Bacaan: 1 Kor 9: 24-27
Oleh: Prasasti Perangin-angin, M.Div
Beberapa waktu yang lalu, saya berkesempatan untuk mengikuti sebuah pembinaan di sebuah kampus di Central Park Jakarta Barat. Inti dari pembinaan tersebut adalah bagaimana kita mampu membangun relasi keintiman dengan Allah. Namun yang menarik dari sesi pembinaan empat hari tersebut adalah satu sesi dimana peserta dilatih untuk mampu mengalami keintiman dengan Allah tidak saja di tempat pembinaan namun di dalam realitas hidup yang akan dijalani setiap hari. Karena itu, panitia merancang satu sesi, di mana setiap peserta diberikan kesempatan untuk berjalan melalui hiruk pikuk Mall Central Park yang kebetulan satu lokasi dengan tempat pembinaan. Tugas yang diberikan adalah menuliskan bagaimana relasi atau perhatian peserta selama di mall tersebut. Pesan pokok yang ingin diperoleh dari sesi tersebut, yakni sejauh mana keintiman dengan Allah tetap bertahan di tengah kebisingan dunia. Karena itulah realitas yang sesungguhnya dimana fokus dan perhatian hidup akan terus ditantang. Tetap kepada Tuhan atau terhanyut oleh dunia ini.
…saya menyadari bahwa kebisingan dunia setiap saat dapat saja menarik kita pada hilangnya fokus utama di dalam kehidupan ini.
Melalui pengalaman itu, saya menyadari bahwa kebisingan dunia setiap saat dapat saja menarik kita pada hilangnya fokus utama di dalam kehidupan ini. Persekutuan yang intim dengan Tuhan dapat saja tergantikan dengan fokus kita kepada media sosial yang tidak pernah ada habisnya. Kerinduan kita kepada kebutuhan hidup yang semakin menggunung dapat menggantikan perhatian kita kepada kerinduan akan kehadiran Allah. Teknologi yang serba lengkap dapat membuat kepenuhan hidup rasa-rasanya adalah jawaban akan kehampaan kehidupan. Karena itu tidak heran seorang siswa di Taiwan mendeklariskan pernikahannya dengan sebuah benda mati bernama laptop. Ternyata di dalam sebuah laptop seorang manusia dapat memenuhi semua keinginan dan kebutuhan hidup yang dicarinya.
Di dalam konteks jemaat Korintus, Paulus sangat menyadari di dalam pemberitaan injil yang sedang dilakukannya, setiap saat fokus dan perhatiannya dapat direnggut oleh berbagai bentuk kehampaan. Begitu juga dengan jemaat Korintus di tengah modernisasi kota Korintus dan liturgika ibadah jemaat yang semakin ‘maju’ telah membuat jemaat kehilangan fokus dan perhatian utama. Sehingga bila itu terjadi akan terjadi penolakan terhadap Injil. Atau dengan kata lain, kesaksian hidup jemaat akan menjadi kesaksian yang palsu.
Penolakan terhadap Injil sama saja dengan penolakan terhadap keberadaan Kristus sebagai Tuhan satu-satunya yang patut disembah…
Penolakan terhadap Injil sama saja dengan penolakan terhadap keberadaan Kristus sebagai Tuhan satu-satunya yang patut disembah oleh setiap umat manusia. Karena itulah Paulus mendorong jemaat Korintus untuk menjadi seperti seorang pelari yang terus terfokus kepada tujuan yang sedang dituju. Atau seperti seorang petinju yang tidak sembarang saja memukul. Butuh perhatian khusus. Fokus yang tidak tergoyahkan.
Metafora petinju dan pelari menggambarkan bahwa ada dua hal yang harusnya dimiliki oleh setiap kita untuk dapat menjadi saksi Kristus yang hidup. Pertama, terus terfokus kepada tujuan. Tujuan akan mendasari pertanyaan, kenapa dan untuk apakah kehidupan kita jalani (1 Korintus 9:26). Tujuan harus menjadi pemimpin dan pendorong satu-satunya kita hidup. Dengan istilah lain, tujuan ini dapat juga digambarkan sebagai sebuah panggilan hidup yang memimpin langkah dan tindakan hidup kita.
Panggilan hidup adalah alasan. Termasuk pekerjaan. Sebagai guru atau karyawan di dunia pendidikan (Athalia), landasan utama yang menjadi alasan kita untuk memutuskan memilih pekerjaan ini harusnya adalah panggilan untuk mendidik anak bangsa menjadi seorang murid Kristus. Ketika panggilan yang mendasari, maka pekerjaan ini dapat dinikmati. Fokus yang utama akhirnya apa yang Tuhan kehendaki, bukan apa yang kita kehendaki. Namun sebaliknya, ketika pekerjaan hanyalah sebagai tempat bagi kita untuk mencari nafkah maka pekerjaan itu dapat menjadi konsentrasi kesekian bagi kita. Atau hanyalah berjalan begitu saja, tanpa ada spirit yang menggerakkan.
Fokus yang utama akhirnya apa yang Tuhan kehendaki, bukan apa yang kita kehendaki.
Begitu juga gaya hidup yang kita pilih. Kenapa saya katakan, kita pilih, karena bagi saya gaya hidup adalah pilihan. Apakah perhatian utama dari gaya hidup kita? Konsumtif dan hedonis? Tren dan kesenangan hidup menjadi tujuan? Atau sebaliknya, nilai-nilai kesederhanaan. Membeli sesuatu berdasarkan fungsi. Pendekatan kebutuhan bukan keinginan.
Fokus kita adalah kemuliaan Allah. 1 Kor 10 :31 mengatakan ‘Aku menjawab: Jika engkau makan atau jika engkau minum, atau jika engkau melakukan sesuatu yang lain, lakukanlah semuanya itu untuk kemuliaan Allah.’ Perjalanan hidup akhirnya diterjemahkan hidup untuk kemuliaan Allah. Apapun itu, tanyakan apakah menjadi kemuliaan bagi Allah atau tidak? Dengan demikian perhatian kita akan kita tujukan kepada perkara surgawi.
Kedua, menguasai diri (1 Korintus 9:25). Penguasaan diri menjadi kunci utama bagaimana kita mampu terus memusatkan perhatian kepada tujuan. Penguasaan diri seperti penangkal segala bentuk godaan. Seperti seorang atlet harus mampu untuk menguasai diri untuk terus berlatih untuk menggapai hasil yang terbaik. Penguasaan diri berarti mampu menolak keinginan diri. Menyangkal diri.
… dunia ini semakin hari akan terus berusaha menarik kita kepada jalan yang dunia kehendaki.
Bila kita perhatikan, dunia ini semakin hari akan terus berusaha menarik kita kepada jalan yang dunia kehendaki. Nilai-nilai yang ditawarkan iklan televisi, media sosial, atau tulisan diskon di tempat perbelanjaan adalah bentuk usaha dunia menarik kita semakin jauh dari dari nilai-nilai kebenaran yang Allah rindukan dari kita. Bila kita lengah, maka kita akan larut di dalamnya.
Lihatlah, sungguh disayangkan, nilai-nilai tersebut akhir-akhir ini telah merasuki gereja Tuhan di berbagai tempat. Gereja-gereja seakan mulai berlomba menawarkan hiburan untuk menarik semakin banyak para pengikut datang ke gereja, dan menghalalkan cara-cara manipulatif yang dunia pakai. Semoga saja ini bukan merupakan gejala yang telah lama diingatkan oleh Paulus kepada Timotius; karena akan datang waktunya, orang tidak dapat lagi menerima ajaran sehat, tetapi mereka akan mengumpulkan guru-guru menurut kehendaknya untuk memuaskan keinginan telinganya ( 2 Tim 4:3). Ketika hal ini yang terjadi maka perhatian gereja yang harusnya terpusat kepada kebenaran Alkitab atau identitas sejati di dalam salib berubah menjadi filosofi dunia dan identitas kemakmuran yang umumnya menjadi perhatian manusia yang telah dipenuhi oleh dosa.
Kunci dari penguasaan diri adalah terus berfokus kepada kebenaran Allah.
Kunci dari penguasaan diri adalah ketika kita terus berfokus kepada kebenaran Allah. Ketika waktu dan energi kita investasikan kepada hal-hal yang bernilai kekal. Ketika itulah suara Tuhan akan semakin jernih di dalam pendengaran kita. Bersamaan dengan itu, bisik rayu dunia ini tidak membuat fokus kita berubah daripada-Nya.