Listening with Your Heart: Salah Sambung or Susah Sinyal?

Narasumber: charlotte priatna, M.Pd.

Listening With Your Heart – Salah Sambung or Susah Sinyal? Adalah tema pada seminar yang diadakan pada hari Sabtu, 24 November 2018 yang lalu. Peserta seminar kali ini adalah orang tua dan anak-anak remaja usia SMP. Seminar bagi orang tua dipandu oleh Ibu Charlotte, sedangkan seminar bagi remaja dipandu oleh Bapak Boris Manurung dan Ibu Meilita Kitting Manurung.


Komunikasi orang tua dan anak akan menjadi “salah sambung” atau “susah sinyal” ketika anak-anak mulai tumbuh menginjak fase remaja. Pada fase ini, kenapa anak-anak sudah tidak mau mendengarkan kita lagi sebagai orang tua? Hal ini dikarenakan mereka sudah tidak respect lagi. Mengapa mereka menjadi tidak respect? Hakekatnya, hal tersebut bisa terjadi disebabkan dari segala apa yang telah kita perbuat kepada mereka. Nah, pada seminar ini, kita belajar bersama bagaimana membuat komunikasi antara orang tua dan anak yang “salah sambung” or “susah sinyal”, bisa “nyambung” kembali. Komunikasi bisa kembali terjalin hangat dan berkualitas.


Hal pertama adalah “Listen – Silent”, suatu padanan kata yang unik, yang mengisyaratkan bahwa proses mendengar haruslah dalam situasi yang hening atau tenang. Dalam situasi yang tenang, kita akan lebih mudah untuk fokus memperhatikan orang yang sedang kita dengarkan.

“Hai saudara-saudara yang kukasihi, ingatlah hal ini: setiap orang hendaklah cepat untuk mendengar, tetapi lambat untuk berkata-kata, dan juga lambat untuk marah“
(Yakobus 1:19)

Sebagai manusia kita diberikan dua telinga, dua mata, dan satu lidah oleh Tuhan. Kita diingatkan agar senantiasa lebih banyak mendengar, lebih banyak melihat, dan sedikit bicara.

Dalam proses mendengar, semestinya apa pun yang kita dengar dapat mengendap dulu, sehingga kita menjadi lambat untuk berkata-kata dan lambat untuk menjadi marah.

Kata “mendengar” dalam bahasa Cina, mengandung beberapa unsur karakter atau kata yang terdiri dari “telinga”, “raja”, “sepuluh”, “mata”, “satu”, dan “hati”. Rangkaian kata-kata ini menjadi petuah bagi kita bahwa setiap kali kita mendengar dengan telinga, perlakukan orang yang kita dengar itu seperti Raja yang sedang berbicara kepada kita, dan apabila kita memiliki sepuluh mata, gunakan semuanya, fokuslah pada satu titik saja dan libatkan hati kita selama proses mendengar berlangsung.

Mendengar adalah suatu seni yang aktif, mendengar dengan seksama kemudian menjawab. Hentikan segala aktivitas ketika anak kita menunjukkan keinginan akan bicara. Ketika dalam situasi terpaksa kita belum bisa meninggalkan aktivitas kita, katakan bahwa setelah menyelesaikan pekerjaan, kita akan mendengarkannya. Dan saat kita berbicara atau bertanya, kita perlu mempersiapkan pertanyaan-pertanyaan yang kreatif untuk diajukan kepada anak-anak kita (bukan mempertanyakannya). Bukan dalam suasana bising tapi dalam keheninganlah kita akan dapat mendengarkan suara anak-anak kita. Bahkan dalam keheningan pulalah kita akan dapat mendengarkan suara Tuhan melalui Roh Kudus yang siap mendukung kita saat hal yang terburuk mungkin akan disampaikan oleh anak-anak kita. Dengan mendengar secara baik dan benar, kita akan semakin bisa mengenal anak-anak kita lebih dalam. Ketika kita mau mendengar dengan sepenuh hati, kita pun bisa belajar hal-hal yang baru dari anak-anak kita.


Saat kita mendengarkan anak-anak berbicara menyampaikan isi hati mereka, pastikan kita tetap fokus, tidak menyela, dan memberikan judgement ataupun kritikan terlebih dulu sebelum proses mendengar selesai.

“Jikalau seseorang memberi jawab sebelum mendengar, itulah kebodohan dan kecelaannya” (Amsal 18:13)

Selama proses mendengar, biarkan anak-anak kita berbicara, tunjukkan kerendahan hati kita.


Kerendahan hati untuk menerima apapun hal terburuk yang akan mereka sampaikan. Kita sebagai orang tua harus berani terbuka dan jujur dalam berkomunikasi dengan anak-anak kita sejak anak-anak kita mulai tumbuh dewasa. Hal ini dibutuhkan untuk menjaga dan mempertahankan relasi yang baik. Jangan terlalu memaksakan anak-anak kita selalu “harus” mendengarkan apa yang kita katakan.

“Karena itu sempurnakanlah suka citaku
dengan ini: hendaklah kamu sehati sepikir,
dalam satu kasih, satu jiwa, satu tujuan,
dengan tidak mencari kepentingan sendiri atau puji-pujian yang sia-sia. Sebaliknya hendaklah dengan rendah hati yang seorang menganggap yang lain lebih utama dari pada dirinya sendiri”
(Filipi 2:3-5)

Jangan egois, namun kita perlu lebih rendah hati mau mendengarkan dan memperhatikan perasaan mereka, karena anak-anak kita bisa menjadi lebih baik dari kita. Kelak, anak-anak kita tidak akan mengingat kata-kata kita, melainkan mereka akan mengingat kesan apa yang telah dia rasakan, apa yang dia alami. Terlebih penting lagi, maafkan kesalahan anak-anak kita, sekalipun mereka tidak meminta maaf. Jangan diungkit-ungkit lagi kesalahan mereka, karena sebenarnya mereka itu lemah dan tak berdaya.

Dengan menjadikan komunikasi berlangsung hangat, kita akan menciptakan suatu relasi yang dekat antara orang tua dan anak. Relasi yang kuat, akan menumbuhkan komunikasi yang sehat. Jadi, inti dari mendengar adalah mendengarkan dengan hati. (LY)

Tuhan Yesus memberkati.

Posted in berita, News, Parenting and tagged , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , .