Oleh: Sylvia Radjawane (ABC)
Pertemuan Athalia Book Club (ABC) di Agustus lalu sengaja mengusung tema yang bernuansa ulang tahun kemerdekaan negeri tercinta: MERDEKA MEMBACA.
Indonesia, dalam konteks penulis orang Indonesia atau buku bacaan Bahasa Indonesia, menjadi bahan perbincangan santai di antara kami, para orang tua yang menyempatkan diri untuk hadir. Jika dikaitkan dengan buku dan kenangan saat membacanya, kami ternyata menjalani masa kecil dan remaja yang hampir serupa: “pemuja” majalah Bobo “garis keras”, pelahap buku-buku pinjaman di perpustakaan, punya deretan teman yang bisa dipinjam koleksi bukunya, sampai ikut “berdarah-darah” membaca buku sastra Indonesia atas nama “tugas” di sekolah.
Catatan menarik pertama, tidak sedikit di antara kami terpesona dan tanpa sadar terlatih untuk mencintai bahasa Indonesia. Alasannya, hanya karena kami memiliki guru Bahasa Indonesia yang ciamik. Cerita dan dongeng yang dibawakan di dalam kelas secara tidak langsung membuat kami terbiasa dengan rangkaian kosa kata dan imajinasi yang berkembang. Pada akhirnya, timbul kesenangan untuk mampu menyusun kalimat dan menulis cerita sendiri. Hal ini mungkin bisa jadi penyemangat untuk para guru bahasa, khususnya guru Bahasa Indonesia di komunitas Athalia: selingan materi pelajaran berupa cerita dan dongeng yang dibawakan dengan baik dan kreatif di dalam kelas bisa terpatri dalam ingatan para murid yang mendengarnya dan punya dampak yang berarti hingga mereka dewasa. Kami adalah salah satu buktinya.
Berbincang-bincang tentang penulis buku bahasa Indonesia, muncul deretan nama pujangga Indonesia hingga novelis Indonesia yang berkelebat dalam ingatan kami. Marah Roesli sang pencipta Siti Nurbaya, tetapi aslinya punya kehidupan pernikahan beda suku yang berjalan baik dan langgeng (tertuang dalam bukunya Memang Jodoh); legenda sastra wanita, NH Dini; hingga Pramoedya Ananta Toer dengan Tetralogi Pulau Buru-nya.
Ada nama-nama penulis novel terkenal pada zamannya, seperti S. Mara GD, Mira W, dan V. Lestari. Untuk penulis populer masa kini, sebut saja Dewi ‘Dee’ Lestari, Andrea Hirata, Ika Natassa, yang selalu ditunggu tulisan terbarunya. Di antara kami ada yang membaca buku “berat” dan serius, seperti Yudi Latif (Negara Paripurna) dan Rhenald Kasali (dengan serial buku Disruption, jenis bacaan serius yang penyajiannya bisa dipahami orang awam). Dari nama para penulis Indonesia segala zaman ini, beberapa di antaranya menulis tetralogi dan serial buku yang layak dicari dan dibaca hingga tuntas. Buku karya penulis muda genre metropop ringan dibaca sebagai opsi pelepas penat setelah seharian beraktivitas. Buku Keluarga Super Irit yang populer di kalangan anak-anak juga turut berada dalam daftar perbincangan.
Dari ragam pilihan buku bacaan yang dibahas, ternyata kami memang menikmati kemerdekaan memilih genre buku yang kami sukai. Mulai dari buku yang tebalnya melebihi bantal sampai buku yang dahulu pernah dilarang beredar. Mulai dari buku favorit anak-anak karena penasaran tentang kualitas isinya, sampai buku yang memang “ditemukan” karena berkaitan dengan pekerjaan. Mulai dari buku tebal yang dilahap dalam hitungan hari, sampai buku yang tidak kunjung selesai juga dibaca. Benar-benar membaca dengan cara bebas merdeka.
Catatan menarik kedua, tidak semua di antara kami adalah pembaca buku yang aktif. Untuk itu, wadah ABC diharapkan bisa menjadi support system dalam komunitas Athalia. Orangtua yang dahulu pernah bergelar “pencinta buku”, tetapi karena kesibukan pekerjaan, keluarga dan parenting, tidak lagi punya waktu dan kesempatan untuk membaca. Mereka bisa menggunakan wadah ini untuk kembali menumbuhkan kebiasaan membaca. Orangtua yang sejak kecil dibesarkan dalam lingkungan “bukan pencinta buku”, pertemuan bulanan rutin ABC ini adalah komunitas yang bisa menularkan kebiasaan membaca, sekaligus ajang melatih diri berbicara di hadapan banyak orang, belajar memberi opini, mampu memberi penjelasan dengan baik, belajar menyusun tulisan, juga belajar menjadi good role model bagi anak-anaknya dalam hal membaca.
Lewat pertemuan yang dikemas sederhana dan perbincangan ringan dan santai, kami punya wadah untuk saling bercerita dan berbagi ragam informasi—kekayaan bahasa, imajinasi, wisdom yang menginspirasi—dari yang kami lihat lewat “jendela dunia” yang bebas kami pilih sendiri.
Merdeka!
Mari merdeka membaca.