Hatiku Tertuju Pada-Mu

Oleh: Noverman S. Gea, guru SMP

warung teologi

Mazmur 71:8
“Mulutku penuh dengan puji-pujian kepada-Mu, dengan penghormatan kepada-Mu sepanjang hari.”

 

Karya seni merupakan ekspresi yang bisa dihasilkan seseorang untuk mengaplikasikan diri di dalam kehidupan ini. Bagian ini merupakan tanggung jawab setiap insan untuk melakukannya karena setiap orang sudah diberi potensi oleh Tuhan untuk berkarya. Kegiatan untuk mengekspresikan diri inilah yang mendorong semua orang untuk menghasilkan sebuah karya. Namun kegiatan mengekspresikan diri ini kadang tidak didasari dengan tujuan yang tepat melainkan digantikan dengan tujuan-tujuan yang sebenarnya hanya bersifat sekunder.

Berbicara mengenai sejarah karya seni baik itu seni musik, seni rupa, seni tari dan seni teater, sudah terjadi sejak dunia ini diciptakan oleh Tuhan. Ini berarti bahwa Tuhan yang menciptakan dunia ini beserta segala isinya merupakan creator seni yang luar biasa. Hal ini mengingatkan kita bagaimana Allah yang adalah creator seni yang luar biasa itu harus disembah oleh bangsa Israel. Musa disuruh mendirikan mezbah dan Musa berkata “Tuhanlah panji-panjiku” (Keluaran 17:15). Kemudian di masanya, raja Daud menyatakan kekagumannya kepada Tuhan dengan cara menari di hadapan Tuhan (2 Sam. 6:21) diiringi berbagai macam alat musik, sambil bernyanyi kepada Tuhan (2 Sam. 6:5). Dan di masa Salomo, Tuhan memerintahkan untuk mendirikan rumah bagi Tuhan dengan segala persiapan mulai dari para seniman yang akan mengerjakan berbagai macam pahatan, sampai kepada persediaan bahan untuk mendirikan rumah bagi Tuhan (Bait Allah).

Ketika bangsa Israel dikeluarkan Tuhan dari perbudakan di tanah Mesir, tujuan utama Tuhan hanyalah satu, yakni “…, supaya mereka beribadah kepada-Ku;…” (Keluaran 8:1). Ini merupakan sebuah dorongan yang disampaikan kepada kita sebagai orang-orang yang telah ditebus oleh Tuhan Yesus Kristus, dari ‘kegelapan’ kepada terang Kristus, yakni bahwa tujuan hidup kita hanyalah untuk beribadah kepada-Nya. Namun, ketika manusia diberikan banyak potensi untuk berkarya maka tujuan manusia melakukannya lebih mengarah kepada pengakuan diri (harga diri), pencarian nafkah (harta), menyenangkan diri (keinginan), dan lainnya yang selalu mengarah pada diri sendiri. Bagian ini pulalah yang sering mendorong manusia untuk berkarya “tanpa batas”.

Dalam buku Modul 4 Pelajaran Musik SMP yang disusun oleh KILANG Orchestra Music School hal. 19, ditulis bahwa Istilah Musik zaman Baroque (berarti ‘sangat dekoratif’) terinspirasi dari gaya arsitektur Jerman dan Austria antara abad 17 dan 18. Pada zaman ini perkembangan musik sangat dipengaruhi oleh gaya arsitektur pada zaman itu sehingga komposisi musik pada umumnya berbentuk “polifoni”. Pengaruh arsitektur ini sangat terasa pada bagian-bagian dinamika, tempo, dan ekspresi sebuah karya musik. Pada zaman ini pulalah musik masih sangat berorientasi pada penyembahan kepada keagungan Sang Pencipta. Namun pergeseran zaman musik memulai pergeseran makna karya musik: zaman Klasik ke zaman Romantik dan saat ini sudah berada pada zaman Modern.

Semua karya seni (dalam sudut pandang seni) pasti berharga dan penting. Tetapi tidak semua karya seni memiliki makna yang baik dan memberi pengaruh yang baik juga. Oleh sebab itu, kita sebagai pelaku dan atau penikmat seni harus berhati-hati untuk memberi input yang baik agar output atau karya yang kita hasilkan berkenan di hadapan Tuhan sebagai satu-satunya tujuan dari karya setiap manusia yakni memuliakan Dia.

Belas Kasihan

Oleh: Bapak Presno Saragih, Kabid. Pendidikan
belas kasihan

 

Dalam Markus 6:30 kita membaca bahwa para murid melaporkan apa yang sudah mereka kerjakan dan ajarkan kepada orang-orang yang mereka jumpai. Pasti terjadi diskusi yang menarik antara mereka dengan Tuhan Yesus. Mungkin ada pujian, koreksi, dan lain-lain yang diberikan Tuhan Yesus kepada murid-murid-Nya. Pendek kata ada evaluasi yang Tuhan Yesus sampaikan kepada mereka. Lalu pada ayat 31 kita membaca adanya ajakan Tuhan Yesus kepada mereka untuk pergi ke tempat yang sunyi untuk beristirahat di sana karena mereka baru saja melakukan pelayanan yang sangat melelahkan. Namun ketika Tuhan Yesus melihat orang banyak yang mencari-cari (membutuhkan) Dia, niat-Nya untuk beristirahat diurungkan-Nya (Markus 6:33,34). Ayat 34 mencatat bahwa hati-Nya tergerak oleh “belas kasihan” kepada mereka.

Belas kasihan adalah perasaan kasih yang ditunjukkan lewat perbuatan nyata. Markus 6:34b mencatat bahwa Ia mengajarkan banyak hal kepada mereka. Mereka membutuhkan pengajaran Tuhan Yesus karena mereka seperti domba yang tidak mempunyai gembala (Markus 6:34a). Perasaan belas kasihan-Nya tidak berhenti pada perasaan simpati dan atau empati saja tapi dilanjutkan dengan perbuatan memberi pengajaran kepada orang banyak yang terlantar tersebut. Bahkan ketika hari mulai malam Tuhan Yesus meminta murid-murid-Nya untuk memberi makanan kepada orang banyak yang baru menerima pengajaran-Nya. Orang banyak membutuhkan makanan jasmani setelah mereka menerima makanan rohani dari Tuhan Yesus. Perasaan belas kasihan-nya kembali mewujud nyata dalam bentuk perbuatan yaitu memberi orang banyak makanan yang mereka butuhkan.

Ada banyak hal yang sangat menarik berkaitan dengan mujizat 5 ketul roti dan 2 ekor ikan. Ketika diberitahukan kepada Tuhan Yesus bahwa “modal” makanan yang mereka miliki hanyalah 5 ketul roti dan 2 ekor ikan, Tuhan Yesus tidak berkomentar negatif melihat perbandingan yang sangat tidak seimbang antara jumlah makanan dan jumlah orang yang butuh makanan. Yang membutuhkan makanan ada lebih dari 5.000 orang (Markus 6:44). Alkitab mencatat ada 5.000 orang laki-laki yang mendengarkan khotbah Tuhan Yesus pada waktu itu. Jumlah perempuan dan anak-anak yang hadir tidak ditulis. Mungkin ada 5.000 perempuan dan 5.000 anak-anak yang juga hadir menerima pengajaran Tuhan Yesus. Berarti totalnya ada +/- 15.000 orang yang membutuhkan makanan. Lalu Tuhan Yesus mengucap syukur dan membagi-bagikan roti dan ikan itu kepada mereka (Yohanes 6:11). Dan terjadilah mujizat. Roti dan ikan itu tidak kunjung habis. Semua orang mendapat makanan dan makan sampai kenyang (Markus 6:42). Bahkan masih tersisa 12 bakul penuh (Markus 6:43). Belas kasihan Tuhan Yesus yang disertai ucapan syukur menghasilkan mujizat yang mencukupi kebutuhan jasmani dan rohani 15.000 orang.

Bagaimana dengan perasaan belas kasihan yang kita miliki? Apakah perasaan tersebut mewujud nyata dalam bentuk perbuatan? Atau hanya berhenti pada perasaan simpati dan atau empati saja? Hanya berputar-putar pada poros perasaan kasihan semata. Kita cuma berkata, ”Kasihan ya bapak itu?” Namun tidak ada perbuatan nyata yang kita lakukan. Bahkan mungkin kemudian menggosipkan orang yang kita kasihani itu panjang lebar dengan teman kita. Ironis, bukan?!

Mengapa banyak orang hanya memiliki perasaan simpati dan atau empati saja tanpa disertai perbuatan nyata? Mungkin karena mereka sendiri belum pernah mengalami kasih ilahi dalam kehidupan mereka yaitu kasih Allah yang membawa-Nya naik ke bukit Golgota. Sehingga mereka tidak dapat membagikan kasih ilahi kepada orang lain karena kantong kasih mereka kosong melompong. Alkitab berkata bahwa Allah menunjukkan kasih-Nya kepada kita melalui kematian Tuhan Yesus di atas kayu salib ketika manusia (kita) masih berdosa (Roma 5:8). Dengan menerima Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat kita secara pribadi, kita menerima kasih ilahi yang menyucikan kita dari segala dosa dan pelanggaran kita. Dengan modal kasih Allah tersebut kita dimampukan untuk mewujudnyatakan kasih kita kepada orang lain melalui perbuatan kita.

Ada banyak orang di sekitar kita membutuhkan injil Kristus. Ada banyak orang di sekitar kita membutuhkan uang kita, tenaga kita, telinga kita, waktu kita, nasehat kita, dan lain-lain. Maukah kita berbelas kasihan kepada mereka dengan memberitakan injil Kristus? Maukah kita berbelas kasihan kepada mereka dengan memberikan uang kita, tenaga kita, telinga kita, waktu kita, nasehat kita? Mari kita menjawabnya di hadapan Tuhan secara pribadi…

Allah yang Penuh Perhatian

allah_yg_penuh_perhatian

 Oleh: Desni Rahmani Zega, guru Agama SD Athalia

 

Allah menginginkan setiap orang untuk memiliki karakter penuh perhatian. Mengapa? Karena Allah sendiri adalah Allah yang penuh perhatian kepada umat-Nya. Melalui kehidupan bangsa Israel kita bisa melihat bagaimana Allah begitu memperhatikan setiap umat-Nya. Saat Yusuf menjadi orang penting di Mesir, orang Israel hidup dengan nyaman dan penuh kelimpahan. Tapi itu tidak berlangsung lama. Setelah Yusuf meninggal, bangkitlah seorang Firaun yang tidak mengenal Yusuf. Saat itu jumlah bangsa Israel semakin banyak dan terus bertambah di Mesir. Hal itu membuat Firaun kuatir bahwa keberadaan bangsa Israel yang semakin banyak jumlahnya akan menjadi ancaman bagi Mesir. Firaun kuatir bangsa Israel di kemudian hari akan melakukan pemberontakan dan menguasai tanah Mesir. Untuk mengurangi jumlah bangsa Israel, maka Firaun mengeluarkan peraturan yaitu setiap laki-laki dewasa bangsa Israel harus melakukan kerja paksa. Tetapi makin ditindas makin bertambah banyak dan berkembang bangsa Israel. Mengapa? Karena Allah memperhatikan bangsa Israel. Lalu dengan kejam orang Mesir memaksa bangsa Israel bekerja dan memahitkan hidup mereka dengan pekerjaan yang berat. Firaun juga memerintahkan agar anak bayi laki-laki yang lahir dari keluarga Israel, harus segara dibunuh. Bangsa Israel mengalami kesulitan besar. Mereka sangat menderita, terlebih mereka juga kuatir kalau jumlah mereka akan terus berkurang dan punah.

Bangsa Israel pun mengeluh karena perbudakan itu dan mereka berseru-seru sehingga teriak mereka minta tolong karena perbudakan itu sampai kepada Allah. Apakah Allah membiarkan bangsa Israel? Ternyata tidak. Allah adalah Allah yang penuh perhatian kepada umat ciptaan-Nya. Allah peduli dengan penderitaan mereka. Allah memperhatikan setiap rintihan dan seruan umat-Nya. Allah ingat kepada perjanjian-Nya dengan Abraham, Ishak dan Yakub. Maka Allah sendiri bertindak membebaskan umat-Nya. Dalam Keluaran 3:7-10, dituliskan bahwa Allah telah memperhatikan dengan sungguh kesengsaraaan umat-Nya di tanah Mesir. Allah mendengar seruan mereka. Allah mengetahui penderitaan mereka. Allah sendiri yang akan turun untuk melepaskan bangsa Israel dari tangan orang Mesir dan menuntun mereka keluar dari negeri itu ke negeri yang sudah dijanjikan Allah kepala nenek moyang bangsa Israel.

Allah segera bertindak. Allah pun memanggil Musa sebagai utusan yang akan memimpin bangsa Israel keluar dari tanah Mesir menuju tanah perjanjian. Pada akhirnya, bangsa Israel pun dalam kepemimpinan Musa, berhasil keluar dari tanah Mesir menuju tanah perjanjian yang diberikan Allah kepada bangsa Israel. Sepanjang perjalanan bangsa Israel keluar dari mesir menuju tanah perjanjian, Allah senantiasa menyertai dan memimpin bangsa Israel. Melalui Kisah kehidupan bangsa Israel, kita bisa belajar bentuk-bentuk perhatian Allah kepada umat-Nya yaitu:
Memperhatikan kesengsaraan umat-Nya (Kel.3:7a)
Mendengar seruan umat-Nya (Kel.3:7b)
Mengetahui dan mengenal penderitaan umat-Nya (Kel.3:7c)
Bertindak langsung untuk melepaskan umat-Nya (Kel.7:8a)

Pada saat kita mengalami masa-masa sulit, kesesakan, penderitaan atau kesulitan hidup, kadang kala kita berpikir bahwa Tuhan sudah tidak lagi memperhatikan dan mengasihi kita. kita berpikir Tuhan sudah melupakan kita. Benarkah yang terjadi seperti itu? Tentu saja tidak demikian. Apapun yang terjadi, Dia adalah Allah yang setia. Kasih-Nya selalu konsisten dan tidak pernah berkesudahan. Kisah bangsa Israel menunjukkan dengan jelas betapa Tuhan sangat peduli dan memperhatikan kita, termasuk hal-hal yang sangat kecil sekalipun. Tuhan memperhatikan kita secara detil dan sempurna. Tuhan tahu persis setiap pergumulan kita. Dia juga tahu apa yang kita perlukan dan butuhkan. Dia mengerti apa yang kita alami dan apa yang kita rasakan; sebab bukankah Dia adalah Tuhan yang penuh perhatian kepada kehidupan umat-Nya. Di dalam Ibrani 4:15 dikatakan,”sebab Imam Besar yang kita punya, bukanlah imam besar yang tidak dapat turut merasakan kelemahan-kelemahan kita, sebaliknya sama dengan kita, Ia telah dicobai, hanya tidak berbuat dosa”

Kita bersyukur memiliki Tuhan yang begitu peduli dan penuh perhatian kepada umat ciptaan-Nya. Sebagai respon kita, kita juga harus belajar untuk memiliki sikap penuh perhatian. Karena hal itu menyukakan hati Tuhan. Allah juga menuntut umat-Nya untuk punya karakter penuh perhatian baik kepada Allah Sang Pencipta maupun perhatian kepada orang-orang di sekitar kita. Kita harus meluangkan waktu dengan Tuhan sebagai hal yang terutama dalam hidup kita. Tiada yang lebih layak mendapatkan perhatian penuh kita daripada Firman Tuhan. Dalam Nehemia 8:4 dikatakan, “dengan penuh perhatian seluruh umat mendengarkan pembacaan kitab Taurat itu”. Jadi, ketika Ezra membacakan kitab Taurat kepada kaum Yehuda maka mereka memberikan perhatian penuh kepada firman tersebut. Perhatian mereka atas penjelasan dari kitab itu menghasilkan pengertian (Nehemia 8:9), sehingga timbul pertobatan dan kebangunan rohani. Sebagai umat Tuhan yang sudah terlebih dahulu menerima perhatian Allah maka kita harus punya perhatian penuh kepada Firman Tuhan. Kadang-kadang ketika mendengar khotbah, pikiran kita mengembara. Kita tampaknya duduk menghadap pengkhotbah dan mata terpaku kepada pengkhotbah, seakan-akan kita menghayati semua perkataan pengkhotbah padahal kenyataannya, pikiran kita mengembara kemana-mana.

Suatu hari seseorang sharing tentang pengalamannya saat tidak mempunyai sikap penuh perhatian. Saat ia duduk di aula gereja mengikuti seminar pembinaan iman, posisinya memang menghadap ke arah pembicara dengan mata yang terpaku kepadanya. Postur tubuhnya menunjukkan bahwa ia menghayati semua perkataan pembicara tersebut. Tiba-tiba ia mendengar semua orang tertawa dan bertepuk tangan. Dengan heran ia memperhatikan sekelilingnya. Ia tidak mengerti mengapa semua orang bertepuk tangan dan tertawa. Ternyata pembicara tersebut baru saja menyampaikan sesuatu yang lucu tetapi ia tidak tahu apa yang telah diucapkan pembicara tersebut. Kelihatannya ia seperti mendengarkan sungguh-sungguh tetapi pada kenyataannya pikirannya tidak fokus dan sedang mengembara.

Kita mungkin pernah punya pengalaman seperti itu. Kita bisa saja mendengarkan apa yang sedang dibicarakan tetapi gagal menyimak, memandang tapi gagal melihat, hadir tapi tidak memperhatikan. Dalam kondisi seperti itu, kita bisa melewatkan pesan-pesan penting yang seharusnya kita terima. Untuk itu, satu hal yang harus kita miliki untuk bisa mendengarkan, menyimak dan memperhatikan dengan baik adalah karakter penuh perhatian baik kepada Tuhan maupun kepada sesama kita. Termasuk ketika kita sedang berkomunikasi dengan orang lain.

Mari kita belajar untuk menjadi penuh perhatian supaya kita tidak lagi berfokus pada diri kita sendiri tetapi belajar menjadikan Tuhan sebagai pusat hidup kita dan menjadi berkat bagi orang lain.

Waktu: Perhatikan Bagaimana Kamu Hidup!

Waktu dapat diartikan sebagai sebuah rangkaian atau untaian; saat atau ketika yang sudah terjadi (lewat), yang sedang terjadi (aktual),  dan yang akan terjadi. Saat yang sudah terjadi adalah sejarah masa lalu atau kesempatan yang telah terlewat – biasanya untuk dikenang, dipelajari, atau bisa juga dilupakan. Sedangkan saat yang sedang terjadi adalah kesempatan yang sedang ada di hadapan untuk saat itu juga diaktualisasi berdasarkan konteks. Dan saat yang akan terjadi dibutuhkan disiplin komitmen untuk mengaktualisasikannya. Dari ketiga rangkaian ini, hanya dua rangkaian yang akan kita bahas.

Waktu yang akan terjadi: disiplin, komitmen, dan konsistensi
Dalam pengertian ini, waktu adalah fakta. Terukur dan objektif. Waktu terjadi pada saat ‘ketika’ dan ‘saat’ dalam waktu penetapannya. Indikator yang dipakai dapat diterima semua orang. Tidak tergantung sudut pandang, kondisi, ataupun konteks. Berdiri sendiri.

Namun anehnya, dalam dinamika lingkungan kita – sekolah, gereja, organisasi, atau bangsa secara umum –  kadang pengingkaran atas waktu  masih dianggap lumrah. Kita sangat mudah menoleransi keterlambatan dan memandangnya sebagai sesuatu yang biasa. Telat semenit atau dua menit wajarlah, demikian banyak orang berujar. Alasan dengan mudah membenarkan inkosistensi tersebut.

Permasalahannya adalah waktu sebagai fakta yang objektif telah kita jadikan sebuah realitas yang subjektif. Waktu akhirnya kita tempatkan dalam konteks. Misalnya, terlambat ke gereja masih lebih baik dari pada tidak datang sama sekali, toh masih bisa dengar firman, demikian kita berujar. Begitu juga untuk keadaan yang lain, persoalan keterlambatan, waktu molor, dan lain-lain kita permudah dalam konteks. Kalau alasannya masuk akal, bisa diterima. Akhirnya secara tidak sadar kita menjadikan keterlambatan itu urusan tetek bengek.

Permasalahan ini disebabkan karena kita masih lemah dalam disiplin, komitmen, dan konsistensi. Misalnya, seorang siswa diwajibkan hadir 06:55.00 WIB setiap harinya di sekolah. Ketika siswa hadir 06:56:01 WIB maka faktanya terjadi indisipliner, pengingkaran komitmen dan menjadi inkonsisten. Begitu juga dengan perjalanan kereta api yang menjanjikan akan berangkat 22:00 WIB dan bila berangkat 22:07 WIB maka terukur dan objektif telah terjadi pelanggaran. Karena itulah biasanya, pihak kereta api akan meminta maaf atas keterlambatan tersebut. Hal inilah yang mendasari negara-negara maju sangat menghargai on time. Konon katanya, di Jepang rata-rata keterlambatan kereta api di Jepang hanya 7 detik. Bagaimana dengan kita? Sudah berapa kali Anda telat datang ke tempat kerja? Atau masih terlambat ke gereja?

Waktu yang sedang terjadi: Kesempatan
Pada pembahasan ini, kita memahami waktu sebagai kesempatan. Waktu ditempatkan sebagai kesempatan terkait dengan bagaimana kita mengisi waktu dalam setiap aspek hidup kita.

Mari kita cek. Pernahkah Anda merasa satu harian bekerja di kantor namun waktu itu berlalu begitu saja tanpa ada hal yang ‘bermakna’ yang terjadi? Atau maksud saya, sepanjang hari bermalas-malasan tidak jelas arah dan tujuan? Barangkali bentuknya bisa saja begini. Begitu tiba di kantor kita mengawali dengan obrolan dengan teman sejawat ngalor ngidul entah ke mana. Setelah itu, ketika kita sudah di depan komputer untuk siap bekerja, tapi tidak sadar mata kita tertuju kepada pengkinian informasi atau aktivitas di media sosial. Segala infomasi kita baca tanpa tahu apa artinya. Mulai dari ulasan sepak bola, hingga perkembangan politik kekinian kita lahap di media online. Dari satu media online  ke media online yang lain kita berpindah, menjelajahi informasi yang sebenarnya tidak ada hubungan dengan domain pekerjaan yang harusnya kita kerjakan pada saat itu. Lewat deh waktu berlalu begitu saja. Secara tidak sadar waktu kita dirampas dengan sendirinya. Kesempatan terbuang tanpa makna dan konteks.
Waktu sebagai ‘saat yang sedang terjadi’ maka waktu bergantung kepada konteks dan makna. Pengkhotbah menggambarkan bahwa semua ada waktunya atau kesempatannya. Ada waktu bekerja atau kesempatan berkarya. Ada waktu bersosialisasi atau kesempatan membangun relasi. Ada waktu tidur atau kesempatan untuk memulihkan tenaga. Ada waktu menghibur diri atau kesempatan menjernihkan pikiran. Ada waktu berolahraga atau kesempatan memiliki badan yang sehat. Dan banyak lagi waktu atau kesempatan yang kita miliki.
Berkenaan dengan itu, yang dituntut dari kita adalah bagaimana kita mempertanggungjawabkan kesempatan itu. Apakah saat kita bekerja, kita bekerja dengan optimal? Atau waktu bersosialisasi, kita curahkan sepenuhnya perhatian kita dengan keluarga atau orang lain. Atau waktu kita berolahraga kita dengan serius menjalaninya.

Bila dihubungkan bahwa waktu adalah anugerah, maka di situ akhirnya ada tuntutan dari Sang Pencipta dan Pemberi Waktu. Bahwa kesempatan itu akan diminta pertanggungjawaban dari kita. Harus kita ingat, kesempatan saat yang sedang terjadi, tidak akan berulang.

Hal inilah yang diingatkan Paulus dalam Efesus 5:15-16  5 Karena itu, perhatikanlah dengan saksama, bagaimana kamu hidup, janganlah seperti orang bebal, tetapi seperti orang arif,  16 dan pergunakanlah waktu yang ada, karena hari-hari ini adalah jahat. Pada dasarnya, waktu yang diterjemahkan LAI ITB (Indonesia Terjemahan Baru) memiliki makna ‘kesempatan’ (kairos). LAI BIS (Bahasa Indoensia Sehari-hari) menerjemahkan sebagai berikut; Efesus 5:15-16  15 Sebab itu, perhatikanlah baik-baik cara hidupmu. Jangan hidup seperti orang-orang bodoh; hiduplah seperti orang-orang bijak.  16 Gunakanlah sebaik-baiknya setiap kesempatan yang ada padamu, karena masa ini adalah masa yang jahat.

Jadi sekarang tergantung kita. Akankah kita biarkan hari-hari kita berlalu begitu saja tanpa bertanggung jawab terhadap kesempatan yang ada? Saya rasa di sinilah kita perlu ingat yang Amsal katakan: Orang yang malas harus memperhatikan cara hidup semut dan belajar daripadanya (BIS Amsal 6:6). (PP)

Semua karena Kasih Karunia Allah

artikel inisiatif

 

Oleh: Wahyu Setianingrum, guru Agama SMP

Efesus 2:1-10

Pada saat menciptakan manusia, Allah menjadikan manusia segambar dan serupa dengan-Nya sebagai makhluk yang paling istimewa dibandingkan ciptaan lainnya. Tetapi ketika manusia jatuh ke dalam dosa, Alkitab menggambarkan manusia sebagai orang yang mati secara rohani. Ciri-ciri orang yang mati secara rohani:
Tidak menghargai hal-hal yang rohani (1Kor. 2:14).
Tidak kenal Allah dan hidup jauh dari persekutuan dengan Allah (Ef. 4:17-18).
Aktif berbuat dosa, karena mereka tidak peduli kepada Firman Tuhan yang adalah hal rohani.
Hal ini menunjukkan bahwa manusia sangat terbiasa berbuat dosa. Dengan kata lain, manusia telah diperbudak oleh dosa, menjadi hamba dosa dan tidak bisa berbuat baik (Yoh. 8:34, Rom. 8:7-8). Lukas 6:33, menggambarkan seolah-olah Tuhan Yesus mengajar bahwa manusia bisa berbuat baik, tetapi yang dimaksudkan adalah perbuatan baik secara lahiriah. Dalam ayat 1-3, Paulus mengajak orang-orang Efesus untuk mengingat keadaan mereka dahulu. Kita harus melupakan masa lalu ketika hal itu menghambat kemajuan iman kita. Namun ketika kita mengingat keadaan kita dahulu sebagai orang berdosa, hal itu justru seharusnya mendorong kita untuk lebih maju. Pada saat yang sama kita semakin merasakan kasih Allah, sekaligus “memaksa” kita dapat mengampuni orang lain. Ayat 4 menunjuk pada tindakan Allah yaitu bahwa Allahlah yang mengambil inisiatif pada waktu Ia melihat manusia secara alamiah itu (Kej 3:8-9).

Apa yang Allah lakukan?
a)    Menghidupkan (ayat 5), membangkitkan (ayat 6), memberi tempat di surga (ayat 6).
Semua orang percaya akan mengalami hal yang sama seperti yang dialami oleh Kristus (kebangkitan, kenaikan ke surga, duduk di sebelah kanan Allah). Hal ini menunjukkan adanya misteri antara Kristus dengan orang-orang pilihan.
b)    Ia menyelamatkan (ayat  5, 8).
Keselamatan yang Allah berikan adalah lebih dari sekedar pengampunan. Keselamatan adalah anugerah/pemberian Allah sebagaimana yang dinyatakan oleh ayat 8, “Sebab karena kasih karunia kamu diselamatkan oleh iman; itu bukan hasil usahamu, tetapi pemberian Allah”. Dengan kata lain, keselamatan karena kasih karunia oleh iman adalah pemberian/anugerah Allah.

Mengapa Allah melakukan hal itu?
a)    Karena ‘rahmat’ (ayat 4), ‘kasih’ (ayat 4), ‘kasih karunia’ (ayat 5,8) dan ‘kebaikan-Nya’ (ayat 7). Jadi, Allah menyelamatkan bukan karena apa yang ada pada kita/kebaikan kita.
b)    Untuk menunjukkan kekayaan kasih karunia-Nya yang melimpah-limpah (ay 7). “Pada masa yang akan datang” (ay 7) bukan berarti nanti di surga, tetapi juga sekarang waktu kita masih hidup.
c)    Supaya kita berbuat baik (ay 10). Pekerjaan baik itu sudah dipersiapkan Allah sebelumnya dan Ia ingin supaya kita “hidup” di dalamnya. Semua itu terjadi karena KASIH KARUNIA ALLAH.

Kesimpulan:
Kita tidak diselamatkan oleh pekerjaan/perbuatan baik manusia, tetapi diciptakan dalam Kristus untuk melakukan pekerjaan/perbuatan baik. Keselamatan itu bukan pekerjaan/perbuatan manusia, tetapi pekerjaan/perbuatan Allah. Segala sesuatu yang kita butuhkan untuk keselamatan kita telah Ia berikan. Malahan keselamatan kita sendiri adalah pemberian-Nya. Tugas kita ialah menerima pemberian itu dan sebagai tanda pengucapan syukur kita meneruskannya kepada orang lain. Untuk itu Ia telah mempersiapkan pekerjaan/perbuatan baik bagi kita, supaya kita boleh hidup di dalamnya.

Yang Paulus maksudkan di sini dengan “hidup di dalam pekerjaan baik” ialah terus-menerus melakukan pekerjaan baik. Suatu hidup, yang sesudah diselamatkan oleh Kristus dan dipersatukan dengan Dia, bukan hanya mungkin, tetapi menjadi keharusan.

AMIN

Pergunakan Waktu yang Ada

Efesus 5:16-17, Pengkhotbah 3

Oleh: Wahyu Setianingrum

Allah sudah menetapkan sejak semula bahwa dunia ini harus “dibatasi” waktu. Itu sebabnya Ia terlebih dahulu menciptakan terang dan gelap. Kedua ciptaan inilah yang membuat adanya hari-hari. Setelah itu baru kemudian Ia mencipta yang lainnya.

Ada enam hari lamanya masa penciptaan itu. Pada hari yang ketujuh Ia berhenti dari segala pekerjaan penciptaanNya, lalu akhirnya memberkati semua yang Ia kerjakan. Allah telah menciptakan waktu, maka secara langsung Allah sudah menetapkan agar segala sesuatu harus diatur menurut waktu. Mengatur waktu dan menggunakan waktu dengan baik merupakan perintah yang tidak dapat kita elakkan. Tidak ada yang boleh menganggap bahwa mengatur segala sesuatu menurut waktu itu tidak berguna atau tidak perlu. “Karena untuk segala hal dan segala pekerjaan ada waktunya,” kata pengkhotbah.

Berbicara tentang waktu, dalam bahasa Yunani eksagorazo bisa berarti memborong, menebus, mempergunakan dengan baik; memerah keuntungan sebanyak-banyaknya dari. Maksud dari pengertian ini yaitu rebutlah setiap kesempatan yang baik. Hal ini juga menyatakan bahwa kita harus selalu hidup dalam kearifan (Efesus 5:15, 16).

Pada zaman yang jahat ini setiap hari adalah jahat dan merusak sehingga kita tidak dapat menggunakan waktu secara efektif. Untuk itu kita harus selalu hidup dengan bijaksana supaya kita dapat menebus waktu yang telah kita sia-siakan, merebut setiap kesempatan yang ada dan mempergunakan waktu yang ada dengan baik. Mengerti kehendak Tuhan adalah jalan terbaik untuk menebus waktu kita, Efesus 5:17, Mazmur 119:125, Pengkhotbah 8:5, 6, (dalam naskah aslinya kata “waktu” itu maksudnya waktu yang tepat).

Banyak waktu kita terbuang karena tidak mengerti kehendak Tuhan, walaupun Tuhan Yesus telah melepaskan kita dari dunia jahat yang sekarang ini (Galatia 1:4). “Untuk segala sesuatu ada masanya, untuk apa pun di bawah langit ada waktunya,” menurut Pengkhotbah 3:1. Oleh karena itu manfaatkanlah waktu secara efektif selagi kita masih diberi kesempatan untuk mempergunakannya. Pada waktunya nanti, Allah akan meminta pertanggungjawaban kepada kita dalam pengadilan-Nya (17), sebab manusia tidak mengetahui waktu kecelakaan yang dapat menimpanya secara tiba-tiba (9:12).

Pada tahun 2012 yang lalu kami (saya dan suami) mendoakan seorang ibu yang divonis mengalami kanker usus stadium 4. Pihak keluarga ibu tersebut meminta kami untuk mendoakannya. Si ibu menceritakan bahwa ia dulu tidak pernah pergi ke gereja, untuk berdoa pun jarang karena ia merasa selama ini sudah cukup berbuat baik pada banyak orang. Namun kurang lebih satu bulan sebelum ia mengetahui penyakit yang dideritanya, ibu ini menerima Yesus sebagai Tuhan dan Juru Selamat pribadi dan kemudian di baptis. Selama 2 bulan di rumah sakit banyak hal yang dia rasakan tentang pertolongan dan penyertaan Tuhan. Ada satu kalimat terlontar dari si ibu “Kenapa tidak dari dulu saya hidup sungguh-sungguh dalam Tuhan, sekarang saya sakit tidak bisa pergi ke gereja atau ikut dalam pelayanan.” Sampai pada akhirnya ibu tersebut dipanggil Tuhan masih tetap dalam keadaan sakit.

Kita yang masih memiliki waktu, seringkali tak menyadari betapa waktu itu demikian terbatas dan bahwa akhir dari hidup kita tak ada seorangpun yang tahu. Berapa panjangkah perjalanan hidup yang telah kita jalani hingga sekarang? Berapa lamakah perjalanan waktu yang telah kita susuri? Dan di manakah ujung perjalanan ini akan usai? Dan saat tirai kehidupan kita diturunkan. Oleh karena itu manfaatkanlah waktu secara efektif selagi kita masih diberi kesempatan untuk mempergunakannya, sebab pada waktunya nanti, Allah akan meminta pertanggungjawaban itu pada kita. AMIN.

 

Apakah Fokus Utama Hidup Anda?

Bacaan: 1 Kor 9: 24-27

Oleh: Prasasti Perangin-angin, M.Div

Beberapa waktu yang lalu, saya berkesempatan untuk mengikuti sebuah pembinaan di sebuah kampus di Central Park Jakarta Barat. Inti dari pembinaan tersebut adalah bagaimana kita mampu membangun relasi keintiman dengan Allah. Namun yang menarik dari sesi pembinaan empat hari tersebut adalah satu sesi dimana peserta dilatih untuk mampu mengalami keintiman dengan Allah tidak saja di tempat pembinaan namun di dalam realitas hidup yang akan dijalani setiap hari. Karena itu, panitia merancang satu sesi, di mana setiap peserta diberikan kesempatan untuk berjalan melalui hiruk pikuk Mall Central Park yang kebetulan satu lokasi dengan tempat pembinaan. Tugas yang diberikan adalah menuliskan bagaimana relasi atau perhatian peserta selama di mall tersebut. Pesan pokok yang ingin diperoleh dari sesi tersebut, yakni sejauh mana keintiman dengan Allah tetap bertahan di tengah kebisingan dunia. Karena itulah realitas yang sesungguhnya dimana fokus dan perhatian hidup akan terus ditantang. Tetap kepada Tuhan atau terhanyut oleh dunia ini.

…saya menyadari bahwa kebisingan dunia setiap saat dapat saja menarik kita pada hilangnya fokus utama di dalam kehidupan ini.

Melalui pengalaman itu, saya menyadari bahwa kebisingan dunia setiap saat dapat saja menarik kita pada hilangnya fokus utama di dalam kehidupan ini. Persekutuan yang intim dengan Tuhan dapat saja tergantikan dengan fokus kita kepada media sosial yang tidak pernah ada habisnya. Kerinduan kita kepada kebutuhan hidup yang semakin menggunung dapat menggantikan perhatian kita kepada kerinduan akan kehadiran Allah. Teknologi yang serba lengkap dapat membuat kepenuhan hidup rasa-rasanya adalah jawaban akan kehampaan kehidupan. Karena itu tidak heran seorang siswa di Taiwan mendeklariskan pernikahannya dengan sebuah benda mati bernama laptop. Ternyata di dalam sebuah laptop seorang manusia dapat memenuhi semua keinginan dan kebutuhan hidup yang dicarinya.

Di dalam konteks jemaat Korintus, Paulus sangat menyadari di dalam pemberitaan injil yang sedang dilakukannya, setiap saat fokus dan perhatiannya dapat direnggut oleh berbagai bentuk kehampaan. Begitu juga dengan jemaat Korintus di tengah modernisasi kota Korintus dan liturgika ibadah jemaat yang semakin ‘maju’ telah membuat jemaat kehilangan fokus dan perhatian utama. Sehingga bila itu terjadi akan terjadi penolakan terhadap Injil. Atau dengan kata lain, kesaksian hidup jemaat akan menjadi kesaksian yang palsu.

Penolakan terhadap Injil sama saja dengan penolakan terhadap keberadaan Kristus sebagai Tuhan satu-satunya yang patut disembah…

Penolakan terhadap Injil sama saja dengan penolakan terhadap keberadaan Kristus sebagai Tuhan satu-satunya yang patut disembah oleh setiap umat manusia. Karena itulah Paulus mendorong jemaat Korintus untuk menjadi seperti seorang pelari yang terus terfokus kepada tujuan yang sedang dituju. Atau seperti seorang petinju yang tidak sembarang saja memukul. Butuh perhatian khusus. Fokus yang tidak tergoyahkan.

Metafora petinju dan pelari menggambarkan bahwa ada dua hal yang harusnya dimiliki oleh setiap kita untuk dapat menjadi saksi Kristus yang hidup. Pertama, terus terfokus kepada tujuan. Tujuan akan mendasari pertanyaan, kenapa dan untuk apakah kehidupan kita jalani (1 Korintus 9:26). Tujuan harus menjadi pemimpin dan pendorong satu-satunya kita hidup. Dengan istilah lain, tujuan ini dapat juga digambarkan sebagai sebuah panggilan hidup yang memimpin langkah dan tindakan hidup kita.

Panggilan hidup adalah alasan. Termasuk pekerjaan. Sebagai guru atau karyawan di dunia pendidikan (Athalia), landasan utama yang menjadi alasan kita untuk memutuskan memilih pekerjaan ini harusnya adalah panggilan untuk mendidik anak bangsa menjadi seorang murid Kristus. Ketika panggilan yang mendasari, maka pekerjaan ini dapat dinikmati. Fokus yang utama akhirnya apa yang Tuhan kehendaki, bukan apa yang kita kehendaki. Namun sebaliknya, ketika pekerjaan hanyalah sebagai tempat bagi kita untuk mencari nafkah maka pekerjaan itu dapat menjadi konsentrasi kesekian bagi kita. Atau hanyalah berjalan begitu saja, tanpa ada spirit yang menggerakkan.

Fokus yang utama akhirnya apa yang Tuhan kehendaki, bukan apa yang kita kehendaki.

Begitu juga gaya hidup yang kita pilih. Kenapa saya katakan, kita pilih, karena bagi saya gaya hidup adalah pilihan. Apakah perhatian utama dari gaya hidup kita? Konsumtif dan hedonis? Tren dan kesenangan hidup menjadi tujuan? Atau sebaliknya, nilai-nilai kesederhanaan. Membeli sesuatu berdasarkan fungsi. Pendekatan kebutuhan bukan keinginan.

Fokus kita adalah kemuliaan Allah. 1 Kor 10 :31 mengatakan Aku menjawab: Jika engkau makan atau jika engkau minum, atau jika engkau melakukan sesuatu yang lain, lakukanlah semuanya itu untuk kemuliaan Allah.’ Perjalanan hidup akhirnya diterjemahkan hidup untuk kemuliaan Allah. Apapun itu, tanyakan apakah menjadi kemuliaan bagi Allah atau tidak? Dengan demikian perhatian kita akan kita tujukan kepada perkara surgawi.

Kedua, menguasai diri (1 Korintus 9:25). Penguasaan diri menjadi kunci utama bagaimana kita mampu terus memusatkan perhatian kepada tujuan. Penguasaan diri seperti penangkal segala bentuk godaan. Seperti seorang atlet harus mampu untuk menguasai diri untuk terus berlatih untuk menggapai hasil yang terbaik. Penguasaan diri berarti mampu menolak keinginan diri. Menyangkal diri.

… dunia ini semakin hari akan terus berusaha menarik kita kepada jalan yang dunia kehendaki.

Bila kita perhatikan, dunia ini semakin hari akan terus berusaha menarik kita kepada jalan yang dunia kehendaki. Nilai-nilai yang ditawarkan iklan televisi, media sosial, atau tulisan diskon di tempat perbelanjaan adalah bentuk usaha dunia menarik kita semakin jauh dari dari nilai-nilai kebenaran yang Allah rindukan dari kita. Bila kita lengah, maka kita akan larut di dalamnya.

Lihatlah, sungguh disayangkan, nilai-nilai tersebut akhir-akhir ini telah merasuki gereja Tuhan di berbagai tempat. Gereja-gereja seakan mulai berlomba menawarkan hiburan untuk menarik semakin banyak para pengikut datang ke gereja, dan menghalalkan cara-cara manipulatif yang dunia pakai. Semoga saja ini bukan merupakan gejala yang telah lama diingatkan oleh Paulus kepada Timotius; karena akan datang waktunya, orang tidak dapat lagi menerima ajaran sehat, tetapi mereka akan mengumpulkan guru-guru menurut kehendaknya untuk memuaskan keinginan telinganya ( 2 Tim 4:3). Ketika hal ini yang terjadi maka perhatian gereja yang harusnya terpusat kepada kebenaran Alkitab atau identitas sejati di dalam salib berubah menjadi filosofi dunia dan identitas kemakmuran yang umumnya menjadi perhatian manusia yang telah dipenuhi oleh dosa.

Kunci dari penguasaan diri adalah terus berfokus kepada kebenaran Allah.

Kunci dari penguasaan diri adalah ketika kita terus berfokus kepada kebenaran Allah. Ketika waktu dan energi kita investasikan kepada hal-hal yang bernilai kekal. Ketika itulah suara Tuhan akan semakin jernih di dalam pendengaran kita. Bersamaan dengan itu, bisik rayu dunia ini tidak membuat fokus kita berubah daripada-Nya.

 

Menghargai Alam, Menghargai Tuhan

Kejadian 2:15

“Tuhan Allah mengambil manusia itu dan menempatkannya dalam taman Eden untuk mengusahakan dan memelihara taman itu.”

Ulangan 20: 19

“Apabila dalam memerangi suatu kota, engkau lama mengepungnya untuk direbut, maka tidak boleh engkau merusakkan pohon-pohon di sekelilingnya dengan mengayunkan kapak kepadanya, buahnya boleh kaumakan, tetapi batangnya janganlah kautebang; sebab, pohon yang di padang itu bukan manusia, jadi tidak patut ikut kau kepung.”

Ketika sedang menjelajah internet beberapa waktu lalu saya menemukan satu event atau gerakan yang unik. Gerakan ini setiap tahun menjadi satu event besar di beberapa negara dan sudah berjalan sejak beberapa tahun lalu. Beberapa diantara kita mungkin pernah mendengar atau justru pernah terlibat dalam gerakan ini. Gerakan Earth Hour. Gerakan Earth Hour adalah salah satu gerakan yang diprakarsai oleh WWF (World Wildlife Foundation)- organisasi konservasi lingkungan hidup yang independen dan terbesar di dunia. Setiap orang di seluruh dunia dapat berpartisipasi dalam gerakan ini. Pada tahun ini, tepatnya pada tanggal 28 Maret 2015, kita dapat ikut berpartisipasi dengan mematikan listrik atau lampu di rumah maupun di tempat kerja kita selama satu jam atau lebih, mulai dari pukul 08.30-09.30 malam waktu setempat. Bila seluruh penduduk dunia melakukannya, maka perubahan besar tentu dapat terjadi.

Berbicara mengenai pendayaguna memang tidak dapat lepas dari kontribusi kita sebagai manusia pada kelestarian alam atau lingkungan hidup. Dalam kitab Kejadian, Tuhan Allah dengan jelas mengatakan agar kita harus mengusahakan dan memelihara taman atau bumi ini. Tuhan memang menganugerahkan kita kuasa atas alam dan segala isinya. Namun kembali lagi bahwa semua ini merupakan ciptaan dan milik Tuhan saja (Mazmur 24:1) yang seharusnya kita hargai dan pelihara dengan segenap hati.

Adakala memang kita sebagai manusia lupa. Lupa bahwa apa yang kita makan dan gunakan sehari-hari berasal dari alam yang juga merupakan makhluk hidup. Lupa bahwa segala sesuatu membutuhkan proses untuk tumbuh. Bila direnungkan kembali, manusia sebenarnya tidak dapat hidup tanpa alam, tanpa tumbuhan dan hewan, tetapi alam dapat terus tumbuh dengan baik tanpa adanya manusia. Oleh karena itu Adam dan Hawa diciptakan pada urutan terakhir ketika semua telah tersedia bagi kehidupan mereka. Bukan berarti alam adalah segalanya, tetapi manusia harus lebih menghargai alam sebagai ciptaan Tuhan yang menyediakan seluruh kebutuhan kita di bumi.

Perlu kita ketahui juga bahwa ternyata menghargai alam dan isinya juga merupakan salah satu bagian dalam mengembangkan karakter anak. Hal ini tertera dalam buku Let The Children Come-Along The Virtuous Way (buku yang dipakai dalam Parenting Class-Teen). Mengajarkan anak untuk menghargai alam juga berarti mengajarkan anak untuk menghargai orang lain dan terutama menghargai Allah sendiri. Mengenalkan keindahan yang telah Tuhan ciptakan pada anak dapat membangun kepekaan dan tanggung jawab anak untuk mau terlibat menjaga dan menciptakan lingkungan yang sehat untuk kehidupan mereka. Bukan justru merusak dan mengeksploitasi alam yang sudah semakin hancur ini. Tuhan sendiri mengingatkan kita dalam Ulangan 20:19 untuk tidak melibatkan alam dalam peperangan kita.

Oleh karena itu alangkah baiknya bila kita semua sebagai manusia dapat hidup harmonis bersama dengan alam. Jangan biarkan bencana-bencana yang harus datang mengingatkan kita untuk berubah, tapi biarlah apa yang telah kita terima dari Tuhan juga dapat kita bagikan melalui perilaku kita sehari-hari. Pertumbuhan yang baik hanya dapat terjadi ketika kita mau belajar untuk berubah menjadi lebih baik. Sadari bahwa setiap gerakan dan perubahan-perubahan kecil yang kita lakukan hari ini akan menentukan masa depan anak cucu kita nanti. Think wise and action! (LDS/karakter kerohanian)

Held Up His Hand

“Maka penatlah tangan Musa, sebab itu mereka mengambil sebuah batu, diletakkanlah di bawahnya,

supaya ia duduk di atasnya;

Harun dan Hur menopang kedua belah tangannya,

seorang di sisi yang satu,

seorang di sisi yang lain,

sehingga tangannya tidak bergerak sampai matahari terbenam”

Keluaran 17:12

Saat berperang melawan bangsa Amalek, bangsa Israel mempertaruhkan kemenangannya pada kekuatan Musa mengangkat tongkat dengan kedua belah tangannya. Saat Musa letih, dan tangannya mulai turun, maka kekalahan menyergap bangsa Israel. Namun ketika Musa kembali mengangkat tongkat dengan kedua belah tangannya, maka kekuatan kembali membalut seluruh orang Israel. Kemenangan pun diraih.

Dikatakan di Keluaran 17:12 bahwa Musa tidak kuasa menahan penat terus menerus mengangkat kedua belah tangannya. Untuk itu, orang-orang Israel berusaha memberi bantuan kepada Musa. Karena mereka menyadari bahwa ini untuk kepentingan banyak orang, kepentingan satu bangsa. Demikian pula Harun dan Hur, mereka menolong Musa, dengan cara masing-masing menopang tangan Musa agar tetap terangkat. Akhirnya, semuanya tidak sia-sia. Yosua yang berada di medan perang berhasil mengalahkan bangsa Amalek.

Kemenangan tersebut menjadi kemenangan yang penting, karena itu adalah peperangan bangsa Israel yang pertama. Tumbuh rasa percaya diri yang kuat, karena telah terbukti bahwa mereka adalah bangsa yang hebat, bangsa pilihan Tuhan. Tuhan telah mengajarkan kepada bangsa Israel, bahwa dengan sikap yang saling menopang, maka kemenangan bias diraih.

Sesungguhnya dari ayat ini, kita bisa belajar, bahwa dari awal Tuhan telah mengajarkan kepada kita untuk saling memperhatikan dan menopang. Tidak mungkin manusia dapat hidup untuk dirinya sendiri. Setiap orang pasti merindukan kemenangan. Hidup itu sendiri sudah seperti ranah peperangan. Seperti Musa, maka rasa penat itu pasti kita rasakan juga.

Konteks kemenangan harus dibaca sebagai keperluan bersama. Kemenangan adalah saat kita sebagai saudara seiman sama-sama berhasil melewati “peperangan hidup.” Banyak diantara kita yang dapat bertindak sebagai Harun dan Hur, yaitu menyediakan diri untuk menopang orang lain yang sedang penat atau keletihan menghadapi hidup.

Inisiatif bertindak sebagai Harun dan Hur sesungguhnya bukanlah hal yang sulit.  Di Keluaran 17 tidak dituliskan bahwa Harun dan Hur diperintahkan Tuhan untuk menopang tangan Musa. Bila kita buka ruang imajinasi mengenai peperangan yang saat itu sedang terjadi, maka kita bias membayangkan betapa riuhnya peperangan tersebut. Penuh ketegangan. Harun dan Hur sadar bahwa mereka harus sigap menolong Musa, agar mereka sebagai satu bangsa dapat meraih kemenangan.

Inisiatif memberikan topangan, merupakan langkah awal kemenangan. Sungguh disayangkan bila makna kemenangan hanya dilihat sebagai kebutuhan individual. Sebagai orang Kristen, Alkitab mengajarkan bahwa kemenangan harus diraih bersama-sama. Konsep kita sebagai satu keluarga, satu tubuh, adalah pengajaran yang fundamental, yang harus selalu diingat oleh setiap orang percaya. Harun dan Hur adalah contoh konkrit inisiatif yang memberi dukungan, topangan untuk pencapaian kemenangan bersama. Mari kita renungkan, apa jadinya bila Harun dan Hur mengabaikan Musa keletihan sendirian. Apakah yang akan dicatat oleh Alkitab tentang sejarah bangsa Israel? (BD/Kerohanian Karakter)

Dapatkah Tawa Membantu Meringankan Penyakit Saya?

Pada waktu itu mulut kita penuh dengan tertawa, dan lidah kita dengan sorak sorai.
-Mazmur 126: 2a-

Menurut penelitian University of Chicago yang terkenal, memiliki selera humor yang baik dapat menambah delapan tahun masa hidupmu. Itu bukanlah kejutan bagi kita yang ingat bagian yang terkenal dalam majalah Reader’s Digest: “Laughter, the Best Medicine” yang artinya Tawa, Obat Terbaik.

Klinik Mayo mengonfirmasi penemuan ini. Mereka mengatakan bahwa tertawa “menstimulasi jantung, paru-paru, dan otot-otot Anda, dan menambah endorphin yang dilepaskan otak Anda.” Lebih jauh lagi, tawa dapat “menstimulasi peredaran darah dan membantu otot untuk santai, keduanya akan membantu mengurangi beberapa gejala fisik stress.” Kalau Anda kesakitan, klinik tersebut mengusulkan: “Tawa dapat mengurangi rasa sakit dengan membuat tubuh memproduksi obat penahan sakitnya sendiri.”

Tentu saja, ketika Anda berada di tengah-tengah kasus gawat darurat, seperti yang dialami Bonnie dan anak laki-lakinya, tertawa merupakan hal terakhir yang ingin Anda lakukan. Ternyata… itu memang hal terakhir yang mereka lakukan.

Ini pun Akan Berlalu

Anak laki-lakiku yang berusia 21 tahun dibawa ke ruang IGD dalam kesakitan hebat.

Sepanjang perjalanan ke rumah sakit, aku berdoa. Aku memohon kepada Tuhan untuk menunjukkan kebaikan-Nya: bahwa anakku akan langsung ditangani; bahwa para dokter dapat segera memberikan diagnosis dan meringankan rasa sakitnya.

Jalan yang kupilih menuju rumah sakit melewati gereja, tempat pesan di papannya menyita perhatianku- tetapi baru bisa dipahami belakangan.

Di ruang IGD, Tuhan sungguh menunjukkan kebaikan-Nya kepada kami. Anakku langsung ditangani; para perawat melihat betapa kesakitan dirinya dan memasukkan kami ke kamar perawatan terakhir yang masih kosong; dan dokter langsung mendiagnosis krisis yang dialami anakku. Menurut dokter, anakku kesakitan gara-gara batu ginjal yang butuh melewati sistem tubuhnya.

Di sana dan saat itu juga, aku tahu pesan di papan gereja merupakan kedipan humoris dari Tuhan. Tulisan itu berbunyi: “Ini pun akan berlalu”!

Bonnie Bickerstaff

Bonnie sangat lega melihat anaknya tidak kesakitan lagi hingga ia tidak tahan untuk tertawa ketika bayangan papan itu kembali terlintas di benaknya.

Kita boleh yakin bahwa anak laki-lakinya tidak tertawa saat dia berusaha mengeluarkan batu ginjal itu. Aduh! Setiap detik rasa sakit itu pasti terasa seperti selamanya.

Kalau Anda tenggelam dalam cobaan penuh rasa sakit hari ini, bertanya-tanya apakah Anda mampu bertahan satu menit lagi, ada cahaya harapan di ujung terowongan. Cahaya itu adalah Yesus.

Akulah terang dunia.
Yohanes 8:12

Sumber:
Rushnell, Squire; Duart, Louise. 2013. Godwink Stories. Jakarta: PT Gramedia.