Pemuridan di Masa Pandemi: Be With and Befriend

Oleh: Bella Kumalasari, staf Pengembangan Karakter Sekolah Athalia

”Salvation is free, but discipleship costs everything we have” – Billy Graham1

Kalimat pendeta Billy Graham sungguh keras, tetapi sejalan dengan firman Tuhan dalam 2 Timotius 4:2 yang berbunyi, “Beritakanlah firman, siap sedialah baik atau tidak baik waktunya….” Jujur, pesan-pesan semacam ini meneguhkan, sekaligus menggelisahkan kita yang melakukan pemuridan.

Pemuridan merupakan amanat agung dari Tuhan Yesus sendiri, yang Dia sampaikan sebelum naik ke surga. Bayangkan, jika seseorang memberikan pesan terakhir, tentu pesan itu bukanlah semacam “Jangan lupa matiin kompor, ya” atau “Ganti gorden ruang tamu”. Pesan terakhir tentu sangat penting: pemuridan adalah perintah. Artinya, ini merupakan sebuah keharusan bagi setiap orang percaya, bukan pilihan.

Namun, semudah itukah melakukannya? Mari kita mengingat aspek yang lain, yaitu bahwa pemuridan juga adalah sebuah privilege atau hak istimewa. Sejak penciptaan, kita dipercaya Allah menjadi kawan sekerja-Nya (Kejadian 1: 28). Apakah Allah membutuhkan bantuan kita? Tentu tidak. Oleh sebab itu, kita mengenalnya sebagai anugerah karena sesungguhnya siapakah kita sehingga dipercayakan hal sebesar itu?

Anugerah Allah tidak berhenti saat penciptaan. Anugerah terbesar dari Allah adalah Putra-Nya yang tunggal yang mengosongkan diri-Nya, berinkarnasi menjadi manusia, mengambil rupa seorang hamba, merendahkan diri-Nya, dan taat bahkan sampai mati di kayu salib (Filipi 2: 7–8). Ya, untuk Anda dan saya. Pelayanan yang kita lakukan diawali oleh pelayanan Tuhan Yesus kepada kita. Ketika kita pernah mencicipi anugerah-Nya, tentu kita ingin membawa orang lain untuk juga mencicipinya. Seperti kalimat D. T. Niles yang sangat terkenal, “Evangelism is just one beggar telling another beggar where to find bread2 atau jika diterjemahkan secara bebas dalam bahasa Indonesia: “Pemberitaan injil seperti seorang pengemis yang memberi tahu pengemis lainnya di mana mendapatkan roti”. Betul, Injil seharusnya benar-benar senikmat itu. Kasih karunia itu mengalir; kita bukan hanya menerimanya, melainkan juga membagikannya kepada orang lain. Kita tidak pernah diminta memberi kasih karunia lebih dari yang pernah kita terima.3

Baiklah, sekarang mari kita bahas secara praktis. Tidak disangkal bahwa masa pandemi ini begitu menguras kita, bak diterpa badai besar. Segala rencana dan acara seolah digagalkan. Tiba-tiba semuanya harus berhenti. Pertemuan tatap muka baik ibadah, persekutuan, kelompok kecil, semuanya harus dihentikan. Namun, tunggu, benarkah berhenti? Atau kita harus tetap maju dengan beradaptasi? Ya, kita tetap maju dengan beradaptasi, menyesuaikan diri dengan segala kondisi yang tidak pernah kita jumpai sebelumnya. Namun, harus diakui, adaptasi bukanlah hal yang mudah. Kehidupan bergereja di masa pandemi bukan sekadar memindahkan yang luring menjadi daring. Kebutuhan kita sebagai makhluk sosial untuk berinteraksi secara langsung rasanya sulit sekali digantikan dengan hal-hal yang serbavirtual. Namun, apa iya tidak mungkin? Saya pun awalnya berpikir demikian.

Komisi pemuda di gereja saya memiliki persekutuan per wilayah yang dinamakan “dobar”, alias “doa bareng”. Dahulu kami biasa berkumpul di salah satu rumah ataupun tempat makan atau tempat nongkrong. Namun, sejak pandemi, pertemuan kami dibatasi dengan layar dan koneksi internet. Kondisi ini membuat beberapa dobar merosot. Yang biasanya makan bersama, sekarang makan di rumah masing-masing. Yang biasanya bebas mengobrol dengan siapa saja, sekarang harus lebih tertib berbicara agar suara dapat terdengar dengan jelas. Belum lagi koneksi internet yang kurang stabil yang mengganggu komunikasi. Senda gurau serta percakapan ngalor ngidul dari yang penting hingga yang tidak penting sangat dirindukan.

Namun mengejutkan, dobar kami tetap berjalan baik dan bertumbuh secara kualitas maupun kuantitas. Rekan yang biasanya terbatas jam malam, habis waktu di jalan, sekarang bisa lebih leluasa karena tinggal “klik” sudah terhubung. Selama pandemi kita banyak di rumah saja, maka beberapa anggota yang tadinya jarang bisa bergabung, sekarang jadi bisa bergabung. Bahkan, kita tidak terbatas letak geografis, teman saya yang di Los Angeles pun ikut bersekutu dan malah menjadi fasilitator. Jadi, ternyata memungkinkan untuk melakukan pemuridan di tengah masa krisis seperti pandemi Covid-19 ini. Justru kita diajak untuk melihat hal yang esensial di dalam pemuridan yang selama ini kita kerjakan. Apakah haha-hihi-nya, makan barengnya saja, atau relasi dan persekutuannya di dalam Tuhan?

Sulit bukan berarti mustahil. Justru di saat seperti ini, ketika makin banyak orang yang membutuhkan pertolongan baik secara dukungan moral, ekonomi, spiritual, maupun kesehatan mental, kelompok persekutuan/pemuridan sangat dibutuhkan. Pandemi tidak hanya membawa dampak secara fisik, tetapi juga secara psikologis dan spiritual. Banyak orang mengalami gangguan kecemasan dan depresi.4 Semakin banyak orang yang mencari Tuhan dan membaca Alkitab untuk mendapatkan kekuatan, kedamaian, dan harapan.5 Di saat makin banyak orang yang tertekan dan mencari dukungan, janganlah kita lengah untuk hadir bagi mereka. Mungkin yang mereka butuhkan hanyalah kehadiran dan perhatian yang tulus, seperti kisah yang saya alami berikut ini.

Bagi sekolah, masa pandemi membawa tantangan bagi guru baik dalam menyiapkan materi pelajaran yang menarik, beradaptasi dengan teknologi, maupun berelasi dengan para siswa. Pun bagi siswa itu sendiri. Mereka yang biasanya begitu aktif dipaksa harus di rumah saja. Mungkin tidak terlalu masalah jika lingkungan rumah cukup kondusif dan mendukung kenyamanan dan keamanan anak. Namun, jika tidak, siapa lagi yang mereka harapkan di luar keluarga mereka? Apakah guru dan pembimbing sekolah minggu/remaja hanya bertugas memberikan informasi dan pengetahuan? Tentu tidak. Di sinilah peran guru sebagai gembala dibutuhkan.

Suatu hari di masa pembelajaran jarak jauh (PJJ), saya ikut masuk ke dalam salah satu kelas (virtual) di kelas 1 SD. Hari itu saatnya shepherding time. Seperti biasa, ibu guru menyapa muridnya di pagi hari. Seorang siswi tampak murung. Ibu guru bertanya apa yang terjadi kepadanya. Dengan malu-malu, anak itu menjawab, “Aku sedih, Bu.” Karena ada agenda dan materi yang harus disampaikan, ibu guru menunda untuk berbincang lebih lanjut dengannya. Di saat sesi sharing, anak ini ingin sekali berbicara, tetapi ibu guru masih harus menyelesaikan materinya dan mengobrol dengan siswa lainnya sehingga hanya berkata, “Nanti, ya, Nak, kita ngobrol.” Terlihat anak itu sedikit kecewa, tetapi tetap mengikuti pembelajaran dengan baik. Ada kalanya dia kembali meminta waktu untuk bercerita, tetapi ibu guru kembali bahwa dia boleh cerita setelah selesai kelas. Saya hanya bertanya-tanya di dalam hati sambil kasihan: ada apa dengan anak ini? Akhirnya, shepherding time selesai dan anak ini tetap tinggal di ruang virtual bersama ibu guru, beberapa asisten guru, juga saya.

“Kenapa kamu sedih?” tanya ibu guru.

“Aku sedih… Aku pengin sekolah…” katanya memelas.

Kami para pendidik mengeluarkan reaksi beragam. Di benak saya terpikir, ya ampun, karena pengin sekolah. Saya geli sekaligus iba. Namun, ibu guru segera merespons.

“Iya… Kamu berdoa, ya, supaya virus Corona cepat hilang.”

“Aku udah berdoa tiap hari, tapi virus Coronanya tetap ada,” jawabnya dengan polos.

“Iya.. virus Coronanya belum pergi, ya. Tapi kamu jangan sedih terus, ya. Harus semangat! Kan biasanya kamu selalu ceria dan semangat. Ya?” hibur ibu guru.

“Hm.. Iya, Bu. Aku mau semangat dan ceria!” jawabnya dengan segera. Nadanya langsung berubah. Dia menjadi antusias sambil memainkan origami kapal yang baru saja dibuatnya saat shepherding time. Topik pembicaraan pun beralih karena dengan gembira dia bercerita tentang sudah pernah membuat kapal origami sebelumnya.

Kejadian ini sederhana, tetapi membuat saya berefleksi. Kepolosan seorang anak membuat dia dengan mudah menceritakan kesedihannya dan dengan mudah pula dihiburkan. Yang dia butuhkan hanyalah hal sesederhana itu – kehadiran dan perhatian yang tulus.

Tidak hanya anak kecil, saya menjumpai hal yang sama pada beberapa remaja usia SMP yang baru saja mulai ber-KTB (Kelompok Tumbuh Bersama) dengan saya secara daring. Entah harus senang atau sedih ketika mendengar motivasi awal mereka ikut KTB karena kelihatannya seru, daripada gabut (gaji buta/tidak melakukan apa-apa), dan bisa punya teman ngobrol dan bermain. Namun, kembali saya menyadari bahwa yang mereka perlukan adalah kehadiran dan perhatian/persahabatan yang tulus. Begitu pula yang saya alami sendiri di dobar. Kehadiran dan perhatian tulus dari teman-teman sayalah yang menguatkan saya menghadapi masa pandemi ini. Saya dapat merasakan kasih Tuhan yang nyata melalui mereka.

Sering kali kita berpikir dengan rumit: apa yang harus kita lakukan dalam melakukan pemuridan di masa pandemi seperti ini: program, metode, teknologi, acara yang menarik, dan lain sebagainya. Alih-alih sukacita dan berpengharapan, kita justru digerakkan oleh kekhawatiran. Mari berhenti sejenak dan renungkan, sebenarnya apa esensi dari pelayanan ini? Seperti apa hati Tuhan bagi jiwa-jiwa yang kita layani?

Tuhan Yesus datang ke dunia memberikan diri-Nya sendiri. Dia memberikan kehadiran dan perhatian yang nyata kepada semua kaum. Demikian juga seharusnya kita. Meskipun pemuridan di masa pandemi bukanlah suatu hal yang mudah dan membutuhkan harga yang besar, ingatlah: kita tidak dapat memberikan apa yang tidak kita miliki, sebaliknya, kita hanya dapat memberikan apa yang sudah kita terima dari Tuhan. Be with and befriend! Bagikan kehadiran dan perhatian/persahabatan yang tulus kepada mereka yang kita muridkan, sebagaimana Allah telah hadir dan memperhatikan kita terlebih dahulu. [BEL]

DAFTAR PUSTAKA

  1. Billy Graham, “Billy Graham: What’s the Cost of Following Jesus Christ?,” Billy Graham Evangelistic Association, 2 Agustus 2017, https://billygraham.org/audio/billy-graham-whats-the-cost-of-following-jesus-christ/.
  2. Evangelism Coach, “Evangelism Quotes and Quotations,” Evangelism Coach, 20 April 2019, https://www.evangelismcoach.org/evangelism-quotes-and-quotations/.
  3. Kyle Idleman, Grace Is Greater, trans. Tim Literatur Perkantas Jatim (Grand Rapids: Baker Books, 2017), 66.
  4. Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia, “Masalah Psikologis di Era Pendemi Covid-19,” Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia, 14 Mei 2020, http://pdskji.org/home.
  5. Kate Shellnutt, “2020’s Most-Read Bible Verse: ‘Do Not Fear’,” Christianity Today, 3 Desember 2020, https://www.christianitytoday.com/news/2020/december/most-popular-verse-youversion-app-bible-gateway-fear-covid.html.
Posted in karakter, Pengembangan karakter and tagged , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , .