Oleh: Andy E. Daniswara
Percayalah kepada Tuhan dengan segenap hatimu dan janganlah bersandar kepada pengertianmu sendiri. (Amsal 3: 5)
Waktu itu saya masih berada di kelas X dan diberi kesempatan untuk menjadi pengurus OSIS. Awalnya, saya masih ragu untuk menerima tawaran tersebut karena jadwal pelajaran yang padat. Namun, dengan modal pengalaman di kepengurusan OSIS SMP, saya memberanikan diri untuk menerima tawaran tersebut.
Awal mula masuk ke kepengurusan OSIS SMA, saya belajar banyak hal baru yang belum pernah saya dapat sebelumnya di OSIS SMP. Mulai dari cara mengatur waktu, menentukan prioritas, hal-hal yang diperlukan untuk berorganisasi, hingga menjalin hubungan yang baik dengan guru maupun teman.
Setahun telah berjalan, kepengurusan OSIS kemudian berganti. Puji Tuhan saya diberi kesempatan oleh teman-teman menjadi ketua pada waktu itu. Awal mula kepengurusan berjalan, saya sadar bahwa semua memang karena jalan-Nya. Secara pribadi, saya menjadikan Tuhan sebagai fondasi di dalam kepengurusan yang saya pimpin. Saya menjadikannya pokok doa agar kepengurusan ini selalu tetap di jalan Tuhan dan sesuai dengan rencana-Nya. Selama OSIS berjalan, setiap kegiatan yang dilaksanakan oleh kepengurusan OSIS selalu saya bawa di dalam doa. Saya meminta tuntunan dan penyertaan Tuhan agar dapat menjalankan tugas ini dengan sebaik-baiknya.
Namun, pada suatu waktu, ada rencana kegiatan OSIS yang tidak mendapat izin karena bentrok dengan kegiatan yang diadakan oleh sekolah. Gejolak pun muncul di dalam pengurus OSIS. Banyak yang mempertanyakan keputusan sekolah pada waktu itu. Saya pun pada waktu itu mencoba untuk bernegosiasi dengan pembimbing OSIS dan beberapa guru yang bersangkutan, tetapi tidak membuahkan hasil. Hal yang lebih mengesalkan lagi, kami tidak terlalu dilibatkan di dalam kegiatan sekolah yang bisa dibilang berskala besar.
Saya bergumul. Saya mulai mempertanyakan Tuhan. Kenapa pada waktu itu Tuhan seperti tidak campur tangan? Kenapa pada waktu itu Tuhan tidak membuka jalan untuk kegiatan OSIS SMA? Karena merasa seperti Tuhan tidak pernah bertindak, pada akhirnya saya kecewa dengan Tuhan.
Kekecewaan saya terhadap Tuhan berdampak hampir ke seluruh aspek hidup saya. Saya jadi jarang baca Alkitab dan saat teduh. Kepribadian saya juga mulai berubah. Saya menjadi lebih temperamental. Saya mengatakan apa saja yang ingin saya katakan tanpa memikirkannya terlebih dahulu. Saya menjadi congkak dan egois. Cara pandang saya dalam mengambil keputusan rapat yang biasa didasari dengan hati yang tenang dan damai berubah menjadi penuh kekesalan dan hati yang gundah. Hal ini berdampak pada pengambilan keputusan yang tidak memuaskan.
Masalah demi masalah terus datang dan selalu selesai dengan tidak memuaskan. Rasanya ada yang kurang dan selalu menghalangi kebahagiaan di dalam diri. Hal ini juga terasa di dalam lingkungan OSIS. Kami, yang biasanya selalu menanggapi ledekan dan kata-kata “manis” sebagai sebuah candaan, berubah jadi lebih mudah tersulut emosinya.
Waktu terus berjalan dan saya masih menyimpan rasa kecewa. Rasanya tidak mungkin pada waktu itu berdamai dengan Tuhan. Hingga pada suatu saat di kegiatan OSIS yang diadakan di sekolah, saya menerima pesan dari ibu saya. Isi pesannya pada waktu itu: “Nak, baca Amsal 16, ya.” Dalam hati, saya bertanya-tanya maksudnya. Namun, saya mengikuti saran ibu saya dan membaca kitab yang dimaksud. Saat membacanya, beberapa ayat terngiang-ngiang terus di kepala saya yang membuat saya akhirnya kembali kepada Tuhan.
Namun, pergumulan yang dihadapi setelah itu adalah “memperbaiki” kondisi pribadi dan kondisi di dalam kepengurusan OSIS yang pada waktu itu kian memanas. Banyak hal yang menjadi beban pikiran kami. Kami hanya mengandalkan kepintaran sendiri sehingga masalah-masalah yang ada sulit sekali untuk diselesaikan.
Saya akhirnya menyadari kalau ada yang salah. Saya mencoba untuk mendamaikan diri dengan berdoa dan membaca Alkitab. Saya menemukan satu ayat yang sampai saat ini terus menjadi pedoman yang menguatkan saya. Amsal 3: 5 yang berbunyi, “Percayalah kepada Tuhan dengan segenap hatimu dan janganlah bersandar kepada pengertianmu sendiri.”
Akhirnya, saya berdoa dan mencoba menyerahkan semua masalah yang saya hadapi, termasuk OSIS. Puji Tuhan, masalah yang ada Tuhan selesaikan dengan cara-Nya. Saya kembali menjadi pribadi yang tenang dan tidak mudah marah. Puji Tuhan, kondisi di OSIS pun lebih kondusif. Aura persahabatan kembali terasa kental di antara pengurus OSIS.
Masalah di atas membuat saya belajar untuk bergantung sepenuhnya kepada Tuhan dan tidak kecewa kepada-Nya. Berdasarkan pengalaman saya, kekecewaan tersebut justru menimbulkan masalah-masalah baru yang membuat hidup menjadi tidak damai. Dengan kita berserah dan bergantung kepada Tuhan, Dia akan membantu kita dan menuntun kita di jalan-Nya.