Dampak dari Ayah yang “Hilang”

Hubungan ayah dan anak merupakan hubungan yang kompleks. Tak seperti hubungan anak dengan ibunya, yang sudah terjalin bonding di antara keduanya sejak anak di dalam kandungan, hubungan ayah-anak memerlukan pemeliharaan jangka panjang dengan komitmen penuh.


Budaya Timur yang masih memegang teguh patriarki membuat ayah menjadi “The Provider Father” yang lebih banyak menghabiskan waktu di luar rumah untuk mencari nafkah demi memenuhi kebutuhan keluarganya. Dengan begitu, fungsi ayah hanya berpusat pada fungsi secara ekonomi, mencukupkan kebutuhan finansial keluarganya.


Oleh sebab itu, konsep ayah atau kepala rumah tangga lebih banyak dipahami sebagai seorang provider, penyedia. Kesuksesan seorang ayah dilihat dari jabatannya di kantor dan seberapa banyak dia bisa memberikan penghidupan untuk keluarganya. Konsep ini membuat ayah-ayah berfokus pada pencapaian karier dan kondisi finansial dan menarik diri dari urusan rumah tangga.


Dampaknya, anak-anak mereka, khususnya anak laki-laki, merasakan kekosongan besar dalam dirinya akan sosok maskulin dalam perkembangan emosinya. Anak laki-laki, ketika beranjak remaja dan dewasa, sangat memerlukan seorang patron atau pembimbing yang mengawalnya memasuki fase pencarian jati diri. Anak-anak yang merasakan kekosongan ini pada akhirnya mencari sosok maskulin pada orang lain, entah itu pemusik yang diidolakannya atau gurunya di sekolah.


Ketidakhadiran ayah dalam hidup anak-anak mereka juga akan membuat relasi di antara mereka sulit terbangun dengan harmonis. Akan ada gap yang terjadi, yang membuat anak enggan untuk berbagi perasaannya dengan ayahnya. Begitu juga si ayah yang merasa tak perlu mengetahui seluk-beluk perasaan anaknya—karena mereka pun di masa remajanya tertempa untuk tumbuh sendiri dan menemukan maskulinitas dengan cara mereka sendiri.


Pemahaman-pemahaman inilah yang membuat banyak ayah tak memiliki emosi yang matang. Mereka cenderung memendam perasaan, tak banyak bicara, dan menjaga jarak dengan anggota keluarga lainnya—untuk membentuk kesan bahwa ayah adalah sosok superior yang perlu ditakuti.


Relasi di antara ayah dan anak pada akhirnya tumbuh menjadi sebuah hubungan berjarak yang membuat komunikasi akan sulit terjalin. Dampaknya, akan sering terjadi kesalahpahaman yang membuat ayah berpikir bahwa anaknya pembangkang, sementara sang anak berpikir bahwa ayahnya terlalu kolot dan tidak mau memahami perasaannya. Jika dibiarkan, anak akan semakin menjauh dan memilih untuk menghindari komunikasi dengan ayahnya. Anak pun akan merasa bahwa ayahnya tak mengasihinya, dan yang paling ekstrem, merasa tak diinginkan.


Pdt. Julianto Simanjuntak memaparkan dalam artikel “Absent Fathers, Lost Sons” dalam buku Mendidik Anak utuh Menuai Keluarga Tangguh bahwa dampak ketiadaan keintiman antara anak dengan ayah bisa sangat luas. Ketidakpercayaan akan kualitas dan kemampuan diri adalah salah satunya. Anak kehilangan kemampuan untuk menjadi dirinya sendiri dan mengalami kesulitan untuk mengambil keputusan. Beberapa anak juga mengalami masa-masa remaja yang sangat sulit yang membuat mereka terjerumus ke dalam berbagai tindakan negatif, seperti menarik diri dari lingkungan sosial, mengonsumsi narkoba, merokok, gaya hidup seks bebas, serta kecanduan game online dan gadget. Dalam artikel ini, Pdt. Julianto menekankan bahwa para ayah harus mau mengambil inisiatif untuk meminta maaf kepada anak dan menambal luka yang sudah pernah ditabur agar terjadi rekonsiliasi di antara ayah-anak sehingga mereka bisa membangun kembali hubungan baru yang lebih berkualitas dan intim. (dl)

Posted in karakter, Parenting and tagged , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , .