Anak adalah Kertas Berwarna

Teach your children they’re unique. That way, they won’t feel pressured to be like everybody else.” –Cindy Cashman

Kita sering mendengarkan orang berkata bahwa “Anak itu seperti kertas putih. Sekarang tergantung kita mau menuliskan kertas itu seperti apa…”

Padahal, anak hadir ke dunia dengan keunikannya sendiri. Jika diibaratkan seperti kertas, anak adalah kertas berwarna dengan jenis yang berbeda-beda. Ada kertas folio, kertas kalkir, kertas duplex, dan lain sebagainya. Tekstur dan karakteristik kertas-kertas tersebut berbeda sehingga peruntukannya pun berbeda. Perlakuan terhadap kertas-kertas tersebut pun tentu berbeda.

Ibu Charlotte menegaskan bahwa selain seperti kertas berwarna, anak juga seperti kertas yang sudah punya tulisan-tulisan di dalamnya. Anak memiliki sifat dan karakteristik bawaan. Oleh karena itu, sangat mungkin satu anak berbeda dengan kakak atau adiknya. Namun, yang awam dilakukan orang tua, yaitu memperlakukan anak-anaknya sama rata. Mereka juga memberikan ekspektasi yang sama kepada anak-anaknya. Akibatnya, ketika ada anak yang tidak berhasil melakukan pencapaian sesuai ekspektasi orang tuanya, perbandingan-perbandingan terlontar. “Si A kenapa nggak bisa displin seperti adiknya?” “B itu sukanya main bola terus, susah disuruh belajar. Nggak seperti kakaknya yang sudah sadar untuk belajar tanpa disuruh….”

Komparasi ini tentunya sangat berbahaya bagi anak-anak yang diperbandingkan. Selain menimbulkan rasa iri, sakit hati, dan kecewa, anak bisa merasakan benih-benih kebencian kepada saudara yang diperbandingkan dengannya. Efeknya, sibling rivalry bisa terjadi di dalam keluarga.

Tuhan sudah memiliki tujuan untuk anak-anak kita. Atas dasar tujuan tersebut, Tuhan membekali anak-anak kita dengan kekurangan dan kelebihan. Ketidaksempurnaan itu juga yang kita miliki. Ada beberapa hal yang kita kuasai dan tidak. Lalu, mengapa kita cenderung menuntut kesempurnaan pada anak-anak kita? Mengapa kita menuntut mereka untuk bisa meraih nilai tinggi di pelajaran yang tidak dikuasainya? Mengapa kita menuntut anak untuk bisa melakukan sebuah keterampilan, sedangkan dari awal dia menunjukkan bahwa dia tidak cakap melakukannya?

Ketidaksempurnaan yang Tuhan berikan sudah sesuai “porsinya” karena Tuhan tahu bahwa itu tidak dibutuhkan untuk tujuan Tuhan kepada anak-anak kita. Sebagai orang tua, kita hanya bisa mendorong anak untuk menerima kekurangannya dan mengasah kelebihannya untuk menjadikannya seturut kehendak Tuhan. (dln)

*Disarikan dari video Ibu Charlotte Priatna oleh Tanam Benih berjudul “Benarkah Anak itu Ibarat Kertas Putih Kosong?”

Posted in berita, Parenting and tagged , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , .