Menjadi Pribadi yang Otentik

Oleh: Betsy K. Witarsa – Konselor SMA

Sebagai manusia, kita adalah ciptaan Allah yang paling mulia karena diciptakan segambar dan serupa dengan diri-Nya sendiri. Kita diberi kemampuan untuk berpikir, berencana, merasakan emosi, berekspresi, dan mengambil tindakan. Setiap kita juga memiliki karakteristik, kepribadian, bakat, dan kelebihan masing-masing yang membuat diri kita unik dan berbeda satu dengan yang lain. Allah ingin agar kita mengenal dan menghargai keunikan yang telah ditentukan Allah bagi kita serta memaksimalkan hal tersebut di dalam kehidupan kita. Lebih dari itu, kita akan dapat merasakan kepuasan dan kebermaknaan hidup jika sungguh-sungguh melihat diri dari sudut pandang Allah dan hidup secara otentik.


Sayangnya, ada berbagai hal yang seringkali menghambat kita untuk bisa menjadi pribadi yang otentik. Beberapa orang tumbuh dalam lingkungan yang sangat kurang memberi teladan dan kesempatan untuk mengungkapkan pikiran dan perasaan secara sehat, sehingga terbiasa untuk memendam atau bahkan menyangkal pikiran dan perasaan yang ada di dalam diri. Ada pula orang-orang yang diberi tuntutan untuk mencapai atau menjadi sesuatu yang sebenarnya tidak selaras dengan bakat utamanya, lalu dikritik dan dipandang sebelah mata ketika hasilnya kurang maksimal. Banyak manusia terbiasa memakai topeng demi mendapat penerimaan dan pengakuan, sehingga semakin lama semakin tidak peka dengan pikiran, emosi, dan kebutuhannya sendiri, serta kurang mengembangkan potensi yang dimiliki. Kehidupan tidak lagi dilandasi oleh pengenalan yang benar akan diri dan Allah serta kurang dipandu oleh nilai-nilai yang seharusnya membuat hidup tidak terombang-ambing.


Tidak ada kata terlambat untuk mulai menjalani hidup dengan lebih otentik, sembari tetap menjaga keharmonisan relasi dengan orang-orang di sekitar. Kata kuncinya adalah membangun relasi yang baik dan dekat dengan diri sendiri. Kita dapat melatih diri untuk melakukan beberapa hal berikut ini:

  1. Perhatikan dan sadari apa yang terjadi di tubuh kita. Leher atau bahu yang tegang mungkin terkait dengan apa yang ada dalam pikiran, perasaan, pemikiran, dan memori kita. Kondisi fisik dan psikologis kita saling mempengaruhi.
  2. Biasakan memvalidasi pikiran dan perasaan kita, bukan menyangkalnya. Hal ini bukan berarti kita tidak boleh mengevaluasi apa yang kita pikirkan dan rasakan, tetapi langkah pertama yang perlu dilakukan adalah mengakui dan memberi ruang terlebih dahulu. Contoh kalimat validasi yang bisa kita katakan pada diri sendiri yaitu: “Aku menyadari bahwa aku berpikir kalau orang lain lebih beruntung dari diriku dan aku jadi mengasihani diri sendiri”, “Saat ini sedang ada kesedihan yang begitu besar dalam diriku dan aku mengizinkan diriku untuk merasakannya”, dan “Aku sebenarnya tidak suka dengan kecemasan yang sering muncul ini, tetapi aku belajar mengakui bahwa saat ini memang seperti itu kondisinya”.
  3. Kenalilah diri kita sendiri. Apa yang kita kuasai, apa yang kita suka lakukan, apa yang membuat hati kita tergerak, apa yang penting dan bernilai bagi kita, dan semacamnya. Hadapi kebenaran tentang siapa kita dan akuilah jika memang ada aspek-aspek dari diri sendiri yang masih sulit untuk diterima. Kebenaran tidak selalu menyenangkan, tetapi dapat berpotensi membebaskan kita.
Posted in Konseling, Uncategorized and tagged , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , .