Oleh: anonim, orang tua siswa
Sore itu, seperti biasa saya pulang kantor dengan menggunakan ojek. Beberapa rumah sudah saya lewati, rumah mertua saya sudah tampak. Di balik pagar rumah itu, berdiri manusia kecil kesayangan, yang antusias menunggu saya pulang.
Namun, seperti hari-hari lainnya, yang saya rasakan hanyalah ingin cepat-cepat sampai ke rumah yang berjarak hanya beberapa rumah dari rumah mertua. Saya ingin segera membereskan pekerjaan rumah, seperti mencuci, menyapu, dan lain-lain. Jadi, saya hanya melambaikan tangan kepada anak saya yang sudah menunggu di balik pagar rumah mertua, dan meneruskan perjalanan ke rumah saya sendiri.
Peristiwa itu membuat anak saya bersedih. Dia lari pulang ke rumah dengan terburu-buru, menyusul mamanya. Sampai di rumah, dia melihat mamanya mulai sibuk dengan urusan rumah dan mulai membentak-bentaknya tiap dia mulai mencari perhatian.
Saya tidak bisa menepis tingginya kebutuhan rumah tangga keluarga. Bersama suami, saya bekerja untuk menghidupi keluarga. Kebetulan, suami saya anak tunggal sehingga dia juga harus memenuhi kebutuhan ibunya. Hal itu membuat kami sering pulang kerja sampai malam sehingga putra kami satu-satunya dititipkan ke ibu mertua.
Peristiwa itu terus bergulir dari tahun ke tahun sejak anak saya berusia empat tahun sampai dia duduk di sekolah dasar.
Saya mulai merasakan kegelisahan yang besar ketika melihat anak mulai menunjukkan pemberontakan, suka memukul dan berkata kasar, serta mudah marah. Lebih mengkhawatirkannya lagi, saat dia duduk di kelas dua sekolah dasar, dia pernah berkata ingin pergi dari rumah dan ingin mati saja.
Dalam hal kehidupannya di sekolah, tak kalah membuat pusing kepala. Beberapa kali saya dan suami mendapatkan laporan dari guru bahwa anak ini berteriak, memukul teman, bahkan sampai menendang teman perempuannya. Karena peristiwa ini, anak kami harus didisiplin oleh sekolah.
Saya mulai memperhatikan anak ini…. Saya melihat perilakunya ini efek dari dimanja oleh neneknya. Dia sering dibela oleh neneknya walau melakukan hal yang salah. Akibatnya, dia menjadi besar kepala dan kurang ajar kepada orang tuanya.
Saya sering menghela napas kalau sudah membahas hal ini. Dulu, mertua saya tinggal di luar kota. Namun, sejak suaminya meninggal, dia memutuskan tinggal dekat dengan anak semata wayangnya. Karena hanya memiliki satu anak, mertua saya punya kecenderungan protektif dan selalu ingin ikut mengatur rumah tangga saya dan suami.
Masalah keluarga itu membuat saya bukannya menghadapinya, malah melarikan diri dengan menenggelamkan diri ke dalam pekerjaan. Dengan sengaja, saya menyibukkan diri agar anak lebih banyak menghabiskan waktu dengan omanya, agar mertua saya tidak mencampuri urusan rumah tangga saya.
Saya sadar bahwa langkah ini tidak benar. Saya mengorbankan anak demi bisa “lari” dari masalah rumah tangga. Saya pun mulai merasa putus asa…
Beberapa tahun kemudian, saya akhirnya memutuskan untuk pindah kerja ke Sekolah Athalia. Sistem kerja di Athalia berbeda dengan kantor lama. Di sini, pekerjaan saya lebih teratur dan jam kerjanya manusiawi. Saya bisa sampai rumah pada sore hari. Athalia memang mengutamakan hubungan antaranggota keluarga. Kami diajarkan untuk menjalin relasi yang baik dalam keluarga dan tidak mengorbankan mereka demi pekerjaan.
Di sini, saya juga belajar tentang cara mendidik anak yang baik. Saya juga belajar tentang tanggung jawab sebagai orang tua. Lewat komunitas ini, saya bertumbuh dalam iman dan punya kerinduan untuk menjadi orang tua yang lebih bertanggung jawab. Seorang rekan atasan menyadarkan saya bahwa Tuhan sudah memberikan saya dan suami tanggung jawab untuk mendidik dan membesarkan anak, bukannya dilempar kepada pihak lain.
Akhirnya, saya mulai membicarakan hal ini kepada suami. Kami sepakat untuk mulai mendidik anak sendiri, tanpa intervensi pihak lain. Saat itu, putra kami sudah kelas 4 SD.
Langkah awal yang kami lakukan adalah mengambil jarak dari orang tua. Kami memutuskan untuk mengontrak rumah tak jauh dari tempat kerja saya. Saat itulah saya menyadari bahwa mendidik anak adalah tugas yang sangat menantang. Bekerja sembari full mengurus anak memang tak mudah. Namun, saya mau terus belajar dengan kerendahan hati dan meminta pimpinan Tuhan. Ada kalanya saya kembali merasakan putus asa dan emosional saat melihat anak memberontak, memukul, bahkan menendang saya. Saya menyadari bahwa itu semua adalah buah dari kesalahan saya yang sudah mengabaikannya dan menorehkan luka di hatinya selama bertahun-tahun.
Semenjak punya waktu lebih banyak sepulang kerja, saya sering menemani anak, entah itu bermain bola, naik sepeda, berjalan-jalan di taman, makan es krim, dan lain sebagainya. Saya menikmati tiap waktu bersama dengannya. Dalam kesempatan itulah, saya mengatakan kepadanya bahwa saya mengasihinya, dia begitu berharga di mata saya. Saya pun meminta maaf kepadanya karena sempat mengabaikannya.
Perlahan, hati anak saya mulai tergerak. Perilakunya berubah. Dia menjadi lembut dan mudah dinasehati, serta tidak lagi suka memberontak. Saya melihat perlahan karakternya berubah. Dia jadi lebih peduli terhadap orang lain, punya belas kasihan, dan murah hati. Dia mulai menunjukkan kasih sayangnya terhadap orang tuanya.
Di saat relasi dalam keluarga kami membaik, kami tetap menjaga hubungan baik dengan mertua. Kami menyarankan anak untuk beberapa kali dalam seminggu menengok neneknya. Tak disangka, mertua pun perlahan berubah sikap. Beliau tidak lagi bersikap protektif. Dia akhirnya melepaskan saya dan suami untuk menentukan langkah terbaik bagi rumah tangga kami.
Mengizinkan Tuhan untuk hadir di tengah rumah tangga saya memberikan dampak yang sangat besar. Kalau bukan karena pertolongan Tuhan, entah apa jadinya hubungan saya dan suami dengan anak dan mertua.
Saat ini, anak saya sudah berada di kelas 9. Saya bersyukur tahun ini dia memutuskan untuk menyerahkan hatinya menerima Yesus sebagai Tuhan dan Juru Selamatnya untuk lalu dibaptis di gereja tempat kami bertumbuh.
Saat ini, setiap saya mengingat momen-momen ketika saya hampir kehilangan hati anak saya, saya tidak kuasa menahan air mata. Saya melihat Tuhan bekerja dalam dirinya, “membalikkan hatinya” untuk mau mengasihi orang tuanya dan Tuhan, sungguh suatu anugerah yang luar biasa.
Perjalanan saya dan suami masih panjang untuk mengantar dia ke jenjang kuliah. Saat ini, yang kami bisa kami lakukan adalah terus menabur firman Tuhan setiap hari melalui mezbah keluarga, berdoa, bergantian membaca firman Tuhan, dan menyembah Tuhan. Saya dan suami tidak pernah lupa untuk bertanggung jawab menjadi teladan dan berdoa terus untuk putra kami. Biarlah kehendak Tuhan sepenuhnya digenapi dalam hidupnya. Amin.
“Bagiku tidak ada sukacita yang lebih besar dari pada mendengar, bahwa anak-anakku hidup dalam kebenaran.” (3 Yohanes 1: 4)