Berjalan dalam Kekudusan

Oleh: Yolanda, S.Th.

“Tetapi hendaklah kamu menjadi kudus di dalam seluruh hidupmu, sama seperti Dia yang kudus, yang telah memanggil kamu, sebab ada tertulis: “Kuduslah kamu sebab Aku kudus.” 1 Petrus 1:15-16

Ayat tersebut di atas dimaksudkan ketika Petrus berbicara mengenai panggilan orang Kristen untuk hidup kudus. Dia ingin mengajarkan doktrin Allah yang penting bagi kita semua, yaitu Allah yang kudus. Tema ini merupakan tema yang tidak pernah berubah dari Perjanjian Lama hingga Perjanjian Baru dan tetap berlaku bagi orang percaya sampai saat ini.

Berbicara mengenai kekudusan, dalam bahasa Ibrani, Kudus berasal dari kata “kadosh” yang berarti terpisah atau dipisahkan dari yang lain. Terpisah di sini maksudnya adalah seseorang harus berpisah, meninggalkan, pergi atau melangkah ke arah yang berlawanan, serta tidak ada relasi lagi atau berhenti berhubungan dengan hal yang jahat dan berdosa. Orang Kristen dipanggil untuk tidak lagi berkompromi dengan dunia ini serta terpisah dari yang lain (dari yang jahat).
1 Petrus 1:15-16 memiliki setidaknya tiga makna yang dalam untuk kita pelajari dan menjadi bagian bagi hidup kita.

1. Allah itu Kudus.
Allah yang kudus setidaknya menekankan dua hal utama. Pertama, Allah mau terus memperkenalkan diri-Nya kepada manusia sebagai Allah yang kudus. Kedua, Allah yang kudus berarti bahwa Ia tidak berkompromi dengan dosa.

Pada saat Adam dan Hawa jatuh dalam dosa, Tuhan langsung mengusir mereka dari Taman Eden karena dosa melanggar kekudusan-Nya. Yesaya berkata “celakalah aku” ketika Yesaya berhadapan dengan Allah, ia menyadari siapa dirinya yang sedang berhadapan dengan Allah yang kudus. Ketika Allah menjumpai Musa dalam bentuk lidah api di semak-semak, Allah juga berkata kepada Musa untuk melepaskan kasutnya. Ketika manusia jatuh dalam dosa, Allah harus mengutus Anak-Nya yang tunggal untuk menghapus dosa manusia sehingga manusia dapat ditemukan kembali kudus, tidak bercacat dan dapat kembali berelasi dengan Allah Bapa yang adalah Kudus.

Allah yang kudus, tidak dapat hidup bersama orang yang tidak kudus. Begitu pula orang-orang yang mengotori kehidupannya dengan ketidakkudusan tidak dapat melihat Allah, sebab Allah adalah kudus.

2. Karena Allah itu kudus, kita juga harus kudus.
Sebagai gambar dan rupa Allah, manusia dituntut untuk hidup kudus, sama seperti Allah adalah kudus. Karena Allah tidak dapat berkompromi dengan ketidakkudusan, orang percaya pun seharusnya hidup kudus di hadapan Allah. Hanya dengan cara tetap hidup di dalam kekudusan Allah, akan membuat kita bisa menghayati keberadaan dan kehadiran Allah di dalam setiap langkah hidup yang kita jalani di dalam dunia ini sehingga apa pun yang terjadi dalam hidup ini, kita percaya bahwa Allah tetap bersama kita dan Ia tidak akan pernah meninggalkan kita. Apakah mungkin bagi orang percaya untuk hidup kudus di hadapan Allah? Jawabannya terletak pada makna ketiga dari poin di bawah ini.

3. Kita bisa kudus karena Dia kudus.

Makna ketiga ini mengandung unsur penguatan bagi orang percaya. Ketika kita percaya dan menerima Tuhan sebagai Tuhan dan Juruselamat kita secara pribadi, saat itu juga kita telah “…di dalam Dia kamu juga, ketika kamu percaya, dimeteraikan dengan Roh Kudus, yang dijanjikan-Nya itu” (Efesus 1:13). Kita dikuduskan karena Kristus yang telah menebus kita. Roh Kudus yang menyertai kehidupan orang percaya akan senantiasa menuntun dan membimbing kita dalam kebenaran, untuk hidup kudus semakin serupa dengan-Nya.

Menariknya, di dalam Bahasa Yunani, kata kudus, “hagios” mengandung arti yang berkorelasi dengan anugerah Tuhan semata-mata. Ini berarti bahwa kita hanya bisa hidup kudus hanya karena anugerah dan pertolongan Tuhan. Hanya Dialah yang memungkinkan kita hidup kudus. Hal ini dipertegas dengan kalimat “Dia yang kudus yang telah memanggil kamu….” (ay. 15) yang memiliki makna bahwa kita bisa menjadi kudus karena Allah yang kudus itu sendiri telah memanggil dan pasti akan menguduskan kita. Dan ketika Allah menguduskan manusia berarti Allah memilih manusia menjadi milik-Nya, dimana manusia itu “dikhususkan dan dipisahkan”. Orang kudus ialah orang yang dikuduskan oleh Roh Kudus sehingga mereka tidak lagi “dari dunia ini” (Yohanes 17:14-19).

Sebagai penutup, Ann Arbor dalam bukunya Rediscovering Holiness berkata, “Kekudusan merupakan obyek dari penciptaan baru kita. Kita dilahirkan kembali supaya kita dapat bertumbuh dalam keserupaan dengan Kristus. Kekudusan adalah tanda realitas iman dan pertobatan seseorang, serta penerimaan orang tersebut pada tujuan akhir Allah. Akhir kekudusan merupakan substansi kebahagiaan sejati. Orang yang mengejar kebahagiaan palsu akan kehilangan kekudusan dan orang yang mengejar kekudusan akan memperoleh kebahagiaan sejati dalam Kristus tanpa memintanya.”

Oleh karena itu, sebagai orang yang sudah lahir baru, kita harus menyadari dengan sungguh bahwa kekudusan hidup adalah kewajiban cara hidup orang percaya yang tidak dapat ditukar, diganti atau dibayar dengan apa pun juga dan akan mendatangkan kebahagiaan yang sejati.

Dan pada akhirnya, hidup kudus adalah hidup yang memiliki hati dan pikiran Kristus, artinya kita harus sungguh-sungguh menyadari bahwa hidup kita tidak saja di dalam dunia ini dan juga tidak berdiri sendiri tetapi mutlak bergantung pada Allah yang Mahakuasa. Kita tidak sendirian dalam menjalani hidup yang kudus ini karena ada tangan Allah yang tidak terlihat yang terus menopang dan memampukan kita untuk hidup kudus.

Selamat berproses dalam hidup kudus!

The Good Shepherd

Oleh: Februari Wati, S.E.,M.Div.

“Ketika kehilangan kekayaan, Anda tidak kehilangan apa-apa. Ketika kehilangan kesehatan, Anda kehilangan sesuatu. Ketika kehilangan karakter, Anda kehilangan segala-galanya.” – Billy Graham

“Sikap dan perilaku seseorang merupakan cerminan karakter dari orang tersebut. Manusia seharusnya memiliki karakter Kristus karena ia diciptakan segambar dan serupa dengan Allah. Kejatuhan dalam dosa membuat manusia hidup dalam arus dunia yang menyesatkan, tetapi bagi orang percaya ia dimampukan untuk membedakan mana yang benar dan salah, serta tidak terlibat dalam arus dunia yang destruktif.


Setiap manusia termasuk anak-anak penting memiliki karakter Kristus. Anak-anak digambarkan seperti domba-domba yang lemah, sedangkan roh dunia digambarkan seperti serigala yang buas dan siap memangsa kawanan domba. Kamus Gambaran Alkitab mencatat bahwa Domba tanpa Gembala tidak dapat bertahan hidup lama. Domba dikenal sebagai hewan yang sangat lemah, yang tidak dapat melindungi dirinya sendiri seperti hewan lain.


Pada zaman dulu, domba-domba tidak dipelihara di tempat berpagar. Mereka dibiarkan dan hidup berbaur dengan hewan lain (Yes. 65:25). Keselamatan para domba sangat terancam dari serangan serigala-serigala yang kelaparan. Domba juga digambarkan sebagai hewan yang sangat mudah tersesat dan tidak bisa menemukan jalan kembali ke kandang walaupun jaraknya sangat dekat. Ketidakberdayaan domba membuat mereka hidup bergantung sepenuhnya pada gembala. Ketidakberdayaan domba ini mencerminkan diri manusia yang lemah dan rapuh, yang sangat mudah digoda dan dibinasakan.


Yesaya 40:11 menggambarkan Allah sebagai Gembala yang menggendong anak domba di tangan-Nya untuk diberikan perlindungan, tempat berteduh bahkan mendapat perawatan saat sakit atau terluka.


Anak-anak diibaratkan sebagai kawanan domba yang mudah tersesat dan lemah, yang harus dituntun dan dilindungi. Oleh karena itu, mereka membutuhkan tuntunan dari orang yang lebih dewasa untuk berproses dan bertumbuh hingga karakter Kristus terpancar dalam diri mereka. Namun, pertanyaannya, siapakah yang harus berperan menjadi gembala mereka?

Panggilan sebagai Gembala
Manusia adalah wakil Allah dalam dunia ciptaan-Nya. Semua pekerjaan yang diusahakan manusia dalam dunia bukan hanya memenuhi kebutuhan hidup semata melainkan menyadari adanya panggilan Allah. Panggilan Allah dijalankan lewat kehadiran diri kita sebagai gembala yang baik dalam setiap waktu dan tempat. Gembala yang dipanggil untuk membawa anak-anak dari gelap menuju terang. Dari kebutaan secara rohani kepada kecerahan rohani. Gembala membantu anak-anak yang terperangkap dalam dosa dan tersesat untuk berjumpa dengan kasih Anugerah Allah. Peran menjadi gembala bagi anak-anak merupakan respons dari hati kita yang mengasihi Allah dan panggilan untuk bersaksi dari amanat Agung yang kita imani.

Tiga Prinsip dalam Penggembalaan
A. Transformasi Hidup
Gembala secara pribadi perlu mengalami terlebih dahulu transformasi hidup di dalam Kristus. Sebab tidak mungkin orang buta menuntun orang buta menuju kecerahan rohani. Paulus memaparkan transformasi hidup meliputi pengudusan, pembaharuan, dan pemuliaan diri di dalam Kristus. Segala usaha atau tindakan berpegang pada kebenaran Allah yang bekerja dalam diri kita untuk menjadi manusia segambar dan serupa dengan Allah (2 Petrus 1:3-9). Dalam transformasi hidup, seorang gembala juga harus membangun spiritualitas yang benar dalam melihat dan menghadapi berbagai kebingungan dan kondisi keruntuhan moral yang terus mencuat dalam kehidupan manusia. Kondisi yang membingungkan dan demoralisasi yang ada terkadang memerlukan pemikiran dan tindakan yang cepat dan tepat. Kondisi demikian diharapkan dari diri seorang gembala memiliki kehidupan spiritualitas yang baik di dalam kebenaran Allah yang terintegrasi dalam kehidupan secara holistik (heads, hearts, hands).

B. Tongkat dan Gada (Maz. 23:4)
Para gembala, dalam menjalankan otoritas dan tanggung jawabnya, harus selalu menyiapkan segala kebutuhan, yaitu sebagai penuntun, pelindung, dan pendamping setia bagi domba-dombanya. Dalam hal ini, tongkat dan gada menjadi alat yang dibutuhkan gembala dalam menjalankan tugasnya. Tongkat (dari kayu) menjadi lambang dari bimbingan Allah, yang biasanya dipakai gembala untuk menuntun domba ke jalan yang benar. Sementara itu, gada (dari besi) melambangkan kekuatan, kuasa, dan wibawa, yang menunjukkan bahwa Allah menjamin dengan kasih dan kekuatan-Nya untuk melindungi umat-Nya dari ancaman bahaya. Seperti Allah yang memegang tongkat ke atas domba ketika mereka memasuki kandang, memperhatikan satu demi satu yang lewat untuk memastikan bahwa semua domba telah ada di sana dalam keadaan aman (Yeh. 20:37). Dari paparan tersebut, kita dapat memahami bahwa sebagai seorang gembala yang baik, kita perlu memakai kuasa dan kekuatan Allah dalam membimbing anak-anak domba kita.

C. Menjadi Teladan
Teladan atas kasih yang Kristiani dan buah roh haruslah tecermin dalam diri seorang gembala yang baik. Yesus Kristus adalah teladan gembala yang baik. Dalam beberapa bagian Alkitab, Yesus diberi gelar sebagai “Gembala Agung segala domba” (Ibr.13:20); “Gembala dan Pemelihara Jiwa” (1 Ptr. 2:25); “Gembala bagi orang-orang terbuang” (Mat. 6:34; 9:36; 15:24; Luk 19:10). Yesus Kristus adalah gembala yang baik (Yoh 10:3-30) yang tidak memperhatikan diri sendiri, tetapi terus mencari domba yang hilang atau tersesat, menguatkan mereka yang lemah, membalut yang terluka, menyembuhkan yang sakit, menuntun dengan kelemahlembutan, dan melayani dengan rela berkorban tanpa mengharapkan imbalan. Bahkan, 1 Ptr. 5:3-4 menekankan hendaknya setiap gembala tetap menjadi teladan bagi kawanan domba dan bukan sebagai penguasa atas kawanan domba itu.
Apabila teladan karakter Kristus tidak tecermin atau ditemui dari diri gembala, anak-anak pun akan sulit mempraktikkannya dalam kehidupan mereka. Tidak ada yang menjadi model untuk diteladani. Di sekolah, bersama para siswa, guru perlu menerapkan gambaran diri Tuhan dan karakteristik kasih Tuhan dalam berbagai situasi di sekolah. Kelas bisa menjadi semacam “laboratorium” tempat guru dan anak-anak mempraktikkan karakter Kristen.
Sementara itu, di rumah, orang tualah yang memegang peranan untuk menjadi teladan bagi anak. Orang tua menjadi sosok yang mencerminkan kasih Allah, mentransfer nilai kebenaran firman Tuhan, dan terus memberikan motivasi kuat kepada anak-anaknya ketika mengalami kesulitan.

Mengucap Syukur

Oleh: Victor Sumua Sanga, M.Div., guru Agama Kristen SMA

“Mengucap syukurlah senantiasa.” Kalimat ini sering didengar dan diamini tanpa memahami alasan ucapan syukur itu.

Mengapa saya harus mengucap syukur kepada Tuhan sementara saya dapat hidup tanpa Dia?

Cobalah menjalani hari Anda, seminggu saja, tanpa berdoa, tanpa mengikuti ibadah, atau tanpa ritual keagamaan apa pun. Mungkin Anda akan mendapati diri Anda dapat tetap hidup, tidak kelaparan, dan tetap sehat. Jika Anda melakukan percobaan itu di akhir bulan, Anda akan mendapati diri Anda tetap menerima penghasilan atau gaji dari pekerjaan yang dilakukan. Jika Anda seorang pengusaha, Anda dapat tetap menghasilkan uang, Anda tetap dapat mempekerjakan orang, Anda tetap dapat membangun sistem kerja yang baik, tanpa melibatkan Tuhan di dalam semua hal yang Anda lakukan.

Bukankah itulah pola hidup orang-orang ateis, yang tidak memberikan tempat di hidupnya untuk Tuhan? Mereka tetap dapat bertahan hidup. Bahkan, sebagian dari mereka mendapatkan penghargaan tinggi. Namanya dikenang banyak orang karena telah memberikan sumbangsih besar bagi dunia. Jadi, mengapa kita harus mengucap syukur kepada-Nya, sementara kehidupan dapat tetap berjalan dengan baik tanpa-Nya?

Mengapa saya harus mengucap syukur kepada Tuhan, sementara hidup bersama-Nya tidak meluputkan saya dari masalah dan kesulitan hidup?

Menjadikan Tuhan sebagai dasar hidup tidak membawa perbedaan apa pun secara jasmani. Hidup tetap dalam kesulitan, masalah tetap datang, konflik tetap terjadi. Bahkan semakin kita dekat dengan Tuhan, justru akan membuat kita mengalami lebih banyak kepelikan. Hidup beriman kepada Tuhan lebih mirip seperti melarikan diri dari masalah dan bersembunyi di balik kalimat-kalimat kitab suci, seperti “Tenanglah, ada maksud Tuhan di balik semua ini.”

Belum lagi, beberapa masalah justru timbul dari orang-orang yang dianggap memiliki kehidupan spiritual yang baik. Pemimpin-pemimpin rohani justru mempertontonkan perilaku hidup yang berbeda dari yang mereka ajarkan. Lantas, haruskah kita mengucap syukur kepada Tuhan yang tak dapat menyelesaikan masalah kita atau bahkan tak dapat menangani perilaku orang-orang yang berbicara atas nama-Nya?

Penghambat ucapan syukur
Kedua pandangan di atas, meskipun memiliki sudut pandang yang berbeda, memiliki kesepakatan bahwa pencapaian terbaik di dalam hidup adalah ketiadaan masalah—penderitaan, kesulitan, dan konflik. Tidak perlu mengucap syukur kepada Tuhan karena setiap pencapaian hidup dapat diraih tanpa bantuan Tuhan. Tidak perlu mengucap syukur kepada Tuhan karena kehadiran-Nya tidak cukup mampu menanggulangi masalah-masalah kehidupan.

Ironisnya, jika kita memiliki salah satu dari dua pandangan di atas, kita telah kehilangan satu kebenaran yang sangat penting di dalam kehidupan. Kebenaran bahwa keberadaan masalah justru membawa kita pada penemuan-penemuan berharga di dalam kehidupan kita.

Masalah menyingkapkan karakter sejati
Kita perlu mengucap syukur tatkala kita dirundung masalah karena melaluinya kita dapat melihat kualitas karakter kita dan orang-orang yang ada di sekitar kita. Kita mengucap syukur karena melalui masalah yang kita hadapi, kita dibawa pada penemuan dan pengenalan diri yang lebih dalam.

  • 1 Raja-raja 3: 16-28. Bagian Alkitab ini mengisahkan tentang dua orang perempuan yang menghadapi masalah di dalam hidupnya. Mereka tinggal dalam satu rumah dan masing-masing melahirkan anak dalam rentang waktu yang tidak lama. Anak dari salah satu mereka meninggal dunia, tetapi keduanya mengklaim bahwa anak yang masih hidup itu adalah anak mereka. Solusi yang ditawarkan Salomo bukankah solusi yang “baik”. Salomo justru memberikan mereka masalah baru: anak yang masih hidup itu akan dipenggal menjadi dua dan diberikan kepada masing-masing orang. Menariknya, masalah yang diberikan oleh Salomo menyingkapkan karakter sejati dari kedua perempuan itu. Perempuan yang merupakan ibu dari anak tersebut tidak menghendaki anaknya dibunuh, sebaliknya ia rela anak itu diberikan kepada perempuan lainnya asalkan anaknya tetap hidup. Sebaliknya, perempuan yang bukan merupakan ibu dari anak tersebut menginginkan anak itu dipenggal menjadi dua. Masalah yang hadir menyingkapkan karakter sejati yang dimiliki orang-orang yang ada di sekitar masalah itu.
  • Ayub 1:20-22, 2: 9-10. Masalah yang datang bertubi-tubi yang dialami oleh rumah tangga Ayub menyingkapkan karakter sejati Ayub dan istrinya. Ayub dan istrinya bukan hanya kehilangan harta benda mereka, mereka juga kehilangan anak-anak yang mereka kasihi. Tidak sampai di situ saja, Ayub bahkan menderita sakit borok di sekujur tubuhnya. Rentetan masalah ini menyingkapkan karakter sejati dari istrinya di mana ia melihat bahwa penderitaan yang mereka alami merupakan alasan untuk mengutuki Tuhan, sementara Ayub melihat bahwa Tuhan punya kedaulatan penuh atas hidupnya dan ia tidak berhak menyalahkan Tuhan atas kehilangan yang ia alami. Masalah menolong kita melihat bagaimana karakter sejati kita. Masalah merupakan ujian yang menyingkapkan siapa diri kita sebenarnya. Penderitaan, kesulitan, dan konflik membuka tabir karakter sejati dari orang-orang yang dirangkulnya.

Masalah menunjukkan Kekuasaan Tuhan
Kita perlu mengucap syukur tatkala kita menghadapi masalah karena melaluinya kita melihat kemahakuasaan Allah. Kita mengucap syukur karena melalui masalah yang kita hadapi kita melihat karya-karya Allah yang luar biasa.

  • Yohanes 9: 2-3. Ayat ini mengemukakan pertanyaan para murid tentang keberadaan seorang yang mengalami masalah kebutaan sejak lahir. Tuhan Yesus menyatakan bahwa kebutaan orang tersebut akan menyatakan karya Allah. Di bagian selanjutnya kita melihat bagaimana Tuhan Yesus menyembuhkan orang buta tersebut, dan orang tersebut memberikan kesaksian tentang karya Allah kepada orang-orang di sekitarnya. Beberapa masalah yang kita hadapi pada waktunya akan menunjukkan kekuasaan Tuhan. Tuhan tidak terbatas, kekuasaan-Nya melampaui keterbatasan kita. Melalui masalah-masalah yang kita hadapi kekuasaan Tuhan dinyatakan dan itu menjadi kesaksian yang indah bagi nama Tuhan dalam hidup kita dan orang-orang di sekitar kita. Keberadaan Allah di dalam hidup kita tidak membuat masalah sirna, melainkan masalah-masalah itu menunjukkan kepada kita kemahakuasaan Tuhan.
  • 2 Korintus 12: 7-10. Paulus adalah satu dari sekian orang yang melihat masalah sebagai wadah untuk mengecap kuasa Kristus dalam hidupnya. Dalam bagian firman Tuhan ini dinyatakan Paulus punya masalah yang didefinisikan sebagai “duri dalam daging”. Paulus sudah memohon supaya masalah ini diangkat dari padanya, tetapi firman Tuhan menyadarkan dia kebenaran bahwa justru di dalam masalah itu kuasa Tuhan menjadi dinyatakan, “Justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna.” Melalui masalah yang kita hadapi, kita akan merasakan kuasa Tuhan yang memenuhi hidup kita. Masalah menghantar kita pada perjumpaan dengan kemahakuasaan Tuhan.

Konklusi
Sebagai sebuah komunitas, komunitas Athalia, sekali lagi, dapat melewati satu tahun pelajaran lagi. Apa yang kita syukuri pada titik ini? Kita bersyukur karena satu tahun pelajaran ini kita makin mengenal diri kita, sebagai suatu komunitas, dan kita melihat kuasa Tuhan yang berulang kali dinyatakan dalam tahun pelajaran ini. Kita bersyukur semakin mengenal Tuhan justru melalui berbagai masalah: penderitaan, kesulitan, dan konflik, yang terjadi dalam komunitas ini.

Berada dalam satu komunitas yang terdiri dari banyak orang di dalamnya dengan berbagai kontribusi peran (yayasan, staf, guru, orang tua, siswa, OB, petugas keamanan, petugas kebersihan), dalam satu tahun ajaran ini kita telah mengalami berbagai peristiwa, masalah, dalam lingkup pribadi, satu keluarga, dalam kepanitiaan, ataupun dalam unit kerja yang ada. Beberapa dari kita bergumul dengan kesehatan, mengalami kedukaan, mencari pasangan hidup, relasi suami-istri, kesulitan dalam pengasuhan anak atau penanganan siswa, konflik dalam relasi dengan orang tua, teman atau rekan kerja. Ada yang bergumul dengan target atau tuntutan kerja, yang lain bermasalah dengan loyalitas dan karakter sebagai karyawan. Apa pun masalahnya, seberapa pun penderitaan itu, sedalam apa pun kesulitan itu, seluas apa pun konflik itu, melaluinya kita makin mengenal karakter diri kita dan orang-orang di sekitar kita. Melaluinya kita melihat kekuasaan Tuhan dinyatakan. Kuasa-Nya telah menyelamatkan kita. Bukankah karena itu kita harus bersyukur?

Susah itu ada gunanya – Yohan Candawasa

Melangkah Dengan Iman

Oleh: Naomi Fransisca Halim, S.Th

“I am not quite sure—but I am going to trust, and I am going to obey”
Saya tidak begitu yakin—tetapi saya akan tetap percaya dan saya akan tetap taat.

Penggalan kalimat ini diucapkan oleh seorang pemuda yang hadir dalam sebuah Kebaktian Kebangunan Rohani (KKR) yang berlangsung di Brockton, Massachusetts. Ketika Daniel Towner seorang pemimpin pujian, mendengar kalimat ini ia menuliskannya dan mengirim tulisannya itu kepada seorang penulis syair, bernama J.H. Sammis. Dari kalimat itulah, Sammis menulis sebuah hymn yang kita kenal dengan judul “Trust and Obey (Percaya dan Taat).”

Perjalanan mengikut Tuhan adalah proses belajar mempercayai dan menaati Tuhan tiada henti. Hal ini dialami oleh Abraham, Bapa orang beriman. Dalam Kejadian 22: 2, Allah berfirman, “Ambillah anakmu yang tunggal itu, yang engkau kasihi, yakni Ishak, pergilah ke tanah Moria dan persembahkanlah dia di sana sebagai korban bakaran pada salah satu gunung yang akan Kukatakan kepadamu.” Dalam ayat ini, permintaan Allah kepada Abraham sangat jelas. Allah meminta anaknya yang tunggal, yang ia kasihi sebagai korban persembahan (terj. Bahasa Inggris “your son,” “your only son,” “Isaac,” “whom you love”). Padahal Allah berjanji bahwa keturunan yang berasal dari Ishaklah yang akan disebut dengan keturunanmu (Ibr. 11:18).

Alkitab tidak mencatat perasaan Abraham pada saat itu. Alkitab melanjutkan kisah ini dengan memperlihatkan tindakan Abraham. Dengan hati yang taat, Abraham segera/keesokan harinya bangun, memasang pelana keledainya dan memanggil dua orang bujangnya beserta Ishak, anaknya. Kemudian berangkatlah Abraham ke tempat yang dikatakan Allah kepadanya. Sungguh suatu teladan ketaatan yang luar biasa. Ketaatan Abraham adalah ketaatan yang tidak masuk akal. Bagaimanakah mungkin seseorang dapat dengan segera memilih untuk taat kepada Allah ketika diminta untuk menyerahkan anaknya?

PENGALAMAN IMAN BERSAMA ALLAH DI MASA LAMPAU
Abraham memiliki sejarah hubungan yang kaya dengan Allah. Kisah Allah menguji Abraham di perikop ini bukanlah ujian pertama baginya. Ini adalah ujian terakhir dalam kehidupannya. Menurut tradisi Yahudi, Abraham mengalami sepuluh pencobaan termasuk kisah ini. Namun dalam pencobaan-pencobaan tersebut, tidak pernah ia mendapati Allah lalai menepati janji-Nya dan mengecewakan dirinya. Pengalaman imannya di masa lampau inilah yang membuat ia dapat mempersiapkan segala sesuatu, melayangkan pandangannya ke gunung Moria dan rela mempersembahkan Ishak, anaknya yang tunggal (Ibr. 11:17).

Adakah pengalaman iman dalam hidup kita? Setiap orang percaya dapat memiliki pengalaman iman dengan Allah. Pengalaman ini dapat terjadi apabila kita mulai melangkah dengan hati yang taat berlandaskan Firman Tuhan. Mungkin sekarang Allah sedang berbicara kepada diri kita mengenai pekerjaan, mengenai uang, mengenai anak, atau sesuatu hal yang lain. Beranikan dirimu melangkah dengan hati yang penuh ketaatan. Sekalipun kelihatannya mustahil, beranikanlah diri untuk melangkah dalam hal apa pun yang diperintahkan-Nya, baik kepada kita sekeluarga maupun secara pribadi.

PENGENALAN YANG BENAR TERHADAP PRIBADI ALLAH
Setelah tiga hari perjalanan, Abraham meminta bujangnya untuk tinggal dan menunggu. Dalam ayat 5, Abraham berkata kepada dua bujangnya, “…kami akan sembahyang, sesudah itu kami kembali kepadamu” (penekanannya pada kata “sesudah itu kami kembali kepadamu”).

Kepastian bahwa Ishak dan Abraham akan datang kembali dari sembahyang bukanlah sebuah ungkapan kosong. Ini adalah pengenalannya dan keyakinannya terhadap Pribadi Allah yang tidak mengingkari janji-Nya. Allah berjanji bahwa yang akan disebut keturunanmu ialah yang berasal dari Ishak (21:12). Walaupun, dalam perikop ini tidak dijelaskan mengapa Abraham berkata seperti itu, tetapi Ibrani 11:17-19 membantu para pembacanya memahami kata-katanya. Pada ayat 19 “Karena ia berpikir, bahwa Allah berkuasa membangkitkan orang-orang sekalipun dari antara orang mati. Dan dari sana ia seakan-akan telah menerimanya kembali ”.

Pengenalan yang benar terhadap Allah adalah salah satu hal penting dalam mengikut Yesus. Kita harus mengetahui siapa Dia agar iman yang kita miliki bukanlah iman yang melompat dalam gelap. Satu-satunya cara memiliki pengenalan yang benar adalah dengan membaca dan merenungkan firman-Nya setiap hari dan meminta Allah berbicara kepada kita secara pribadi. Dengan begitu, walaupun pencobaan menghampiri kita, kita akan dikuatkan oleh firman-Nya.

Penutup
Abraham, Bapa orang beriman, mengalami berbagai situasi yang jauh dari jangkauan logika manusia. Tetapi ia tidak bimbang karena ketidakpercayaannya, melainkan terus diperkuat dalam imannya dan tetap memuliakan Allah (Rm. 4:20). Demikian juga kita harus melatih diri kita agar memiliki pengalaman iman dan pengenalan yang benar terhadap Pribadi Allah. Yakinkanlah diri kita bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi diri kita yang mengasihi Dia. Ia menuntun kita untuk melangkah dengan iman.


S’bab Dia Hidup Ada Hari Esok

Oleh: Loura Palyama, M.Min

Anak Allah Yesus namanya
Menyembuhkan, menyucikan
Bahkan mati tebus dosaku
Kubur kosong membuktikan
Dia hidup

S’bab Dia hidup, ada hari esok
S’bab Dia hidup, ku tak gentar
Kar’na ku tahu, Dia pegang hari esok
Hidup jadi berarti s’bab Dia hidup

Lirik lagu di atas mengingatkan kita akan kisah penyaliban Tuhan Yesus. Lagu ini dinyanyikan dengan penuh rasa syukur dan sukacita karena orang percaya yang telah ditebus dosanya memiliki pengharapan akan hari esok karena Tuhan Yesus sudah bangkit. Dalam kehidupan kekristenan, perayaan paskah adalah perayaan yang tidak pernah terlewatkan. Ada yang merayakan paskah dengan kegiatan-kegiatan seperti membuat dekorasi paskah, pernak pernik paskah dan sebagainya. Di rumah, di gereja, bahkan di pusat perbelanjaan ada yang membuat dekorasi Paskah. Namun pertanyaannya, apa makna paskah sebenarnya bagi setiap kita sebagai umat percaya?

Tentunya sebagai orang percaya kita sangat menyadari bahwa paskah merupakan peristiwa yang besar dan sangat ajaib dalam seluruh kehidupan manusia. Allah rela mengutus Anak-Nya yang tunggal, menjadi sama dengan manusia dan rela menderita bagi seluruh umat manusia. Kita patut bersyukur untuk hal tersebut. Namun, seringkali hal itu hanya sampai pada pengetahuan kita saja. Dalam kehidupan sehari-hari, kita masih tidak menyadari akan hal tersebut. Seringkali paskah hanya berhenti sampai di perayaan saja dan tidak berlanjut dalam kehidupan kita sehari-hari.

Sadar maupun tidak, kita masih terbiasa melakukan dosa, bahkan menganggap hal tersebut sesuatu yang biasa-biasa saja. Salah satu contohnya adalah ketika beribadah terlihat begitu baik, merayakan paskah dengan penuh rasa haru, namun ketika keluar dari gereja kebiasaan buruk tetap dilakukan. Tidak mempedulikan orang sekitar, masih egois, tidak menunjukkan rasa kasih. Hal ini adalah dosa, namun dianggap sebagai sesuatu yang biasa. Padahal sudah sangat jelas kita dengarkan Firman Tuhan yang menjelaskan tentang begitu najisnya dosa di mata Allah. Dalam bentuk apapun dosa itu, sekecil apapun dosa itu bagi kita, itu tetaplah dosa dan tidak berkenan bahkan sangat dibenci Allah. Tuhan Yesus rela mati di kayu salib untuk membebaskan kita dari perbudakan dosa, namun masih saja kita dengan santai melakukan dosa.

Kembali lagi ke lirik lagu diatas, lirik lagu yang terus mengingatkan kita bahwa Allah sangat memperhatikan masalah keberdosaan manusia. Maukah kita sebagai umat yang percaya kepada Kristus berusaha keras memperbaiki kelakuan kita? Sebagai ungkapan syukur kita kepada-Nya atas penebusan yang dilakukan-Nya bagi kita. Bukan hanya sekedar merayakan Paskah, tetapi menghidupi paskah dalam kehidupan kita sehari-hari. Keluar dari kegelapan kepada terang Kristus yang sudah menebus kita dari hukuman atas dosa.

Dalam kehidupan kita sehari-hari banyak kekhawatiran yang mungkin kita rasakan. Kekhawatiran akan masa mendatang dalam kehidupan kita, kebutuhan kita, kebutuhan orang yang kita sayangi, atau mungkin masalah-masalah kita yang belum terselesaikan dan membawa kita ke dalam dosa, menjadi orang yang egois, tidak dapat mengasihi seseorang dengan tulus.

Mari kembali mengingat karya agung Tuhan Yesus dalam kehidupan kita. Tuhan Yesus tidak hanya mati kemudian selesai ceritanya. Ada kelanjutan yang sangat indah, Tuhan Yesus bangkit pada hari yang ketiga, Dia hidup! Sekali lagi Tuhan Yesus hidup. Tuhan Yesus berkuasa atas maut. Tuhan Yesus menang atas masalah terbesar umat manusia, yaitu kematian. Mari sejenak kita berdiam diri dan renungkan. Tuhan Yesus bangkit dari kematian, Dia hidup! Tuhan Yesus menang atas maut! Dosa dikalahkan, sengat maut tidak dapat menahan-Nya. Masalah terbesar manusia diselesaikan-Nya.

Jika masalah terbesar manusia bisa diselesaikan-Nya, apakah terlalu besar masalah kita, sehingga tidak dapat diselesaikan-Nya? Apakah terlalu berat beban kita, sehingga kita tidak dapat mensyukuri kasih Allah? Jika Tuhan peduli atas kita dan rela menebus manusia berdosa, apakah Tuhan membiarkan kita terjatuh dan tertunduk lemah untuk masalah yang kita hadapi?

Allah Bapa kita sungguh mengasihi dan mempedulikan kita. Kita tidak perlu takut lagi menghadapi hari esok. Karena Dia hidup, kita punya kepastian. Karena Tuhan Yesus hidup, kita percaya bahwa Allah merancangkan hal baik dalam seluruh kehidupan kita. Yesus berkuasa dan memegang masa depan kita. Masalah mungkin boleh ada dalam kehidupan kita, tapi karena Tuhan Yesus hidup, kita percaya, kita dapat melewati setiap permasalahan hidup kita. Tidak perlu takut untuk masa depan kita, karena Tuhan Yesus memegang hari esok kita.

S’bab Yesus hidup, ada hari esok!
Hidup jadi berarti, s’bab Dia hidup.

Kiranya hidup kita tidak lagi di dalam kecemasan akan hari esok dan bukanlah kehidupan yang sekedar dijalani. Maukah kita hidup untuk memuliakan Tuhan? Kasih yang ajaib yang menebus kita. Maukah kita menghidupi paskah dalam kehidupan kita sehari-hari? Meninggalkan kebiasaan lama kita, dan bangkit dari keberdosaan kita menuju kepada hidup yang berkenan di hadapan Tuhan dengan memegang keyakinan bahwa Kristus menyertai dan menolong seluruh kehidupan kita? Jangan biarkan hidup kita menjadi tidak berarti karena keegoisan dan kekhawatiran kita. Mari kita percayakan hidup kita kepada Tuhan Yesus yang telah mati, bangkit, dan hidup kembali. Sbab Dia hidup, kita memiliki pengharapan akan hari esok!

Bentuklah aku ya Tuhan

Oleh:Reggy Sebastian Sapetu, guru Agama Kristen SMA

Ada orang yang mau membayar uang ratusan ribu bahkan jutaan rupiah untuk menjadi member di sebuah tempat fitness, dengan harapan bisa mendapatkan bentuk tubuh yang ideal, sesuai dengan keinginannya. Namun selain mengeluarkan biaya, tentu hal itu harus disertai dengan pola hidup yang sehat dan teratur, misalnya menyangkut konsumsi makanan dan waktu istirahat. Tentunya ini bukan hal yang mudah atau instant, melainkan membutuhkan sebuah proses. Semuanya akan tergantung pada komitmen dan kekonsistenan kita untuk melakukannya.

Sebuah proses pembentukan yang pasti terjadi dalam hidup kita adalah bagaimana Tuhan membentuk kita menjadi sesuai dengan yang Dia inginkan. Ini merupakan proses yang akan kita alami seumur hidup, sekaligus hal yang sangat penting dan mendasar lebih dari apa pun yang ada dalam hidup kita. Adalah percuma jikalau kita hanya peduli pada pembentukan yang bersifat jasmani (sementara), tetapi lupa atau tidak mempedulikan hal yang bersifat kekal, yaitu pembentukan Allah dalam hidup kita.

Berapa harga yang harus kita bayar untuk proses pembentukan hidup kita untuk menjadi sesuai dengan apa yang Tuhan inginkan? Kita dapat memohon kepada Tuhan “Bentuklah aku ya Tuhan,” dan Tuhan yang akan menolong kita. Yesus berkata dalam Matius 11:28-30, “Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu. Pikullah kuk yang Kupasang dan belajarlah pada-Ku, karena Aku lemah lembut dan rendah hati dan jiwamu akan mendapat ketenangan. Sebab kuk yang Kupasang itu enak dan beban-Ku pun ringan.” Dan kita dapat memberikan respons dengan ketaatan penuh kepada-Nya. Ada banyak tantangan dan rintangan yang akan kita temui dalam proses pembentukan Tuhan ini, akan tetapi kita akan selalu melihat penyertaan Tuhan di dalamnya. Di sinilah iman kita diuji untuk selalu bergantung pada-Nya.

Tuhan menguji setiap hamba-Nya untuk membentuk mereka menjadi seperti apa yang Dia kehendaki. Abraham mengalami pembentukan dari Tuhan untuk menjadi bapa bagi umat pilihan Tuhan dan juga bapa segala bangsa. Musa dibentuk Tuhan untuk memimpin bangsa Israel keluar dari perbudakan di Mesir dan masuk ke tanah perjanjian. Tuhan memilih dan membentuk kehidupan Daud untuk menjadi raja bagi bangsa Israel. Mereka bukanlah manusia yang sempurna, ketidaktaatan dan bahkan kejatuhan pernah mereka alami. Akan tetapi, Tuhan senantiasa menyatakan kasih dan anugerah-Nya kepada setiap hamba-Nya. Pada akhirnya, mereka dapat melalui proses pembentukan yang Tuhan kehendaki dalam kehidupan mereka.

Demikian juga dengan kehidupan para murid Kristus, sebut saja Paulus dan Petrus. Tuhan membentuk mereka menjadi pribadi yang akhirnya menjadi pilar bagi gereja dan penginjilan masa kini. Tuhan membentuk mereka dalam pelayanan yang dipercayakan kepada mereka. Kesulitan dan pergumulan hidup selalu menjadi bagian dalam kehidupan mereka sebagai seorang murid Kristus. Akan tetapi, mereka dapat menunjukkan hidup yang layak untuk menjadi teladan, yaitu hidup yang sepenuhnya taat dan bergantung pada Tuhan sampai akhir hidup mereka.

Kuncinya adalah ketaatan dalam iman kita kepada Tuhan, maka kita akan dapat masuk dalam proses pembentukan Tuhan dalam hidup kita. Tujuannya adalah kita mau menjadi seperti yang Tuhan kehendaki, yaitu hidup yang memuliakan dan menyenangkan hati Tuhan. Namun kita sadari bahwa, seringkali fokus kita teralihkan dengan hal-hal yang tidak esensi dalam proses pembentukan ini, karena menurut kita ini adalah hal yang sulit untuk dijalani. Terkadang kita pun bisa menyerah pada keadaan dan akhirnya menjalani hidup menurut jalan kita sendiri. Di titik inilah kita harus kembali mengingat akan kasih dan anugerah Tuhan dalam hidup kita.

Kita tidak akan bisa menjalani proses pembentukan Tuhan dengan kekuatan kita sendiri. Ketika kita merespons ajakan Tuhan untuk datang pada-Nya, hidup kita harus berpaut pada-Nya. Artinya, ikut saja apa kata Tuhan. Kita hanya bisa memaknai hal ini melalui membangun relasi pribadi dengan Tuhan, melalui kehidupan doa dan firman. Di situlah kita akan belajar dari Tuhan dan semakin mengerti apa isi hati Tuhan tentang kehidupan yang harus kita jalani untuk menjadi makin serupa dengan Kristus.

“Bentuklah aku ya Tuhan,” kiranya pernyataan ini menjadi doa dan komitmen kita. Tuhan mengizinkan kita berada dalam suatu komunitas agar kita bisa bertumbuh dan dibentuk di dalamnya. Dalam keluarga, Tuhan membentuk kita, baik sebagai orang tua, suami, istri, atau anak, untuk selalu melihat rencana Tuhan dalam keluarga kita masing-masing, bahkan melalui pergumulan yang dihadapi. Tuhan juga mau membentuk kita melalui relasi dan pelayanan kita dalam persekutuan dengan orang lain. Tuhan tidak pernah berhenti bekerja untuk membentuk kita menjadi makin serupa dengan Kristus. Tuhan selalu menunjukkan bahwa Dia mengasihi kita dan tidak akan pernah meninggalkan kita dalam setiap proses kehidupan yang kita lalui. Kiranya Tuhan menolong kita.

Cinta Allah versus Cinta Manusia

Oleh: Bella Kumalasari, S.TP, staf PK3

Bulan Februari identik dengan bulan penuh cinta karena banyak orang di seluruh dunia merayakan hari Valentine di bulan ini dengan bunga, cokelat, permen, kado, dan kartu ucapan. Banyak versi cerita yang beredar di balik perayaan “Hari Kasih Sayang” ini. Kebanyakan di antaranya adalah cerita mengenai beberapa orang Santo yang masing-masing bernama sama yaitu Valentine/Valentinus, dan semuanya mati martir. Seorang diantaranya dikatakan mati martir ketika membela orang-orang yang dilarang menikah agar semakin banyak pemuda yang mengabdikan dirinya sehingga perang berlangsung dengan baik. Seorang yang lain dikatakan dieksekusi mati pada tanggal 14 Februari karena membantu orang Kristen melarikan diri dari penjara Romawi yang menyiksa pada tahun 270-an Masehi. Sedangkan seorang yang lain lagi, diceritakan jatuh cinta pada anak sipir penjara dan mengirimkan kartu valentine-nya kepada gadis tersebut. Masih banyak cerita yang berbeda yang dipercaya menjadi latar belakang hari Valentine. Dari berbagai versi sejarah yang dipaparkan, hari Valentine terus diperingati dan berkembang dan dirayakan oleh banyak orang. Namun perlu kita sadari bahwa perayaan “Hari Kasih Sayang” ini, hanyalah perayaan cinta manusia.

Manusia begitu terbatas dalam berbagai hal termasuk dalam mencintai. Dalam keberdosaan manusia, segala hal “baik” yang dilakukan manusia seperti kain kotor di hadapan Tuhan (Yes. 64: 6). Dalam mencintai pun, manusia sangat mungkin justru melukai orang yang dicintainya tersebut. Seorang suami sangat mungkin memukul isteri yang dicintainya ketika marah; seorang ayah mungkin memaki anaknya ketika anaknya itu berbuat salah. Banyak orang mengkhianati sahabatnya sendiri; bahkan ada orang tua yang dengan sadar mengabaikan atau menyakiti anaknya sendiri.

Di tengah rusaknya moral dunia ini, seorang teman saya pernah berkata, “Mengapa harus mengenal Allah jika tanpa mengenal Allah pun aku dapat menjadi seseorang yang baik dan mengasihi sesamaku? Bukankah itu cukup?” Kemudian seorang mentor saya pun berkata, “Bagaimana kamu dapat mengasihi tanpa mengenal kasih itu, yaitu Allah?” Penggalan percakapan ini menyadarkan kita bahwa tidak mungkin seseorang dapat mengasihi atau mencintai dengan benar tanpa mengenal kasih yang sejati itu, yaitu Allah sendiri.

Allah adalah kasih (1 Yoh. 4: 8). Ia telah menunjukkan kasih-Nya yang sempurna kepada kita dengan memberikan Anak-Nya yang tunggal; kasih yang memberi tanpa menyisakan sesuatu apapun untuk diri-Nya sendiri. Padahal siapakah kita? Kita adalah orang berdosa yang sama sekali tidak layak mendapatkan kasih-Nya. Namun tidak peduli seberapa pun besarnya dosa dan pemberontakan kita, Ia bahkan telah menunjukkan kasih-Nya ketika kita masih berdosa, masih lemah, dan masih seteru (Roma 5: 6,8,10). Ia lebih mengasihi kita daripada siapa pun bahkan orang tua kita sekalipun (Maz. 27: 10). Kasih Allah bagi kita adalah anugerah semata.

Sedemikian besarnya kasih Allah atas manusia. Layaklah pertanyaan ini menjadi refleksi bagi kita sekalian, “Ia, yang tidak menyayangkan Anak-Nya sendiri, tetapi yang menyerahkan-Nya bagi kita semua, bagaimanakah mungkin Ia tidak mengaruniakan segala sesuatu kepada kita bersama-sama dengan Dia?” (Roma 8: 32). Ayat-ayat selanjutnya dalam Roma 8 menegaskan bahwa tidak ada suatu hal pun yang dapat memisahkan kita dari kasih Kristus, baik itu penindasan, kesesakan, penganiayaan, kelaparan, ketelanjangan, bahaya, atau pedang, kuasa-kuasa, pemerintah-pemerintah, segala makhluk lain, bahkan maut. Apakah kita sudah mengalami serta memiliki keyakinan akan kasih Allah itu di dalam diri kita?

Lalu apa yang seharusnya kita lakukan sebagai orang-orang yang telah menerima kasih-Nya? Kasih Kristus membuat kita diperdamaikan dengan-Nya (Roma 5: 9-10). Allah menebus kita dari dosa karena Ia ingin berelasi dengan kita, maka sudah seharusnya kita berelasi semakin intim dengan-Nya. Selain itu, Rasul Yohanes mengajak kita untuk saling mengasihi, karena setiap orang yang mengasihi, lahir dari Allah dan mengenal Allah (1 Yoh. 4: 7). Allah telah terlebih dulu mengasihi kita, sudah selayaknya kita membagikan kasih Allah itu kepada orang lain. Berbahagialah kita yang telah mengalami kasih Allah itu karena semestinya kita mampu mengasihi orang lain seperti Allah mengasihi kita. Berelasi dengan Allah membuat kita dapat berelasi dengan orang lain dengan benar.

Pada akhirnya kita tahu sekarang bahwa kasih Allah tidak dapat dibandingkan dengan kasih manusia. Kasih Allah terlalu agung dan besar sedangkan kasih manusia terbatas dan sementara. Kasih Allah kekal adanya; Ia mengasihi kita dulu, sekarang, dan selamanya. Mari kita membagikan kasih Allah ini, baik di hari Valentine maupun di hari-hari yang lain dengan berdasar pada kasih Allah yang telah dan terus-menerus kita alami. Kasih Allahlah yang memampukan kita dapat tetap mengasihi meski tersakiti.

“ Kita mengasihi, karena Allah lebih dahulu mengasihi kita “
1 Yohanes 4: 19

Sumber:
https://www.history.com/topics/valentines-day/history-of-valentines-day-2
http://jabar.tribunnews.com/2018/02/14/14-februari-dianggap-hari-kasih-sayang-ternyata-sejarah-valentine-sadis-dan-jauh-dari-kata-romantis?page=3
Candawasa, Yohan. 2005. Mendapatkan-Mu dalam Kehilanganku. Bandung: Pionir Jaya.
Alkitab.
121 dika-lamanya” (ay. 7-8).

Memandang hanya kepada Allah (Mazmur 121)

Oleh: Daniel Santoso Ma, M.Th.

Mazmur 121 dikenal bukan hanya sebagai sebuah nyanyian iman, namun juga sebuah refleksi perjalanan hidup bersama dengan Tuhan. Peristiwa hidup dalam Mazmur 121 dapat menjadi gambaran yang nyata tentang apa yang kita alami pada masa kini. Peziarah Israel dengan jelas melukiskan setiap pergumulan hidup dengan fenomena yang berbeda dengan fenomena masa kini, namun memiliki kesamaan esensi.


Bagi kaum Israel yang tinggal jauh dari Yerusalem, kegiatan ziarah ke Yerusalem tempat dimana bait Allah berada, memiliki tantangan tersendiri. Di satu sisi, perjalanan panjang ini membawa semangat sukacita karena ada kesempatan untuk beribadah kepada Allah, namun di sisi lain perasaan was-was muncul tatkala mengetahui bahaya besar menghadang. Namun, semua tantangan tersebut tidak mengecilkan semangat dan iman mereka untuk menghadap Allah. Mereka percaya bahwa Allah merupakan sumber keselamatan dan pertolongan kala suka maupun duka. Pengenalan yang benar terhadap Allah membawa para peziarah Israel memiliki keyakinan yang kokoh bahwa Allah adalah penjaga Israel yang sejati.


Seruan para peziarah dalam ayat 1 –“Aku melayangkan mataku ke gunung-gunung; dari manakah akan datang pertolonganku?”– mengandung sebuah kecemasan, ketakutan, bahkan kekuatiran tentang kondisi buruk yang mungkin akan mereka hadapi. Bahaya orang jahat dan kondisi alam yang tidak bersahabat menjadi perhatian utama dalam Mazmur 121. Kita akan melihat dua tantangan besar yang dihadapi oleh para peziarah, sekaligus dua identitas Allah yang mereka percaya, dapat mengatasi tantangan-tantangan tersebut.


Kendala pertama berhubungan dengan adanya para penjahat dan perampok sepanjang perjalanan. Perjalanan ziarah ini dilakukan minimal tiga kali dalam setahun oleh para peziarah. Mereka sangat mengenal kondisi perjalanan yang dilalui, melewati lembah, gunung, dan padang pasir. Biasanya para penjahat bersembunyi dalam lembah maupun lereng gunung dan bersiap untuk merampok para peziarah. Para perampok ini dikenal sebagai penjahat yang kejam dan tidak segan untuk mengambil nyawa para peziarah (gambaran penjahat dapat juga dilihat dari kisah Orang Samaria yang murah hati).


Meskipun, perjalanan ziarah ini menyeramkan dan kekuatan para peziarah terbatas, mereka berpegang pada identitas Allah sebagai sang Penolong. Identitas pertama yang dikenalkan para peziarah adalah Allah yang menyelamatkan. Ungkapan “di sebelah tangan kananmu” (ay. 5) merupakan sebuah ekspresi yang kuat tentang kekuasaan dan kekuatan Allah dalam menjaga para peziarah Israel. Dalam hal ini, Allah digambarkan sebagai sebuah perisai dan perlindungan.


Kendala kedua berhubungan dengan kondisi alam. Ayat 6 ini menarik karena mengatakan “Matahari tidak menyakiti engkau pada waktu siang, atau bulan pada waktu malam.” Bagaimana matahari dan bulan dapat menyakiti para peziarah? Ketika mempelajari kondisi geografis padang pasir, kita akan menemukan perbedaan cuaca yang ekstrim pada waktu siang dan malam. Para peziarah menceritakan suasana panas pada waktu siang sebagai gambaran matahari yang menyakiti. Panas yang menyengat kulit dan haus yang berkepanjangan membuat kondisi tubuh menjadi lelah dan lemah. Sedangkan, suasana dingin membeku sebagai gambaran bulan pada waktu malam membuat para peziarah tidak dapat beristiharat dengan nyenyak, bahkan mereka berjuang dari hewan buas.


Namun, para peziarah percaya pada identitas Tuhan yang menjadikan langit dan bumi (ay.2). Sebutan ini merupakan identitas Allah yang melekat sejak zaman purba. Pernyataan iman tentang Allah sang Pencipta menjadi jawaban iman atas kegentaran para peziarah menghadapi kondisi alam yang tidak bersahabat. Mereka percaya bahwa Allah tidak pernah meninggalkan para peziarah pada waktu apapun karena Allah selalu berjaga-jaga (ay. 3-4).


Sama seperti peziarah Israel, kita sekalian juga peziarah dalam dunia ini sambil menyongsong kedatangan Tuhan Yesus kedua kali. Perjalanan iman kita juga mengalami pasang surut seperti lautan luas. Kita tidak tahu secara pasti apa yang akan dialami sepanjang tahun 2019. Mungkin, ada suka maupun duka, ada keluarga dan teman yang datang maupun pergi, ada berkat maupun kemalangan; namun, di atas segala sesuatu yang terjadi, kita harus memiliki keyakinan bahwa Tuhan Yesus selalu menjaga.


Pada akhirnya, Mazmur 121 menjadi pernyataan iman sekaligus mengarahkan seluruh fokus dan perhatian kita sepanjang tahun 2019 dengan berkata, “TUHAN akan menjaga engkau terhadap segala kecelakaan; Ia akan menjaga nyawamu. TUHAN akan menjaga keluar masukmu, dari sekarang sampai selama-lamanya” (ay. 7-8).

Allah yang Merendahkan Diri Menjadi Manusia

Oleh: Ruth Irene Chateline Chandra

“…betapa lebarnya dan panjangnya dan tingginya dan dalamnya kasih Kristus, … melampaui segala pengetahuan…”
Efesus 3:18-19

Natal selalu mengingatkan kita akan kasih Allah bagi manusia. Ketika Allah mengutus Yesus Kristus datang ke dunia, Ia tidak lahir di istana raja walaupun ia adalah raja di atas segala raja. Tidak ada penyambutan bagi kelahirannya selayaknya seorang anak raja, hanya beberapa binatang dalam sebuah kandang, gembala-gembala, dan orang Majus dari Timur saja yang menjadi saksi awal peristiwa kelahiran Kristus. Herodes terkejut ketika mengetahui berita ini dari orang Majus yang bertanya-tanya “Di manakah Dia, Raja orang Yahudi yang baru dilahirkan itu?” Ia menyelidiki bukan untuk ikut menyambut, namun merencanakan melenyapkan bayi tersebut. Reaksi yang dipicu dari rasa tidak aman karena kedudukan (tahtanya) terancam.

Tidak ada seorang pun yang mau mengalami penolakan demi penolakan, sekali pun dia mengatakan “Saya sudah terbiasa dengan penolakan.” Di dalam hatinya, manusia selalu ingin diterima keberadaannya. Kristus adalah Anak Allah yang Maha Tinggi (Luk 1:32), Ia adalah Allah itu sendiri yang penuh kuasa, yang mulia, dan tak terbatas namun rela menanggalkan segala kenyamanan. Ia tidak menganggap kesetaraan dengan Allah sebagai milik yang harus dipertahankan. Ia bahkan mengosongkan diri-Nya sendiri, membatasi diri dalam wujud manusia, menerima penolakan demi penolakan dari sejak lahir sampai mati-Nya. Ia menjalani semua itu hanya untuk satu misi: menebus dan menyelamatkan manusia dari dosa dengan cara yang paling hina: mati di kayu salib, di antara para penjahat yang terjahat dengan mengalami terlebih dahulu serentetan cemoohan, fitnah, caci maki, diludahi bahkan pengkhianatan dari murid-Nya. Layakkah Ia menerima semua itu? Sang Pencipta yang telah merendahkan diri-Nya namun direndahkan oleh ciptaan-Nya. Ia yang tidak berdosa, diperlakukan sebagai pendosa berat. Namun Yesus dalam ketaatan kepada Bapa dan demi kasih-Nya kepada manusia, rela mati di kayu salib.

Merenungkan hal ini, saya tidak akan pernah habis pikir dan hanya bisa setuju dengan Paulus yang mengatakan “Betapa lebarnya dan panjangnya dan tingginya dan dalamnya kasih Kristus.” Kasih yang melampaui segala pengetahuan, melampaui segala kemampuan berpikir manusia, kasih yang begitu mulia. Tanpa Allah yang mau merendahkan diri untuk menyelamatkan kita manusia yang berdosa, maka hanya ada murka Allah yang menimpa kita. Patutkah Ia melakukannya? Jika saja ada konsultan raja, pasti akan menegur dan menasehati Anak Raja yang melakukan tindakan merendahkan diri, karena tidak patut bagi keluarga raja berperilaku demikian. Tidak ada alasan bagi Allah untuk merendahkan diri seperti itu, kecuali satu: kasih-Nya. Kita telah menerima anugerah mulia, kasih tak terbandingkan, penerimaan tak terbatas dari Allah yang luar biasa ini. Patutkah setelah semua yang Allah berikan tanpa syarat itu, kita menempatkan diri lebih tinggi dari sesama kita untuk alasan apa pun? Kiranya kita bukan saja bersyukur atas tindakan Allah merendahkan diri menjadi manusia demi menganugerahkan keselamatan tersebut, namun kita juga perlu menghidupi keselamatan yang telah dianugerahkan-Nya itu dengan mau rendah hati menerima satu dengan yang lainnya dan menyalurkan anugerah Allah tersebut kepada sesama kita, tidak peduli siapa dan bagaimana pun dia.

The Christmas message is that there is hope for a ruined humanity–hope of pardon, hope of peace with God, hope of glory–because at the Father’s will Jesus became poor, and was born in a stable so that thirty years later He might hang on a cross. – J.I Packer

Christmas is based on an exchange of gifts, the gift of God to man – His unspeakable gift of His Son, and the gift of man to God – when we present our bodies a living sacrifice. – Vance Havner

 

Transformasi Komunitas Belajar

Oleh: Nostalgia Pax Nikijuluw – Kasie Pengembangan Kerohanian, Karakter, dan Konseling Sekolah Athalia

Education doesn’t need to be reformed-it needs to be transformed, demikian yang dituliskan oleh Dr. Ken Robinson, seorang ahli pendidikan berkebangsaan Inggris. Bagi Dr. Ken bukanlah reformasi yang dibutuhkan oleh pendidikan melainkan transformasi. Sebuah pemikiran ulang yang ingin melihat pendidikan sebagai proses yang hidup, penuh dinamika dengan adanya transformasi. Kata transformasi bahkan telah terlebih dahulu dituliskan oleh Rasul Paulus dalam Roma 12:2, ”Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna.” Kata ‘berubah’ diambil dari kata Metamorfosis (μεταμopφόω-kata berbahasa Yunani), yang oleh Alkitab berbahasa Inggris diterjemahkan dengan transformation atau transformasi. Perubahan yang dimaksudkan oleh Rasul Paulus adalah perubahan yang dialami oleh orang percaya menuju pada pembaharuan budi (pikiran, perasaan, perbuatan) yang terwujud dalam ketidakserupaan dengan dunia. Lebih lanjut dikatakan bahwa hal tersebut adalah tanda hidup yang kudus yang berkenan kepada Allah dan itu adalah ibadah yang sejati (Roma 12: 1). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa orang yang mengasihi Tuhan adalah mereka yang menyenangkan hati Tuhan, dengan mempersembahkan hidup yang berubah oleh pembaharuan budi yaitu: pembaharuan pikiran, perasaan, dan perbuatan. Tiga hal yang mendorong orang untuk mengalami pembaharuan budi adalah: visi, ketekunan, dan pelayanan.1

Visi
Transformasi tidak dapat diabaikan oleh komunitas Athalia. Selain karena hal ini adalah kebenaran Firman Tuhan, alasan lain dari pentingnya transformasi adalah Visi Sekolah Athalia: menjadi murid Tuhan. Seluruh anggota komunitas Athalia terikat pada visi ini. Menjadi murid Tuhan, tidak dapat dicapai hanya dengan upaya diri sendiri, diperlukan adanya komunitas yang saling membangun, dan ketaatan atas bimbingan Roh Kudus yang menyertai kehidupan orang percaya. Maka benarlah jika dikatakan bahwa pendidikan membutuhkan transformasi. Transformasi pikiran, hati, dan tingkah laku seluruh anggota komunitas Athalia yaitu: guru/staf, siswa, dan orang tua yang terikat pada visi tersebut.

Ketekunan
Upaya mencapai visi atau tujuan, membutuhkan ketekunan (perseverance), sebuah tekad kuat melakukan sesuatu meskipun menghadapi tantangan. Ketekunanlah yang mendorong orang untuk tetap melangkah mencapai tujuan. Berbagai rintangan pasti menghadang, menghambat perjalanan mencapai visi/tujuan. Tetapi, seseorang yang memiliki ketekunan akan bertahan menghadapi rintangan. Berubah dalam pembaharuan budi, akan mendorong seseorang untuk membuka hatinya terhadap berbagai masukan, mempertimbangkan masukan tersebut untuk tujuan mengambil langkah perbaikan yang diperlukan, tanpa menjadi terombang-ambing oleh karena situasi yang menghadang, melainkan tetap teguh berjalan mencapai visi atau tujuan yang Tuhan berikan, sekalipun dengan pengorbanan.

Ketekunan, akan mendorong orang tua tidak hanya berperan dalam menyediakan kebutuhan materi anaknya, tetapi berjuang untuk hadir dalam kehidupan anak, memenangkan hati mereka, sekalipun di tengah berbagai kesibukan dan pergumulan yang dihadapi.

Ketekunan, akan mendorong para guru dan staf untuk terus berjuang melawan kelemahan diri untuk hidup dengan integritas, menjadi teladan bagi anak-anak.

Ketekunan, akan mengarahkan siswa untuk berjuang menghadapi berbagai tantangan yang dihadapi dengan pertolongan Tuhan. Memiliki semangat untuk berprestasi tanpa kehilangan relasi bersama teman dan bertumbuh di dalam karakter mereka.

Pelayanan
Guru/staf dan orang tua adalah para pemimpin atau pembimbing yang diberikan Tuhan bagi anak-anak yang sedang bertumbuh. Berubah dalam pembaharuan budi, akan memampukan kita sebagai para pembimbing untuk memandang peran tersebut sebagai sebuah pelayanan yang Tuhan percayakan. Karena Tuhan yang memberikan peran tersebut, maka para pembimbing akan melayani dengan hati. Hati yang tulus dalam memperhatikan anak-anak yang didampingi. Berubah dalam cara pandang yang tidak berpusat pada ketertarikan/kepentingan diri sendiri. Menegur dengan kasih. Membimbing anak dengan berusaha memahami kesulitannya terlebih dahulu. Hadir dalam kehidupan mereka, ikut serta dalam setiap pergumulan yang mereka hadapi, dan membawa mereka kepada Tuhan dalam doa-doanya. Jika prinsip-prinsip ini dibangun sebagai bentuk pembaharuan budi para pembimbing yaitu para guru/staf dan orang tua, maka anak-anak pun tidak akan mudah berputus asa menghadapi berbagai tantangan, memiliki keinginan yang kuat untuk ditransformasi menggapai visi melalui ketekunan, yang berujung pada keserupaan dengan-Nya. Jika relasi ini dapat bertumbuh dengan baik, maka benarlah jika Sekolah Athalia sebagai institusi pendidikan memperkenalkan diri sebagai komunitas belajar.