Si Kecil Tidak Mau Sekolah Minggu?

Oleh: Elisa Sri Indahati – Staf R&D SD Athalia

“Adek gak mau sekolah minggu, Ma. Adek mau ikut mama aja”, “Adek ngantuk, gak mau sendirian di sekolah minggu”. Dan masih banyak lagi alasan-alasan yang keluar dari mulut anak-anak kita yang tidak mau Sekolah Minggu. Dan mirisnya, tidak sedikit orang tua tidak mau repot dan enggan berdebat dengan anak. “Ok, sama mama deh di Ibadah Raya, tidak boleh berisik, nih HP-nya”, “Adek nanti online di rumah sajalah”. Bahkan kalimat-kalimat seperti ini yang sering saya dengar.


Setelah masa pandemi (2,5 tahun ibadah online), mengikuti Sekolah Minggu onsite mungkin membuat anak takut. Mereka harus berani mandiri dan belajar bersama teman yang belum saling kenal. Dan seringkali, ada saja anak yang takut dan diam saja di pojok ruangan, bahkan ada yang menangis.


Berikut beberapa tips yang bisa kita lakukan agar anak mau bersekolah minggu.

  • Temani anak kita di kelas Sekolah Minggu. Ketika anak menangis tidak mau Sekolah Minggu, kadang kita menyerah dan mengajak anak ke aula gereja yang biasanya dipakai untuk ibadah dewasa. Sesekali tidak ada masalah. Tetapi bila terlalu sering akan dijadikan senjata oleh anak. Seharusnya, orang tua dapat menemani ke Sekolah Minggu. Orang tua sedikit kehilangan makanan rohani, namun anak dapat belajar menikmati makanan rohaninya.
  • Cari jam ibadah yang cocok dengan kondisi anak. Beberapa gereja mengadakan jam ibadah Sekolah Minggu bersamaan dengan Ibadah Umum. Beberapa anak menyukai suasana ramai (jumlah kehadiran banyak), dia merasa nyaman karena tidak menjadi pusat perhatian tetapi menjadi pengamat. Namun, ada anak yang nyaman dengan suasana sepi (jumlah kehadiran sedikit) karena kakak Sekolah Minggu akan lebih perhatian padanya. Jadi kenali karakter anak, ajak anak datang ke Sekolah Minggu pada jam berbeda di minggu berikutnya, untuk melihat reaksinya. Bila ketemu jadwal yang cocok, buatlah jadwal rutin sehingga anak dapat menemukan komunitas baru.
  • Datanglah minimal 10 menit sebelum ibadah dimulai. Agar anak dapat beradaptasi, kenalkan anak dengan lingkungan sekolah minggu, mulai dari ruang kelas, guru sekolah minggu dan teman-teman. Untuk itu datanglah lebih awal. Hal ini dapat membuat anak lebih nyaman daripada datang saat waktu ibadah sudah dimulai, anak akan nervous melihat banyaknya orang yang tidak kenal dalam satu ruangan.
  • Duduk bersebelahan dengan teman yang cocok. Anak yang baru beradaptasi akan memilih-milih teman. Orang tua boleh mengajari anak berkenalan dengan temannya, dan duduk bersebelahan. Bila sudah ketemu dengan teman yang dirasa cocok, orang tua boleh bertanya bagaimana perasaannya hari ini dan bagaimana dengan teman barunya, dan mengajak anak membuat kartu ucapan untuk teman barunya minggu depan. Buat kesan/ bangun situasi yang membuat anak antusias dan tidak sabar menunggu kembali hari Minggu.
  • Berikan hadiah sebagai penghargaan. Setiap kali anak mengalami progres meskipun tidak besar, berikan penghargaan bentuk reward. Reward tidak selalu barang agar anak bukan fokus pada hadiah, tetapi anak bangga atas pencapaian yang telah diraih. Sehingga apapun bentuk hadiah yang diberikan orang tua, baik pelukan, pujian, atau barang sederhana sekalipun, tetap membanggakan bagi anak.

Nah, itu adalah tips untuk orang tua agar si kecil berani dan mau ibadah Sekolah Minggu sejak dini. Demikian tips kecil yang dapat saya bagikan, semoga para orang tua dapat berjuang untuk membawa si kecil mau dan rajin Sekolah Minggu.

Tuhan Yesus memberkati.

Kesaksian REST Karyawan Athalia

Oleh: Rumawar Bornok Nababan – Guru SD PINUS

Mengikuti REST tahun ini saya melihat perbedaan dari retret beberapa tahun lalu yang saya ikuti. Kali ini saya belajar untuk berdiam diri bukan berarti pikiran kosong tapi berdiam diri agar dapat mendengar suara Tuhan yang menyapa saya dengan lembut dan bisa menemukan Tuhan dalam cara yang indah dalam setiap sesi yang saya ikuti.


Pada REST tahun ini saya merasakan kehadiran Tuhan itu nyata. Selama ini saya cenderung ingin melihat Tuhan dalam bentuk nyata. Namun REST kali ini saya menemukan Tuhan dalam suasana diam. Sebelum berangkat retret yang saya ikuti selama ini saya gelisah karena saya takut kecelakaan di jalan dan jalan yang dilalui ada yang rusak, terjal, naik turun dan lainnya. Nah ketakutan inilah kadang membuat saya tidak bisa menikmati retret tapi stres.


Pertama kali datang ke tempat REST kali ini saya diberi kesempatan berdiam diri. Saya mencari tempat di taman dan duduk di sebuah meja dan kursi yang terbuat dari batu lalu saya memperhatikan seekor ulat bulu dan menyadari betapa ajaibnya Tuhan. Saya bersyukur dapat menikmati ini. Pada waktu sesi doa saya berkesempatan mendoakan dan didoakan, saya sadar bahwa saya butuh komunitas ini untuk mendukung saya.


Selama ini saya pulang retret selalu letih karena harus mengerjakan lagi pekerjaan yang sama. Namun pada REST kali ini saya bisa menikmati Tuhan. Selama ini saya merasa paling menderita di dunia, paling sedih dan paling miskin. Dan ketika menderita saya tidak menemukan keindahan yang Tuhan janjikan dan banyak pertanyaan-pertanyaan kepada Tuhan kok hidup saya begini apalagi ketika suami saya dipanggil Tuhan saya jadi sering menangis dan hidup terasa hampa. Namun pada REST kali ini saya bersyukur bisa menemukan kembali tujuan hidup saya dan ingat kebaikan Tuhan di dalam hidup saya. Tuhan ingatkan saya masih mempunyai anak yang memerlukan saya. Selama ini saya selalu menuntut Tuhan dan sibuk dengan diri sendiri namun kali ini saya bisa menikmati Tuhan dengan cara yang luar biasa. Bahkan sesi demi sesi saya dapat menikmati sampai selesai dengan sukacita.


Sempat saya bertanya kepada Tuhan apakah setelah pulang ini saya masih bisa menikmati Tuhan ketika saya sibuk dalam aktivitas sehari-hari. Kali ini saya mulai belajar bahwa dalam setiap situasi dan keadaan saya bisa menikmatinya karena ada Tuhan.


Bersyukur REST kali ini saya bisa menikmati Tuhan dalam setiap sesi karena acaranya mengalir tanpa merasa diatur dengan jadwal acara yang padat. Puji Tuhan saya bisa merasakan Tuhan dalam tiap moment seperti bunyi air, desiran angin dan setiap hal yang saya lihat serta rasakan. Oh, ajaib benar Engkau Tuhan. Setelah kembali dari REST saya mempunyai kekuatan baru dalam menghadapi kehidupan saya selanjutnya, karena Tuhan pasti menolong saya.

GANJARAN UNTUK KEBAIKAN, Ibrani 12 : 1-11

Oleh : Lili Irene – Staf kerohanian PK3

Di antara kita mungkin pernah mengajukan pertanyaan ini, “Kenapa aku menderita? Kenapa aku yang harus mengalami masalah ini? Kenapa Tuhan meninggalkan aku? Kenapa aku harus menanggung ganjaran ini? dan pertanyaan kenapa lainnya yang kita tanyakan. Terkadang pertanyaan tersebut bisa saja jawabannya adalah karena kesalahan kita sendiri. Kita menderita akibat apa yang kita lakukan.


Rasul Paulus menuliskan kitab Ibrani khususnya pasal 12 ayatnya yang ke 1-11, ia menekankan pada nasihatnya perihal kesabaran dan ketekunan ketika kita harus menghadapi penderitaan sebagai orang percaya. Dikatakan pergumulan orang percaya ketika harus melawan dosa belum sampai mencucurkan darah. Maksudnya melawan dosa adalah berjuang demi suatu tujuan yang baik karena dosa adalah musuh kita. Kita terus-menerus berjuang untuk melawan keinginan daging kita. Melawan berbagai karakter yang tidak baik dalam dirinya, melawan bujukan iblis untuk tidak taat pada Tuhan dan sebagainya.


Ketika penderitaan datang mungkin saja diakibatkan karena kita sedang berjuang melawan dosa. Waktu kita gagal dalam melawan dosa, kita harus ingat kepada didikan, teguran, atau ganjaran dari Tuhan karena kita adalah anak-Nya. Ayat 7 dikatakan jika kamu harus menanggung ganjaran, Tuhan memperlakukan kita sebagai anak. Adakah terdapat anak yang tidak dihajar oleh ayahnya? Seorang ayah bisa saja memberikan ganjaran kepada anaknya untuk kebaikan anak tersebut. Memang dikatakan pada waktu ganjaran diberikan tentu saja tidak mendatangkan sukacita melainkan dukacita. Tapi ingatlah kemudian hasilnya adalah buah kebenaran dan damai sejahtera.


Matthew Hendry dalam tafsiran surat Ibrani mengatakan penderitaan yang ditanggung dengan sikap benar, meskipun hal itu merupakan buah rasa tidak senang Tuhan, tetap saja merupakan bukti kasih kebapaan-Nya terhadap umat-Nya dan kepedulian-Nya terhadap mereka (ay.6-7). Tuhan menghajar orang yang dikasihi-Nya dan Ia menyesah orang yang diakuinya sebagai anak.


Anak-anak Allah yang terbaik membutuhkan ganjaran ketika mereka melakukan kesalahan yang perlu diperbaiki Allah akan menolong kita memperbaiki dosa yang kita lakukan sebagai anggota keluarga-Nya dan Ia akan menegur mereka ketika dibutuhkan Allah bertindak sebagai ayah dan memperlakukan mereka sebagai anak-anak-Nya. Tidak ada ayah yang bijaksana yang menutup mata terhadap kesalahan anak-anaknya sendiri.


Teguran Tuhan sebagai Bapa tidak dimaksudkan untuk membuat kita sedih atau menderita. Teguran selalu untuk kebaikan kita dengan tujuan untuk memperbaiki dan membuat kita berperilaku menyerupai Dia. Pada akhirnya rasul Paulus menganjurkan agar kita rendah hati dan tunduk terhadap Bapa Surgawi kita pada waktu menerima teguran dari-Nya.


Dalam konteks hubungan relasi orang tua dan anak di dunia ini pun lebih kurang demikian. Orang tua tidak hanya mengasihi anak-anak mereka namun mereka juga mendidik dan menegur mereka jika mereka melakukan kesalahan. Dan mendampingi anak-anak agar mereka bisa menghadapi setiap konsekuensi akibat kesalahan yang mereka lakukan. Memberi anak-anak ganjaran yang sepadan namun tetap mendampingi dan memeluk mereka ketika mereka dalam proses untuk berubah.


Kiranya kita sebagai anak-anak Allah juga belajar terus tunduk ketika kita ditegur atau diganjar oleh-Nya. Dan dengan rendah hati kita menerima semua didikan Tuhan dalam bentuk apapun dan berproses terus menerus untuk berubah menjadi lebih baik dan menyerupai Allah. Ganjaran Tuhan selalu mendatangkan kebaikan. Tuhan menolong kita semua.

SHARING REST

Oleh: Presno Saragih – Kepala Pendidikan Sekolah Athalia dan Pinus

Shalom Bapak/Ibu . . . .

Saya akan sharing-kan pengalaman perjumpaan saya dengan Tuhan dalam retret guru/staf tahun ajaran 2022/2023 ini yang dinamakan “REST”. Tentu saja setiap retret guru/staf Athalia/PINUS, Tuhan memberikan berkat-Nya yang melimpah bagi kita semua yang mengikutinya. Namun, dalam retret kali ini saya mengalami “encountering (with) God” yang lebih dalam dan lebih personal dibandingkan retret-retret sebelumnya. Sebelum saya menceritakan apa saja yang Tuhan “nyatakan” kepada saya dalam retret ini, saya ingin bercerita tentang perjuangan saya untuk dapat mengikuti “REST”. Minggu sore (22 Januari 2023) saya merasa tidak enak badan: meriang, batuk dan pusing sepulang pelayanan dari Purwakarta. Senin (23 Januari 2023) saya berobat ke dokter. Dokter bilang saya menderita radang tenggorokan. Malam itu saya tidak bisa tidur sama sekali. Selasa malam saya bisa tidur walau hanya 2-3 jam. Rabu malam (25 Januari 2023) kembali saya tidak bisa tidur sampai Kamis pagi (26 Januari 2023). Bagi penderita hipertensi atau diabet atau penderita penyakit jantung, tidak bisa tidur adalah sesuatu yang sangat berbahaya. Dan saya penderita ketiga-tiganya. Namun dalam anugerah Tuhan saya tetap dapat mengikuti “REST” walaupun dalam keadaan meriang, batuk, pusing, lemas dan kurang tidur. Saya bersyukur dapat mengalami jamahan Tuhan selama mengikuti “REST”.


Dalam kesempatan kali ini saya akan sharing-kan apa yang saya dapat dari Tuhan melalui sesi “Apa kerjamu di sini?”, devosi pagi di kamar dan dalam sesi penutupan. Dalam sesi “Apa kerjamu di sini?” saya diajar oleh Tuhan bahwa saya tidak punya hak untuk “mengatur-atur” Tuhan dalam skenario hidup saya dan keluarga. Dia berotoritas penuh dalam hidup saya dan keluarga. Apa yang Tuhan buat di dalam hidup saya dan keluarga pasti baik adanya. Pesan tersebut saya dapatkan ketika Bapak Hermanto mengupas ayat-ayat firman Tuhan dalam 1 Raja-raja 19:11-13. Tidak ada Tuhan dalam angin besar dan kuat yang membelah gunung. Tuhan juga tidak ada dalam gempa yang terjadi waktu itu. Bayangan kita harusnya Tuhan hadir dalam fenomena-fenomena alam yang dahsyat seperti itu. Namun justru hadirat Tuhan nyata di dalam angin sepoi-sepoi. Jadi sesungguhnya Tuhan bisa hadir secara spektakuler atau non spektakuler. Suka-sukanya Tuhan! Yang pasti Dia selalu memberikan yang terbaik bagi kita pada waktunya Tuhan. Kalau Anak-Nya sendiri diberikan-Nya bagi kita apalah lagi sekadar sandang, pangan, papan, dll.


Saya ditegur oleh Tuhan (dalam devosi pagi di kamar) untuk tidak menjadi orang yang tinggi hati. Saya ditegur lewat ketakutan dan keputusasaan Elia ketika diancam oleh ratu Izebel. Ratu Izebel akan mengutus orang untuk membunuh Elia yang sudah menyembelih 450 nabi Baal. Elia gentar, putus asa dan ingin nyawanya dicabut oleh Tuhan karena ancaman seorang perempuan. Padahal baru saja Elia menyaksikan kuasa Tuhan yang luar biasa yang membinasakan nabi-nabi Baal tsb. Mungkin saja tanpa disadarinya dia beranggapan bahwa dia lah yang mengalahkan nabi-nabi Baal tsb; bukan Tuhan. Itulah sebabnya kali ini dia begitu gentar dan putus asa karena dia mengukur kekuatannya sendiri; dia harus berhadapan dengan seorang ratu. Saya ditegur oleh Tuhan untuk membuang dosa kesombongan saya.


Terakhir, saya merasa sangat terharu (“goosebump”) dan sangat dikuatkan ketika saya dan rekan-rekan kepala sekolah, kabag dan BOD didoakan oleh semua guru/staf di sesi penutupan. Dalam keadaan berlutut, kami didoakan dengan tangan para pendoa di atas (kepala) kami. Saya secara pribadi sangat bersyukur dan diteguhkan lewat penumpangantangan tersebut (doa). Selain itu saya sangat terharu dan berterima kasih menerima pelayanan para pemimpin Athalia dari mulai keberangkatan menuju 5G sampai dengan tibanya semua peserta “REST” di sekolah Athalia. To God be the Glory.

Mengenal dan Mengatasi TOXIC FRIENDSHIP

Oleh: Felicia – Staf Konselor SMP Athalia

Jika kamu diminta pendapat tentang salah seorang temanmu, kira-kira apa yang akan kamu katakan tentang dia?
Apakah dia adalah teman yang selalu menolong kamu? Apakah dia adalah teman yang selalu mendengarkan ceritamu? Apakah dia adalah teman yang selalu hadir di masa-masa sulitmu? Atau kamu akan langsung mengatakan, “Dia mah toxic”.

Tapi bagaimana jika temanmu yang diminta pendapatnya tentang kamu? Kira-kira apa yang akan mereka katakan tentang kamu? Apakah hal-hal positif yang akan disampaikannya? Atau temanmu juga akan mengatakan kalau kamu toxic?

Toxic friendship adalah istilah yang seringkali dipakai untuk hubungan pertemanan yang dinilai memberikan pengaruh negatif. Ada (setidaknya) dua ciri yang menunjukkan apakah hubungan pertemanan kalian bersifat toxic, yaitu:

Ciri yang dapat terlihat secara langsung. Pertama, sering menggunakan kata-kata yang tidak sopan atau kasar dalam berkomunikasi atau saat mengekspresikan emosi mereka, misalnya saat marah. Kedua, menyarankan sebuah tindakan yang sudah jelas salah, misalnya berbohong untuk menutupi sebuah kesalahan dengan alasan sebagai teman harus saling menolong.

Ciri yang tidak terlihat secara langsung. Ciri-ciri ini biasanya dirasakan karena mulai mengganggu kesehatan mental, misalnya mulai ada rasa cemas dan takut kehilangan hubungan pertemanan tapi sebenarnya juga merasa tidak nyaman saat berinteraksi. Salah satu contoh tindakannya adalah selalu merasa benar dan membuat teman merasa bersalah.

Kalau kamu merasa sedang berada dalam hubungan pertemanan yang bersifat toxic, ada beberapa hal yang dapat dilakukan:

Lakukan refleksi untuk dirimu sendiri. Apakah kamu termasuk teman yang toxic? Kalau iya, buatlah komitmen untuk berubah. Apakah kamu merasa terlibat dalam hubungan pertemanan yang toxic? Kalau iya, buatlah batasan tentang hubungan pertemanan yang kamu inginkan.

Komunikasikan secara asertif tentang hasil refleksi tersebut bersama dengan temanmu. Kalau kamu merasa perlu didampingi, ajaklah orang dewasa yang dapat kamu percaya. Berikan waktu beberapa hari untuk saling merefleksikan hasil pembicaraan kalian. Setelah itu saling berusaha untuk memperbaiki interaksi dalam pertemanan sesuai dengan hasil pembicaraan kalian.

Tips yang paling penting saat berusaha memperbaiki interaksi pertemanan yang toxic adalah harus berani mengambil sikap untuk mengutarakan perasaan dan pendapatmu secara asertif dan tidak memendamnya.

Menggandeng atau Menggendong?

Oleh: Sylvia Tiono Gunawan – Staf Kerohanian PK3

Ulangan 32:11
Laksana rajawali menggoyangbangkitkan isi sarangnya, melayang-layang di atas anak-anaknya, mengembangkan sayapnya, menampung seekor, dan mendukungnya di atas kepaknya,

Musa memberikan pesan-pesan di saat terakhirnya kepada umat Israel melalui sebuah nyanyian. Dalam pesannya, ia mengingatkan Israel bahwa dalam perjalanan iman bersama Tuhan, kadang Ia mengizinkan umat-Nya mengalami masa sulit namun tidak meninggalkan mereka berjalan sendiri. Seperti induk rajawali ketika mengajar anaknya untuk terbang, ia akan dengan sengaja membongkar sarang, lapis demi lapis sampai tersisa lapisan yang kasar dan keras supaya anaknya keluar dari kenyamanan. Ia bahkan mendorong anaknya ke ujung tebing lalu menjatuhkannya supaya anaknya belajar mengembangkan sayap dan melatih ototnya. Namun, ketika anak rajawali terlihat seperti dibiarkan jatuh oleh induknya dan akan mati, tepat pada saat itu pula sang induk akan mengembangkan sayapnya dan menangkapnya kembali. Hal ini dilakukan berulang kali sampai anak itu dapat terbang.


Sekilas kita mungkin berpikir sang induk kejam, namun sebenarnya apa yang induk rajawali lakukan adalah untuk menolong anaknya supaya menjadi seekor rajawali yang kuat, tangguh dan mampu bertahan hidup. Demikian juga dengan Tuhan ketika Ia mengijinkan kita mengalami pergumulan. Sesungguhnya ia sedang mendidik kita agar bertumbuh dalam iman. Ia mau kita semakin tangguh menghadapi zaman ini dan tetap memiliki iman yang teguh apapun keadaannya.


Sebagaimana Tuhan mendidik kita untuk makin dewasa, kiranya setiap kita juga belajar untuk mendidik anak-anak kita agar makin kuat dan mandiri. Jangan sampai atas nama kasih kita tidak mengijinkan anak mengalami kesulitan. Kita memperlakukan mereka seperti seorang bayi yang harus terus ‘digendong’ dan ‘disuapi’. Akibatnya, anak-anak tidak siap menghadapi kesulitan hidup dan tantangan zaman. Orang tua tidak bisa selamanya menemani anak, karena itu mari latih anak untuk mandiri dan bertanggung jawab atas hidupnya. Dalam prosesnya, doakan mereka, gandeng mereka dan topanglah jika diperlukan. Hingga pada saatnya, lepaskan mereka agar dapat mengembangkan sayapnya dan terbang tinggi seperti induk rajawali melihat anaknya terbang tinggi. Mari, memohon hikmat Tuhan dan terus berlatih mendampingi anak kita menjadi dewasa.

Menggandeng Remaja melalui Kamp Karakter

Oleh: Ni Putu Mustika Dewi – Staf Karakter Sekolah Athalia

Pada umumnya peran setiap manusia dalam menjalani kehidupan ini akan bertambah seiring pertambahan usia. Bertambahnya peran mengakibatkan bertambah pula tanggung jawab yang harus diemban. Pertambahan peran dan tanggung jawab ini secara signifikan terjadi saat usia transisi dari anak ke remaja. Saat memasuki usia remaja peran mereka bertambah terkhusus dalam mengatur dirinya sendiri, seperti menentukan waktu untuk belajar mandiri dan waktu hangout, memilih buku atau tontonan seperti apa yang akan dinikmati, hobi atau kesukaan yang akan ditekuni, dan masih banyak lainnya. Pada masa ini, orang tua tidak lagi mendominasi sebagaimana saat anak masih usia kanak-kanak. Remaja sudah diberi kepercayaan untuk menentukan pilihan meski masih di dalam pengawasan. Oleh sebab itu, tanggung jawab mereka untuk menjaga kepercayaan yang orang tua berikan pun bertambah dibanding pada usia sebelumnya.


Bukan hanya pertambahan peran dan tanggung jawab, remaja mengalami perubahan fisik dan mental, di tengah-tengah identitas diri yang belum ajek. Semua perubahan ini dapat menyebabkan remaja menghadapi tantangan terberat dalam hidup mereka. Oleh sebab itu, perlu sekali pendampingan orang yang lebih dewasa dalam menjalani proses perubahan ini. Sekolah Athalia berkomitmen untuk mendampingi murid saat memasuki masa ini. Program harian, mingguan, bahkan tahunan SMP Athalia dirancang untuk menjadi sarana bagi murid Athalia yang menginjak masa remaja agar makin paham identitas diri, peran, dan tanggung jawab mereka bahkan mulai peduli kepada orang lain.


SMP Athalia memiliki beberapa kegiatan yang berkaitan dengan proses belajar karakter, beberapa di antaranya MetCamp dan CaSCamp. Pertama, MetCamp yang merupakan akronim dari Metamorphosis Camp. Siswa kelas VII akan mengikuti MetCamp pada semester genap. Kegiatan ini digambarkan seperti sebuah “jembatan” antara pembelajaran karakter SD dengan SMP. Berbagai aktivitas yang dilakukan dalam MetCamp dirancang untuk mengingatkan,dan meneguhkan kembali karakter tanggung jawab yang sudah ditanamkan sejak SD, seperti arti tanggung jawab berdasarkan firman Tuhan, yaitu alasan kita hidup bertanggung jawab adalah sebagai respons akan kasih Tuhan yang sudah mengorbankan dirinya untuk menebus hidup kita. Selain itu, murid diajak untuk melihat perbedaan peran dan tanggung jawab saat duduk di bangku SD dengan kini saat di SMP, dan bagaimana seharusnya mereka merespons peran dan tanggung jawab yang sudah dipercayakan di hadapan-Nya.


Kedua, Caring & Sharing Camp (CaSCamp), yang digambarkan sebagai bengkel karakter. Kegiatan ini dirancang bagi murid-murid kelas VIII untuk membantu mereka mengevaluasi diri sendiri sudah sejauh mana mereka paham nilai-nilai kebenaran Caring & Sharing berdasarkan firman Tuhan, mengidentifikasi hal-hal penghambat dalam menghidupi karakter tersebut, serta memberi kesempatan kepada mereka untuk memikirkan upaya perbaikan yang dapat dilakukan di kemudian hari.


Pada tahun ajaran ini, CaSCamp sudah diadakan onsite di sekolah, pada 10-11 Februari 2023. Sebelumnya, diadakan PraCaSCamp selama seminggu penuh pada tanggal 1-7 Februari 2023. Para murid diajak untuk menantang diri dalam mewujudkan kasih mereka kepada diri sendiri, keluarga, dan sesama.


Kiranya melalui program tahunan yang sudah dirancang ini, murid-murid kelas VII dan VIII untuk dapat mengingat, mengevaluasi, serta makin bertumbuh menjadi remaja yang memiliki karakter Kristus. Kiranya Tuhan menolong.

Bahasa Kids Zaman Now

Oleh: Marlene Shinta – Research & Development TK Athalia

“Lihat, fish-nya lagi bobo.”
“Mama tunggu di door depan.”
“Makan banana yang sudah mama cut, ya.”

Pernahkah Anda mendengar kalimat seperti itu? Mungkin maksudnya adalah memperkenalkan anak dengan bahasa Inggris, namun penggunaannya jadi kurang tepat.

Saat pandemi Covid-19 melanda, mobilitas fisik menjadi sangat terbatas. Banyak anak kehilangan kesempatan untuk belajar di sekolah, berinteraksi dengan orang lain, bermain di taman, dan bertemu dengan anak seusianya. Bagi orang tua yang sibuk, kadangkala anak lebih sering difasilitasi dengan gawai agar tidak mengganggu kesibukan mereka, sehingga anak dapat tetap diam dan tidak berlarian atau membuat keributan. Saat ini banyak sekali video menarik untuk anak-anak dengan menggunakan bahasa asing. Hal ini dapat mengakibatkan kebingungan bahasa pada anak usia dini. Menurut dr. Tri Gunadi, A.Md.OT., S.Psi. ternyata anak yang baru belajar bicara tapi sudah diajari dua bahasa akan membuat anak kesulitan bicara *). Termasuk jika balita yang sedang belajar bicara malah dipapar tayangan televisi, meskipun tontonan tersebut dikhususkan untuk anak tapi akan menimbulkan kesulitan belajar bicara. Apalagi tayangan televisi dan internet misalnya, sifatnya satu arah. Tanpa arahan dan pendampingan dari orang tua tentu anak terbiasa melihat tanpa berupaya untuk berkata-kata atau berkomunikasi.

Mengapa bahasa sangat penting pada anak usia dini? Bahasa merupakan salah satu faktor utama dalam perkembangan anak. Bahasa digunakan untuk berkomunikasi seperti mengungkapkan pikiran dan perasaan, bersosialisasi, berinteraksi dengan teman seusianya ataupun dengan orang lain. Dalam proses pembelajaran, bahasa juga merupakan aspek yang harus dikuasai oleh seorang anak untuk memahami bacaan, mengikuti perintah, dan juga dalam mengerjakan tugas.

Adapun dua aspek utama dalam bahasa adalah bahasa reseptif dan bahasa ekspresif. Dua kemampuan ini dibutuhkan anak dalam berkomunikasi sehingga ketika ada masalah dengan salah satu atau bahkan keduanya anak akan terkendala dalam berkomunikasi dengan orang lain.

Bahasa reseptif adalah kemampuan untuk memahami, mendengar, serta menyimak sebuah informasi atau memahami makna. Kemampuan ini bersifat sebagai input atau masukan yang pastinya mendukung kegiatan menyimak maupun membaca. Menyimak adalah suatu proses mendengarkan dengan penuh perhatian, menangkap dan memahami makna komunikasi yang disampaikan seseorang. Sementara membaca merupakan kegiatan melihat tulisan dan memahami gambar atau kata yang dibaca. Bahasa reseptif dibutuhkan ketika anak memahami bahasa lisan yang didengar atau dibaca. Misalnya saat anak mendengar sebuah instruksi, dia paham dan mampu mengikuti petunjuk tersebut dengan benar. Keterampilan bahasa reseptif anak usia dini sangat dibutuhkan untuk memahami kalimat yang didengar dan dibaca. Secara umum, kemampuan bahasa reseptif berkembang sebelum anak mampu berkomunikasi.

Bahasa ekspresif adalah kemampuan untuk mengekspresikan keinginan melalui komunikasi verbal atau nonverbal. Hal ini membutuhkan kemampuan merangkai pemikiran dan menyusunnya ke dalam kalimat sederhana yang masuk akal dan runut. Misalnya, ketika anak dapat memberi tahu bahwa dirinya lapar, atau ketika anak dapat memberikan jawaban yang sesuai dengan pertanyaannya.

Kedua aspek bahasa ini sangatlah penting dalam perkembangan anak usia dini. Kadang kala yang terjadi adalah hanya bahasa reseptifnya saja yang berkembang. Hal ini dapat terlihat ketika anak dapat memahami apa yang dikatakan orang lain. Namun, sulit menyusun kata-kata untuk meresponsnya ataupun sulit untuk mengatakan apa yang hendak ia katakan. Sebaliknya jika kemampuan ekspresifnya saja yang berkembang, maka anak hanya mampu bicara namun tidak sesuai dengan konteks sehingga saat diberi pertanyaan, anak tidak dapat memberikan jawaban yang sesuai.

Kondisi yang tampak saat ini adalah orang tua senang melihat anaknya mengerti bahasa asing, salah satunya bahasa Inggris. Hal ini mengakibatkan anak berbicara dengan bahasa campur-campur. Orang tua pun akhirnya mengikuti pola ini dan menjadikan kebiasaan dalam percakapan sehari-hari. Anak banyak mengenal kosakata dalam bahasa Inggris. Namun bisa jadi tidak mengerti artinya mengakibatkan kesulitan merangkai ke dalam kalimat khususnya ketika ingin berbicara.

Dikutip dari detikcom, dr Meta Hanindita, SpA mengatakan, ketika anak bingung dengan beberapa bahasa yang diajarkan akan membuka kemungkinan terjadinya speech delay. Anak jadi tidak mau berbicara dan memilih untuk diam karena bingung.

Menurut psikolog anak, Dr. Seto Mulyadi, anak tidak seharusnya diajarkan beberapa bahasa sekaligus*). Bahasa ibu atau bahasa Indonesia harus diajarkan secara lengkap terlebih dahulu. Bahasa ibu adalah bahasa yang pertama dipelajari anak sejak lahir; bahasa yang diperoleh dari anggota keluarga. Jika anak sudah menguasai bahasa ibu, baik secara reseptif atau ekspresif, yang artinya anak sudah mulai mampu berkomunikasi dengan baik, barulah boleh mengajarkan lebih dari dua bahasa kepada si anak.

Tentu semua orang tua berharap anak memiliki kemampuan bahasa yang berkembang sesuai dengan usianya. Oleh karena itu, marilah kita bangun pondasi bahasa yang kuat pada anak usia dini dengan mengajarkan satu bahasa terlebih dahulu sebelum mengenalkan bahasa lainnya.

*) https://health.detik.com/anak-dan-remaja/d-3101347/balita-sering-nonton-program-tv-anak-berbahasa-asing-bagus-atau-tidak-ya
*) kutipan asli
https://www.haibunda.com/parenting/20181031202514-61-28288/saran-kak-seto-jika-ajari-anak-2-bahasa-sejak-dini

Mengenali Bahasa Kasih Pasangan

Oleh: Tirza Naftali – Staf Chaplain

Jika kita masuk ke negeri “orang”, kita pasti akan mati-matian belajar bahasa negara tersebut, bukan? Jika tidak, kita cukup kesulitan memahami budaya, cara pikir, bahkan obrolan sederhana atau jokes orang-orang di sana. Intinya, kita akan sulit menjalin relasi, meski hanya untuk membeli ikan di pasar. Pernikahan adalah tentang seni belajar. Ya, mempelajari bahasa kasih satu sama lain agar pasangan kita merasa dikasihi.


Saya dan suami memiliki bahasa kasih terkuat pertama yang sama: sentuhan fisik. Selain hubungan intim suami istri, pelukan dan ciuman tidak pernah absen dalam keseharian kami untuk menunjukkan kasih satu sama lain. Namun, di awal-awal pernikahan, kami kerap konflik. Salah satunya berkaitan dengan bahasa kasih terkuat ke-2 kami yang berbeda (saya: kata-kata penghargaan; suami: pelayanan).


Saya jadi memiliki kehausan yang besar atas kata-kata yang membangun, memuji, meneguhkan, dan menenangkan. Hal ini juga sebagian besar dipengaruhi dengan verbal abuse dan pola asuh yang penuh dengan kritikan di keluarga saya sebelumnya. Maka, kata-kata yang sopan, seperti “terima kasih”, “maaf”, dan “tolong” sangat berarti untuk saya.


Ternyata Tuhan menganugerahkan saya seorang suami yang betul-betul irit dalam berkata-kata. Ketika terjadi konflik, saya ingin berdiskusi, menyampaikan perasaan, dan menyelesaikan saat itu juga. Betapa frustrasinya saya ketika mendapati sang suami justru terdiam seribu bahasa, bahkan bisa tertidur pulas, dan berangkat ke kantor esok harinya tanpa berkata apa-apa.


Akhirnya setelah 1-2 hari berlalu, barulah suami berinisiatif mendekat, memeluk, dan minta maaf. Barulah meledak tangis saya, kami saling mengungkapkan isi hati, dan rekonsiliasi. Terkadang hal itu terjadi karena di siang hari, pada saat kami berada di kantor masing-masing, saya tidak tahan untuk menumpahkan seluruh pikiran pada suami via WA. Saya berpikir bahwa tulisan dapat mengungkapkan pikiran dengan lebih terstruktur dan minim emosi, sehingga suami dapat mengerti dengan lebih baik.


Namun, setelah kami belajar tentang bahasa kasih selama setahun di persekutuan Pasutri gereja kami, di salah satu retreat kami diberi kesempatan berdua-berdua untuk mengobrol dari hati ke hati.


Saya bertanya kepada suami, “Apa yang sebenarnya kamu rasakan terhadap saya, Pa? Kenapa ya kira-kira konflik terkait kata-kata itu sering berulang? Lalu, mengapa kamu begitu sopan dan berkata-kata baik untuk orang lain, tapi sering terkesan ketus kepadaku, contoh: Kunci dong, Ma”, “Ma, karcisnya, dong?”


Baru di situ, suami saya berani mengungkapkan bahwa:
Pertama, di dalam budaya keluarganya, beliau terdidik untuk sopan di depan semua orang. Maka, dia merasa tidak perlu sopan kepada dirinya sendiri. Sehingga, karena saya sudah dianggap sebagai bagian dari dia, dia merasa menjadi diri sendiri. Entah saya harus tersanjung atau tetap kecewa dengan penjelasan tersebut. Tapi belakangan, setelah kami sama-sama konseling dan semakin dipulihkan, kami baru mengerti bahwa suami memiliki self esteem yang juga tidak baik.


Kedua, suami merasa sudah memberikan bentuk kasih yang maksimal dengan melayani saya begitu rupa. Di sini saya merasa sedih…. dan di dalam hati meminta ampun kepada Tuhan, karena betapa saya menuntut untuk dikasihi, namun saya buta, egois, dan tidak terbuka untuk mempelajari bahasa kasih yang fasih sekali ditunjukkan oleh suami. Bahkan gesitnya beliau mengganti lampu yang rusak, memasang tempat cantelan di dapur untuk sutil-sutil berharga saya, dan begitu sat-set-sat-set-nya pergi ke Indoma*et untuk membeli mentega, pelukan tanpa penghakiman di masa-masa jatuh saya, bisa-bisanya tidak saya lihat. Lagi-lagi, belakangan di dalam proses pemulihan luka batin masa lalu saya, betapa ngerinya kekosongan tangki kasih yang belum beres berdampak dalam kehidupan pernikahan saya. Isinya menjadi serba tuntutan ketimbang belas kasihan. Boro-boro mengusahakan komunikasi dan relasi, malah menjadi intimidasi.


Ketiga, ketika konflik, di satu sisi suami membiarkan saya tenang dari ledakan-ledakan emosi. Namun, di sisi lain, suami yang sangat rasional itu juga menjadi takut salah berbicara, merasa, bertindak, dan takut juga dihakimi oleh saya. Maka, saya juga tidak adil jika mengajak beliau “gelut” (berdebat) di saat konflik sedang panas-panasnya. Saya perlu meregulasi emosi, suami pun perlu meregulasi pikirannya. Apalagi saat itu, saya juga tidak kalah ketus. Sehingga, kami semakin belajar: di saat salah satu dari kami melakukan kesalahan atau kelalaian, perlu membiasakan diri berdiam, memeluk atau mengelus-ngelus pundak, dan bertanya “Apa yang bisa kubantu untukmu?” Ternyata saya juga perlu memberikan kata-kata penguatan yang dia butuhkan, selain memberikan pelayanan yang pantas dengan sukacita untuknya.


Perbedaan ini menyadarkan kami, sampai maut memisahkan pun, kami harus terus mengenal dan mempelajari pasangan kami, meski orang bilang “Ah, kalau sudah bertahun-tahun menikah kedip mata saja sudah tahu maksud dia apa”.


Saya pernah belajar bahasa Jepang. Namun, karena tidak pernah memakainya dalam keseharian, tidak ada kepentingan juga berbicara dengan orang Jepang, apalagi pergi ke negerinya, saya tidak merasa perlu menguasainya.


Nah, bagaimana dengan bahasa kasih pasangan? Kita mengasihi pasangan kita bukan? Mari sama-sama terus berjuang bersama saya dan suami untuk saling mengusahakan dan melatihnya. Hal terpenting: saling mendoakan satu sama lain, menyerahkan pasangan kepada Bapa, Sang Ahli dari semua bahasa kasih.

Kasih

Oleh: Sylvia Tiono Gunawan – Staf Kerohanian PK3

1 Korintus 13:13
Demikianlah tinggal ketiga hal ini, yaitu iman, pengharapan dan kasih, dan yang paling besar di antaranya ialah kasih.

Rasul Paulus menjelaskan pentingnya kasih dalam kehidupan orang percaya dalam bagian firman Tuhan ini. Kasih menjadi hal yang paling besar dari segalanya. Tetapi ini bukan berarti yang lain tidak penting melainkan karena tanpa kasih maka semua sia-sia. Ketekunan kita beribadah dan berdoa hanya menjadi sebuah kewajiban/formalitas jika kita melakukannya tanpa kasih kepada Tuhan. Demikian juga ketika kita melakukan tanggung jawab kita sebagai orang tua dan pasangan tanpa kasih, maka kita hanya akan merasa dibebani oleh kehadiran mereka, kehilangan sukacita dan makna keluarga yang sesungguhnya. Oleh sebab itu mendasari dan menjalani hidup dengan kasih Kristus seharusnya selalu menjadi yang utama dalam hidup kita.


Henry Drummond dalam bukunya yang berjudul The Greatest Thing in the World menuliskan bahwa ujian terakhir dalam hidup kerohanian kita bukanlah seberapa benar/sucinya saya di hadapan Tuhan, melainkan seberapa besar/dalam saya mengasihi Tuhan dan orang-orang yang Tuhan tempatkan di sekitar saya. Drummond juga menuliskan bahwa ada 9 hal yang harus ada dalam kasih, yaitu kesabaran, kebaikan, kemurahan hati, kerendahan hati, tidak egois, tidak gampang marah/terprovokasi, tidak dendam/memperhitungkan kesalahan orang lain, dan tulus/jujur/benar. Hal ini berarti kasih yang sejati akan menyatakan kebenaran baik bagi kita yang melakukan maupun bagi mereka yang kita kasihi dan kasih yang demikianlah yang Tuhan ingin kita perbuat.


Melalui renungan firman Tuhan ini, mari kita mengevaluasi kehidupan kita bersama Tuhan dan relasi kita dengan sesama. Apakah kasih yang demikian telah menjadi bagian dalam hidup kita dalam mengikut Tuhan dan berelasi dengan sesama kita terutama keluarga kita? Sebagaimana Allah telah mengasihi kita sampai mengorbankan hal yang paling berharga, kiranya kita pun belajar mengasihi Allah dengan segenap hati dan hidup kita serta senantiasa menyatakan kasih Kristus itu kepada sesama kita.