Perbedaan yang Indah

Oleh: Erika Kristianingrum – Orang tua murid kelas IXEr dan VW

Sebagian dari kita pasti pernah mendengar salah satu tes kepribadian yang disebut MBTI. MBTI sendiri adalah kepanjangan dari (Myers–Briggs Type Indicator). Tes ini untuk menilai kecenderungan kepribadian seseorang. “MBTI (Myers-Brigg Type Indicator) adalah tes kepribadian yang dikembangkan oleh ibu dan anak Katharine Cook Briggs dan Isabel Briggs Myers untuk mengukur bagaimana seseorang melihat dunia dan membuat keputusan” (sumber: https://id.wikipedia.org/wiki/Myers-Briggs_Type_Indicator).

  • Dari sisi seseorang mendapat energi maka ada extrovert (E) dan introvert (I)
  • Dari sisi bagaimana seseorang mengolah informasi ada sensing (S) dan intuition (N)
  • Dari sisi bagaimana seseorang mengambil keputusan ada thinking (T) dan feeling (F)
  • Dari sisi bagaimana seseorang mengelola hidup ada Judging (J) dan Perceiving (P) (Chahyadi, 2019)

Setiap pribadi memiliki 4 kombinasi ini di dalam diri mereka. Setiap kombinasi masing-masing memiliki kekurangan dan kelebihannya.
Demikian juga dengan saya, suami, dan anak-anak. Saya dan anak pertama memiliki kepribadian yang extrovert, kami memperoleh energi kami dengan berbicara dan mengobrol dengan orang lain. Sementara itu, suami dan anak kedua saya memiliki kepribadian yang introvert yang justru mendapat energinya dengan berdiam menyendiri. Bagi orang introvert melelahkan berada di kerumunan orang yang banyak bicara. Perbedaan ini membuat saya sering sekali uring-uringan dengan suami dan anak saya. Saat suami pulang kerja, saya yang merasa lelah harus mendapatkan energi dengan menceritakan keseharian saya dengan tak berhenti bercerita. Mendapatkan tanggapan dengan jawaban seadanya dari suami sering membuat saya jengkel. Padahal saat itu suami saya juga lelah karena teman satu timnya sebagian besar adalah orang extrovert sehingga dia membutuhkan waktu untuk me-recharge energinya dengan berdiam sebentar. Setelah saya sadar bahwa kami berbeda, saya mengajak suami berdiskusi tentang perbedaan sifat kami. Akhirnya, saya mengerti ketika saya mulai berdiam diri sejenak, saya dapat merefleksikan makna hidup ini.


Perbedaan lain yang cukup mencolok adalah dalam hal gaya hidup. Saya adalah tipe judging. Tipe judging memiliki gaya hidup yang teratur, rapi, dan terencana. Pernyataan yang khas dari orang judging adalah “nanti bagaimana.” Sedangkan suami dan kedua anak saya adalah tipe perceiving yang lebih fleksibel, pernyataan yang khas dari tipe perceiving adalah “gimana nanti.” Contoh perbedaan sikap yang pernah terjadi adalah saat kami melakukan perjalanan liburan. Saya terbiasa merencanakan hal-hal yang akan kami lakukan untuk memastikan liburan kami berjalan dengan baik dan berkesan. Sayangnya, suami dan anak-anak seringkali tidak mengindahkan jadwal yang sudah saya buat dengan susah payah. Hal itu menjengkelkan bagi saya. Sifat santai mereka pernah membuat kami berangkat melebihi waktu yang sudah saya rencanakan. Namun, keterlambatan itu justru membuat kami terhindar dari kemacetan luar biasa karena sebelumnya terjadi kecelakaan di jalan yang akan kami lewati. Setelah kejadian itu saya menyadari bahwa sesekali menjadi fleksibel itu menyenangkan. Saya mulai belajar untuk menerima hal-hal yang tidak prinsip dan anak-anak serta suami belajar untuk teratur terhadap hal-hal yang prinsip.


Tentu tidak mudah menyikapi perbedaan, kadang menimbulkan luka dan air mata. Namun, Tuhan mengijinkan perbedaan itu ada supaya saya belajar untuk bisa menerima diri sendiri dan menerima suami serta anak-anak saya apa adanya, agar kami bisa berjalan bersama dengan perbedaan itu. Perbedaan itu tetap ada hingga saat ini tetapi cara merespon yang berbeda membuat perbedaan itu menjadi sebuah harmoni yang indah sehingga menjadikan saya pribadi yang semakin baik.

Posted in Kisah Inspiratif and tagged , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , .