Mengasihi yang Sulit Dikasihi

Oleh: Natalia A. – Staf Karakter (PK3)

Mengasihi orang yang mengasihi kita adalah hal yang mudah dilakukan, tetapi bagaimana jika orang yang seharusnya mengasihi kita malah menyakiti kita? Dapatkah kita mengasihi mereka? Kata mengasihi yang awalnya terdengar manis menjadi tawar bahkan pahit. Namun, sebagai orang yang telah menerima kasih Kristus bahkan di saat masih menjadi seteru Allah, kita dimampukan untuk mengasihi di luar standar dunia. Bukanlah suatu hal yang mudah, tetapi salah satu rekan kita ini sudah mengalami proses untuk mengasihi di saat sulit, loh. Siapakah dia dan bagaimanakah kisahnya?

Tirza Naftali, M.B.A.

Ibu Tirza yang saat ini melayani di Chaplain (Character and Parenting Learning Institute) pernah mengalami masa-masa disakiti oleh orang yang seharusnya mengasihinya, tetapi Tuhan beranugerah menolong dan membentuk beliau begitu rupa.

“Saya berasal dari keluarga hamba Tuhan, tetapi seperti tidak ada Tuhan di dalam rumah kami. Setiap hari Mama dan Papa berdebat yang saya sendiri pun tidak mengerti akar masalahnya. Sering kali Mama menghujani Papa dengan kata-kata hinaan dan juga mengeluarkan kata-kata kasar kepada kami berdua. Saya menghindar untuk menetap di rumah karena tidak menjadi tempat yang aman untuk pulang. Seperti tiada hari tanpa mendengar Mama dan Papa ribut, saya pun sering kali ribut dengan Mama. Saya pernah di titik mengalami yang namanya cherophobia (ketakutan yang berlebihan akan perasaan bahagia), saya tidak bisa menikmati jika rumah dalam keadaan tenang atau sedang dalam kondisi yang berbahagia, yang ada di pikiran saya adalah ‘pasti setelah ini akan ada masalah baru yang muncul’.

Sebagai seorang anak tunggal, saya dituntut Mama untuk berprestasi dan menjadi orang kaya di kemudian hari. Saya sempat berpikir untuk sekolah teologi, tetapi Mama tidak mengizinkan karena berpikir jika saya menjadi hamba Tuhan, hidup saya akan “miskin” seperti kondisi kami saat itu. Hal itu membentuk pandangan saya bahwa Mama saya akan menjadikan saya sebagai “ATM” di masa tuanya.

Kejadian yang paling mengerikan bagi saya adalah ketika saya masih duduk di kelas 1 SMP. Kami tinggal di pastori gereja dan di malam itu Mama dan Papa bertengkar hebat. Tidak tahan dengan kecurigaan Mama yang tidak berdasar, Papa membawa segala macam obat asma yang dimilikinya dan mengurung dirinya di ruang pastori. Dalam pikiran saya, Papa nekat mau mengakhiri hidupnya. Saya pun menggedor-gedor pintu sambil menangis dan berteriak ‘Pa.. jangan.. buka Pa…’ Tidak ada jawaban, saya hanya melihat dari lubang pintu Papa sedang mengeluarkan beberapa obat di tangannya. Saya kembali berteriak dan menangis. Di saat itu saya berkata dalam hati ‘Saat besar nanti saya harus menyingkirkan Mama dari hidup saya dan Papa’. Satu jam berlalu, akhirnya Papa keluar dari kamarnya tanpa berkata apa pun. Saya lega masih melihat Papa.

Waktu berlalu, Papa sempat masuk rumah sakit. Saya meminta Papa untuk menceraikan Mama, tetapi Papa menjawab ‘Papa sudah berjanji kepada Tuhan untuk mengasihi Mama dalam kondisi baik, buruk, sehat atau sakit’. Saat itu saya seperti menemukan oase. Saya memohon pengampunan Tuhan, tetapi saya belum bisa benar-benar memaafkan Mama. Pemahaman saya terhadap Tuhan pada saat itu pun tidak benar. Menurut saya melayani Tuhan merupakan bentuk dari menyogok Tuhan agar memaafkan dan menerima saya.

Saya menikah dalam kondisi emosi yang tidak stabil dan masih merasa kosong sehingga secara tidak sadar saya sering menuntut suami dan membentak anak saya berlebihan. Tak lama setelah Papa dipanggil Tuhan, saya putus hubungan dengan Mama. Saya merasa aman tetapi rasa kekosongan itu makin besar. Dalam suatu webinar yang dibawakan oleh Ibu Charlotte tentang luka masa lalu, saya disadarkan bahwa saya tidak membiarkan Tuhan mengasihi saya dan mengobati luka yang makin membesar. Seusai momen itu, entah dari mana asalnya, saya merasakan damai yang berlimpah. Saya mencoba menghubungi Mama kembali. Jauh dari perkiraan, saya dan Mama saling meminta maaf dan memaafkan, Mama banyak menceritakan tentang masa lalunya, dan kami berproses untuk sembuh bersama.

Penerimaan dan belas kasih-Nya yang tanpa syarat itu yang memulihkan pengenalan saya akan Tuhan, menolong saya juga untuk berelasi dengan Mama dalam belas kasih, alih-alih penghakiman. Saya bersyukur Tuhan memberikan saya seorang suami dan juga komunitas Athalia yang mau mendengar, mendoakan, dan membangun. Ternyata semua orang berproses dan memiliki “cacat”-nya masing-masing. Justru cacat itu hadir agar kita tetap datang dan memohon belas kasih-Nya tanpa ragu.”

Kasih Allah dan penerimaan-Nya yang utuh membuat kita mengalami anugerah kebaikan-Nya. Dia menerima kita dengan segala keburukan yang ada, bergumul bersama kita, dan menjadikan kita lebih baik. Sebelum kita mengalami kasih-Nya, kita tidak akan mampu mengasihi orang lain, bahkan mengasihi diri pun kita tidak mampu. (Charlotte Priatna)

Demikianlah tinggal ketiga hal ini, yaitu iman, pengharapan dan kasih, dan yang paling besar di antaranya ialah kasih.
(1 Korintus 13:13)

Posted in Kisah Inspiratif and tagged , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , .