Generasi Z dan Sosial Media

Oleh: Fanuel Renaldy Sugiarto

Beberapa bulan ini, banyak hal berubah dan adaptasi mutlak dilakukan akibat pandemi, tak terkecuali dunia pendidikan. Para siswa harus belajar dari rumah tanpa bertemu kawan. Itulah yang juga terjadi pada para siswa Sekolah Athalia. Mereka memulai tahun ajaran baru tanpa berjumpa secara langsung dengan teman dan guru. Pembelajaran dilakukan melalui pertemuan-pertemuan daring. Apakah ini menjadi masalah bagi anak-anak zaman now?

Tanpa kita sadari, banyak masalah yang muncul di dalam diri para remaja yang berhubungan dengan platform daring. Namun kini, sudah empat bulan lebih mereka melakukan pembelajaran secara daring—mengumpulkan tugas, melaksanakan ujian sekolah, proyek mata pelajaran, bahkan sesi kelas tatap muka pun harus dilakukan dengan platform daring.

Pertanyaannya, apakah benar mereka sedang beradaptasi dengan metode daring atau sebenarnya sudah menjadi “warga” dunia daring dan teknologi digital? Tidak bisa dipungkiri, anak-anak remaja saat ini adalah generasi digital. Menurut Hanlie Muliani dalam webinar berjudul “Memahami 7 Karakteristik Gen Z dan Parenting Style untuk Gen Z” yang dilaksanakan pada 4-5 Mei 2020, para remaja ini disebut sebagai generasi local residents di zaman kemajuan teknologi sehingga berhasil menciptakan sebuah era baru dalam dunia sosial. Mereka bisa berteman dengan siapa saja dari seluruh dunia hanya dalam sekali klik di komputer atau gadget mereka.

Hal ini menjadi fenomena sosial di kalangan para remaja. Saat tidak bertemu teman secara tatap muka, mereka tetap bisa akrab satu dengan yang lain melalui media sosial seperti Instagram, Twitter, dan Facebook. Platform ini menjawab kebutuhan mereka untuk tetap berkomunikasi, menjalin pertemanan, serta meningkatkan solidaritas walau tidak bertemu langsung. Para remaja juga menjadi penguasa media sosial dibandingkan orang tua mereka yang kebanyakan tidak cakap bermedia sosial.

Jadi, di awal Tahun Pelajaran 2020-2021 ini, apakah menjadi sebuah masalah bagi para remaja saat mereka tidak bisa bertemu teman? Kebanyakan dari mereka mungkin sedang mengeluh betapa bosannya di rumah dan merindukan untuk bisa kembali bertemu teman-teman di sekolah. Menurut penelitian Barna (2019), kebanyakan dari para remaja ini memang sudah merasa saling terhubung, tetapi perasaan dicintai dan didukung oleh orang lain tidaklah sebesar itu. Itulah mengapa hari-hari ini mereka sangat mudah untuk memiliki teman, tetapi tidak dapat membangun rasa saling mengasihi satu sama lain dengan maksimal karena mereka kesulitan bertemu secara tatap muka.

Menyikapi fenomena ini, orang tua diharapkan bisa membangun hubungan atau relasi yang hangat dengan anak-anak supaya mereka tetap merasakan dukungan dan punya teman untuk bicara di masa-masa PJJ. Harapannya, lewat hubungan yang dibangun dengan anak-anak, orang tua bisa membimbing para remaja menggunakan media sosial dengan lebih bijak. Kiranya interaksi-interaksi di media sosial atau post yang di-upload boleh menjadi berkat bagi yang melihat dan menyaksikannya.

Biarlah setiap orang tua di awal tahun ajaran ini semakin dimampukan Tuhan untuk membimbing anak remaja mereka tetap berjalan dalam kebenaran Tuhan di masa-masa pembelajaran online ini.

Referensi:
Barna Group. 2019. The Connected Generation: How Christian Leaders Around the World Can Strengthen Faith and Well-Being Among 18-35-Year-Olds. California: Barna Group.

Posted in berita and tagged , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , .