Sebuah refleksi dari buku Emotionally Healthy Spirituality.
Oleh: Bella Kumalasari, staf Pengembangan Karakter Sekolah Athalia.
Baru-baru ini saya membaca buku Emotionally Healthy Spirituality karangan Peter Scazzero. Salah satu babnya yang berjudul “Mengenal Diri Sendiri untuk Mengenal Allah – Menjadi Diri Sendiri yang Autentik” menarik perhatian saya untuk merenungkannya lebih jauh tentang pembelajaran karakter yang sering kita dengar. Di dalam bab tersebut, Peter mengangkat kisah Joe DiMaggio, seorang pemain baseball terbesar yang pernah ada pada abad ke-20 dan sering dipuja sebagai pahlawan olahraga Amerika. Ia menikahi Marilyn Monroe yang dikenal sebagai wanita tercantik pada masa itu. Namun setelah Joe meninggal, biografinya yang ditulis oleh Richard Ben Cramer mengungkap kenyataan yang mengejutkan: Joe secara sengaja hanya menunjukkan sisi yang baik saja dalam hidup dan menutupi banyak hal yang sebenarnya. “Kisah Joe DiMaggio sang ikon sangatlah terkenal. Kisah DiMaggio yang sebenarnya telah dikubur.”
Ironis sekali membaca kisah ini. Namun sebenarnya, menggunakan “topeng” bukanlah hal yang asing, bahkan dalam hidup orang-orang Kristen. Bagaimana hal ini bisa terjadi? Saya rasa, banyak faktor yang membentuk manusia menjadi pribadi yang tidak otentik. Salah satunya yaitu pola pikir yang ditanamkan, baik secara langsung atau tidak langsung. Misalnya, ketika anak menangis karena mainannya rusak, tidak jarang orang tua langsung berkata “Sudah, enggak usah nangis, nanti diperbaiki.” Tentu tidak sepenuhnya salah, tetapi juga tidak selalu tepat karena belum tentu itu yang dibutuhkan anak. Jika hal tersebut terjadi berulang kali, bisa jadi anak akan berpikir, “Ketika bersedih, aku tidak perlu menangis karena lebih penting mencari solusi untuk menyelesaikan masalahku!”
Tak bisa dipungkiri bahwa kadang kala, pengajaran di dalam gereja pun menyiratkan bahwa tidak baik jika seseorang merasakan emosi-emosi tertentu, seperti marah, kesal, atau benci. Tuhan tidak suka! Atau bahkan yang lebih keras: itu dosa. Akibatnya, kita mengabaikan banyak emosi dalam diri. Rasanya, tidak berani menilik hasrat, mimpi, kesenangan, dan ketidaksukaan kita karena khawatir hal tersebut akan “menempatkan diri saya terlalu tinggi dan menjauhkan saya dari mengutamakan Allah”. Apa dampaknya? Kita berusaha menghindar dan mengabaikan perasaan, berjuang untuk terlihat baik-baik saja, dan ingin selalu menampilkan diri yang baik, ideal, dan saleh.
Saya jadi berpikir, jangan-jangan pendidikan karakter yang selama ini kita dengar juga memiliki gambaran yang sama. Kita melihat karakter sebagai tampilan luar, perilaku, atau kebaikan yang terlihat hingga muncul berbagai stigma. “Orang yang sabar itu tidak pernah marah. Orang yang rajin akan selalu bersemangat mengerjakan tugas, apa pun kondisinya. Orang yang dapat mengendalikan diri tidak pernah tergoda melakukan sesuatu untuk memuaskan keinginan diri…” dan masih banyak stigma lainnya. Akibatnya, kita hanya mengenakan tampilan luar atau perilaku yang palsu supaya terlihat baik. Hal yang sama juga kita terapkan ketika mendidik anak-anak untuk memiliki “karakter yang baik”.
Menurut saya, pendidikan karakter tidak sesederhana itu. Pendidikan karakter bukan hanya soal moralitas yang harus dijaga demi nama baik diri, keluarga, maupun sekolah. Pendidikan karakter Kristus seharusnya memanusiakan manusia sebagaimana Kristus sendiri pernah hidup sebagai manusia yang sejati. Pendidikan karakter semestinya menilik lebih dalam ke dalam diri, menyingkap hati, motivasi, dan emosi yang bergejolak, berani melihat keberadaan diri yang sesungguhnya, yang hancur di hadapan Allah.
Peter menulis dalam bukunya:
“Ketika kita mengabaikan penderitaan, kehilangan, dan semua perasaan kita selama bertahun-tahun, kemanusiaan kita menjadi semakin berkurang. Kita pelan-pelan berubah menjadi cangkang kosong yang diberi lukisan senyuman di depannya. … Kegagalan untuk menghargai perasaan seperti yang Alkitab lakukan dalam kehidupan Kristen kita yang lebih luas telah menghasilkan kerusakan yang besar, dan membuat manusia yang harusnya bebas dalam Kristus tetap dalam perbudakan.”
Tentu hal ini bukan berarti kita menyerahkan diri kepada perasaan sepenuhnya dan mengikuti ke mana diri ini dibawa—mengingat bahwa kita adalah manusia yang sudah jatuh dalam dosa. Namun, usaha membuka diri untuk merasakan emosi dan jujur kepada diri sendiri adalah langkah awal agar kita bisa merespons dengan benar di hadapan Allah. Justru hal itu mungkin menjadi cara Allah berbicara, merengkuh manusia dengan kasih-Nya, serta membentuk kita makin serupa dengan-Nya. Ia menyingkap diri kita dan berbicara dengan lembut “It’s okay, Aku mengenalmu, Aku mau berjalan bersamamu.”
Apakah kita memiliki pesan yang sama untuk disampaikan kepada anak-anak ketika melihat hal yang kurang tepat, kesalahan, kegagalan, atau bahkan “kebobrokan” mereka? Ataukah kita mengabaikan dan menghindari hal itu, lalu memaksa mereka untuk menampilkan yang baik-baik saja? Apakah kita mengatakan, “Mari berproses bersama” alih-alih “Kamu tidak seharusnya begitu. Kamu seharusnya begini”?
Karakter bukanlah suatu tempelan ataupun fenomena semata. Membentuk karakter adalah membentuk hati. Pembentukan karakter Kristus adalah bagian dari perjalanan iman; sebuah proses yang berlangsung seumur hidup, yang seharusnya dijalani dengan sukacita di dalam dasar penerimaan dan penebusan Kristus yang sempurna.