kepengurusan yang saya pimpin. Saya menjadikannya pokok doa agar kepengurusan ini selalu tetap di jalan Tuhan dan sesuai dengan rencana-Nya. Selama OSIS berjalan, setiap kegiatan yang dilaksanakan oleh kepengurusan OSIS selalu saya bawa di dalam doa. Saya meminta tuntunan dan penyertaan Tuhan agar dapat menjalankan tugas ini dengan sebaik-baiknya.

Namun, pada suatu waktu, ada rencana kegiatan OSIS yang tidak mendapat izin karena bentrok dengan kegiatan yang diadakan oleh sekolah. Gejolak pun muncul di dalam pengurus OSIS. Banyak yang mempertanyakan keputusan sekolah pada waktu itu. Saya pun pada waktu itu mencoba untuk bernegosiasi dengan pembimbing OSIS dan beberapa guru yang bersangkutan, tetapi tidak membuahkan hasil. Hal yang lebih mengesalkan lagi, kami tidak terlalu dilibatkan di dalam kegiatan sekolah yang bisa dibilang berskala besar.

Saya bergumul. Saya mulai mempertanyakan Tuhan. Kenapa pada waktu itu Tuhan seperti tidak campur tangan? Kenapa pada waktu itu Tuhan tidak membuka jalan untuk kegiatan OSIS SMA? Karena merasa seperti Tuhan tidak pernah bertindak, pada akhirnya saya kecewa dengan Tuhan.

Kekecewaan saya terhadap Tuhan berdampak hampir ke seluruh aspek hidup saya. Saya jadi jarang baca Alkitab dan saat teduh. Kepribadian saya juga mulai berubah. Saya menjadi lebih temperamental. Saya mengatakan apa saja yang ingin saya katakan tanpa memikirkannya terlebih dahulu. Saya menjadi congkak dan egois. Cara pandang saya dalam mengambil keputusan rapat yang biasa didasari dengan hati yang tenang dan damai berubah menjadi penuh kekesalan dan hati yang gundah. Hal ini berdampak pada pengambilan keputusan yang tidak memuaskan.

Masalah demi masalah terus datang dan selalu selesai dengan tidak memuaskan. Rasanya ada yang kurang dan selalu menghalangi kebahagiaan di dalam diri. Hal ini juga terasa di dalam lingkungan OSIS. Kami, yang biasanya selalu menanggapi ledekan dan kata-kata “manis” sebagai sebuah candaan, berubah jadi lebih mudah tersulut emosinya.

Waktu terus berjalan dan saya masih menyimpan rasa kecewa. Rasanya tidak mungkin pada waktu itu berdamai dengan Tuhan. Hingga pada suatu saat di kegiatan OSIS yang diadakan di sekolah, saya menerima pesan dari ibu saya. Isi pesannya pada waktu itu: “Nak, baca Amsal 16, ya.” Dalam hati, saya bertanya-tanya maksudnya. Namun, saya mengikuti saran ibu saya dan membaca kitab yang dimaksud. Saat membacanya, beberapa ayat terngiang-ngiang terus di kepala saya yang membuat saya akhirnya kembali kepada Tuhan.

Namun, pergumulan yang dihadapi setelah itu adalah “memperbaiki” kondisi pribadi dan kondisi di dalam kepengurusan OSIS yang pada waktu itu kian memanas. Banyak hal yang menjadi beban pikiran kami. Kami hanya mengandalkan kepintaran sendiri sehingga masalah-masalah yang ada sulit sekali untuk diselesaikan.

Saya akhirnya menyadari kalau ada yang salah. Saya mencoba untuk mendamaikan diri dengan berdoa dan membaca Alkitab. Saya menemukan satu ayat yang sampai saat ini terus menjadi pedoman yang menguatkan saya. Amsal 3: 5 yang berbunyi, “Percayalah kepada Tuhan dengan segenap hatimu dan janganlah bersandar kepada pengertianmu sendiri.”

Akhirnya, saya berdoa dan mencoba menyerahkan semua masalah yang saya hadapi, termasuk OSIS. Puji Tuhan, masalah yang ada Tuhan selesaikan dengan cara-Nya. Saya kembali menjadi pribadi yang tenang dan tidak mudah marah. Puji Tuhan, kondisi di OSIS pun lebih kondusif. Aura persahabatan kembali terasa kental di antara pengurus OSIS.

Masalah di atas membuat saya belajar untuk bergantung sepenuhnya kepada Tuhan dan tidak kecewa kepada-Nya. Berdasarkan pengalaman saya, kekecewaan tersebut justru menimbulkan masalah-masalah baru yang membuat hidup menjadi tidak damai. Dengan kita berserah dan bergantung kepada Tuhan, Dia akan membantu kita dan menuntun kita di jalan-Nya.

Sukacita Menjadi Seorang Ibu

Oleh: Valentina

Saya seorang ibu dengan tiga orang anak. Dua orang putri dan satu anak laki-laki. Ketiganya saya rawat dan besarkan seorang diri karena ayahnya bekerja jauh yang pulang beberapa kali dalam satu tahun. Meskipun sangat repot, ada rasa suka cita manakala melihat anak-anak bertumbuh dengan baik.

Dalam mendidik anak, saya berusaha untuk tidak mendikte mereka. Untuk urusan yang berhubungan dengan kegiatan mereka, saya selalu mendiskusikannya, bahkan sejak mereka masih balita. Mereka boleh mengajukan pendapat meskipun saya yang memutuskan. Saya akan menjelaskan alasannya jika ternyata keputusan berbeda dengan pilihan mereka. Begitu pula bila mereka melakukan kesalahan, bukan saja menegurnya, saya harus menerangkan alasan saya marah sampai mereka paham.

Anak-anak juga tidak ada yang mengikuti les mata pelajaran. Saya mendampingi mereka saat belajar di rumah. Namun, ketika mereka kelas tiga SD, saya mulai melepaskan perlahan. Mereka sudah mulai belajar secara mandiri, dan saya hanya memantau. Pada awalnya, nilai agak turun (memang tidak sampai di bawah KKM), tetapi itu tidak apa-apa. Biar mereka belajar bagaimana harus berjuang untuk meraih sesuatu sesuai yang diharapkan. 

Hebatnya, ternyata mereka memiliki standar untuk diri mereka sendiri, tanpa saya perlu memintanya. Mereka begitu bersemangat, sementara saya hanya mengawal dan mendampingi, sambil menggali dan mencari tahu potensi yang ada di dalam diri tiap anak. Ketika saya mulai melihat talenta yang Tuhan karuniakan, saya berusaha untuk mendukung dan terus mengembangkannya.

Memang, tidak semua anak seperti itu. Anak pertama kami lebih membutuhkan perhatian khusus, tapi kami berhasil melewatinya. Saya percaya semua ini adalah campur tangan Tuhan. Roh Kudus yang memberikan kepada mereka hati yang bertanggung jawab, mandiri, dapat membedakan yang baik dan tidak, mana yang boleh dan tidak. Bahkan jika melakukan kesalahan, mereka terbuka mau bercerita kepada saya. Sebagai orang tua, kami tidak mengalami kesulitan dalam mendidik mereka.

Berbeda dengan kedua kakaknya (jaraknya cukup jauh), putra kami yang bungsu setiap hari belajar bersama kelompoknya, tapi tetap di rumah masing-masing. Tentu saja awalnya saya bingung karena saya kira dia cuma sedang mengobrol. Ternyata, dia sedang berdiskusi secara online bersama tiga orang temannya. Di situ saya merasa bangga karena dia memanfaatkan teknologi dengan tujuan baik. Meskipun jika ada waktu, mereka juga bermain game bersama.

Di sinilah saya belajar bahwa beda generasi, beda pula cara asuhnya. Semakin ke sini, mau tidak mau anak akan tumbuh berdampingan dengan teknologi. Karena itu, modal yang saya tanamkan kepada mereka adalah bahwa dalam menjalani hidup, mereka bertanggung jawab kepada Tuhan. Orang tua tidak selalu ada untuk mereka, tetapi ada Tuhan yang menjaga sekaligus mengamati. Saat ini, kedua putri kami sedang menempuh kuliah, dan saat tulisan ini ditulis, keduanya sudah di akhir semester. Sementara putra bungsu kami duduk di kelas sepuluh. Walaupun ada sedikit riak-riak, segala sesuatu termasuk berjalan dengan lancar. Kami merasakan penyertaan Tuhan. Dia telah mempertemukan kami dengan orang-orang dan kondisi yang tepat, seperti salah satunya dengan sekolah dan guru-guru Athalia. Dia selalu ada, serta menolong tepat di saat kami membutuhkan pertolongan.

Tak Kenal, maka Tak Sayang

Oleh: Adrianus

Sepertinya peribahasa yang menjadi judul tulisan ini sangat cocok untuk mengisahkan pengalaman anak kami satu-satunya yang saat tulisan ini dibuat, duduk di kelas 4N. Kami mengingat awal anak kami masuk kelas 1 SD. Kebetulan anak saya punya teman sekelas sejak TK. Jarak rumah kami berdekatan. Akhirnya, selama seminggu saya mengantar dan menjemput kedua anak tersebut.

Terus terang, sebagai orang tua, kami berharap anak akan senang ketika berada di sekolah. Namun, harapan itu ternyata jauh dari kenyataan. Saya sempat kaget melihat anak saya menolak masuk kelas dan terus menangis. Sementara itu, temannya dengan santai dan percaya diri melenggang masuk ke kelas.

Anak saya terus menangis, berkata bahwa dia tidak mau sekolah dan mau pulang saja. Saya shock sampai menelepon istri dan berkata, “Apa perlu kita pindahkan sekolahnya?” Padahal, sewaktu mengikuti tes penerimaan siswa baru, anak kami mampu menjawab pertanyaan dengan baik. Dia juga terlihat senang dan mau sekolah di Athalia. Mungkin anak kami kaget melihat suasana sekolah yang ramai. Saat TK, memang lingkungannya lebih kecil dengan sedikit teman.

Saat pulang ke rumah, terus terang pikiran saya tidak tenang. Saya mengingat kembali  ketika dia berusia 2,5 tahun. Dengan riang gembira, dia selalu mengikuti Sekolah Minggu. Begitu juga ketika dia masuk TK. Bahkan, dia kami ikutkan jemputan dan tidak pernah ada masalah sama sekali. Mungkin inilah yang terjadi, ekspektasi orang tua terhadap anak tidak sesuai kenyataan.

Setelah satu minggu mengantar-jemput anak selesai, kami melimpahkan tugas tersebut kepada mobil jemputan. Kami pikir semuanya sudah berlalu. Namun, ternyata kami salah.

Suatu pagi, terjadi kehebohan karena anak saya menolak ikut mobil jemputan. Istri saya mengantarnya sampai ke dalam mobil, tetapi anak kami berteriak-teriak tidak mau sekolah. Dia menangis dan memberontak, ingin lompat ke luar mobil. Saya sampai tepok jidat. Kenapa lagi anak ini? Setelah melakukan pembicaraan dengan anak dan sopir jemputan, akhirnya dia mau berangkat sekolah.

Kami bersyukur bahwa fase tersebut akhirnya berakhir. Setelah beberapa waktu berlalu, anak saya sudah mulai enjoy ke sekolah. Dia bercerita teman-temannya ternyata sangat baik, sangat welcome. Meskipun teman-temannya sebagian besar merupakan siswa Athalia sejak TK, mereka mau mengajaknya bermain dan tidak pernah mengejeknya.

Bahkan, setelahnya, anak kami tidak pernah mau izin tidak masuk sekolah. Ketika dia sakit, dia tidak mau izin. Pernah suatu hari karena lupa dia makan ikan laut sehingga alerginya kumat, di badannya tampak bentol-bentol dan dia merasa kurang sehat. Namun, ketika disuruh pulang oleh guru wali kelas, dia tidak mau, saking cintanya dengan sekolah Athalia dia memilih tetap belajar hingga selesai jam sekolah.

Dia bilang kepada mamanya, “Aku tidak mau ketinggalan pelajaran di sekolah.” Bahkan, ketika sedang demam pun di rumah tetap belajar agar bisa ikut ulangan. Kami terharu ketika melihat perjuangannya mengenal sekolah, lingkungan, teman, dan segala hal baru. Dia juga berhasil naik ke kelas 3 dengan mendapatkan piala hasil kumulatif dari piagam top score yang dia kumpulkan dari kelas 1 semester 1 sampai kelas 2 semester 2.

Itu adalah momen terindah baginya dan suatu kejutan bagi kami. Bahkan, malam sebelum dia terima rapor, saya bilang, “Ahhh…sepertinya kamu tidak mungkin deh dapat banyak nilai bagus karena agak malas belajar kelas 3 ini. Kalo sampai kamu dapat nilai bagus banyak, akan papa belikan jam tangan yang tahan air deh…”

Sekali lagi, ekspetasi orang tua tidak sesuai kenyataan. Ternyata, anak kami malah membawa pulang piala. Saya pun harus memenuhi janji membelikan sebuah jam tangan yang tahan air agar bisa dipakai renang. Ini adalah momen tepok jidat yang kedua.

Saat anak kami berada di kelas 3, dia mendapatkan rujuan dari RS untuk berobat dan menjalani serangkaian tes di RS Siloam Karawaci. Kami berangkat dari rumah jam 6 pagi karena jarak yang lumayan jauh. Dia berpesan untuk dibawakan seragam dan tas sekolah. Dia berharap proses tes tidak terlalu lama sehingga bisa lanjut pergi ke sekolah. Namun, ternyata proses tes berjalan lama sampai lewat jam makan siang sehingga hari itu dia tidak bisa masuk sekolah.

Puji Tuhan, akhirnya anak kami menemukan dunia yang indah di masa kecilnya untuk belajar banyak hal dan bermain. Kami sebagai orang mencoba mengajarkan kepada anak kami dengan memberikan keteladanan hidup, moral, dan iman untuk masa depannya. Dengan luar biasa, sekolah Athalia membentuknya dengan cara mendidik karakternya untuk menjadi anak yang takut akan Tuhan dan berguna bagi bangsa dan negara, seperti moto sekolah ini “Right From The Start, benar sejak awal.

Terima kasih, Athalia

Libatkan Tuhan dalam Hidupmu

Oleh: Elisa Christanto

Sekilas saya melihat tatapan wajahnya kosong, menatap ke luar jendela. Kepalanya tersandar dengan lesu.

Setelah ngobrol tentang ini dan itu, akhirnya saya menemukan jawabannya: ia merasa letih dengan jadwal belajar yang sangat padat menjelang ujian nasional. Sebagai ibu yang mendampingi di rumah, saya pun merasakan hal itu. Iba sekaligus bangga melihat anak usia SD berjuang keras untuk meraih yang terbaik. Meski baru pulang sekolah, dia punya waktu belajar dan mengerjakan tugas-tugas. Luar biasa!

Saya dan suami bergandengan tangan untuk menjaga semangatnya sampai lulus UN dengan nilai yang sangat baik. Puji Tuhan. Namun, menjelang usianya yang sudah remaja, sebagai orang tua kami tak hanya ingin melihat anak berkembang secara kognitif alias punya pencapaian bagus dalam hal akademis. Kami butuh sekolah yang mendidik dan mendampingi anak-anak dengan nilai-nilai Kristiani sekaligus memberikan bekal untuk pengembangan karakternya.

Anak kami ini sangat peduli dengan orang lain dan paling tidak bisa melihat orang lain bersedih.

Hal itu sudah ditunjukkannya sejak ia masih kecil. Bahkan, pada saat TK A, ia sendiri yang bercerita bahwa salah seorang temannya tidak dibawakan bekal. Berhubung bekalnya masih ada, ia memberikan beberapa keping biskuit ke temannya itu tanpa disuruh guru.

Namun, di lain sisi ia juga menjadi anak yang tidak tegas. Tidak tegas untuk mengatakan “tidak” terhadap hal-hal yang kurang baik. Contohnya, saat kelas TK A, ada salah seorang temannya yang menggodanya, tetapi ia cuek. Justru temannya itu menjadi emosi dan akhirnya hidungnya ditonjok hingga lebam dan berdarah. Bahkan, dampak dari kejadian itu hidungnya mengalami trauma sehingga sering kali mimisan.

Peristiwa itu menjadi pergumulan kami dan puncaknya ketika di kelas 4 dia mengalami perundungan dari seorang temannya. Suatu hari, dia membawa bekal susu kotak. Lalu, temannya bilang bekalnya sudah habis, tetapi masih lapar dan meminta susu kotak itu. Dengan senang hati anak kami memberikannya.

Namun, rupanya tak berhenti di situ. Besok dan besoknya lagi setiap jam sarapan atau makan siang, anak itu selalu meminta bekal anak kami. Suatu hari, anak kami menolak permintaan temannya karena memang dia tidak membawa bekal lebih. Jawaban itu memicu kemarahan temannya yang berakibat seisi tas sekolah anak kami ditumpahkan di kelas.

Diperlakukan seperti itu, anak kami tetap bergeming. Dia tidak melawan. Salah seorang siswa yang melihat kejadian itu melapor kepada wali kelas dan guru. Akhirnya, orang tua anak tersebut dipanggil ke sekolah. Anak itu mendapatkan teguran serta skorsing.

Mungkin maksud anak kami baik, tidak membalas keburukan dengan keburukan.

Namun, kemudian kami melihat, ia menjadi anak yang kurang tegas untuk berkata “tidak” untuk hal-hal yang dirasa tidak baik. Ini menjadi satu kerinduan kami sebagai orang tua agar anak kami memiliki karakter yang makin baik dan makin mengenal Allah. Ketika akhirnya tebersit untuk mencari sekolah dengan muatan pendidikan karakter, kami memohon kepada Tuhan untuk campur tangan.

Kami berpikir, tak mudah memindahkan seorang anak remaja ke sekolah yang baru. Kami pun tak jarang mendengarkan pertanyaan-pertanyaan dari orang tua atau teman di sekolah sebelumnya.

Ngapain pindah? Bukannya sekolah di sini sudah bagus?”

“Yakin pindah ke Athalia? Ngapain?” 

Kami berpikir, di mana pun tempat pasti akan ada pertanyaan, dan kadang itu retoris.

Jadi, bersama Tuhan kami terus memantapkan langkah untuk memindahkan anak kami ke Sekolah Athalia.

Fase adaptasi di tempat yang baru, teman-teman yang baru, guru dan lingkungan baru tentu bukan hal yang mudah untuk dilewati. Kami sempat khawatir, tetapi kami yakin Tuhan yang pilihkan, Ia pun akan memampukan.

Kami perhatikan, perkembangan anak kami baik sekali. Satu semester terlewati dengan baik. Dia berhasil beradaptasi dalam hal akademis. Sikapnya di kelas juga sangat baik. Bahkan, kami dibuat terharu ketika wali kelas bercerita bahwa anak kami bersikap sangat sopan dan suka menolong teman-temannya.

Menuju semester dua, lagi-lagi Tuhan buat kami mengucap syukur.

Meski anak baru, ia memperoleh piagam besar dan piagam kecil High Achievement untuk mata pelajaran PKN. Senyumnya merekah seakan berhasil menaklukkan tantangan yang berat. Hal itu menjadi pencapaian yang membanggakannya karena pada dasarnya dia tak menyukai pelajaran PKN. Namun, dia justru mencetak prestasi di mata pelajaran tersebut.

Kami pun menasihatinya, “Jika kita melibatkan Tuhan, maka Ia mampu membuat hal yang paling tidak kita sukai sekalipun, menjadi jalan keberhasilan, Nak…”

Sejak hari itu, dia paham bahwa suka atau tidak suka, semua harus dipelajari dengan sungguh-sungguh. Meski demikian, anak kami masih terus berproses di Athalia, hingga ke masa yang akan datang pun ia akan terus berproses. Setidaknya, ia menyelesaikan kelas 7 dengan baik dan dia memasuki kelas 8. Mengingat tujuan utama kami memindahkan sekolahnya, yaitu untuk memberikan yang terbaik untuk pertumbuhan karakternya, tentu saja hal itu menjadi fokus kami.

Satu tahun pertama, hal yang paling mengharukan adalah dia sudah mulai mencuci piring dan gelas yang ia gunakan setelah makan dan minum. Dia juga membantu mamanya menjemur pakaian dan menyapu. Hal-hal sederhana yang sebelumnya tidak pernah ia lakukan. Setahap demi setahap ini adalah wujud dari pertumbuhan karakternya ke arah yang lebih baik.

Begitu juga dengan sikapnya yang perlahan mulai lebih terbuka. Tadinya ia tidak pernah cerita kalau tidak ditanya. Sekarang, dengan sendirinya, tiap pulang sekolah, dia akan aktif bercerita kepada kami tanpa harus ditanya. 

Selain itu, kini dia punya banyak teman. Bahkan, sejak kelas 7, beberapa kali dia mengajak teman-temannya ke rumah untuk mengerjakan tugas. Anak-anak pun sangat senang mengerjakan tugas bersama. Jika ada kendala dalam membuat presentasi, papanya dengan senang hati membantu anak-anak. Bahkan, dari kegiatan mengerjakan bersama PR itu, kami memiliki ide untuk membuka les pemrograman untuk anak-anak, sesuai skill yang kami dalami.

Itu semua adalah contoh-contoh kecil perubahan yang sangat berarti buat kami. Rupanya, pilihan di Athalia direstui oleh Tuhan.

Terima kasih, Sekolah Athalia. Kiranya Tuhan memberkati anak-anak, guru, kepala sekolah, Ibu Charlotte, karyawan, orangtua, dan semua yang berada di dalam komunitas Athalia.

Tahun Ajaran Baru “Melangkah dengan Iman”

Oleh: Bella Kumalasari, Staf Karakter – PK3

*Sebuah refleksi dari beberapa referensi buku dan webinar: Coronavirus and Christ (John Piper, 2020), Where Is God in A Coronavirus World? (John Lennox, 2020), webinar apologetika mengenai kejahatan dan penderitaan oleh Bedjo Lie, M.Th.

Mengakhiri dan memasuki tahun pelajaran dengan situasi bekerja dan belajar dari rumah tentu bukan menjadi kebiasaan kita. Situasi ini terasa asing, mungkin aneh. Terkadang terasa menyenangkan, tetapi di sisi lain juga menyedihkan dan membawa gejolak di dalam hati.

Pandemi Covid-19 seperti membawa kita ke dalam ketidakpastian yang tidak pernah kita bayangkan sebelumnya. Di tengah kemajuan teknologi, ketersambungan seluruh dunia melalui internet, kegagahan artificial intelligent, kita dihadapkan dengan “musuh” yang bahkan tidak bisa kita lihat. Virus yang sangat kecil ini memorakporandakan seluruh rencana yang mungkin sudah kita susun sejak awal tahun atau bahkan tahun lalu. Rencana liburan dan bertemu dengan keluarga di kampung halaman juga terpaksa ditunda. Kebijakan-kebijakan pemerintah terus diperbarui yang membuat sebagian masyarakat kebingungan, tetapi rasanya tidak kunjung menjawab persoalan. Ajakan untuk hidup di “normal” yang baru sudah dicanangkan dengan gamblang. Namun, apakah semudah itu menjalaninya?

Dapat dikatakan bahwa pandemi ini menimbulkan penderitaan bagi umat manusia. Mungkin kita mulai meragukan Allah, jiwa kita lelah dan terkuras, atau kita sangat khawatir dan mulai bertanya, “Sampai kapan kita akan bertahan?” Namun, alih-alih menjadi semakin terpuruk karena kondisi ini (atau kondisi lainnya kalaupun bukan virus corona), mari kita datang kepada Allah, Sang Batu Karang yang teguh.

ALLAH YANG BERDAULAT
Allah adalah Allah yang berdaulat atas segalanya—tidak terkecuali dalam kondisi yang pahit menurut kita. Ia berdaulat atas penyakit, bencana alam, kesulitan, kejahatan, dan penderitaan yang kita alami. Ya, ini semua ada di dalam kendali-Nya dan terjadi atas seizin Dia, meskipun bukan berarti Ia senang melihat kita menderita. Ia Mahapengasih, Ia Mahatahu. Ia tidak plin-plan, Ia sempurna dalam sifat-sifat-Nya. Kita memang tidak dapat memahami-Nya sepenuhnya, tetapi bukankah justru hal itu yang membuat Dia layak kita percayai sebagai Tuhan?

Kedaulatan yang memerintah atas penyakit adalah juga kedaulatan yang menopang dalam masa kehilangan. Kedaulatan yang mencabut nyawa adalah juga kedaulatan yang menaklukkan maut dan membawa orang-orang percaya ke surga dan kepada Kristus. Kedaulatan yang dapat menghentikan wabah virus corona, meski sekarang tidak melakukannya, adalah kekuatan yang sama yang memelihara jiwa-jiwa yang sekarang ada di dalamnya.” (Piper, 2020)

Oh, sungguh tak terselami hikmat-Nya! Bukankah kedaulatan-Nya begitu cermat sehingga tidak ada seekor burung pipit pun yang jatuh tanpa izin-Nya, tidak sehelai rambut pun ada/hilang tanpa izin-Nya, dan tidak satu virus pun ada tanpa izin-Nya? Kabar baiknya, kita lebih berharga dari pada banyak burung pipit! (Mat. 10:29-31)

ALLAH YANG MENGASIHI SAYA
“Ia, yang tidak menyayangkan Anak-Nya sendiri, tetapi yang menyerahkan-Nya bagi kita semua, bagaimanakah mungkin Ia tidak mengaruniakan segala sesuatu kepada kita bersama-sama dengan Dia?” (Roma 8:32)

Kerelaan Allah menyerahkan Anak-Nya yang tunggal telah membuktikan kasih-Nya kepada kita sekaligus menegaskan betapa Ia akan memakai seluruh kedaulatan-Nya untuk “mengaruniakan segala sesuatu kepada kita”. Ya, segala sesuatu, termasuk ketika “… kami ada dalam bahaya maut sepanjang hari …” (Roma 8:36) demi kemuliaan-Nya—entahkah membawa kita melewati bahaya maut ini dengan selamat ataupun seperti yang dikatakan Paulus dalam ayat-ayat selanjutnya, “Sebab aku yakin, bahwa baik maut, maupun hidup … tidak akan dapat memisahkan kita dari kasih Allah, yang ada dalam Kristus Yesus, Tuhan kita.” (Roma 8:38-39).

Keberadaan Allah yang berdaulat sekaligus mengasihi saya membuat kita dapat melangkah dengan yakin bahwa ada tangan yang memegang hidup kita dengan sempurna meskipun kita tidak dapat melihat berpuluh-puluh langkah ke depan. Kedaulatan-Nya dalam menciptakan dunia ini, kasih-Nya dalam kisah penebusan di kayu salib dan kubur yang kosong, tidak berhenti sebagai kisah klasik beribu-ribu tahun yang lalu ataupun suatu kisah “dongeng” yang indah dalam kekekalan kelak. Ia ada saat ini, di sisi Anda dan saya, terlibat dan menentukan ini dan itu dalam setiap detik kehidupan kita, “… supaya entah kita berjaga-jaga, entah kita tidur, kita hidup bersama-sama dengan Dia” (1 Tes. 5:10).

Selamat memulai tahun pelajaran yang baru di dalam rengkuhan kasih dan kedaulatan-Nya yang tak pernah berubah.